Sabtu, 21 Februari 2015

BARATA yuddha karena kutukan dan sumpah sendiri !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

YAYATI  PRABHU KENA KUTUKAN.......

Pada suatu sore, dimana matahari mulai terbenam, Prabu Yayati melamun sambil melihat kelelawar-kelelawar yang keluar dari pupus-pupus daun pisang. Lalu putra bungsunya (Puru) dipanggil. Setelah Puru dating berkatalah Prabu Yayati:
“Oh putraku Puru, ternyata engkau adalah satu-satunya putraku yang telah mengorbankan diri demi ayahmu, milikmu yang paling berharga. Oh anakku saying, ternyata bahwa nafsu-nafsu angkara, nafsu-nafsu birahi, nafsu-nafsu syahwat, tidak akan puas hanya dengan melampiaskannya. Nafsu yang diumbar, ternyata bukan makin padam, tetapi justru makin berkobar. Laksana bola salju. Makin digulung dan makin jauh menggelinding, dia makin besar. Kini aku tahu, bahwa dengan melampiaskan hawa nafsu tidak membawa kedamaian hidup. Ternyata kedamaian hanya dapat dicapai dan diterima dengan jalan cinta kasih dan keseimbangan jiwa, mestinya sejak semula aku harus bersikap : Dengan tulus ikhlas menerima nasib. Jika mengalami kehilangan tanpa menyesal, menerima dengan kesabaran hati apa bila menghadapi pengalaman yang mengganggu bahkan dihina sekalipun. Dan ketiga, dengan rela dan rendah hati menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Itulah jalan yang paling bahagia. Bagiku sekarang hanyalah menyingkiri, kuasa menahan dan memusnahkan hawa nafsu-nafsu jahatku. Itulah suatu jalan yang akan kutempuh, agar aku dapat hidup damai dan mendapat Rahmat Tuhan. Karena itu, Oh Puru: Ambillah kembali ke”muda”anmu dari diriku dan sekarang perintahlah kerajaan ini dengan bijaksana adil paramarta, agar rakyatmu patuh, setia (saiyeg seaka kapti) menjunjung titahmu”.
Maka Prabu Yayati memeluk anak bungsunya (Puru) untuk menerima kembali ketuaannya. Dan sat itu juga, Prabu Yayati menyerahkan kembali kemudaannya kepada putranya. Beberapa waktu kemudian Prabu Puru dinobatkan menjadi Raja di Astinapura. Dan Raja Puru inilah yang nantinya menurunkan bangsa Puru atau bangsa Kuru yang kemudian menurunkan Kurawa. Kelak Prabu Kuru mempunyai putra bernama Dusmanta. Prabu Dusmanta kawin dengan Sakuntala kemudian melahirkan Bharata. Dan Bharata inilah nantinya akan melahirkan keluarga besar Bharata atau Maha Bharata.
Bharata menurunkan Kuru, Kuru menurunkan Pratip, Pratipa menurunkan Sentanu, Sentanu menurunkan Bisma.
Nah, sekarang kiranya menjadi jelas. Bahwa menurut versi Maha Bharata pemilik negara Astina itu adalah Prabu Nahusa. Prabu Yayati, Puru, Dusmanta, Bharata, Kuru, Pratipa, Hasti, Sentanu, sampai kepada Bisma.
Sedangkan menurut versi Pustaka Raja Purwa pemilik dan pencipta kerajaan Astina adalah Palasara, Abiyasa, Pandu, Duryudana dan Yudistira kemudian Parikesit.
Nah, inilah manusia hidup. Menurut anthropologis (filsafat manusia), bahwa manusia hidup itu terdiri dari jasmani (raga) dan rohani (jiwa) serta dilengkapi dengan lima nafsu yaitu: amarah, sufiah, aluamah, mulhimah, dan mutmainah. Atau cairan yang mengalir pada badan manusia itu ada lima macam yaitu: darah merah, kuning, hitam, hijau dan putih. Yang ideal adalah, kalau jumlah nafsu-nafsu itu (harus) seimbang. Sebab kalau banyak darah merahnya, manusia akan menjadi pemarah, serakah dan rakus.
Begitu pula sebaliknya kalau banyak putihnya akan menjadi orang suci atau negatifnya akan menjadi fatalis (mungsaderma).
Karena manusia itu juga terdiri dari unsure wadag atau bersifat jasmaniah, maka orang hidup harus makan. Namun dalam menghadapi makan perlu mempunyi sifat distansi (jarak) dan moderasi (menguasi diri). Pendeknya ada aturannya, tidak asal makan. Makan adalah untuk hidup. Supaya sehat, maka hidup itu perlu dan harus makan, namun bukan hidup untuk makan.
Jelasnya, lihat binatang kalau sedang makan. Binatang itu selalu tergesa-gesa dan hanyut serta tenggelam dalam makanan, akhirnya dia juga dimakan (dikuasi) oleh makanan. Ia membabi buta, seperti besok tidak ada hari lagi. Dan sambil “nggereng” mencengkeram makanannya, bahkan apa bila ada yang mendekat dan mengganggu dia menyerang (homo-homo mini lupus).
Sedangkan manusia tidaklah demikian. Kita memiliki sopan santun dan cara makan, karena itu sungguh tepat kalau Wulangreh memberi petunjuk:
“Pada gulangening kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kaesti, pesunen sariranira, cegah dahar lawan guling”.
Yang artinya:
“Latihlah dirimu agar supaya menjadi cerdas dalam sasmita (awas dan waspada). Jangan hanya hanyut menuruti nafsu perut (makan) dan nafsu tidur (syahwat). Tetapi usahakan “watak perwira” ini dengan jalan mencegah (mengurangi) nafsu perut dan nafsu tidur”.

Nah, begitulah kira-kira maksud dari nenek moyang yang sudah tahu akan bahaya yang akan terjadi, kalau manusia kelewat bebas dan batas dalam memenuhin kebutuhan jasmaniah dan lahiriahnya. Makin dilampiaskan nafsu jahatnya, makin berkobarlah nafsu-nafsu itu meSakuntala, Ibu Bharata Raja Besar di Astinapura

https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/sakuntala.jpg?w=535Siapakah Bharata yang disebut-sebut dalam Mahabharata itu? Begitulah kira-kira isi surat-surat pembaca yang ingin mengetahui sejarahnya.
Syahdan, suatu tempat pertapaan yang begigtu tenang dan damai, sehingga kijang-menjangan dapat hidup berdampingan dengan singa dan macan yang buas. Semua itu seolah-olah karena pengaruh sianr sucinya pertapaan. Segala yang pada mulanya bengis, kejam, buas dan rakus, berubah menjadi sejuk, nyaman, rukun dan tenang penuh kedamaian.
Siapakah gerangan pertapa besar yang bersemayajm di situ? Ia adalah Begawan Kanwa yang hidup bersama dengan seorang anak gadisnya, Sakuntala namanya. Sakuntala yuang cantik adalah anak angkat dari Begawan Kanwa. Semula Sakuntala adalah putrid Prabu Wismamitra yang lahir dari rahim bidadari Menaka. Yaitu, dikala Prabu Wismamitra sedang bertapa menjauhkan diri dari keduniawian, sekonyong-konyong melihat kedatangan bidadari Menaka yang tersingkap kainnya oleh hembusan angina yang nakal, sehingga Wismamitra sampai tak dapat mengendalikan dirinya. Ia takluk kepada keinginannya untuk segera menghisap madunya Batari Menaka. Pendek kata betari Menaka kemudian melahirkan seorang bayi wanita yang kemudian diberi nama Sakuntala. Setelah sang bayi lahir, maka kembalilah Menaka ke Kahyangan dan Sakuntala ditinggalkan sendirian di tepi sungai Malini. Kelihatannya kejam dan tak bertanggung jawab, tetapi memang itulah yang disebut “laku”.

Pada suatu hari, ketika Begawan Kanwa sedang santai di sungai Malini, sangat terkejut setelah mehilat bayi yang sedang disuapi oleh burung-burung penghuni hutan dengan penuh kasih sayang. Maka diambillah Sakuntala dan dibawa pulang ke pertapaan dan diasuh sebagai anaknya sendiri.
Demikianlah Sakuntala bercerita kepada raja Astina Prabu Dusmanta yang singgah di pertapaan begawan Kanwa. Prabu Dusmanta yang sudah terkena panah asmaranya Sakuntala tak dapat menahan diri, maka bersabdalah ia:
“Sakuntala putri begawan yang suci, perkenankanlah aku melamarmu untuk menjadi suami sang putri”.
Semula lamaran sang Prabu ini ditolak, akan tetapi karena desakan yang tak dapat ditolak, maka berkatalah Sakuntala:
“Ya Tuanku, hamba bersedia menjadi permaisuri baginda, tetapi kelak apabila dari pernikahan kita ini lahir seorang putra, hendaklah dinobatkan menjadi raja Astinapura sebagai pengganti sang Prabu”.
Tanpa berkata dipeluknya Sakuntala dan pernikahan gandarwa dilangsungkan. Setelah sang Prabu Dusmanta tinggal beberapa saat di pertapaan, maka ia berpamit hendak pulang ke istana. Ia berjanji bahwa Sakuntala akan segera dijemput untuk diboyong ke Astina.
Sakuntala sangat sedih dan malu atas semua perbuatannya itu, sehingga tak berani menyongsong kedatangan begawan Kanwa, karena ia mengira, pasti ayahnya telah mengetahui apa yang terjadi terhadap dirinya. Dengan bijaksana begawan Kanwa berkata dengan lemah lembut:
“Oh anakku Sakuntala, kau tidak salah. Anak yang kau kandung itu kelak akan menjadi manusia besar sepanjang sejarah. Semua ini adalah sudah kehendak Dewata”.
Sakuntala bersujud sambil menangis dan menciumi kaki ayah angkatnya. Ringkasnya, setelah Sembilan bulan, lahirlah seorang bayi laki-laki yang pekik, tegap, sigap, pantas sekali calon manusia besar. Oleh ibunya ia diberi nama Sarwadamana yang artinya ; manusia kuat penakluk binatang buas.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/sakuntala_solo.jpg?w=535
Tetapi setelah selang beberapa tahun lamanya, jemputan dari Prabu Dusmanta tak kunjung dating, maka atas titah Begawan Kanwa, Sakuntala berangkat ke negeri Astinapura untuk mempersembahkan Sarwadamana di hadapan Prabu Dusmanta. Setelah menghadap berkatalah Sakuntala:
“Baginda yang mulia, ini adalah putra baginda hasil perkawinan gandarwa kita berdua. Angkatlah Sarwadamana sebagai raja Astina pengganti baginda”.
Dengan muka marah merah padam berkatalah Prabu Dusmanta:
“Hai wanita tak tahu malu! Hentikan kata-katamu yang kurang ajar itu. Bagaimana mungkin aku seorang raja agung dapat beristerikan wanita hina seperti kau ini”.
Belum sampai selesai Prabu Dusmanta berkata, tiba-tiba ada suara gaib terdengar menggema di angkasa yang dapat didengar oleh sang Prabu dan menteri-menteri dalam kabinetnya:
“Hai Prabu Dusmanta, janganlah ragu-ragu. Anak ini adalah benar-benar putramu”.
Maka seluruh hadirin menjadi riang gembira dan Sakuntala diangkat menjadi permaisurinya yang syah dengan upacara yang meriah, sedang Sarwadamana dinobatkan menjadi Adipati dan oleh baginda diberi nama Bharata. Mulai saat itulah Bharata menajdi raja muda di Astina dan pemimpin besar dunia. Bharata inilah yang seterusnya menurunkan darah Bharata yang besar dan megah sepanjang jaman. Bharata berarti Mahatman atau Terpuji, yang kelak ia menurunkan Prabu Hastin, kemudian Prabu Kurupratipa baru kemudian lahir manusia besar Prabu Sentanu.
Dalam pedalangan wayang kulit purwa, pada umumnya hanya Sentanulah yang dikenal. Ia bukan sebagai pemilik negara Astina, tetapi sebagai peminjam negara Astina. Sedang kalau menurut Mahabharata lain lagi ceritanya:
Di kala raja Astina Prabu Kurupratipa sedang bertapa tiba-tiba datanglah batari Gangga. Ia duduk di pangkuannya sebelah kiri. Cara duduk Batari Gangga ini memberikan petunjuk kepada Prabu Kurupati, bahwa ia bukan jodohnya, tetapi calon menantunya. Karena itu setelah Prabu Kurupratipa mempunyai seorang anak laki-laki bernama Sentanu, maka Sentanui dikawinkan dengan Batari Gangga. Dan Sentanu inilah sebenarnya pemilik dan pewaris Negara Astina yang nanti diperebutkan cucu-cucunya, yakni: Kurawa dan Pandawa.
Bagaimana kisah Sentanui dan Batari Gangga
mbakar musnah hidupnya sendiri. ← Malam Petaka Drupadi
Posted on June 18, 2012by Bombo Unyil
Perempuan yang Ingin Membunuh Bisma
mahabharat_30_bhishma
Begitulah dewabrata
kelak seorang penunggang kuda akan menghampirimu
aku titipkan cemas yang dulu
lalu ia rentangkan busur dengan ribuan anak panah
yang kuraut sendiri
tersenyumlah, aku datang menjemputmu
amba
BAGINDA sendiri yang menuntun saya menuju kereta. Membukakan pintu dan berkata; “Amba, kau telah menjadi putri boyongan. Pergilah bersama calon suamimu dan jaga adik-adikmu. Bagaimanapun, lak-laki itu telah memenangkan sayembara. Aku tak lagi berkuasa atasmu. Jangan mencoba membuat malu dengan ulah kekanak-kanakanmu. Lupakan Salwa. Sebagai perempuan, kau tak punya pilihan.”
Pagi menjadi sangat kelam. Bunga tanjung jatuh satu-satu.
“Pergilah. Jagalah martabat dan kehormatan negerimu.”
Saya menahan marah yang menggumpal. Tapi saya tak ingin menangis. Mereka yang sedang tak jatuh cinta memang selalu menganggap remeh arti sebuah percintaan. Sebagai anak raja, apalagi perempuan, kau tak boleh membangkang apa yang menjadi keinginan raja.
Sebenarnya semua tak akan menjadi serumit ini kalau saja saya belum memiliki kekasih. Tapi baginda sendiri telah merestui saya, putrinya, menjalin cinta dengan Kangmas Salwa. Bukankah pesta pertunangan pada purnama lalu telah menjadi pertanda bahwa kebersamaan kami akan segera menjadi kenyataan?
“Bimbing adik-adikmu, Ambika dan Ambalika, menjadi istri yang baik. Jangan kau kotori kehormatan tanah leluhurmu dengan ketidakmengertianmu,” baginda berkata lagi, lalu membalikkan badan meninggalkan kereta wangi berhias bunga-bunga, tanpa menoleh lagi.
Ambika dan Ambalika sudah menunggu saya di dalam kereta. Saya melangkahkan kaki dengan wajah menunduk. Inilah awal segala dendam berdenyut mengaliri seluruh urat nadi saya.
Kereta bergerak, membawa saya dan adik-adik saya menuju Astina.
Brengsek! Semua ini gara-gara Bisma sialan itu. Saya tahu Bisma tak terkalahkan. Tapi tidak semestinya dia membawa saya dalam rombongan kereta ini. Sebab bukankah hanya Ambika dan Ambalika yang belum berjodoh? Sebab bukankah saya sudah memilik tautan hati dengan Kangmas Salwa, raja Saubala? Kenapa Bisma tetap memboyong saya dan Baginda malah membiarkan saja?
Kemarahan menghantam seluruh urat nadi saya. Saya sungguh tak bisa menerima semua kekeliruan ini.
Saya merasakan roda kereta seperti menggerus dada, memerih hingga ke tulang, mencabik-cabik hati saya, menjadi layaknya debu yang berhamburan di sisi kanan-kiri kereta yang melaju kencang.
Menyadari saya adalah seorang perempuan yang tak memiliki kuasa apa-apa bahkan atas tubuh dan keinginan saya sendiri membuat hati saya perih. Padahal saya anak raja. Padahal saya bukan perempuan kebanyakan. Apakah akan selalu demikian nasib para perempuan?
Tapi baiklah, untuk sementara saya menurut saja. Tapi kelak saya akan membuat perhitungan dengan Bisma.
PADA malam sesampai di Astina saya langsung menemui Bisma. Saya menyampaikan protes secara baik-baik. Di taman itu, saya berkata padanya; “Seharusnya kau tahu, saya tak sepantasnya diboyong ke Astina. Hati saya sudah terpaut dengan Salwa. Kau memang telah mengalahkannya. Tapi saya mohon jiwa ksatriamu terketuk untuk mengembalikan saya padanya.”
Bisma berkata tanpa memandang wajah saya, “Ayahmu sendiri yang menyerahkan dirimu dan adik-adikmu setelah sayembara itu. Seorang anak raja tidak seharusnya membantah perintah rajanya. Apalagi kau hanya seorang perempuan.”
Bisma menyalin ulang aturan yang telah menjadi semacam dogma itu. Saya ingin menamparnya, menyobek-nyobek mulutnya dan mengatakan bahwa perempuan, anak raja atau bukan, berhak untuk menetukan keinginannya sendiri.
Tapi saya mencoba menenangkan diri dan menerangkan situasi rumit yang saya hadapi dengan pelan-pelan. Saya katakan tidak mungkin saya meninggalkan Salwa. Apalagi ternyata bukan dia sendiri, Bisma maksud saya, yang akan mengawini saya dan adik-adik saya, tapi Wicitrawirya, adik tirinya. Sebab saya mendengar dia telah bersumpah tak akan menikah seumur hidupnya.
Saya bertanya, jika dia telah bersumpah wadat, lalu untuk apa mengikuti sayembara?
“Setelah kemenangan itu, akulah yang paling berhak atas diri kalian. Bahkan Darmahumbara, ayahmu, pun tak punya kuasa untuk mengatur-atur kalian lagi.”
Saya katakan lagi bahwa sekarang dia memang berkuasa atas kami, saya dan adik-adik saya. Oleh karena itu, dia pun sebenarnya berkuasa untuk mengembalikan saya ke Salwa. Saya katakan padanya agar mengambil Ambika dan Ambalika saja. Sebab saya mencintai Salwa.
“Percayalah, adikmu tak akan bahagia menikahi saya karena hati saya sudah saya berikan untuk Salwa. Saya pasti juga tidak akan bahagia menjadi istri adikmu itu. Jadi kembalikan saya ke Saubala negeri Salwa.”
Saya bersyukur karena Bisma mau menerima penjelasan saya. Dia mengatakan salah dan meminta maaf. Bisma kemudian berjanji akan mengantarkan saya kepada Salwa pagi-pagi buta.
Sungguh, malam itu saya merasa amat bahagia. Saya mengucapkan terima kasih pada Bisma dan kembali ke keputren dengan hati berbunga-bunga. Ah, di balik kesombongannya, Bisma ternyata masih bisa menghargai keinginan seorang perempuan.
Malam itu saya memang pantas berbahagia. Bagi saya, ini bukan semata-mata pergi dari Astina, tapi juga berarti kebebasan saya untuk menjadi perempuan yang bisa menentukan apa yang saya mau. Sebab itulah hakikat hidup. Jika kita tak bisa melakukan apa yang kita mau lakukan, untuk apa hidup?
Semalaman itu saya malah tak bisa memejamkan mata. Rasa kangen pada Kangmas Salwa mengalir deras ke seluruh nadi saya. Saya tak sabar menungu pagi tiba. Kangmas Salwa pasti tak menyangka saya akan datang. Semuanya memang serba tak terduga. Tapi Bisma akan menjelaskan semua kesalahpahaman ini.
SIANG itu saya bertemu Kangmas Salwa di pendapa Saubala. Hati saya sangat bergelora menyampaikan bahwa saya telah bebas dari Bisma dan ingin segera menikah dengannya. Tapi semuanya sungguh tak seperti yang saya sangka. Kangmas Salwa bukannya berbahagia dengan kabar yang saya bawa, tapi malah marah besar dan berkata sambil membelakangi saya.
“Aku seorang raja, tak pantas menerima barang yang telah dibuang. Saat ini juga aku bisa mendapatkan seribu perempuan yang lebih baik darimu. Pergilah dan jangan pernah lagi datang ke tempat ini.”
Tak terbayangkan rasa terhina saya. Kemarahan saya menjalar ke seluruh tubuh. Ketika saya sampaikan kabar ini pada Bisma, laki-laki yang mulai beranjak tua itu hanya menasihati saya untuk menerima nasib dan bersabar.
Dia berkata, “Wicitrawirya tak mungkin menjadikanmu permaisuri karena hatimu telah mendua. Aku merasa kasihan kepadamu. Tapi aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku telah bersumpah tak akan menikah. Tak akan kujilat kehormatanku dengan menikahimu.”
Saya seperti bunga tanjung yang jatuh. Tidak ada yang bisa menolong saya. Saya katakan pada Bisma; “Kaulah pangkal dari semua malapetaka ini. Demi segala dewa, aku bersumpah kelak akan membunuhmu.”
Malam itu saya berlari ke hutan dan terus menerus mengutuki Bisma. Malam itu, saya putuskan untuk menjadi pertapa. Saya ingin menjadi sakti dan membunuh Bisma. Saya tahu, ini sangat berat. Tapi inilah pilihan terbaik dari pada bunuh diri. Saya tak ingin mati sia-sia atas nama kehormatan. Bagi saya, semua urusan harus diselesaikan sebelum kematian datang.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/bisma-gugur2.jpg?w=535&h=404
SISA debu pertempuran masih beterbangan pada hari terakhir perang besar Baratayuda itu. Menjelang senja, para Kurawa dan Pandawa menepi. Di depan mereka, di bawah pohon besar Kurusetra, Bisma baru saja ambruk. Semua membisu. Semua tertunduk. Semua diam dengan dada tetap bergemuruh.
Di atas tubuh Bisma yang sekarat, seorang perempuan berkelebat mendekat. Amba. Tak ada yang bisa melihat perempuan yang tetap jelita ini kecuali Bisma. Para kurawa dan Pandawa seperti tak terusik dengan kedatangan Amba, dan terus meratapi Bisma.
Di ambang petang itu, Amba menatap wajah Bisma yang mulai berat. Ia seperti sedang berkata-kata dengan laki-laki yang tak tergeletak tak berdaya itu.
Inilah akhir dari kesombonganmu, Bisma. Kau sendiri yang telah menculikku, tapi kau pula yang campakkan aku demi sesuatu yang kau sebut kehormatan. Aku terpedaya olehmu. Tertipu.
Di tengah hutan setelah kau siakan aku beberapa tahun lalu itu, hatiku memang benar-benar lumat. Menyedihkan memang, cintaku terkatung-katung dalam kisah yang berakhir tak membahagiakan. Aku menjadi perempuan boyongan, dianggap rongsokan oleh kekasihku sendiri, dan ditolak Wicitrawirya, laki-laki untuk siapa sebenarnya aku disayembarakan. Dan kau sendiri melepas tanggung jawab.
Mengapa Bisma, mengapa harus seseorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?
Kau tahu, Bisma, betapa aku ingin menjelma srigala yang tega mencabik-cabik tubuhmu. Ingin aku beralih rupa menjadi ribuan anak panah yang meluncur deras dan menembus tubuhmu, membuat daging dan kulitmu serupa serpihan-serpihan hingga tak sedebu pun darimu tersisa. Aku ingin membunuhmu!
Di hutan itu, aku memohon kepada para dewa untuk menjadikanku sakti mandraguna. Apa pun akan kuberikan, bahkan nyawaku, asal para dewa memberi jalan agar aku bisa membunuhmu.
Beruntung dewa-dewa itu bermuka dua. Mereka kabulkan permohonanku. Enam tahun aku menunggu saat seperti ini tiba, Bisma. Aku bertemu Srikandi, putri Drupada yang banci itu. Aku ajari dia ilmu kanuragan, memanah dan menunggang kuda, pemberian dewa-dewa. Aku memang meniru apa yang dilakukan oleh Bargawa yang karena dendamnya kepada para satria, menurunkan semua ilmunya kepada para brahmana termasuk kau. Aku memilih Srikandi bukannya tanpa alasan. Sebab, bagiku, kau memang hanya pantas bertarung dengan Srikandi yang banci itu.
Bisma, di usiamu yang senja ini, kau pasti mulai kesepian. Tapi aku tahu, saat-saat seperti ini, kematian bagimu adalah cita-cita. Tenangkan hatimu, Bisma, karena saat itu akan segera tiba. Panah Hrusangkali yang menembus lehermu dari busur Srikandi tak akan menyembuhkanmu. Sebab aku telah menjadikannya sebagai jalan kematianmu.
Tak perlu ada yang disesali. Telah sama kita tetapkan hari kematianmu pada hari terakhir perang besar ini. Semua telah terlanjur. Tak ada lagi yang bisa ditahan. Meski aku tahu, sampai saat ini, aku hanyalah seorang perempuan yang ingin membunuhmu. Tak apa. Kau mati di tangan siapa, bagiku, sama saja. Setelah semua ini, aku pun tak akan pernah lagi mengalirkan air kepedihan dari mataku.
Hening melumat. Di tengah napasnya yang makin memberat, Bisma tersenyum. Hari itu, senja begitu sangat kekalnya di Padang Kurusetra.***

1) Petikan sajak “Dongeng Sebelum Tidur”, Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 Goenawan Mohammad.


RelatedAdiparwa (1)

Adiparwa (Sansekerta आदिपर्व) adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa). Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.
Bagian-bagian
Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di antaranya:
Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan Waisampayana (Waiçampāyana). Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas kegagalan kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.
Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing parwa.
Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.
Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau upacara pengorbanan ular.
Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja Janamejaya.
Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular.
Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan bulan.
Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga Taksaka.
Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan Astika mengurungkan kurban ular ini.
Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala (Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata. Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada lahirnya Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para Pandawa, dan sang Widura.
Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.
Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhîma) mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.
Ringkasan isi Kitab Adiparwa
Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa[1]. Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).
Mangkatnya Raja Parikesit
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Ia merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa[1]. Pada suatu hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak. Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu). Hal tersebut membuat Raja Parikesit marah. Ia mengambil bangkai ular, kemudian mengalungkannya di leher sang pendeta.
Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang Kresa, kemudian ia menjadi marah. Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular, tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Setelah Sang Raja menerima kutukan tersebut, maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh prajurit dan para patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular. Pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Akhirnya Sang Raja mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu[1].
Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular
Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
Wesampayana menuturkan Mahabharata
Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
Garis keturunan Maharaja Yayati
Leluhur Maharaja Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama Maharaja Yayati, beliau memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu, dan Puru. Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru disebut Paurawa.[1]
https://mahabhrata.files.wordpress.com/2010/07/gbr1.jpg?w=640&h=248
Dalam silsilah generasi Paurawa, lahirlah Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha[1]. Sang Bharata menurunkan Dinasti Bharata. Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebuah tempat yang disebut Kurukshetra, kemdian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti Kuru[1].
Setelah beberapa generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapura. Prabu Santanu memiliki dua istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga melahirkan Bhisma, sedangkan Satyawati melahirkan Chitrāngada dan Wicitrawirya. Karena Chitrāngada wafat di usia muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi tahta, maka Wicitrawirya melanjutkan pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua permaisuri, yaitu Ambika dan Ambalika. Dari Ambika lahirlah Drestarastra dan dari Ambalika lahirlah Pandu. Drestarastra memiliki seratus putera yang disebut Korawaçata (seratus Korawa) sedangkan Pandu memiliki lima putera yang disebut Panca Pandawa (lima putera Pandu).
https://mahabhrata.files.wordpress.com/2010/07/gbr2.jpg?w=640
Kisah Prabu Santanu dan keturunannya
https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f6/Ravi_Varma-Shantanu_and_Satyavati.jpg/240px-Ravi_Varma-Shantanu_and_Satyavati.jpgTersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura. Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera. Di antara ketiga putera tersebut, Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian berputera 8 orang. Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja. Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya[1]. Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit pincang[1]. Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.
Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa. Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.
Terbakarnya rumah damar
Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba.
Pandawa mendapatkan Dropadi
Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik. Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, “Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta”. Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata, “Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh”. Ketika ia menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri[1].
Arjuna mengasingkan diri ke hutan
Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubungannya dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.
Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan melainkan meloncat-loncat[1].
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir kisahnya.
Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya
Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.
Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya[1].
Kisah pemutaran Mandaragiri
Kurma Awatara sebagai kura-kura yang menjadi dasar Mandaragiri
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta (air suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.
Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya. Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.
Kisah Sang Garuda dan para Naga
https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/5c/Taal_van_het_Adiparwa.jpg/240px-Taal_van_het_Adiparwa.jpgDikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
Bahasa dan sejarah
Adiparwa versi Jawa Kuna yang dicetak ulang oleh Phalgunadi dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1990
Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tidak tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).
Pengaruh dalam budaya
Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan[2]. Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa.[2] Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli[2]. Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa[2].
Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut Mulyono dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa[3]. Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam[3]. Pancawala yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera Yudistira saja[3].
Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah dari Duryodana.
Niat licik Duryodana dan Sangkuni
Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni.
Sangkuni berkata, “Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan”.
Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.
Pandawa dan Korawa main dadu
https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/ee/Draupadi_humiliated_RRV.jpg/300px-Draupadi_humiliated_RRV.jpgDropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan kalah main dadu dengan Korawa
Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian.
Yudistira berkata, “Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan”. Setelah mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, “Ma’af paduka Prabu. Saya kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?”
Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.
Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.
Dropadi dihina di muka umum
The-attempted-disrobing-of-Draupadi-thumb
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna
Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira.
Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.
Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, “Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?”, ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.
Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, “Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!”
Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, “Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami sampai lima orang?”
Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo’a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do’a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.
Pandawa dibuang ke tengah hutan
Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi.
Dretarastra berkata, “O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha”.
Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.
Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.
Sabhaparwa di Indonesia, Kitab Sabhaparwa juga dikenal dalam khazanah Sastra Jawa Kuna.

Wanaparwa (3)

Wanaparwa adalah buku ke-3 Mahababharata dan merupakan terusan langsung buku ke 2; Sabhaparwa. Di dalam Wanaparwa diceritakan bagaimana para Pandawa dan dewi Dropadi harus hidup di hutan selama 12 tahun karena Yudistira kalah berjudi.
Cerita ini bermula ketika Yudhistira kalah bermain judi dengan para Kurawa, kemudian dia kalah dengan memepertaruhkan kerajaan dan negaranya. Tidak tanggung-tanggung para Kurawa memberi beban kepada para Pandhawa untuk melakukan masa pembuangan. Di dalam pembuangan itu para pandhawa melakukan penyamaran. Di dalam masyarakat jawa sendiri ini biasa disebut dengan istilah “Kodrat Wiradat” yaitu takdir Tuhan tidak bersifat mutlak. Seseorang mengatakan kegagalan suatu usaha karena alasan adalah takdir. Boleh jadi kegagalan yang kita peroleh itu karena sifat sembrono, urakan, ugal-ugalan, dan kelalaian manusia sendiri. Nasib ini lantas jangan menjadikan kecil hati, bagi mereka yang cukup gigih dan kreatif tentu akan optimis dalam menghadapi masa depan. Andaikan Yudhistira tidak suka berjudi dan tidak terpancing dengan emosi sesaatnya mungkin hal ini tidak akan terjadi. Setelah para Pandhawa pergi meninggalkan istana dmuan menuju hutan Kamyaka.
Saat di hutan, para pandhawa bertemu dengan Rsi Byasa, seorang guru rohani yang mengajarkan agama hindu kepada pandhawa dan Dropadi, istri mereka. Atas saran Rsi Byasa maka Arjuna melakukan tapa di gunung Himalaya agar memperoleh senjata sakti yang kelak digunakan dalam perang Bharatayudha. Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa Indra. Setelah mendengarkan laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai seorang pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat anugerah dari Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Siwa. Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu.
Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta ma’af kepada Sang Dewa karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa memberi anugerah berupa panah sakti bernama “Pasupati”. Karena Arjuna Lila legawa dapat diterjemahkan dengan rela dan ikhlas. Yakni sikap seseorang yang lapang dada, terbuka hati, berani kehilangan, dan tidak mau menyesali kerugian atas dirinya. Bencana, kesulitan dan cobaan dari mana pun datangnya dianggab seolah-olah tidak pernah terjadi. Dalam tembang Jawa ada pesan lila lamun kelangan nora gegetun, ‘rela bila kehilangan tidak menyesali, diterima dengan hati ikhlas’. Kerugian yang terjadi karena orang lain hatinya memaafkan. Kerugian karena lingkungan, hatinya menganggap sesuatu yang alamiah. Kerugian karena bencana mendadak, hatinya menganggap sudah menjadi kehendak Tuhan. Orang yang lila legawa tidak pernah ada beban dalam pikirannya. Sikap inilah yang dilakukan Arjuna, dia ikhlas dalam melakukan perbuatannya. Jika Arjuna tidak memiliki sikap seperti ini maka dia tidak akan memiliki senjata yang sangat kuat seperti panah Pasupati pemberian dewa Siwa yang takjub akan tapa yang dilakukan Arjuna dan sikap lilanya demi sebuah cita-cita yang mulia.
Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan. Inilah yang dimaksud dengan Becik ketitik, ala ketara. Duryudana yang tadinya berniat jahat malah kena akibat jahat, sedangkan pandhawa yang mempunyai sifat baik rela menolong. Sifat seperti inilah yang mesti ditumbuh kembangkan dikehidupan masyarakat luas.
Pada waktu di hutan pernah terdapat kejadian Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut. Sifat pemaaf merupakan sikap asor yang tak bisa lepas dari sifat pandhawa. Setiap orang tidak aka nada yang sempurna, walaupun para pandhawa ini kuat dan suka menolong tetapi mereka juga memiliki sikap buruk seperti Yudhistira yang suka main judi, janaka yang suka bermain judi dan sebagainya.
Peristiwa lainnya, adalah ketika Droupadi menemukan bunga yang sangat harum dan meminta Bhima untuk mencarikan bunga tersebut untuk ditanam. Bhima pergi mencari hingga sampailah ia di kaki suatu gunung dan ia melihat seekor kera besar bersinar-sinar berbaring tidur menghalangi jalannya. Ia coba mengusirnya dengan berteriak-teriak agar mahluk itu takut. Mahluk itu hanya membuka sebelah matanya dengan malasnya dan berkata, ‘aku lagi kurang nyaman makanya aku tidur disini mengapa engkau membangunkanku, Engkau adalah manusia bijaksana dan aku hanya binatang, seharusnya manusia yang rasional berbelas kasih pada bnatang sepertiku. Aku khawatir engkau ini tidak mengindahkan mana kebenaran dan kejahatan. Siapa kamu? Ngga mungkin engkau melanjutkan perjalanan lebih lanjut lagi, karena ini merupakan jalan dewa2, manusia ngga boleh melewati batas ini. Makan saja buah2 yang ada disini sesukamu dan pergilah dengan damai.
Bhima yang tidak biasa dianggap enteng menjadi marah dan berteriak,’Lho kamu ini siapa, kamu ini hanyalah kera namun sok berbicara tinggi, aku adalah Ksatriya, pahlawan keturuna Kuru dan anak dari Kunti. Aku adalah anak dari Deva Vayu, Ayo menyingkir!’. Mendengar ini, kera itu hanya tertawa dan berkata ‘Saya ini hanya kera, namun engkau akan mengalami kehancuran apabila memaksa jalan terus’. Bima berkata,’ itu bukan urusanmu, menyingkirlah atau aku singkirkan engkau!’. Kera itu berkata,’Aku tidak punya kekuatan untuk berdiri, jika engkau bersikeras untuk terus untuk pergi, lompati saja aku’ Bima berkata,’Ya itu sih mudah, namun kitab suci melarang iu, kecuali aku melompatimu dan gunung dalam satu lompatan seperti yang dilakukan Hanuman menyebrangi lautan. Kera itu berkata,’ Siapa Hanuman yang menyebrangi Lautan itu, ceritakanlah cerita itu padaku’.
Bima berkata ‘Belum pernah dengar Hanuman? Ia adalah kakak ku, yang dengan loncatanya menyebrangi lautan untuk mencari Sita istri Rama, Aku setara dengannya dalam hal kekuatan dan Kegagahan. Ah sudah cukup berbicara, ayo menyingkirlah dan memberi jalan, jangan memprovokasiku untuk menyakitimu. Kera itu berkata,’ Ah orang gagah, bersabarlah, lembutlah karena engkau kuat, berbelas kasihlah pada yang lemah dan tua. Aku tak berkekuatan untuk berdiri, karena kitab mu melarang untuk melompatiku, ya sudah singkirkan saja ekorku ini agar engkau dapat melanjutkan perjalanan’.
Bangga dengan kekuatannya, Ia pikir dapat dengan mudahnya menarik ekor Kera itu ke sisi jalan, namun ternyata hingga ia menggunakan seluruh kekuatannya ekor itu tidak bergerak sama sekali kemudian dengan malu ia berkata,’Maafkan aku, Apakah engkau adalah orang sakti, Gandharva atau Dewa?’ Hanuman berkata,’ Oh Pandava, Aku adalah kakakmu yang engkau sebut tadi, jika engkau melewati jalan yang merupakan jalan menuju dunia fana dimana Yaksha dan raksasa tinggal, engkau akan menghadapi bahaya dan itulah sebabnya aku menghalangimu. Tidak ada manusia yang dapat melewati jalan ini dan tetap hidup, namun di bawah sana ada aliran sungai dimana engkau akan temukan bunga saugandhika yang engkau cari itu’. Jangan sampai melihat dari luarnya, dalam istilah jawa terdapat istilah “Bathok Bolu Isi Madu” jangan melihat sesuatu dari luarnya, tapi perhatikan dan resapi baik-baik apa yang dapat kita peroleh nantinya bisa jadi yang kita peroleh adalah contoh suri tauladan yang memberikan kebaikan kepada kita dan orang banyak. Seperti di dalam kiksah diatas, sang Bima belum mengetahui siapa kera yang besar itu, dia terlalu cepat marah karena merasa diremehkan, sang Bima juga terlalu mengagungkan kekuatannya sendiri dan itu malah membuatnya sombong sehingga  dia merasa malu karena kera tersebut lebih kuat dari dirinya. Hanya mengangkat ekornya saja sang Bima tidak sanggup.
Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan 12 tahun, Yudistira dan keempat adiknya membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul pula. Yudistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.
Yudistira kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah telaga. Muncul seorang raksasa yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka menolak menjawab pertanyaan sang raksasa. Sambil menahan haus, Yudistira mempersilakan Sang Raksasa untuk bertanya. Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia jawab. Akhirnya, Sang Raksasa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Raksasa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.
Raksasa terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan raksasa adalah untuk memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.
Sifat keadilan merupakan sifat luhur, yang mana setiap orang belum tentu memiliki sikap seperti ini. Sikap adil akan menghasilkan kebaikan untuk semuanya, seperti kisah diatas karena keadilan sang Yudhistira maka diapun bisa melihat saudaranya-saudaranya kembali hidup. Andaikan Yudhistira tidak memiliki sikap seperti ini bisa dikatakan Yudhistira tidak akan melihat saudaranya hidup kembali. Kemudian sikap sabar yang dimiliki Yudhistira juga menghasilkan kebaikan untuk dirinya dan orang banyak. Walaupun banyak hambatan tetapi tetap sabar, dan bersedia menerima hal tersebut lila legawa.
Buku Wanaparwa merupakan dasar inspirasi karya sastra Jawa Kuna; kakawin Arjunawiwaha karangan empu Kanwa.
Wirataparwa menceritakan kisah ketika para Pandawa harus bersembunyi selama setahun setelah mereka dibuang selama duabelas tahun di hutan. Kisah pembuangan ini diceritakan di Wanaparwa.
Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata. Jika mereka ketahuan, maka harus dibuang selama 12 tahun lagi. Di sana sang Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama Kangka. Sang Werkodara menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat bernama Balawa. Lalu sang Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi. Sang Nakula menjadi seorang penggembala kuda dan sang Sadewa menjadi penggembala sapi. Lalu Dewi Dropadi menjadi seorang perias bernama Sairindi.
Alkisah patih Wirata, sang Kicaka jatuh cinta kepada Sairindi dan ingin menikahinya. Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu sang Balawa membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat samaran mereka ketahuan.
Lalu negeri Wirata diserang oleh musuh Pandawa, para Korawa dari negeri Astina. Para Pandawa berperang melawan mereka, membela Wirata. Setelah perang usai, kedok mereka ketahuan. Tetapi mereka sudah bersembunyi selama setahun, jadi tidak apa-apa.
Catatan Pinggir 
Kerajaan Wirata (bahasa Sansekerta Virā
a) adalah kerajaan yang didirikan oleh Raja Dinasti Matsya bernama Wirata. Di kerajaan ini Pandawa menghabiskan tahun ketiga belas dalam masa penyamarannya (Ajgnata Vasa) setelah dua belas tahun menjalanai kehidupan di hutan (Vana Vasa) di hutan Kamyaka dan Dwaita. Ibukotanya adalah Wirata Nagari, di zaman sekarang disebut Bairat di Distrik Jaipur, Rajasthan. Upaplawya merupakan kota lain di kerajaan tersebut dimana Pandawa dan sekutunya berkemah seblum dimulainya perang besar di Kurukshetra.
Raja Wirata dan para puteranya turut bertempur dan gugur. Puteri Wirata bernama Utara menikahi putera Arjuna bernama Abimanyu dan menurunkan Parikesit yang kemudian menjadi Raja Kuru setelah masa pemerintahan Pandawa
Wirata (Sanskerta:
विराट ;Virāa) alias Matsyapati (Raja Matsya) merupakan seorang raja yang menolong para Pandawa untuk bersembunyi selama masa pengasingannya. Ia berasal dari Dinasti Kerajaan Matsya dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Wirata. Raja Wirata memiliki tiga putera bernama Utara, Sweta dan Sangka. Ia turut serta dalam perang di Kurukshetra dan memihak Pandawa. Dalam pertempuran, ia dan seluruh puteranya terbunuh oleh para kesatria Korawa.
Kerajaan Matsya ( Sansekerta: matsya; ikan ) merupakan kerajaan di India yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Mereka membentuk suatu komunitas lalu menjadi kerajaan. Kerajaan ini muncul dalam Wiracarita Mahabharata.
Pada kisah epik Mahabharata, Raja Wirata merupakan seorang Raja dari Matsya, yang kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Wirata. Satyawati, istri Prabu Santanu, berasal dari kerajaan Matsya.
Hastinapura, Hastinapura (Sanskerta: हस्तिनापुर ;Hastināpura) adalah sebuah kota dan Nagar Panchayat di distrik Meerut, Uttar Pradesh,India. Hastinapura berasal dari kata Hasti (gajah) + Pura (kota). Banyak kejadian dalam kisah Mahabharata yang terjadi di Hastinapura. Pada masa kini, di India, kota ini disebut Hastinapur, jaraknya 120 km dari Delhi. Di sana terdapat objek wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Kuil Jain dan Taman Nasional
Hastinapura masa kini Di masa kini, Hastinapura merupakan kota kecil di wilayah Doab di Uttar Pradesh, dan disebut Hatsinapur, 37 km dari Meerut 120 km dari Delhi. Populasi sekitar 20.000 jiwa. Perjalanan ke sana dapat ditempuh dengan bus dari Meerut yang siap sedia dari jam 7 pagi sampai 9 malam. Jalanan bagus dan bersih dengan pemandangan hijau dan hamparan persawahan di kiri-kanan. Di sana terdapat objek wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Kuil Jain dan Taman Nasional Hastinapur.
Indraprastha ,Indraprastha (Sanskerta: इन्द्रप्रस्थ ;Indrapraśtha) adalah sebuah kota besar di India utara pada zaman dahulu kala. Kota ini muncul dalam kisah wiracarita Mahābhārata dan diperintah oleh Panca Pandawa. Kota ini terletak di tepi sungai Yamuna, lokasinya dekat dengan ibukota India zaman sekarang, Delhi. Sebelum dikenal sebagai Indraprastha, kota ini dikenal sebagai Kandawaprastha.
Menurut kitab Mahabharata, konon Kandawaprastha merupakan ibukota kerajaan besar di India pada zaman dahulu kala, dan diperintah oleh para leluhur Pandawa dan Korawa, seperti misalnya Maharaja Pururawa, Nahusa, dan Yayati. Namun kota tersebut menjadi gersang akibat kutukan para resi, untuk menghukum putra Budha.
Saat diberikan kepada Pandawa, Kandawaprastha merupakan kota gersang. Melihat keadaan itu, Sri Kresna memanggil Indra, pemimpin para Dewa, untuk membantu Yudistira memperbaiki keadaan negeri tersebut. Dewa Indra memunculkan Wiswakarman, arsitek para Dewa yang merancang kota megah. Dengan suatu upacara, Wiswakarman berhasil mengusir segala penyakit di negeri tersebut dan menyuburkan kembali daerah yang gersang. Sesuai janji Kresna, Kandawaprastha akan diberi namaIndraprastha jika Indra mampu mengubah keadaan Kandawaprastha. Perlahan-lahan kota tersebut menjadi kota yang makmur dan berduyun-duyun orang-orang dari negeri tetangga bermigrasi ke negeri baru tersebut. Kota Indraprastha pun menjadi kota besar. Setelah Yudistira naik tahta, kota Indraprastha tetap mendapat pengawasan dari Hastinapura.
Konon Indraprastha berumur 50.000 tahun. Legenda mengatakan bahwa Indraprastha terletak di wilayah Purani Choot sekarang ini. Sebuah desa bernama Indraprat ada di Delhi sampai permulaan abad ke-20, kemudian digusur dan kota New Delhi dibangun di atasnya. Penggalian di wilayah perbukitan Indraprastha, ibukota para Pandawa, seperti yang ditunjukkan Purana Qila menemukan bukti bahwa daerah itu pernah didiami selama hampir 2.500 tahun.
Semenjak catatan sejarah India banyak yang tak jelas, tidak diketahui apa yang terjadi setelah zaman Mahabharata. Indraprastha sempat menjadi kota besar selama berabad-abad, dari zaman Kerajaan Maurya sampai Kerajaan Gupta di India, namun kurang terkenal karena berdirinya kota-kota seperti Pataliputra, di sebelah tenggara daerah aliran sungai, yang menjadi sumber dua kerajaan terkuat di India. Indraprastha diserbu oleh bangsa Hun setelah jatuhnya Kerajaan Gupta.
Raja Hindu bernama Dhilon konon membangun kota Delhi Kuno, dekat dengan Indraprastha.
Sejarah Indraprastha versi Jawa
Sejarah ini dikenal dengan kisah atau lakon Babad Alas Wanamarta. Korawa yang telah merasa berhasil membunuh Pandawa dalam cerita Bale Sigalagala terkejut ketika mengetahui ternyata Pandawa masih hidup. Prabu Duryudana yang tidak ingin kerajaan Astina atau Hastina diminta oleh Pandawa selaku penguasa yang sah mencari berbagai cara agar bisa membunuh kembali Pandawa. Untuk memperhalus niatan tersebut, Pandawa diberikan daerah yang masih berupa hutan yang bernama hutan Wanamarta (Wana berarti Hutan). Hutan tersebut terkenal keangkerannya, begitu angkernya sehingga digunakan istilah “Manusia Datang, Manusia Mati, Hewan Datang, Hewan Mati” (Jalma Mara, Jalma Mati, Sato Mara, Sato Mati) untuk menggambarkan keangkerannya.
Pandawa kesulitan dalam membuka hutan Wanamarta karena dikuasai oleh lima makhluk halus yang wajahnya mirip dengan para Pandawa. Kelima makhluk halus tersebut adalah Yudistira yang mirip dengan Prabu Puntadewa, Dandungwacana yang mirip dengan Bima, Dananjaya yang mirip dengan Arjuna, Nakula dan Sadewa yang mirip dengan si kembar Pinten dan Tansen. Kelima penguasa Wanamarta ini tidak sudi diganggu ketenangannya. Arjuna yang mempunyai minyak Jayengkaton mengoleskannya ke setiap mata Pandawa agar dapat melihat kelima makluk halus penguasa Wanamarta.
Akhirnya Pandawa dapat mengalahkan kelima penguasa hutan Wanamarta tersebut dan kelimanya menitis masuk kedalam tubuh para Pandawa sehingga Pandawa memiliki nama yang sama dengan para penguasa hutan Wanamarta tersebut serta seketika itu juga hutan Wanamarta berubah menjadi kerajaan yang megah luar biasa bernama Indraprastha atau Amarta.
Sebagai bentuk syukur atas berdirinya kerajaan Indraprastha atau Amarta ini atas petunjuk Sri Batara Kresna maka dilakukan upacara yang disebut dengan Sesaji Raja Surya atau Sesaji Rajasuya.

https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/7/78/Rajasuya.jpg/240px-Rajasuya.jpg

Rajasuya adalah sebuah upacara yang diselenggarakan oleh Para Raja pada zaman India Kuno. Upacara tersebut sangat terkenal, selayaknya upacara Aswamedha. Rajasuya maupun Aswamedha sama-sama merupakan upacara yang hanya bisa dilakukan apabila seorang Raja merasa cukup kuat untuk menjadi penguasa.
Seperti Aswamedha, selama persiapan upacara Rajasuya, para jendral ( patih, saudara, atau ksatria yang masih sekerabat) melakukan kampanye dengan menaklukkan daerah-daerah (kerajaan) di sekitar mereka, sekaligus mengambil upeti dari kerajaan yang berhasil ditaklukkannya. Raja yang kalah harus bersedia untuk memberikan upeti dan mau menghadiri penyelenggaraan upacara.
Terdapat perbedaan antara upacara Aswamedha dengan Rajasuya. Pada saat upacara Aswamedha, kampanye militer dilakukan dengan melepaskan seekor kuda lalu para prajurit mengikuti kuda tersebut dan daerah yang dilalui kuda tersebut ditaklukkan, sedangkan dalam upacara Rajasuya, kuda tidak diperlukan. Para prajurit menaklukkan kerajaan sekitar sesuai dengan apa yang sudah mereka rencanakan.
Upacara Rajasuya yang terkenal diselenggarakan Rajasuya yang diselenggarakan oleh Yudistira, putera tertua Pandu di antara para Pandawa. Hal tersebut dijelaskan dengan detail dalam kitab Mahābhārata.

 

 

 

 

Udyogaparwa (5)

Kitab Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
Dalam Udyogaparwa, buku kelima Mahabharata ini sang Kresna berperan sebagai duta untuk menengahi konflik antara para Korawa dan para Pandawa. Tetapi bantuan beliau tidak berhasil dan akhirnya akan menjadi perang Bharatayuddha.
Kitab Udyogaparwa merupakan kitab kelima dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan sikap Duryodana yang tidak mau mengembalikan kerajaan para Pandawa yang telah selesai menjalani masa pengasingan selama 13 tahun berakhir. Pandawa kembali untuk mengambil kembali negeri mereka dari tangan Korawa. Namun pihak Korawa menolak mengembalikan Kerajaan Indraprastha dengan alasan penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata telah terbongkar.
Pandawa yang selalu bersabar mengirimkan Krisna sebagai duta perdamaian ke pihak Korawa, namun usaha mereka tidak membuahkan perdamaian. Sebagai seorang pangeran, Pandawa merasa wajib dan berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan, maka akhirnya hanya meminta lima buah desa saja. Tetapi Duryodana sombong dan berkata bahwa ia tidak bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa, bahkan seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang tak bisa dihindari. Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.
Dalam kesempatan itu, Kresna menemui Karna dan mengajaknya berbicara empat mata. Ia menjelaskan bahwa para Pandawa sebenarnya adik seibu Karna. Apabila Karna bergabung dengan Pandawa, maka Yudistira pasti akan merelakan takhta Hastinapura untuknya.
Karna sangat terkejut mendengar jati dirinya terungkap, Dengan penuh pertimbangan ia memutuskan tetap pada pendiriannya yaitu membela Korawa. Ia tidak mau meninggalkan Duryodana yang telah memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para Pandawa dahulu. Rayuan Kresna tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna terhadap Duryodana yang dianggapnya sebagai saudara sejati.
—-
Versi Jawa Kuno
Kedatangan Kresna bukan untuk membuka jati diri Karna, melainkan hanya untuk penegasan saja. Seperti telah dikisahkan sebelumnya, Karna sudah mengetahui jati dirinya dari Batara Narada menjelang perkawinannya dengan Surtikanti. Jadi, Kresna hanya ingin memastikan sikap Karna membela Korawa atau Pandawa. Jawaban dan alasan Karna pun sama persis dengan versi MahaBharata.
Kresna dengan kepandaiannya berbicara akhirnya berhasil mengetahui alasan karna yang paling rahasia (Dialog Karna dengan Krisna sewaktu Widura dan Kunti mengantar Krisna beristirahat). Karna mengaku memihak Korawa demi kehancuran angkara murka. Ia sadar kalau Korawa adalah pihak yang salah. Setiap hari ia berusaha menghasut Duryodana supaya tidak takut menghadapi para Pandawa. Karna menjadi tokoh yang paling menginginkan perang terjadi, karena hanya dengan cara itu Korawa dapat mengalami kehancuran. Karna sadar sebagai seorang penghasut, dirinya harus memberi contoh berani dalam menghadapi Pandawa. Ia rela jika dalam perang nanti dirinya harus tewas bersama para Korawa. Ia bersedia mengorbankan jiwa dan raga demi untuk kemenangan para Pandawa dan kebahagiaan adik-adiknya itu. Kresna terharu mendengar rahasia Karna. Ia yakin meskipun selama di dunia Karna hidup bersama Korawa, namun kelak di akhirat pasti berkumpul bersama Pandawa.
Setelah pertemuan dengan Kresna, Karna ganti mengalami pertemuan dengan Kunti, ibu kandungnya. Kunti menemui Karna saat putera sulungnya itu bersembahyang di tepi sungai. Ia merayu Karna supaya mau memanggilnya “ibu” dan sudi bergabung dengan para Pandawa. Karna kembali bersikap tegas. Ia sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dulu membuangnya sehingga kini ia harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh. Ia menolak bergabung dengan Pandawa dan tetap menganggap Radha istri Adirata sebagai ibu sejatinya. Meskipun demikian, Karna tetap menghibur kekecewaan Kunti. Ia bersumpah dalam perang Bharatayuddha kelak, ia tidak akan membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna.
Sebelumnya, Pandawa dan Korawa mempersiapkan kekuatannya dengan mencari bala bantuan dan sekutu ke seluruh pelosok Bharatawarsha (India Kuno). Arjuna dan Duryodana pergi ke Dwaraka untuk memohon bantuan dari Krishna
Duryodana datang terlebih dahulu, kemudian Arjuna. Krishna sedang beristirahat. Mereka masuk kekamarnya. Durodana duduk disisi Krishna, Arjuna berdiri tepat diujung kaki Krisna. Krisna kemudian terbangun dan membuka matanya melihat arjuna terlebih dahulu dan menyapanya Baru kemudian menyapa Duryodana. Ia menanyakan apa yang membuat mereka datang ke Dwaraka. Duryodana berbicara pertama bahwa Perang akan dimulai dan mereka meminta agar Krishna dan pasukannya membantu mereka, Ia juga menyampaikan bahwa Ia darang duluan. Krishna menyatakan bahwa mungkin benar Duryodana datang duluan, namun ia melihat Arjuna terlebih dahulu ketika terbangun, lagi pula adat yang berlaku selalu mempersilakan yang lebih muda untuk duluan. Untuk itu Krishna menyatakan bahwa Ia tidak bersedia bertempur secara pribadi. Sri Kresna mengajukan tawaran kepada Pandawa dan Korawa, bahwa di antara mereka boleh meminta satu pilihan: pasukannya atau tenaganya.
Pandawa yang diwakili Arjuna menginginkan Sri Kresna tanpa senjata Ia memohon Krishna bersedia mengendarai kereta perangnya dan menjadi penasihat Pandawa sedangkan Korawa yang diwakili Duryodana memilih pasukan Sri Kresna. Sri Kresna bersedia mengabulkan permohonan tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas terlebih lagi Duryodana merasa pilihan arjuna merupakan suatu kebodohan karena ia tahu ketangguhan dari pasukan Krisna namun setibanya Duryodana dikerajaan dengan gembira ia ceritakan keberuntungannya itu dihadapan Sangkuni. Sangkuni justru memakinya sebagai orang paling Bodoh dan mengatakan 1 orang Krisna tidak dapat dibandingkan dengan ratusan ribu Prajuritnya walaupun sekuat apapun Prajuritnya itu.
Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara Kresna. Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan ksatria gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan dari berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa memiliki tujuh divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa kerajaan pada zaman India kuno seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi, Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya dan wangsa Yadu dari Mandura bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa terdiri dari Raja Pragjyotisha, Anga, Kekaya, Sindhudesa, Mahishmati, Awanti dari Madhyadesa, Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika, Kamboja, dan masih banyak lagi.
Pihak Pandawa
Melihat tidak ada harapan untuk berdamai, Yudistira, kakak sulung para Pandawa, meminta saudara-saudaranya untuk mengatur pasukan mereka. Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh divisi. Setiap divisi dipimpin oleh Drupada, Wirata, Drestadyumna, Srikandi, Satyaki, Cekitana dan Bima. Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. MahaBharata menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di daratan India utara bersekutu dengan Pandawa dan memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka yakni: Kerajaan Kekeya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.
Pihak Korawa
Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa. Bisma menerimanya dengan perasaan bahwa ketika ia bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para Pandawa. Bisma juga tidak ingin bertarung di sisi Karna dan tidak akan membiarkannya menyerang Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna menyerang Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia tidak ingin penyerangan secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan bahwa kasta Karna lebih rendah. Bagaimanapun juga, Duryodana memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus Korawa dipimpin oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya — Duhsasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam pertempuran Korawa dibantu oleh Rsi Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa — Jayadrata, guru Kripa, Kritawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sangkuni, dan masih banyak lagi para ksatria dan Raja gagah perkasa yang memihak Korawa demi Hastinapura maupun Dretarastra.
Pihak netral
Kerajaan Widarbha dan rajanya, Raja Rukma dan juga kakak Kresna, Baladewa, berada pada pihak yang netral dalam peperangan tersebut. Baladewa netral karena kasih dan perdamaiannya pada duabelah pihak, namun netralnya Raja Rukma bukan karena ia tidak mau memihak, namun justru karena kesal dan merasa terhina oleh duabelah pihak
Kerajaan Widharba dahulunya dipimpin oleh Raja Bhismaka Ia mempunyai lima anak satu diantaranya wanita bernama Rukmini. Ia telah mendengar tentang Krisna dan kemasyurannya dan berharap dapat bersatu dengannya dalam satu perkawinan. Keluarganya menyetujui ide itu kecuali kakak tertuanya Rukma yang lebih mengingikan Rukmini dikawinkan dengan Sisupala raja Chedi.Karena raja semakin tua, Rukma menjadi dominan kehendaknya di kerajaan tersebut Rukmini menjadi takut bahwa ayahnya menjadi tidak berdaya. Kemudian ia mencari jalan mengatasi keadaan yang sulit ini. Ia kemudian meminta saran kepada seorang Brahmana yang kemudian pergi ke Drawaka untuk bertemu Krisna dan menyampaikan surat yang dikirim Rukmini.
“Hatiku telah menerimamu sebagai Tuhan dan pemimpin, Aku memintamu untuk datag dan menyelamatkanku dari Sisupala yang akan membawa ku dengan paksa. Hal ini tidak dapat ditunda lagi, datanglah esok. Pasukan Sisupala dan jarasandha akan berusaha menghadangmu sebelum engkau mendapatkanmu. Semoga engkau berkenan menyelamatkan ku. Dan sebagai bagian dari upacara perkawinan Aku akan berada di kuil untuk memuja Parvati (shakti Siva) bersama rombongan. Itu adalah saat yang terbaik untuk datang dan menyelamatkanku. Jika Engkau tidak hadir maka aku akan mengakhiri hidupku dan semoga akau akan bersatu dengan mu di kehidupan mendatang “
Setelah Krisna membaca itu, Ia segera menaiki keretanya menuju Kundinapura, Ibukota Widarbha. Balarama tahu kepergian yang tiba-tiba dan rahasia Krisna dan kemudian ia segera menyiapkan pasukan dan menuju Kundinapura. Di kuil Rukmini berdoa, ‘Oh Dewi, kuserahkan hidupku padamu”. Melangkah keluar kuil. Rukmini melihat Kereta Krisna dan segera berlari melayang bagikan jarum tersedot magnet menuju kereta Krisna. Krisna mengemudikan kereta dibawah pandangan kagum semua yang melihat mereka
Pengawal segera memberitahu Rukma mengenai apa yang terjadi, kemudian berkata ‘Aku tidak akan kembali sebelum membunuhnya!’ dan segera mengejar Krisna dengan pasukan yang besar. Sementara itu Balarama telah tiba dengan pasukannya dan pertempuran pun terjadi. Balarama dan Krisna pulang dengan memperoleh kemenangan.
Rukma yang telah kalah malu pulang kandang dan mendirikan kerajaan diantara Dwaraka dan menamakannya menjadi Bhojakata. Ketika Ia mendengar akan diadakan perang Khurkshetra, Rukma datang dengan pasukan besar berpikir untuk memperbaiki hubungannya dengan Krisna (Basudeva) dan menawarkan bantuan pada Pandawa
“Oh, Pandawa, Pasukan musuh begitu besarnya. Aku datang untuk menawarkan bantuan padamu. Berikan aku perintah dan aku akan menyerang semua tempat yang engkau perintahkan. Aku punya kekuatan untuk melawan Drona, Kripa dan bahkan Bhisma. Ku berikan kemenangan bagimu, katakanlah kehendakmu” Ujarnya pada Arjuna
Menoleh pada Basudeva, Arjuna tertawa
“Oh penguasa Bhojakata, Kami tidak mengkhawatirkan jumah musuh. Kami belum memerlukan bantuanmu. Engkau boleh menyingkir atau tetap di sekitar sini sesukamu”, Ujar Arjuna
Rukma yang merasa marah dan malu, pergi ke Duryodana dengan pasukannya, “Pandawa menolak bantuan ku, Pasukanku terserah engkau akan apakan”, katanya pada Duryodana
“Jadi, setelah Pandawa menolakmu bantuanmu makanya engkau datang kemari? Saya tidak setakut itu untuk menerimamu setelah mereka membuangmu’ jawab Duryodana
Rukma merasa terhina oleh duabelah pihak dan ia kembali kekerajaannya tanpa ambil bagian dari perang besar itu
Di kisahkan juga perjalanan Salya – “Sang Raja Madra” – menuju markas Pandawa karena memihak mereka, Salya membawa pasukan besar menuju Upaplawya untuk menyatakan dukungan terhadap Pandawa menjelang meletusnya perang besar di Kurukshetra atau Baratayuda. Di tengah jalan rombongannya singgah beristirahat dalam sebuah perkemahan lengkap dengan segala jenis hidangan.
Salya menikmati jamuan itu karena mengira semuanya berasal dari pihak Pandawa. Tiba-tiba para Korawa yang dipimpin Duryodana muncul dan mengaku sebagai pemilik perkemahan tersebut beserta isinya. Duryodana meminta Salya bergabung dengan pihak Korawa untuk membalas jasa. Sebagai seorang raja yang harus berlaku adil, Salya pun bersedia memenuhi permintaan itu.
Salya kemudian menemui para keponakannya, yaitu Pandawa Lima untuk memberi tahu bahwa dalam perang kelak, dirinya harus berada di pihak musuh. Para Pandawa terkejut dan sedih mendengarnya. Namun Salya menghibur dengan memberikan restu kemenangan untuk mereka.
Untuk kesekian kalinya sebelum keputusan berperang, sekali lagi para Pandawa berusaha mencari sekutu dengan mengirimkan surat permohonan kepada para Raja di daratan India Kuno agar mau mengirimkan pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang besar akan terjadi. Begitu juga yang dilakukan oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu membuat para Raja di daratan India Kuno terbagi menjadi dua pihak, pihak Pandawa dan pihak Korawa.
Sementara itu, Kresna mencoba untuk melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke Hastinapura untuk mengusulkan perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun Duryodana menolak usul Kresna dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya untuk menangkap Kresna sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia biasa. Ia mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata para prajurit Duryodana yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia menunjukkan bentuk rohaninya yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati suci: Bisma, Drona, dan Widura.
Setelah Kresna meninggalkan istana Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk memberitahu para Pandawa bahwa perang tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta agar para Pandawa menyiapkan tentara dan memberitahu para sekutu bahwa perang besar akan terjadi.
Perang di Kurukshetra merupakan klimaks dari Mahābhārata, sebuah wiracarita tentang pertikaian Dinasti Kuru sebagai titik sentralnya. Kurukshetra sendiri bermakna “daratan Kuru”, yang juga disebut Dharmakshetra atau “daratan keadilan”. Lokasi ini dipilih sebagai ajang pertempuran karena merupakan tanah yang dianggap suci. Dosa-dosa apa pun yang dilakukan di sana pasti dapat terampuni berkat kesucian daerah ini.
Dataran Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai sekarang. Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India.
———-
Dialog Karna dan Kunti
Radheya(Karna) dan Kunti (nama lain Sang Karna adalah Radheya)
Kisah ini diambil dari Udyoga parva, setelah Sri Khrisna gagal sebagai Duta Perdamaian guna mencegah perang Pandava dengan Kurawa
Kunti begitu gelisah setelah usaha damai yang ditempuh menemui jalan buntu, berarti perang sebentar lagi akan pecah, pasukan Raja Raja di seluruh dunia telah menuju Kurukhsetra.
Namun yang ada dalam benak Kunti adalah Radheya (Karna), kebencian Radheya terhadap Pandava terutama Arjuna melebihi kebencian Duryodhana terhadap Pandava
Kunti berniat menemui putra tertuanya itu dan memberitahu sejatinya Radheya.
——————————————————————————————————–
Radheya baru saja selesai melakukan Surya Sewana (pemujaan terhadap Dewa Matahari ), telah terkenal bahwa setiap selesai melakukan Puja tersebut Radheya akan memberikan anugerah kepada siapapun yang datang dan meminta kepadanya.
Ditepi sungai Gangga………
Saat berbalik Radheya melihat Seorang wanita duduk berteduh dibawah pohon, diapun menghampiri (karena sesuai kebiasaan bahwa orang yang menunggunya melakukan Puja adalah orang yang akan meminta berkahnya) lalu membungkuk hormat
Radheya (R) : salam Ibu.. apa yang ibu minta? Radheya menunggu perintahmu
Kunti hanya memandangnya dengan tatapan sedih, terkenang kembali ke masa lalu saat dia membuang Radheya begitu lahir dengan menghanyutkannya di sungai Gangga.
R : aku adalah Radheya, Putra Adhirata ibuku bernama Radha karena itu orang memanggilku Radheya, katakanlah Ibu apa Permintaanmu ?
Kunti (K) : aku kesini bukan untuk meminta anugerahmu, aku hanya ingin bertanya tidakkah kau mengenal siapa aku ?
Radheya menatap wanita didepannya, mencoba mengingat ingat lalu sesuatu pun terlintas dalam pikirannya …………….dadanya pun berdebar
R : ini aneh, aku tidak tahu siapa dirimu, tapi aku merasa telah lama mengenalmu……………… ya engkau adalah wanita yang hadir dalam mimpiku
K : Maukah kau duduk disampingku, dan menceritakan wanita impianmu ?
Radheya mendekat dan duduk disamping Kunti
R : ini aneh, selama ini aku tidak pernah menceritakan tentang mimpiku ini kepada siapapun bahkan kepada ibuku Radha, tapi kenapa sekarang aku ingin menceritakan kepadamu Ibu.
Mungkin kau sudah tau siapa aku mungkin juga tidak, aku adalah Radheya putra Radha, ayahku Adhirata kusir sang Raja, tapi aku bukanlah anak Ibuku…….. ayahku memungut aku dari Gangga dalam kotak kayu waktu aku kecil.
Semasa kecil aku selalu bermimpi, seorang wanita cantik yang berpakaian layaknya Putri Raja datang padaku, dia selalu menangis dan sedih
Dalam mimpi aku bertanya “ siapa engkau Ibu? Mengapa kau menangis?”
Wanita itu selalu menjawab ” aku menangis dan sedih karena aku melakukan ketidakadilan ini padamu”
Ketika aku bertanya ” mengapa Ibu, mengapa kau lakukan ini padaku ?
Dia hanya diam membisu hanya air mata yang menjawab semua pertanyaanku, lalu wanita itu akan menghilang dari pandanganku seberapa keras pun aku memanggilnya….
Mimpi yang sama selalu terulang berkali2.
Mimpi itu terus menghantuiku sampai aku remaja mimpi itu mulai berkurang, wanita itu semakin jarang menemuiku dalam mimpi, dan sampai sekarang dia tak pernah lagi menemui aku dalam mimpi ……………. yah mungkin karena dia mulai lupa denganku atau dia sudah punya anak yang lain
K : kau salah anakku , wanita itu tidak pernah dan tidak akan bisa melupakanmu, meski dia sudah punya anak yang lain
R : mengapa kau begitu yakin Ibu, seolah olah kau tau dan mengenal wanita dalam mimpiku ?
Dada Radheya semakin berdebar2, semakin lama dia memandang wanita itu dia semakin yakin kalau wanita dihadapannya adalah wanita yang hadir dalam mimpi2nya
Kunti pun menangis, dengan tersendat dia berkata
K : Aku tau siapa wanita dalam mimpimu, karena akulah wanita itu aku adalah Kunti wanita yang melahirkanmu………
Kunti mencurahkan air matanya, perasaan yang dipendam selama puluhan Tahun seakan ingin dia tumpahkan semua saat ini
Radheya diam mematung, tak percaya dengan apa yang dia dengar
R : ah mana mungkin………. Kunti Devi Ratu Astina, ibu mulia dari lima Pahlawan Agung hari ini datang pada Radheya, dan mengaku sebagai Ibunya……… mungkin Radheya sedang bermimpi, sebaiknya aku tidur lagi
K : jangan lagi memanggil dirimu Radheya kau adalah Kaunteya putra Kunti, putra tertua ku…………… mulai saat ini kau akan dikenal sebagai Putraku
R : Tapi mengapa Ibu……….?? aku sudah tau bahwa kau adalah ibuku……bahwa Radheya sebenarnya Putra Kunti dan Surya (Dewa Matahari ), tapi mengapa baru sekarang kau datang padaku
K : Bagaimana kau tau aku adalah ibumu dan Surya adalah ayahmu ?
R : Kemarin Khrisna dengan rasa cinta kasihnya memberitahuku jati diriku yang sebenarnya, tapi sudahlah Ibu janganlah kita membicarakan hal yang berlalu, hari ini aku begitu bahagia karena Ibu telah datang menemui aku……… jadi jangan berkata apa pa lagi
Keduanya berpelukan dan menangis bersama, melepas kerinduan mereka selama ini, Radheya merebahkan kepalanya di pangkuan Kunti, dengan lembut Kunti membelai rambut putranya yang ”Hilang”, mereka larut untuk sesaat dalam hening…………
Beberapa saat berlalu, Radheya pun bangkit
R : Terima kasih Ibu, Ibu telah memberikan saat-saat yang paling suci dalam hidupku kini perintahlah Radheya
K : Tidak anakku, Ibu tidak memberimu perintah tapi Ibu akan memintamu melakukan sesuatu.
R : Katakanlah Ibu apa yang harus aku lakukan
K : Ikutlah bersama Ibu ke Pandava, mereka adalah saudaramu, Ibu akan memberi tau Yudhistira bahwa kau adalah Putra tertua ku, hilangkan kebencianmu selama ini kepada Arjuna, berperanglah di pihak Pandawa yang pasti akan menang, Dunia akan melihat engkau bersatu kembali dengan saudara saudaramu, mereka akan melihat dirimu bersatu dengan Arjuna, didunia ini siapa yang bisa mengalahkan Kalian berdua, kalian akan Jaya seperti Khrisna – Balarama, menangkan perang ini lalu perintahlah seluruh dunia karena kau lah Pewaris Tahta Kerajaan. Yudhisthira akan menjadi Yuvaraja (Putra mahkota) dan memegang Payung kebesaranmu, Arjuna akan menjadi kusirmu, Bhima akan menjadi kepala Pengawal, sedangkan si kembar akan selalu setia melayanimu………….
Radheya terdiam, betapa Hidup ini penuh misteri, selama ini dia hidup dengan pandangan orang yang menilai rendah dirinya karena hanya seorang ”Sutaputra” (putra kusir kereta), namun dalam 2 hari terakhir dua orang mulia (Khrisna dan Kunti) datang menawarkan Dunia kepadanya. Godaan yang begitu besar, namun Radheya tak bergeming
R : Ibu aku sangat ingin menuruti perintahmu, tapi aku tidak bisa
K : mengapa anakku? Aku akan mengakui pada dunia bahwa kau adalah putra tertua ku…….
R : Ibu tidakkah kau tau betapa aku membencimu, atas perlakuanmu padamu…. aku menyimpan kemarahan ini bertahun tahun. Aku menderita karena kelahiranku. Namun ketika hari ini kau datang semua kemarahanku itu lenyap bagai butiran salju yang jatuh di gurun pasir yang tandus
Dunia mengenalku sebagai Sutaputra, nama ini menodai kelahiranku yang sebenarnya, saat menginjak remaja kau bertanya pada Ibuku Radha ” Ibu mengapa aku ingin sekali menjadi seorang pemanah bukan menjadi kusir kereta seperti ayah ?”
Saat itu lah aku tau bahwa Ibuku Radha bukanlah ibuku, namun cinta kasihnya melebihi cinta kasih seorang ibu kepadaku……….. karena itu aku bangga dengan nama Radheya nama yang aku bawa sampai mati
Lalu aku pun berkelana, untuk menuntut ilmu memanah, namun tidak ada yang mau mengajariku
Drona menolakku karena aku adalah seorang ’Sutaputra’, nama yang melekat dan menyakiti hatiku ini semua karena ketidakadilan mu padaku ”
Kemudian aku menghadap Bhargawa (Parasurama ) beliau mau mengajariku karena aku mengaku sebagai Brahmana, tetapi ketika Beliau tau aku bukan seorang Brahmana beliau mengutukku bahwa aku akan melupakan Mantra yang sangat aku perlukan.
Disamping itu seorang Brahmana mengutukku bahwa roda keretaku akan terbenam dan aku terbunuh pada saat aku tidak siap, seperti hal nya sapi Brahmana itu yang aku bunuh.
Saat aku kembali ke Astina, saat itu adalah waktu Perlombaan ketangkasan Para Pangeran Astina.
Jiwa Pemanahku bergolak melihat kesombongan Arjuna yang bangga akan keahliannya, akupun menantangnya lalu semua orang tau bahwa aku hanyalah seorang putra kusir, mereka menghina dan mencemoohkan aku terutama Bhima mu yang tersayang, mereka menilai aku bukan lah lawan yang pantas bagi Arjuna.
Saat itu lah Duryodhana yang Agung datang padaku, mengakui aku sebagai sahabatnya dan mengangkatku sebagai Raja Anga, Duryodhana lah orang yang mengangkat derajatku saat semua orang merendahkan ku, dia hanya meminta Hati ku sebagai balasanya, dan Mulai saat itu Hati ku milik sang Raja, Majikan sekaligus sahabatku Pangeran Duryodhana.
Ibu Tidakkah kau mengenalku saat itu ? aku yakin kau pasti mengenalku dari Kavaca ( Baju Pelindung ) dan kundala (anting-anting) yang kukenakan, namun dengan alasan yang kau ketahui sendiri saat itu Ibu diam membisu
Namun mengapa sekarang kau datang padaku………….????
Di Dunia ini hanya ada dua cinta terpenting bagi Radheya, cintaku kepada Ibu ku Radha dan Cintaku kepada Sahabat sejatiku Duryodhana.
Aku tidak pernah dan tidak berani berpikir akan ada cinta yang lebih agung datang dalam kehidupanku.
Aku tidak bisa meninggalkan Duryodhana untuk bergabung dengan saudara saudaraku yang baru aku temukan sesuai dengan permintaanmu ibu”
Dengan berlinang airmata Kunti bertanya
K : Mengapa anakku……….???
Terdengar suara dari langit, Surya Dewa Matahari berkata ” Anakku Turutilah kemauan Ibumu, bergabunglah dengan Pandawa ”
Namun Radheya tidak bergeming
R : Ibu ,Aku terikat jalinan jutaan untai benang dengan Sahabatku Duryodhana, satu satunya orang di dunia ini yang menjadikan aku sahabatnya tanpa peduli aku seorang Sutaputra, bergantung padaku Dia telah memulai perang ini, dunia mengenalku sebagai sahabat sang Raja, Duryodhana malah ingin berbagi Singasana yang sama denganku, aku tidak bisa memungkiri kebahagiaanku melewati hari hari bersama sang Pangeran.
Namun kini Ibu datang padaku dengan cinta yang membuat temaram cinta yang aku tau selama ini
Aku akan tetap berada disamping Duryodhana untuk melunasi hutangku, hutang cinta dan terima kasih adalah hutang yang sangat sulit untuk dibayar
Katakanlah ibu , begitu agungkah cinta seorang Ibu hingga membuat aku begitu bimbang, tapi Radheya tidak akan merubah pendiriannya , sekarang janganlah berkata2 apa apa lagi aku tidak ingin menyakitimu dengan kata kataku ”
Radheya menutup kedua matanya dan menangis, Kunti tertunduk lemas air matanya bercucuran tak terhingga, mereka kembali berpelukan dalam tangis.
Sesaat kemudian Radheya melepaskan pelukannya
R : Ibu tangisan ini tidak baik untukku, seorang Ibu hanya boleh menangisi anaknya yang sudah mati, aku akan tetap bersama sahabatku dan aku tau akhir hidupku
Aku tau bahwa kami semua yang berpihak pada Duryodhana akan dikirim ke alam Yama (kematian) kami akan kalah, aku tau itu Ibu
Namun jalan satu satunya orang hidup didunia ini adalah mengukir nama Baiknya, kemasyuran……….. jika aku bergabung dengan Pandawa aku akan kehilangan nama baik yang telah aku ukir selama ini, apapun Takdir yang telah ditetapkan, seseorang tidak boleh menyerah untuk mempertahankan dan mencari Nama Baik dan kemahsyuran, itulah jalan yang aku tempuh selama ini, aku menginginkan nama baik.
Ibu Restuilah aku berikan aku anugerah :
”Bahwa namaku akan di ingat sepanjang manusia masih hidup di dunia ini, kemahsyuran ku akan abadi sepanjang sejarah”
Dengan Hati yang hancur lebur Kunti merestui permintaan putranya
R : Terimakasih ibu, namun ini tidaklah benar……….. biasanya akulah yang memberikan anugerah kepada orang2 yang datang padaku setelah aku selesai memuja Ayahku, kini aku akan memberimu anugerah yang setara dengan Permintaanmu sesuai dengan kemampuanku, engkau menginginkan hatiku, tapi hatiku bukan miliku, hatiku milik sahabatku Duryodhana
” Engkau akan Tetap memiliki lima Putera, Yudhistira, Bhima,Nakula dan Sahadeva Tidak akan aku bunuh dalam perang, mereka tidak akan mati ditanganku, tapi tidak dengan Arjuna, pertarungan diantara kami harus terjadinya………. itulah satu satunya cara untuk melunasi hutang kepada sahabatku Duryodhana, namun bagaimana pun hasilnya kau akan tetap punya lima Putera, dengan Aku tanpa Arjuna, ataupun Dengan Arjuna tanpa Radheya puteramu Tetap akan lima, itulah anugerahku ”
Radheya menghela nafas panjang, dengan tatapan sedih Kunti memandangnya
R : Tapi ibu aku tahu, Arjuna akan tetap bersamamu, dibawah lindungan Khrisna Pandawa akan aman seperti Bayi dalam rahim ibunya, mereka akan selamat melewati Perang besar ini
Sedangkan kami yang memihak Duryodhana sudah dikutuk, kami akan mati…………
Engkau mungkin sudah tau Ibu….
Aku juga telah dikutuk
Guruku Bhargawa (Parasurama) telah mengutukku ” bahwa aku kan melupakan mantra senjata yang aku perlukan disaat saat genting.
Lalu seorang Brahmana mengutukku, bahwa roda kereta ku akan ditelan Bumi dan aku dibunuh oleh musuh saat aku tidak siap.
Selain dua kutukan tadi Indra Raja Dewata telah meminta Kavaca ( Baju pelindung) dan Kundala (anting2) yang akan melindungi aku dari kematian.
Dan kemarin Khrisna datang dengan cinta yang Agung menggoyahkan perisai hatiku dan hari ini kau datang dengan kasih seorang Ibu yang kau hempaskan dan menghancurkan Tameng Hatiku, satu satunya senjata ku untuk melawan Pandawa adalah kebencianku kini semuanya telah hancur, bagaimana aku bisa berhadapan dengan Arjuna yang kini dimataku adalah seorang anak kecil yang mengulurkan tangannya dengan penuh cinta.
Ibu katakanlah
Dengan semua itu bagaimana aku bisa selamat dari perang ???
Kini mata Radheya terang tanpa airmata, dengan suara pelan meyakinkan Kunti
R : Ibu janganlah sedih, apa yang sudah digariskan oleh Para Dewa tidak ada yang bisa merubahnya, tidak juga Cintamu yang Agung, aku harus bertarung dengan Arjuna dan aku akan mati ditangannya
Sekarang pulanglah Ibu ku sayang, jangan sampai ada orang yang melihat kau datang menemui aku, biarlah dunia tetap menganggapku ”Sutaputra” tapi dirimu dan aku tahu bahwa Radheya adalah putera Kunti dan Surya, biarlah rahasia kelahiranku lenyap bersama kematianku ”
Tubuh Kunti begitu lemas, Radheya berkali kali harus memapahnya, Dia telah kehilangan puteranya selama ini dan setelah menemui Radheya dia semakin kehilangan, Pertemuan mereka hanyalah kebahagiaan sesaat seperti sinar kilat menyambar lalu lenyap saat Dunia masih gelap. Kunti dengan segala kegetiran meninggalkan Puteranya yang Mulia…………..

 

 


Bhismaparwa (6)

Bhismaparwa konon merupakan bagian terpenting Mahabharata karena kitab keenam ini mengandung kitab Bhagawad Gita. Dalam Bhismaparwa dikisahkan bagaimana kedua pasukan, pasukan Korawa dan pasukan Pandawa berhadapan satu sama lain sebelum Bharatayuddha dimulai. Lalu sang Arjuna dan kusirnya sang Kresna berada di antara kedua pasukan. Arjuna pun bisa melihat bala tentara Korawa dan para Korawa, sepupunya sendiri. Iapun menjadi sedih karena harus memerangi mereka. Walaupun mereka jahat, tetapi Arjuna teringat bagaimana mereka pernah dididik bersama-sama sewaktu kecil dan sekarang berhadapan satu sama lain sebagai musuh. Lalu Kresna memberi Arjuna sebuah wejangan. Wejangannya ini disebut dengan nama Bhagawad Gita atau “Gita Sang Bagawan”, artinya adalah nyanyian seorang suci.
Bhismaparwa diakhiri dengan dikalahkannya Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Bisma mempunyai sebuah kesaktian bahwa ia bisa meninggal pada waktu yang ditentukan sendiri. Lalu ia memilih untuk tetap tidur terbentang saja pada “tempat tidur panahnya” (saratalpa) sampai perang Bharatayuddha selesai. Bisma terkena panah banyak sekali sampai ia terjatuh tetapi tubuhnya tidak menyentuh tanah, hanya ujung-ujung panahnya saja.
Ringkasan isi Kitab Bhismaparwa
Janamejaya bertanya, “Bagaimanakah para pahlawan bangsa Kuru, Pandawa, dan Somaka, beserta para rajanya yang berasal dari berbagai kerajaan itu mengatur pasukannya siap untuk bertempur?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Wesampayana menguraikan dengan detail, kejadian-kejadian yang sedang berlangsung di medan perang Kurukshetra.
Suasana di medan perang, Kurukshetra
prg-bharata-yudha
Sebelum pertempuran dimulai, kedua belah pihak sudah memenuhi daratan Kurukshetra. Para Raja terkemuka pada zaman India Kuno seperti misalnya Drupada, Sudakshina Kamboja, Bahlika, Salya, Wirata, Yudhamanyu, Uttamauja, Yuyudhana, Chekitana, Purujit, Kuntibhoja, dan lain-lain turut berpartisipasi dalam pembantaian besar-besaran tersebut. Bisma, Sang sesepuh Wangsa Kuru, mengenakan jubah putih dan bendera putih, bersinar, dan tampak seperti gunung putih. Arjuna menaiki kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda putih dan dikemudikan oleh Kresna, yang mengenakan jubah sutera kuning.
Pasukan Korawa menghadap ke barat, sedangkan pasukan Pandawa menghadap ke timur. Pasukan Korawa terdiri dari 11 divisi, sedangkan pasukan Pandawa terdiri dari 7 divisi. Pandawa mengatur pasukannya membentuk formasi Bajra, formasi yang konon diciptakan Dewa Indra. Pasukan Korawa jumlahnya lebih banyak daripada pasukan Pandawa, dan formasinya lebih menakutkan. Fomasi tersebut disusun oleh Drona, Bisma, Aswatama, Bahlika, dan Kripa yang semuanya ahli dalam peperangan. Pasukan gajah merupakan tubuh formasi, para Raja merupakan kepala dan pasukan berkuda merupakan sayapnya. Yudistira sempat gemetar dan cemas melihat formasi yang kelihatannya sulit ditembus tersebut, namun setelah mendapat penjelasan dari Arjuna, rasa percaya dirinya bangkit.
Turunnya Bhagawad Gita
Sebelum pertempuran dimulai, terlebih dahulu Bisma meniup terompet kerangnya yang menggemparkan seluruh medan perang, kemudian disusul oleh para Raja dan ksatria, baik dari pihak Korawa maupun Pandawa. Setelah itu, Arjuna menyuruh Kresna yang menjadi kusir keretanya, agar membawanya ke tengah medan pertempuran, supaya Arjuna bisa melihat siapa yang sudah siap bertarung dan siapa yang harus ia hadapi nanti di medan pertempuran.
Sri_Krishna_Janmastami_festival (15)
Di tengah medan pertempuran, Arjuna melihat kakeknya, gurunya, teman, saudara, ipar, dan kerabatnya berdiri di medan pertempuran, siap untuk bertempur. Tiba-tiba Arjuna menjadi lemas setelah melihat keadaan itu. Ia tidak tega untuk membunuh mereka semua. Ia ingin mengundurkan diri dari medan pertempuran.
Arjuna berkata, “Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering…..Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putera Dretarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Lakshmi Dewi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?”
arjuna_krisna
Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Kresna mencoba untuk menyadarkan Arjuna. Kresna yang menjadi kusir Arjuna, memberikan wejangan-wejangan suci kepada Arjuna, agar ia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kresna juga menguraikan berbagai ajaran Hindu kepada Arjuna, agar segala keraguan di hatinya sirna, sehingga ia mau melanjutkan pertempuran. Selain itu, Kresna memperlihatkan wujud semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa Kresna sebenarnya.
Wejangan suci yang diberikan oleh Kresna kepada Arjuna kemudian disebut Bhagavad Gītā, yang berarti “Nyanyian Tuhan”. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi kitab tersendiri dan sangat terkenal di kalangan umat Hindu, karena dianggap merupakan pokok-pokok ajaran Hindu dan intisari ajaran Veda.
Penghormatan sebelum perang oleh Yudistira
Setelah Arjuna sadar terhadap kewajibannya dan mau melanjutkan pertarungan karena sudah mendapat wejangan suci dari Kresna, maka pertempuran segera dimulai. Arjuna mengangkat busur panahnya yang bernama Gandiwa, diringi oleh sorak sorai gegap gempita. Pasukan kedua pihak bergemuruh. Mereka meniup sangkala dan terompet tanduk, memukul tambur dan genderang. Para Dewa, Pitara, Rishi, dan penghuni surga lainnya turut menyaksikan pembantaian besar-besaran tersebut.
Pada saat-saat menjelang pertempuran tersebut, tiba-tiba Yudistira melepaskan baju zirahnya, meletakkan senjatanya, dan turun dari keretanya, sambil mencakupkan tangan dan berjalan ke arah pasukan Korawa. Seluruh pihak yang melihat tindakannya tidak percaya. Para Pandawa mengikutinya dari belakang sambil bertanya-tanya, namun Yudistira diam membisu, hanya terus melangkah. Di saat semua pihak terheran-heran, hanya Kresna yang tersenyum karena mengetahui tujuan Yudistira. Pasukan Korawa penasaran dengan tindakan Yudistira. Mereka siap siaga dengan senjata lengkap dan tidak melepaskan pandangan kepada Yudistira. Yudistira berjalan melangkah ke arah Bisma, kemudian dengan rasa bakti yang tulus ia menjatuhkan dirinya dan menyembah kaki Bisma, kakek yang sangat dihormatinya.
Yudistira berkata, “Hamba datang untuk menghormat kepadamu, O paduka nan gagah tak terkalahkan. Kami akan menghadapi paduka dalam pertempuran. Kami mohon perkenan paduka dalam hal ini, dan kami pun memohon doa restu paduka”.
Bisma menjawab, “Apabila engkau, O Maharaja, dalam menghadapi pertempuran yang akan berlangsung ini engkau tidak datang kepadaku seperti ini, pasti kukutuk dirimu, O keturunan Bharata, agar menderita kekalahan! Aku puas, O putera mulia. Berperanglah dan dapatkan kemenangan, hai putera Pandu! Apa lagi cita-cita yang ingin kaucapai dalam pertempuran ini? Pintalah suatu berkah dan restu, O putera Pritha. Pintalah sesuatu yang kauinginkan! Atas restuku itu pastilah, O Maharaja, kekalahan tidak akan menimpa dirimu. Orang dapat menjadi budak kekayaan, namun kekayaan itu bukanlah budak siapa pun juga. Keadaan ini benar-benar terjadi, O putera bangsa Kuru. Dengan kekayaannya, kaum Korawa telah mengikat diriku…”
Setelah Yudistira mendapat doa restu dari Bisma, kemudian ia menyembah Drona, Kripa, dan Salya. Semuanya memberikan doa restu yang sama seperti yang diucapkan Bisma, dan mendoakan agar kemenangan berpihak kepada Pandawa. Setelah mendapat doa restu dari mereka semua, Yudistira kembali menuju pasukannya, dan siap untuk memulai pertarungan.
Yuyutsu memihak Pandawa
Setelah tiba di tengah-tengah medan pertempuran, di antara kedua pasukan yang saling berhadapan, Yudistira berseru, “Siapa pun juga yang memilih kami, mereka itulah yang kupilih menjadi sekutu kami!”
Setelah berseru demikian, suasana hening sejenak. Tiba-tiba di antara pasukan Korawa terdengar jawaban yang diserukan oleh Yuyutsu. Dengan pandangan lurus ke arah Pandawa, Yuyutsu berseru, ”Hamba bersedia bertempur di bawah panji-panji paduka, demi kemenangan paduka sekalian! Hamba akan menghadapi putera Dretarastra, itu pun apabila paduka raja berkenan menerima! Demikianlah, O paduka Raja nan suci!”
Dengan gembira, Yudistira berseru, “Mari, kemarilah! Kami semua ingin bertempur menghadapi saudara-saudaramu yang tolol itu! O Yuyutsu, baik Vāsudewa (Kresna) maupun kami lima bersaudara menyatakan kepadamu bahwa aku menerimamu, O pahlawan perkasa, berjuanglah bersama kami, untuk kepentinganku, menegakkan Dharma! Rupanya hanya anda sendirilah yang menjadi penerus garis keturunan Dretarastra, sekaligus melanjutkan pelaksanaan upacara persembahan kepada para leluhur mereka! O putera mahkota nan gagah, terimalah kami yang juga telah menerima dirimu itu! Duryodana yang kejam dan berpengertian cutak itu segera akan menemui ajalnya!”
Setelah mendengar jawaban demikian, Yuyutsu meninggalkan pasukan Korawa dan bergabung dengan para Pandawa. Kedatangannya disambut gembira. Yudistira mengenakan kembali baju zirahnya, kemudian berperang.
Pembantaian Bisma
bhisma
Pertempuran dimulai. Kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang para ksatria Pandawa dan membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu melihat hal tersebut dan menyuruh paman-pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya. Namun usaha para ksatria Pandawa di hari pertama tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan. Putera Raja Wirata, Uttara dan Sweta, gugur oleh Bisma dan Salya di hari pertama. Kekalahan di hari pertama membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.
Kurukshetra_War
  Sri_Krishna_Janmastami_festival (15)
bharatayudha0
bharatayudha4
kurukshetra-1-sumber-www-indianspiritualjourneys-com
mahabarata
arjuna-krishna-bhagavad-gita
Duel Arjuna dengan Bisma
Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Duryodana mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Setyaki yang bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.
Habisnya kesabaran Kresna
https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/e/ed/Mahabharata2.jpg/300px-Mahabharata2.jpgKesabaran Kresna habis sehingga ia ingin menghabisi Bisma dengan tangannya sendiri, namun dicegah oleh Arjuna
Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara Duryodana melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya kepada Arjuna, namun banyak pasukan Korawa yang tak mampu menandingi kekuatan Arjuna. Abimanyu dan Setyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni. Bisma yang terlibat duel sengit dengan Arjuna, masih bertarung dengan setengah hati. Duryodana memarahi Bisma yang masih segan untuk menghabisi Arjuna. Perkataan Duryodana membuat hati Bisma tersinggung, kemudian ia mengubah perasaanya.
Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bhishma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, “Aku sudah tak bisa bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri,” lalu ia mengambil chakra-nya dan berlari ke arah Bisma. Bisma menyerahkan dirinya kepada Kresna dengan pasrah. Ia merasa beruntung jika gugur di tangan Kresna. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Arjuna memegang kaki Kresna. Pada langkah yang kesepuluh, Kresna berhenti.
Arjuna berkata, “O junjunganku, padamkanlah kemarahan ini. Paduka tempat kami berlindung. Baiklah, hari ini hamba bersumpah, atas nama dan saudara-saudara hamba, bahwa hamba tidak akan menarik diri dari sumpah yang hamba ucapkan. O Kesawa, O adik Dewa Indra, atas perintah paduka, baiklah, hamba yang akan memusnahkan bangsa Kuru!”
Mendengar sumpah tersebut, Kresna puas hatinya. Kemarahannya mereda, namun masih tetap memegang senjata chakra. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak pasukan Korawa.
Keberanian Bima
Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para ksatria Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana kehilangan banyak saudara-saudaranya.
Perbantaian terus berlanjut
Pada hari kelima, pembantaian terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di sampingnya. Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung dan pergi. Sementara itu, Setyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawas dan kemudian Setyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Setyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.
Pertumpahan darah yang sulit dibayangkan terus berlanjut dari hari ke hari selama pertempuran berlangsung. Hari keenam merupakan hari pembantaian yang hebat. Drona membantai banyak prajurit di pihak Pandawa yang jumlahnya sukar diukur. Formasi kedua belah pihak pecah. Pada hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra. Putera Arjuna — Irawan — terbunuh oleh para Korawa.
Pada hari kesembilan Bisma menyerang pasukan Pandawa dengan membabi buta. Banyak laskar yang tercerai berai karena serangan Bisma. Banyak yang melarikan diri atau menjauh dari Bisma, pendekar tua nan sakti dari Wangsa Kuru. Kresna memacu kuda-kudanya agar berlari ke arah Bisma. Arjuna dan Bisma terlibat dalam pertarungan sengit, namun Arjuna bertarung dengan setengah hati sementara Bisma menyerangnya dengan bertubi-tubi. Melihat keadaan itu, sekali lagi Kresna menjadi marah. Ia ingin mengakhiri riwayat Bisma dengan tangannya sendiri. Ia meloncat turun dari kereta Arjuna, dengan mata merah menyala tanda kemarahan memuncak, bergerak berjalan menghampiri Bisma. Dengan senjata Chakra di tangan, Kresna membidik Bisma. Bisma dengan pasrah tidak menghindarinya, namun semakin merasa bahagia jika gugur di tangan Kresna. Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk menghentikan langkahnya.
Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat itu!…”
Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, tetapi dengan menahan kemarahan ia naik kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali pertarungannya.
Gugurnya Bisma
Resi Bisma tidur di “ranjang panah” (saratalpa)
0005tr08
Para Pandawa tidak mengetahui bagaimana cara mengalahkan Bisma. Pada malam harinya, Pandawa menyusup ke dalam kemah Bisma. Bisma menyambutnya dengan doa restu. Pandawa menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu mencari cara untuk mengalahkan Bisma. Kemudian Bisma membeberkan hal-hal yang membuatnya tidak tega untuk berperang. Setelah mendengar penjelasan Bisma, Arjuna berdiskusi dengan Kresna. Ia merasa tidak tega untuk mengakhiri riwayat kakeknya. Kemudian Kresna mencoba menyadarkan Arjuna, tentang mana yang benar dan mana yang salah.
·         Pada hari kesepuluh, pasukan Pandawa dipelopori oleh Srikandi di garis depan. Srikandi menyerang Bisma, namun ia tidak dihiraukan. Bisma hanya tertawa kepada Srikandi, karena ia tidak mau menyerang Srikandi yang berkepribadian seperti wanita. Melihat Bisma menghindari Srikandi, Arjuna memanah Bisma berkali-kali. Puluhan panah menancap di tubuh Bisma. Bisma terjatuh dari keretanya. Pasukan Pandawa bersorak. Tepat pada hari itu senja hari. Kedua belah pihak menghentikan pertarungannya, mereka mengelilingi Bisma yang berbaring tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah. Bisma menyuruh para ksatria untuk memberikannya bantal, namun tidak satu pun bantal yang mau ia terima. Kemudian ia menyuruh Arjuna memberikannya bantal. Arjuna menancapkan tiga anak panah di bawah kepala Bisma sebagai bantal. Bisma merestui tindakan Arjuna, dan ia mengatakan bahwa ia memilih hari kematian ketika garis balik matahari berada di utara.
·          

Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
Kitab Dronaparwa tidak didapati di Indonesia. Kitab ini kitab ketujuh Mahabharata. Di sini diceritakan kematian bagawan Drona dalam perang Bharatayuddha. Ia ditipu oleh antara lain Yudistira apakah putranya Aswatama sudah tewas atau belum.
——–
Kitab Dronaparwa merupakan kitab ketujuh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Bagawan Drona sebagai panglima perang pasukan Korawa di Hari ke-11, setelah Rsi Bhisma gugur di tangan Arjuna dan sejak di hari ke-11, Karna mulai berperang sehingga segera membangkitkan semangat para Korawa. Ia menyarankan agar Duryodana memilih Drona sebagai pengganti Bisma, dengan alasan Drona merupakan guru bagi sebagian besar sekutu Korawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara para sekutu Korawa memperebutkan jabatan panglima dapat dihindari.
Catatan Pinggir
Drona atau Dronacharya adalah guru para Korawa dan Pandawa. Ia merupakan ahli mengembangkan seni pertempuran, termasuk dewāstra. Arjuna adalah murid yang disukainya. Kasih sayang Drona terhadap Arjuna adalah yang kedua jika dibandingkan dengan rasa kasih sayang terhadap puteranya, Aswatama.
Drona dilahirkan dalam keluarga brahmana (kaum pendeta Hindu). Ia merupakan putera dari pendeta Bharadwaja, lahir di kota yang sekarang disebut Dehradun (modifikasi dari kata dehra-dron, guci tanah liat), yang berarti bahwa ia (Drona) berkembang bukan di dalam rahim, namun di luar tubuh manusia, yakni dalam Droon (tong atau guci).
Bharadwaja pergi bersama rombongannya menuju Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat bidadari yang sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta dikuasai nafsu, menyebabkannya mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Ia mengatur supaya air mani tersebut ditampung dalam sebuah pot yang disebut drona, dan dari cairan tersebut Drona lahir kemudian dirawat. Drona kemudian bangga bahwa ia lahir dari Bharadwaja tanpa pernah berada di dalam rahim. Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan, namun belajar agama dan militer bersama-sama dengan pangeran dari Kerajaan Panchala bernama Drupada. Drupada dan Drona kemudian menjadi teman dekat dan Drupada, dalam masa kecilnya yang bahagia, berjanji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Drona pada saat menjadi Raja Panchala.
Drona menikahi Krepi, adik Krepa, guru di keraton Hastinapura. Krepi dan Drona memiliki putera bernama Aswatama.
Mengetahui bahwa Parasurama mau memberi pengetahuan yang dimilikinya kepada para brahmana, Drona mendatanginya. Sayangnya pada saat Drona datang, Parasurama telah memberikan segala miliknya kepada brahmana yang lain. Karena tersentuh oleh kesanggupan hati Drona, Parasurama memutuskan untuk memberikan pengetahuannya tentang ilmu peperangan kepada Drona.
Demi keperluan istri dan puteranya, Drona ingin bebas dari kemiskinan. Teringat kepada janji yang diberikan oleh Drupada, Drona ingin menemuinya untuk meminta bantuan. Tetapi, karena mabuk oleh kekuasaan, Raja Drupada menolak untuk mengakui Drona (sebagai temannya) dan menghinanya dengan mengatakan bahwa ia manusia rendah.
Drupada memberi penjelasan yang panjang dan sombong kepada Drona tentang masalah kenapa ia tidak mau mengakui Drona. Drupada berkata, “Persahabatan, adalah mungkin jika hanya terjadi antara dua orang dengan taraf hidup yang sama”. Dia berkata bahwa sebagai anak-anak, adalah hal yang mungkin bagi dirinya untuk berteman dengan Drona, karena pada masa itu mereka sama. Tetapi sekarang Drupada menjadi raja, sementara Drona berada dalam kemiskinan. Dalam keadaan seperti ini, persahabatan adalah hal yang mustahil. Tetapi ia berkata bahwa ia akan memuaskan hati Drona apabila Drona mau meminta sedekah selayaknya para brahmana daripada mengaku sebagai seorang teman. Drupada menasihati Drona supaya tidak memikirkan masalah itu lagi dan ingin ia hidup menurut jalannya sendiri. Drona pergi membisu, namun di dalam hatinya ia bersumpah akan membalas dendam.
Drona pergi ke Hastinapura dengan harapan dapat membuka sekolah seni militer bagi para pangeran muda dengan memohon bantuan Raja Dretarastra. Pada suatu hari, ia melihat banyak anak muda, yaitu para Korawa dan Pandawa yang sedang mengelilingi sumur. Ia bertanya kepada mereka tentang masalah apa yang terjadi, dan Yudistira, si sulung, menjawab bahwa bola mereka jatuh ke dalam sumur dan mereka tidak tahu bagaimana cara mengambilnya kembali.
Drona tertawa, dan menasihati mereka karena tidak berdaya menghadapi masalah yang sepele. Yudistira menjawab bahwa jika Sang Brahmana (Drona) mampu mengambil bola tersebut maka Raja Hastinapura pasti akan memenuhi segala keperluan hidupnya. Pertama Drona melempar cincin kepunyaannya, mengumpulkan beberapa mata pisau, dan merapalkan mantra Weda. Kemudian ia melempar mata pisau ke dalam sumur seperti tombak. Mata pisau pertama menancap pada bola, dan mata pisau kedua menancap pada mata pisau pertama, dan begitu seterusnya, sehingga membentuk sebuah rantai. Perlahan-lahan Drona menarik bola tersebut dengan tali.
Dengan keahliannya yang membuat anak-anak sangat terkesima, Drona merapalkan mantra Weda sekali lagi dan menembakkan mata pisau itu ke dalam sumur. Pisau itu menancap pada bagian tengah cincin yang terapung kemudian ia menariknya ke atas sehingga cincin itu kembali lagi. Karena terpesona, para bocah membawa Drona ke kota dan melaporkan kejadian tersebut kepada Bisma, kakek mereka.
Bisma segera sadar bahwa dia adalah Drona, dan keberaniannya yang memberi contoh, ia kemudian menawarkan agar Drona mau menjadi guru bagi para pangeran Kuru dan mengajari mereka seni peperangan. Kemudian Drona mendirikan sekolah di dekat kota, dimana para pangeran dari berbagai kerajaan di sekitar negeri datang untuk belajar di bawah bimbingannya.
Satu diantara yang terhebat dan terkemuka adalah Ekalawya, yang merupakan seorang pangeran muda dari suku Nishadha, mereka adalah kaum pemburu. Ekalawya datang mencari Drona karena minta diajari. Drona menolak mengajarinya. Ekalawya kemudian memasuki hutan, dan ia mulai belajar dan berlatih sendirian kemampuan luarbiasanya sehingga setara bahkan melebihi Arjuna.
========
Ekalawya secara harfiah berarti “ia yang memusatkan pikirannya kepada suatu ilmu/mata pelajaran”. Ekalawya Bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di dunia, lalu ia pergi ke Hastina ingin berguru kepada Bagawan Drona. Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu panah lebih jauh, menuntun dirinya untuk datang ke Hastina dan berguru langsung pada Drona. Namun niatnya ditolak, Ini dikarenakan Drona melihat kemampuannya yang bisa menandingi Arjuna, padahal keinginan dan janji Drona adalah menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya ksatria pemanah paling unggul di jagat raya. Ini menggambarkan sisi negatif dari Drona, serta menunjukkan sikap pilih kasih Drona kepada murid-muridnya, dimana Drona sangat menyayangi Arjuna melebihi murid-murid yang lainnya.
Penolakan sang guru tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu keprajuritan, ia kemudian kembali masuk kehutan dan mulai belajar sendiri dan membuat patung Drona serta memujanya dan menghormati sebagai seorang murid yang sedang menimba ilmu pada sang guru. Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalawya menjadi seorang prajurit yang gagah dengan kecapakan yang luar biasa dalam ilmu memanah, yang sejajar bahkan lebih pandai daripada Arjuna, murid kesayangan Drona. Suatu hari, ditengah hutan saat ia sedang berlatih sendiri, ia mendengar suara anjing menggonggong, tanpa melihat Ekalawya melepaskan anak panah yang tepat mengenai mulut anjing tersebut. Saat anjing tersebut ditemukan oleh para Pandawa, mereka bertanya-tanya siapa orang yang mampu melakukan ini semua selain Arjuna. Kemudian mereka melihat Ekalwya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid dari Guru Drona.
Mendengar pengakuan Ekalawya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tidak lagi menjadi seorang prajurit terbaik, ksatria utama. Perasaan gundah Arjuna bisa dibaca oleh Drona, yang juga mengingat akan janjinya pada Arjuna bahwa hanya Arjuna-lah murid yang terbaik diantara semua muridnya. Kemudian Drona bersama Arjuna mengunjungi Ekalawya. Ekalawya dengan sigap menyembah pada sang guru. Namun ia malahan mendapat amarah atas sikap Ekalawya yang tidak bermoral, mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diangkat murid. Dalam kesempatan itu pula Drona meminta Ekalwya untuk melakukan Dakshina, permintaan guru kepada muridnya sebagai tanda terima kasih seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan. Drona meminta supaya ia memotong ibu jarinya, yang tanpa ragu dilakukan oleh Ekalawya serta menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona, meskipun dia tahu akan akibat dari pengorbanannya tersebut, ia akan kehilangan kemampuan dalam ilmu memanah. Ekalawya menghormati sang guru dan menunjukkan “Guru-bhakti”. Namun tidak setimpal dengan apa yang didapatkannya yang akhirnya kehilangan kemampuan yang dipelajari dari “Sang Guru”. Drona lebih mementingkan dirinya dan rasa ego untuk menjadikan Arjuna sebagai prajurit utama dan tetap yang terbaik.
Kematian Ekalawya termuat dalam Srimad Bhagawatam. Ekalawya bertempur untuk Raja Jarasanda dalam peperangan melawan Sri Kresna dan Balarama, dan terbunuh dalam pertempuran oleh pasukan Yadawa.
Versi Jawa Ekalawya
Dalam pewayangan Jawa, Ekalawya atau Ekalaya atau Ekalya (dalam cerita pedalangan dikenal pula dengan nama “Palgunadi”) adalah Raja negara Paranggelung. Ekalaya mempunyai isteri yang sangat cantik dan sangat setia bernama Dewi Anggraini, puteri hapsari (bidadari) Warsiki.
Ekalaya seorang raja kesatria, yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menekuni ilmu perang. Ia sangat sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya. Ekalaya berwatak jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya.
Ekalaya adalah seseorang yang gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Prabu Ekalaya mendapatkan bisikan ghaib untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang kebetulan hanya dimiliki oleh Resi Drona. Sedangkan Sang Resi sudah berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain melainkan kepada para Pandawa dan Korawa saja. Dengan kegigihannya Prabu Ekalaya belajar sendiri dengan cara membuat patung Sang Resi dan belajar dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut.
Istri Prabu Ekalaya sangat cantik jelita sehingga membuat Arjuna berhasrat padanya, Dewi Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan Arjuna. Prabu Ekalaya mempertahankan haknya sehingga bertarung dengan Arjuna yang menyebabkan Arjuna sempat mati yang kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna
Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh ‘patung’ Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiaanya, Ekalaya berjanji akan membalas kematiannya pada Resi Drona.
Dalam perang Bharatayuddha, kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena, kesatria Panchala, yang memenggal putus kepala Resi Drona hingga menemui ajalnya.
===========
Karna yang ingin belajar di bawah bimbingan Drona juga ditolak dengan alasan bahwa Karna tidak berasal dari kasta kesatria. Karena merasa terhina, Karna belajar kepada Parasurama dengan menyamar sebagai brahmana.
Saat para Korawa dan Pandawa menyelesaikan pendidikannya, Drona menyuruh agar mereka menangkap Raja Drupada yang memerintah Kerajaan Panchala dalam keadaan hidup-hidup. Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu mengerahkan tentara Hastinapura untuk menggempur Kerajaan Panchala, sementara Pandawa pergi ke Kerajaan Panchala tanpa angkatan perang. Arjuna menangkap Drupada dan membawanya ke hadapan Drona. Drona mengambil separuh dari wilayah kekuasaan Drupada, dan separuhnya lagi dikembalikan kepada Drupada. Dengan dendam membara, Drupada melaksanakan upacara untuk memohon anugerah seorang putera yang akan membunuh Drona dan seorang puteri yang akan menikahi Arjuna. Maka, lahirlah Drestadyumna, yang kelak diperang Bharatayuddha akan membunuh Drona dan Dropadi yang menikahi Pandawa.
Versi Jawa Resi Drona
Resi Drona berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam berperang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Keris Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).
Bhagawan Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana, putera Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Beliau adalah guru dari para Korawa dan Pandawa. Murid kesayangannya adalah Arjuna. Resi Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada.
Dalam perjalanannya mencari Sucitra, ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan berakhir bila ada seorang satria mencintainya dengan tulus. Karena pertolongannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda betina itu. Namun karena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu kuda), yang kemudian diberi nama Bambang Aswatama.
Setelah bertemu Sucitra yang telah menjadi raja dan bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik menghina Raja Drupada. Namun Mahapatih Gandamana (dulu adalah Patih di Hastinapura, saat pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan yang tidak seimbang. Meskipun Kumbayana sangat sakti ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana yang memiliki Aji Bandung Bondowoso (ajian ini diturunkan pada murid tercintanya, Raden Bratasena) yang memiliki kekuatan setara dengan seribu gajah.
Kumbayana menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak. Namun dia tidak mati dan ditolong oleh Sangkuni yang bernasib sama (baca sempalan MahaBharata yang berjudul Gandamana Luweng). Akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya mendidik anak-anak keturunan Bharata (Pandawa dan Korawa).
Dalam perang Bharatayuddha, Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan formasi perang.
Hari Ke-11, Duryodana mengangkat Drona sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Karna dan Duryodana berencana untuk menangkap Yudistira hidup-hidup. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Drona ingin menangkap Yudistira hidup-hidup untuk membuat Duryodana senang. Membunuh Yudistira di medan laga hanya membuat para Pandawa semakin marah, sedangkan dengan adanya Yudistira para Pandawa mendapatkan strategi perang. Drona membantu Karna dan Duryodana untuk menaklukkan Yudistira. Ia memanah busur Yudistira hingga patah. Para Pandawa cemas karena Yudistira akan menjadi tawanan perang. Melihat hal itu, Arjuna turun tangan dan menghujani Drona dengan panah dan menggagalkan rencana Duryodana. Usaha tersebut tidak berhasil karena Arjuna selalu melindungi Yudistira. Pasukan yang dikirim oleh Duryodana untuk membinasakan Arjuna selalu berhasil ditumpas oleh para ksatria Pandawa seperti Bima dan Satyaki.
Hari Ke-12, Setelah menerima kegagalan, Drona yakin bahwa rencana untuk menaklukkan Yudistira sulit diwujudkan selama Arjuna masih ada. Raja Trigarta — Susharma — bersama dengan 3 saudaranya dan 35 putera mereka berada di pihak Korawa dan mencoba untuk membunuh Arjuna atau sebaliknya, mati di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada hari kedua belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak berhasil sehingga gugur satu persatu. Semakin hari kekuatan para Pandawa semakin bertambah dan memberikan pukulan yang besar kepada pasukan Korawa.
Untuk menghancurkan mereka, Duryodana mencoba memanggil Bhagadatta, Raja Pragjyotisha. Bhagadatta merupakan putera dari Narakasura, raja jahat yang dibunuh oleh Kresna beberapa tahun sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan mammoth, gajah yang berukuran sangat besar sebagai kekuatan pasukannya. Bhagadatta merupakan ksatria terkuat di antara seluruh pasukan penunggang gajah di dunia. Bhagadatta mencoba menyerang Arjuna dengan ribuan gajahnya. Pertempuran terjadi dengan sangat sengit. Pada hari kedua belas, setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta dan Susharma gugur di tangan Arjuna.
Hari ke-13, pihak Korawa mengeluarkan tantangan dengan mengeluarkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.
Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut.
=======
Abimanyu adalah putera Arjuna dari istrinya yang bernama Subadra. Abimanyu terdiri dari dua kata abhi (berani) dan man’yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman’yu secara harfiah berarti “ia yang memiliki sifat tak kenal takut” atau “yang bersifat kepahlawanan”.
Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. MahaBharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.
Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya. Ditetapkan bahwa Abimanyu-lah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam pertempuran besar di Kurukshetra Ia baru berusia enam belas tahun dan merupakan kesatria termuda dari pihak Pandawa.
Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.
Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.
Di dalam formasi tersebut, Abimanyu bertarung sendirian. Ia dikepung oleh para ksatria Korawa dan terdesak, sementara ksatria-ksatria Pandawa yang ingin menyelamatkan Abimanyu dihadang oleh Jayadrata.
Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.
Arjuna terkejut dan pingsan setelah mendengar kematian Abimanyu. Atas penjelasan para ksatria Pandawa, Abimanyu dikurung dalam formasi Cakrawyuha dan dibunuh dengan serangan serentak. Beberapa ksatria ingin membantu dan menyelamatkan Abimanyu, namun dihadang oleh Jayadrata. Mendengar hal itu,
Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna terkejut dan Pingsan, Ia sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan membunuh Jayadrata pada keesokan harinya sebelum matahari tenggelam. Apabila tidak berhasil maka ia akan membakar diri.
Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran.
Putera Abimanyu, yaitu Parikesit dari ibu bernama Uttara, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai kesatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan dalam usia yang masih sangat muda.
Versi Jawa Abimanyu
Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina. Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat “Wahyu Hidayat”, yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat “Wahyu Cakraningrat”, suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.
Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu:
§  Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi;
§  Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputera Parikesit.
Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu kesatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai strategi perang hanya tiga orang yakni Bima, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Bima dan Arjuna dipancing oleh kesatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.
Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi perang, dia maju sendiri ketengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang = banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata di tubuhnya. Konon tragedi itu merupakan risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Utari, bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha. Abimanyu berbohong karena ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.
Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putera mahkota Hastinapura (Laksmanakumara putera Duryodana) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya. Pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyu pun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.
Kutipan di bawah ini diambil dari Kakawin Bharatayuddha, yang menceritakan pertempuran terakhir Sang Abimanyu.
Ngkā Sang Dharmasutā təgəg mulati tingkahi gəlarira nātha Korawa, āpan tan hana Sang Wrəkodara Dhanañjaya wənanga rumāmpakang gəlar. Nghing Sang Pārthasutābhimanyu makusāra rumusaka gəlar mahā dwija, manggəh wruh lingirāng rusak mwang umasuk tuhu i wijili rāddha tan tama
Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan Arjuna tak ada padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna, yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu bagaimana cara keluar dari formasi tersebut.
Sāmpun mangkana çighra sāhasa masuk marawaça ri gəlar mahā dwija. Sang Pārthātmaja çūra sāra rumusuk sakəkəsika linañcaran panah, çira ngwyuha lilang təkap Sang Abhimanyu təka ri kahanan Suyodhana. ang Hyang Droa Krəpāpulih karaa Sang Kurupati malayū marīnusi.
Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan, sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi.
da tan dwālwang i çatru çakti mangaran Krətasuta sawatək Wrəhadbala. Mwang Satyaçrawa çūra mānta kəna tan panguili pinanah linañcaran. Lāwan wīra wiçesha putra Kurunātha mati malara kokalan panah. Kyāti ng Korawa wangça Lakshmanakumāra ngaranika kaish Suyodhana.
Dengan ini tak dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera Raja Korawa yang berani juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut sangat terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Laksmanakumara, yang disayangi Suyodhana.
Ngkā ta krodha sakorawālana manah panahira lawan açwa sarathi. Tan wāktān tang awak tangan suku gigir aa wadana linaksha kinrəpan. Mangkin Pārthasutajwalāmurək anyakra makapalaga punggəling laras. Dhīramūk mangusir açānggətəm atn pəjaha makiwuling Suyodhana.
Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Suyodhana.
Ri pati Sang Abhimanyu ring raāngga. Tənyuh araras kadi çéwaling tahas mas. Hanana ngaraga kālaning pajang lèk. Çinaçah alindi sahantimun ginintən.
Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.
Hari ke 14, Jayadrata adalah seorang raja di Kerajaan Sindhu. Dia menikahi Dursala, adik perempuan Korawa bersaudara. Raja Sindhu – Jayadrata – memihak Duryodana dalam perang di Kurukshetra. Jayadrata merupakan tokoh penting di balik pembunuhan Abimanyu.
Jayadrata menghina Dropadi, istri para Pandawa, karena berusaha menculik dan mengawininya. Setelah Arjuna memburu dan menangkapnya hidup-hidup, nyawanya diselamatkan oleh Yudistira, dan ia dijadikan budak. Kemudian Bima mencukur rambutnya sehingga Jayadrata botak. Karena dendam terhadap perlakuan tersebut, Jayadrata melakukan tapa ke hadapan Siwa. Ia memohon kekuatan untuk menaklukkan Pandawa, namun Siwa mengatakan bahwa itu hal yang mustahil – namun ia menganugerahkan Jayadrata agar mampu mengalahkan seluruh Pandawa bersaudara pada hari pertama – kecuali Arjuna. Maka, akhirnya Arjuna berhasil mengalahkan Jayadrata.
Atas kematian Abimanyu di hari ke 13, Arjuna akan berusaha membalas dendam dan menepati sumpahnya untuk membunuh Jayadrata sebelum matahari terbenam apabila ia tidak berhasil ia akan membakar diri.
Menanggapi hal itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah matahari sudah tenggelam. Jayadrata menjadi lega. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam dan sesuai aturan, mereka segera menghentikan peperangan dan mulai beranjak untuk kembali ke kubu masing-masing padahal saat itu, kereta Arjuna sudah dekat dengan kereta Jayadrata.
Arjuna tertunduk lemas dan bersiap menunaikan sumpahnya sementara Jayadrata semakin gembira dan pongahnya melihat itu semua. Tiba-tiba matahari muncul kembali. Ternyata hari belum malam. Mereka semua terperanjat dan di saat itulah Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata.
Setelah perang berakhir, Arjuna bertarung dengan pasukan Sindhu ketika mereka menolak untuk mengakui Yudistira sebagai Maharaja dunia. Ketika Dursala (satu-satunya anak perempuan Korawa), istri Jayadrata, keluar untuk melindungi puteranya, yaitu raja muda penerus tahta Sindhu, Arjuna menghentikan pertarungan.
Versi JawaJayadrata
Jayadrata adalah seorang ksatria yang sangat sakti dari pihak Korawa. Misteri menyelubungi asal usulnya. Kisahnya bermula ketika Wrekudara lahir, ari-ari yang membungkusnya dibuang. Pertapa tua, yaitu Bagawan Sapwani, secara kebetulan memungutnya, mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang bocah lelaki, yang tumbuh dewasa dengan nama Jayadrata. Dari pandangan sekilas saja tampak jelas kemiripan kekerabatan dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden Gatotkaca.
Ketika Jayadrata beranjak dewasa, ia dibujuk untuk datang ke Hastina oleh Sangkuni yang cerdik, yang memandang perlu seorang sekutu yang seperti itu untuk melawan Pandawa. Di sana Jayadrata diberi suatu kedudukan yang tinggi dan dikawinkan dengan saudara perempuan Duryodana, Dewi Dursilawati. Hal ini mengikatnya dengan kuat pada pihak Kiri. Dalam Perang Bharatayuddha, dialah yang membunuh ksatria muda Abimanyu, dan setelah itu pada gilirannya ia dibunuh oleh Arjuna yang kehilangan anaknya. Karakter Jayadrata adalah jujur, setia, dan terus terang bagaikan Gatotkaca di antara Korawa. Ia mahir mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia diberi pusaka gada bernama Kyai Glinggang.
Jayadrata nama sesungguhnya adalah Arya Tirtanata atau Bambang Sagara. Arya Tirtanata kemudian dinobatkan sebagai raja negara Sindu, dan bergelar Prabu Sinduraja. Karena ingin memperdalam pengetahuannya dalam bidang tata pemerintahan dan tata kenegaraan, Prabu Sinduraja pergi ke negara Hastina untuk berguru pada Prabu Pandu Dewanata. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri, ia menukar namanya dengan nama patihnya, Jayadrata. Di negara Hastina Jayadrata bertemu dengan Keluarga Korawa, dan akhirnya diambil menantu Prabu Dretarastra, dikawinkan dengan Dewi Dursilawati dan diangkat sebagai Adipati Buanakeling. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Arya Wirata dan Arya Surata.
Gatotkaca, arti harfiahnya “memiliki kepala seperti kendi” putra Bimasena atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu gha(tt)am yang berarti “buli-buli” atau “kendi”, dan utkacha yang berarti “kepala”. Nama ini diberikan kepadanya karena sewaktu lahir kepalanya konon mirip dengan buli-buli atau kendi. Ibunya yang bernama Hidimbi, seorang Gadis Mongol dari India Timur, ia dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Gatotkaca menikah dengan seorang wanita bernama Ahilawati. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernmama Barbarika. Baik Gatotkaca ataupun Barbarika sama-sama gugur dalam perang besar di Kurukshetra, namun di pihak yang berbeda.
Pada bagian Ghattotkacabadhaparwa. dikisahkan bagaimana Gatotkaca gugur dalam perang di Kurukshetra atau Baratayuda pada malam hari ke-14. Perang besar tersebut adalah perang saudara antara keluarga Pandawa melawan Korawa, di mana Gatotkaca tentu saja berada di pihak Pandawa.
Gatotkaca dikisahkan sebagai seorang raksasa memiliki kekuatan luar biasa terutama pada malam hari. Setelah kematian Jayadrata di tangan Arjuna, pertempuran seharusnya dihentikan untuk sementara karena senja telah tiba. Namun Gatotkaca menghadang pasukan Korawa kembali ke perkemahan mereka.
Pertempuran pun berlanjut. Semakin malam kesaktian Gatotkaca semakin meningkat. Prajurit Korawa semakin berkurang jumlahnya karena banyak yang mati di tangannya. Seorang sekutu Korawa dari bangsa rakshasa bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca menghajarnya dengan kejam karena Alambusa telah membunuh sepupunya, yaitu Irawan putra Arjuna pada pertempuran hari kedelapan. Tubuh Alambusa ditangkap dan dibawa terbang tinggi, kemudian dibanting ke tanah sampai hancur berantakan.
Karna tampil dalam perang sebagai pendamping Drona. Pada hari ke-14 malam, perang tetap terjadi sehingga melanggar aturan yang telah disepakati. Duryodana menderita luka parah saat menghadapi Gatotkaca, putera Bimasena. Duryodana pemimpin Korawa merasa ngeri melihat keganasan Gatotkaca. Ia memaksa Karna menggunakan senjata pusaka pemberian Dewa Indra. Semula Karna menolak karena pusaka tersebut hanya akan dipergunakannya untuk membunuh Arjuna saja. Namun karena terus didesak, Karna terpaksa melemparkan pusakanya menembus dada Gatotkaca. Sesuai perjanjian dengan Indra, pusaka Konta pun musnah hanya dalam sekali penggunaan.
Para Pandawa, terutama Bimasena terkejut menyaksikan kekalahan Gatotkaca. Bimasena berteriak menyuruh Gatotkaca memperbesar ukuran tubuhnya, sebagaimana lazimnya ilmu yang dimiliki kaum rakshasa. Dalam keadaan sekarat, Gatotkaca melaksanakan perintah ayahnya. Tubuhnya membesar sampai ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa ribuan prajurit Korawa.
Dalam barisan Pandawa hanya Kresna yang tersenyum melihat kematian Gatotkaca. Ia gembira karena Karna telah kehilangan pusaka andalannya sehingga nyawa Arjuna dapat dikatakan relatif aman.
Versi Jawa Gatotkaca
Ibu Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa. Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan “otot kawat tulang besi”. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.
Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.
Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan pemilik senjata Konta.
Tetuka kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang diserang musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus rajanya yang bernama Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba. Bayi Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya mati, Tetuka justru semakin kuat.
Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga. Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya.
Tetuka kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa.
Batara Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.
Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil menikahi Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya, bernama Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.
Dari perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia menjadi panglima perang Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit, putra Abimanyu atau cucu Arjuna.
Versi lain mengisahkan, Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan Jayasumpena.
Gatotkaca versi Jawa adalah manusia setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya adalah Arimbi putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Tremboko tewas di tangan Pandu ayah para Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.
Arimba sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri Bima. Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.
Arimbi memiliki lima orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, dan Kalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi tempat tinggal di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang menghasut Brajadenta bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan milik Gatotkaca.
Akibat hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak Gatotkaca bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun tewas bersama. Roh keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak tangan Gatotkaca kiri dan kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka tersebut.
Setelah peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar Patih Prabakiswa.
Perang di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan nama Baratayuda. Kisahnya diadaptasi dan dikembangkan dari naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157 pada zaman Kerajaan Kadiri.
Versi pewayangan mengisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama Abimanyu putra Arjuna. Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari putri Kerajaan Wirata, di mana ia mengaku masih perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah menikah dengan Sitisundari putri Kresna.
Sitisundari yang dititipkan di istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi. Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk mengajaknya pulang. Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa bulat kerdil tapi berhati polos dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa cemburu. Abimanyu terpaksa bersumpah jika benar dirinya telah beristri selain Utari, maka kelak ia akan mati dikeroyok musuh.
Kalabendana kemudian menemui Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun Gatotkaca justru memarahi Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan rumah tangga sepupunya itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala Kalabendana. Mekipun perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya itu tewas seketika.
Ketika perang Baratayuda meletus, Abimanyu benar-benar tewas dikeroyok para Korawa pada hari ke-13. Esoknya pada hari ke-14 Arjuna berhasil membalas kematian putranya itu dengan cara memenggal kepala Jayadrata.
Duryudana sangat sedih atas kematian Jayadrata, adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna menyerang perkemahan Pandawa malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat meskipun hal itu melanggar peraturan perang.
Mendengar para Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca untuk menghadang. Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma yang ia pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang.
Pertempuran malam itu berlangsung mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa yang bernama Lembusa. Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama Lembusura dan Lembusana.
Gatotkaca akhirnya berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna merasa kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.
Gatotkaca mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah Kalabendana tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.
Gatotkaca pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.
Gatotkaca telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa. Akibatnya, pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para prajurit Korawa yang berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa jumlah mereka yang mati.
Hari ke 15, Sebelum perang, Begawan Drona pernah berkata, “Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya”.
Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan tentang siasat Sri Kresna yang menyuruh agar Bima membunuh gajah bernama Aswatama. Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan tersebut kepada Yudistira, dan Yudistira berkata bahwa Aswatama mati.
Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, “Aswatama mati”. Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata, “naro va, kunjaro va” — “entah gajah atau manusia”). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha.
Benarlah, setelah mendengar hal tersebut, Drona kehilangan semangat berperang sehingga meletakkan senjatanya. Melihat hal itu, ia dipenggal oleh Drestadyumna. Setelah kematian Drona, Aswatama, putera Bagawan Drona, hendak membalas dendam.
Versi Jawa kematian Resi Drona
Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumena, putera Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya, raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestadyumena. Akan tetapi sebenarnya kejadian itu disebabkan oleh taktik perang yang dilancarkan oleh pihak Pandawa dengan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan sang Resi.


Posted on July 23, 2010by Bombo Unyil
Karnaparwa, kitab ke-8 Mahabharata, menceritakan sang Salya yang menjadi kusir kereta sang Karna. Akhirnya sang Karna dibunuh oleh sang Arjuna dalam perang tanding.
Kitab ini tidak didapati dalam bahasa Jawa Kuna.
Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17.
—————
Kitab Karnaparwa merupakan kitab kedelapan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Karna sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca gugur, Arjuna dan Bima mengamuk. Mereka banyak membantai pasukan Korawa. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Bima berhasil membunuh Dursasana dan merobek dadanya untuk meminum darahnya. Kemudian Bima membawa darah Dursasana kepada Dropadi. Dropadi mengoleskan darah tersebut pada rambutnya, sebagai tanda bahwa dendamnya terbalas. Kemattian Dursasana mengguncang perasaan Duryodana. Ia sangat sedih telah kehilangan saudaranya yang tercinta tersebut. Semenjak itu ia bersumpah akan membunuh Bima.
Untuk mengimbangi Arjuna yang mempunyai Krisna sebagai kusir kereta maka Karna meminta Salya bertindak sebagai kusir keretanya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir kereta Karna. Kemudian terjadi pertengkaran antara Salya dengan Karna.
Versi Jawa
Menurut cerita pedalangan Yogyakarta ia tewas dalam kisah Bratayuda babak 5 lakon Timpalan / Burisrawa Gugur atau lakon Jambakan / Dursasana Gugur. Menurut tradisi Jawa ia berkediaman di wilayah Banjarjungut, peninggalan mertuanya.
Pertengkaran yang terjadi karena Salya selaku mertua Karna merasa diperlakukan dengan kurang sopan. Namun Karna berhasil menghibur kemarahan mertuanya itu dengan mengatakan bahwa derajat Salya justru disejajarkan dengan Kresna yang menjadi kusir Arjuna. Adapun Kresna merupakan raja agung, titisan Batara Wisnu.
Hari ke-16, Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun tidak sampai membunuh mereka sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna kemudian bertanding melawan Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain.
Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna.
Versi Jawa
Ketika Karna mengincer leher Arjuna menggunakan panah Badal Tulak, diam-diam Salya memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah Badal Tulak meleset hanya mengenai rambut Arjuna.
Pertempuran tersebut akhirnya tertunda oleh terbenamnya matahari.
Hari ke-17, perang tanding antara Karna dan Arjuna dilanjutkan kembali. Setelah bertempur dalam waktu yang cukup lama, akhirnya kutukan Parasurama menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba lupa terhadap semua ilmu yang diajarkan gurunya tersebut. Kutukan kedua terjadi pula. Salah satu roda kereta Karna tiba-tiba terbenam ke dalam lumpur. Ia pun turun ke tanah untuk mendorong keretanya itu Ia minta Salya membantunya tapi kusir keretanya itu menolak untuk mendorong dan membantunya. Karna turun tangan sendiria untuk mengangkat kembali keretanya yang terperosok.
Arjuna membidiknya menggunakan panah Pasupati. Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Kresna mendesak agar Arjuna segera membunuh Karna karena ini merupakan satu-satunya kesempatan. Karna meminta Arjuna menaati peraturan karena saat itu dirinya sedang berada di bawah kereta, dan dalam keadaan tanpa senjata.
Kresna membantah kata-kata Karna. Menurutnya, Karna lebih sering berbuat curang daripada Arjuna dalam peperangan, seperti misalnya saat ia ikut serta mengeroyok Abimanyu, ataupun membunuh Gatotkaca pada malam hari. Kresna kembali mendesak Arjuna untuk bertindak dengan cepat. Arjuna pun melepaskan panah Pasupati yang segera melesat memenggal leher Karna. Kutukan ketiga menjadi kenyataan, Karna tewas dalam keadaan lengah tanpa memegang senjata.
Versi Jawa
Setelah kematian Karna, keris pusakanya yang bernama Kaladite melesat sendiri menyerang Arjuna. Arjuna menangkisnya menggunakan keris Kalanadah. Kedua pusaka itu pun musnah bersamaan. Arjuna kemudian mendekati mayat Karna untuk memberikan penghormatan terakhir. Surtikanti datang ke medan perang dengan diantar oleh Adirata. Melihat suaminya tewas, Surtikanti melakukan bela pati dengan menikam dadanya sendiri menggunakan keris. Melihat menantunya tewas bunuh diri, Adirata marah dan berteriak menantang Arjuna. Bimasena muncul menghardik Adirata. Adirata ketakutan dan melarikan diri, namun ia terjatuh dan meninggal dunia.

seluruh naskah wiracarita Mahabharata yang terdiri atas 18 parwa. Bagian ini bercerita tentang klimaks perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa yang terjadi di Padang Kurukshetra. Perang ini dalam pewayangan terkenal dengan sebutan Baratayuda.
Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.
Salyaparwa terdiri atas 65 bab. Kitab ini bercerita tentang pertempuran pada hari ke-18 di mana saat itu pihak Korawa telah kehilangan banyak pasukan. Kisah diawali dengan ratapan Duryodana atas kematian Karna, panglima andalannya pada hari sebelumnya. Ia kemudian mengangkat Salya sebagai panglima baru untuk melanjutkan peperangan.
Dalam pertempuran hari itu, Salya akhirnya gugur di tangan Yudistira, pemimpin para Pandawa. Namun kisah Salyaparwa tidak berakhir sampai di sini. Selanjutnya diceritakan bagaimana penasihat pihak Korawa yang licik, yaitu Sangkuni tewas di tangan Sahadewa, adik bungsu Yudistira.
Bagian akhir Salyaparwa mulai bab ke-32 diberi judul Gadayuddhaparwa, yang berkisah tentang perang tanding antara Duryodana melawan Bimasena. Perang ini merupakan klimaks dari seluruh rangkaian Baratayuda. Dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, Duryodana akhirnya roboh terkena hantaman gada milik Bima.
==========
Sesudah Karna gugur dalam perang Duryodhana dirundung kesedihan, Bhagavan Krpta memberi saran agar perang dihentikan untuk menghindari kehancuran lebih lanjut. Tapi duryodhana mengatakan itu semua sudah terlambat dan ingin melanjutkan pertemburan. Kemudian ia mengusulkan Salya menjadi seorang senopati, Salya menasehati Duryodhana agar berhenti berperang dan ia menyanggupi akan menjadi penengah dan penghubung antara Kurawa dan Pandawa. Aswatama yang memang dari awal tak suka dengan Salya sangat marah dan menghina Salya hingga terjadi perkelahian dikeduanya. Dan delerai oleh Duryodhana, karena merasa berhutang budi kepada Duryodhana Salyapun bersedia menjadi senopati.
Keesokan harinya yaitu pada perang yang ke delapan belas, Prabu Salya berhadapan dengan Arjuna dan Bima berhadapan dengan adik-adik Duryhodana yang hanya tinggal lima orang. Sebelum tengah hari Bima telah berhasil membunuh kelimanya. Bima sangat merasa puas karena dendamnya terhadap Korawa hampir dapat terlampiaskan hanya tinggal Duryodhana saja yang belum. Tetapi sebelum mencari Duryodhana ada seorang lagi yang diincarnya yaitu Sakuni. Saat dilihatnya Sakuni sedang berhadapan dengan Sahadewa. Dengan Teriakan yang nyaring Ia menyuruh Sahadewa untuk Mundur.
Melihat Bima datang, sakuni mulai takut. Ia berusaha melarikan diri, tetapi Bima berhasil mengejarnyadan menjambak rambutnya serta membantingnya. Sakuni berusaha bangun, entah untuk melawan atau larti lagi. Bima lalu mengeluarkan unek-uneknya, “Hai Sakuni, peperangan ini terjadi akibat mulutmu yang busuk. Aku telah bersumpah untuk merobek mulutmu yang busuk.”
Sakuni merasa bahwa tidak ada gunanya lagi Ia melarikan diri. Ia-pun langsung menyerang Bima. Namun dalam beberapa gerakan saja Ia telah jatuh tertunduk, serangannya mampu ditahan Bima. Bima kembali mencacinya, “Terlalu enak bagimu jika kau kubunuh dengan sekali pukul. Karena kaulah yang menjadi sumber segala bencana ini. Dengan akal busukmukau selalu berusaha mmelenyapkan Pandawa. Sekarang rasakan penderitaanmu.” Bima kembali menjambak rambut Sakuni sambil memakinya sepuas hati. Setelah itu tangannya dipatahkan, matanya dibutakan, dan akhirnya mulutnya dirobek sampai Ia menjerit melepas nyawa.
Sementara itu, pertempuran antara Salya dengan Arjuna berlangsung sengit. Lama kelamaan Salya makin terdesak, Salyapun langsung mengeluarkan Aji Candra Bhairawa. Tubuh Salya mengeluarkan raksasa yang langsung menyerang Arjuna. Raksasa itu langsung dipanah oleh Arjuna tepat mengenai perutnya. Raksasa itu tidak mati, bahkan Raksasa itu mengeluarkan darah dan darahnya berubah menjadi Raksasa lagi. Sehingga Arjuna diserang oleh dua Raksasa. Arjuna hendak memanahnya lagi namun dilarang oleh Krisna dan Ia meminta Arjuna untuk mundur.
Bima yang melihat adiknya didesak oleh dua Raksasa mulai menghadang raksasa tersebut. Dengan Gadanya ia memukuli Raksasa-raksasa tadi. Tetapi Raksasa yang dipukul tadi menjadi banyak Raksasa karena tiap darah yang keluar berubah menjadi raksasa baru. Dengan demikian Bima direbut oleh banyak raksasa. Dan raksasa itu pula menyerang seluruh prajurit Pandawa.
Pada saat itu, hari telah menjelang tengah hari, Krisnha lalu mendekati Yudhistira dan menyuruh Yudhistirauntuk melawan Salya. Yudhistirapun maju dengan senjata Kalimasada. Tepat tengah hari Kalimasada dilemparkan dan tepat mengenai kepala Salya. Dan akhirnya Salya gugur, dengan itu raksasa-raksasa Candra Bairawapun lenyap dengan seketika. Gugurnya Salya dan lenyapnya para raksasa disambut dengan gembira oleh pasukan Pandawa, sebaliknya prajurit Korawa menjadi putus asa. Mereka kehilangan semangat untuk bertempur, mengingat para pemimpin mereka sudah gugur. Mereka berlari menyelamatkan diri. Sedangkan Duryodhana melarikan diri setelah mengetahui gugurnya Salya dan kehancuran prajurutnya serta tak seorangpun yang bisa diandalkannya lagi. Duryodhana bersembunyi di sebuah telaga. Sementara itu para Pandawa mencari Duryodhana di medan perang, namun tidak ditemukan.
Setelah mengetahui Prabu Salya gugur, salah seorang prajuritnya meninggalkan medan pertempuran dan melapor pada Dewi Setyawati. Mendapatkan laporan tentang suaminya yang gugur Ia kemudian pingsan. Setelah siuman Ia kemudian berpesan kepada dayang-dayangnya bahwa Ia akan mencari jenazah suaminya tersebut serta akan melakukan satya. Sugandika yang menjadi dayangnya ikut dengan Setyawati, setelah membersihkan diri dan berpakain serba putih mereka berjalan menuju bekas arena pertempuran. Disana Ia menemukan banyak jenazah dan belum menemukan jenazah suaminya, hingga Ia hampir putus asa, akhirnya ada petunjuk dari lagit tentang keberadaan jenazah Salya. Akhirnya Setyawati dan Sugandika melakukan satya.
Atas petunjuk Krisna, Pandawa menemukan keberadaan Duryodhana bersembunyi. Duryodhana pada saat itu sedang berendam disebuah telaga. Bima lalu berkata “Hai Duryodhana, ternyata kamu sudah tidak ksatriya lagi. Kamu meninggalkan medan perang karena takut mati. Kamu melarikan diri dan bersembunyi disini. Kamu kira aku tak akan bisa menemukanmu. Kemanapun kamu bersembunyi akan tetap aku kejar. Sekarang tunjukkanlah sikap kesatryamu. Ayolah kita bertempur sebagai kesatrya.” Mendengar tantangan Bima seperti itu akhirnya Duryodhana berkata, “Hai Bima dan kamu Pandawa semua, aku berendam disini bukan karena takut, tapi badanku terasa panas. Sekarang majulah kalian berlima serta seluruh prajuritmu rebutlah aku. Aku tidak takut menghadapi kalian semua seorang diri.” Mendengar kata-kata Duryodhana yang demikian congkak, Krisnapun berkata, “Hai Duryodhana, Pandawa tetap menjunjung tinggi sifat-sifat kesatrya. Pandawa menjadi tidak kesatrya bila mengeroyokmu. Oleh karena itu kamu boleh memilih salah satu dari mereka untuk bertempur denganmu.” Mendengar penjelasan Krisna, Duryodhana menjawab, “ Kalau begitu baiklah, aku akan memilih salah satu. Aku tidak memilih Nakula atau Sahadewa karena bagiku mereka masih terlalu kanak-kanak. Aku juga tidak memilih Arjuna karena Ia bersifat banci. Aku juga tidak mau bertempur dengan Yudhistira yang seperti pendeta. Satu-satunya yang cocok berhadapan denganku adalah Bima. Disamping antara aku dan Bima cukup seimbang, kebetulan sekali kami sama-sama bersenjatakan gada.
Setelah dialog tersebut disiapkan arena untuk perang tanding antara Bima dan Duryodhana. Sebelum perang dimulai, kebetulan Baladewa datang ke tempat itu. Semua yang ada disana memberi hormat atas kedatangannya. Duryodhana sangat senang atas kedatangan Baladewa begitu juga dengan Bima. Baladewa merupakan guru mereka dalam penggunaan senjata gada, kemudian mereka meminta restu untuk memulai pertempuran. Dan juga Baladewa diminta untuk menjadi saksi.
Perang antara Duryodhana dan Bima sangat seru. Setelah beberapa lama Krisna berteriak-teriak memberi semangat. Bima yang sedang bertempur tertarik mendengar teriakan Krisna lalu menoleh ke arah Krisna. Saat Bima menoleh Krisna menepuk pahanya dan mematahkan sepotong ranting. Melihat hal itu Bima lalu teringat akan sumpahnya bahwa Ia akan mematahkan paha Duryodhana. Oleh karena itu Ia mengusahaakan untuk hal itu, seketika Duryodhana melompat Ia memukil pahanya. Seketika itu Duryodhana roboh ke tanah dengan paha yang remuk. Bima lalu menginjak-injak kepalanya dan memakinya, “Hai Duryodhana, rasakan sekarang hasil perbuatanmu. Inilah balasanku atas segala kejahatanmu terhadap Pandawa.”
Baladewa yang meihat hai itu jadi sangat marah. Ia lalu menegur Bima, “hai Bima mengapa kamu menyalahi aturan perang gada. Bukankah kamu tahu, dalam perang gada tidak boleh memukul dibawah perut. Kenapa kamu memukul paha, disamping itru perbuatanmu mencaci musuh dan menginjak kepala musuh yang tek berdaya sudah bukan merupakan sifat kesatrya. Atas dosamu aku akan menghukummu, bersiaplah menerima pukulan gadaku.”
Krisna segera berlari menghalangi maksud Baladewa dengan memberikan penjelasan. “Kanda Baladewa, jangan dulu marah. Bima sengaja memukul paha Duryodhana karena ada alasannya. Pertama, Duryodhana telah banyak sekali berbuat dosa dan menyebabkan pihak Pandawa menderita. Kedua, karena Bima telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodhana atas perlakuannya yang tidak senonoh terhadap Drupadi. Ketiga, Duryodhana telah terkena kutuk dari Maharsi Metrya, agar pahanya dipatahkan oleh nusuh karena penghinaannya terhadap Rsi tersebut. Atas tiga hal tersebut harap Kanda menjadi Maklum.” Setelah mendengar penjelasan tersebut, Baladewapun menjadi maklum dan meninggalkan tempat tersebut.
Setelah Baladewa pergi, Krisnapun mengajak para pendawa untuk meninggalkan tempat tersebut. Tetapi sebelum mereka pergi jauh Duryodhana yang tak berdaya masih bisa mengomeli Krisna yang telah memberi syarat pada Bima untuk menghantap pahanya, Ia juga menuduh Krisna telah menyebabkan kematian Bhisma dengan menyuruh Srikandi menghadapi Bhisma. Begitu pula kematiasn Drona, dengan menyuruh Yudhistira untuk berbohong. Jiga kematian Karna yang menyuruh Arjuna memanah Karna yang sedang memperbaiki kereta. Juga kematian Raja Sindu dengan membuat Kurusetra menjadi gelap
Terhadap omelan Duryodhana tersebut Krisna menjawab bahwa itu adalah akibat dari dosa-dosa Duryodhana sendiri, seperti meracuni Bima, membakar Pandawa dirumah Gala-gala, permainan judi yang curang serta mempermalukan Drupadi. Setelah memberi penjelasan tersebut Krisna dan Pandawa beranjak dari tempat itu, para prajurit langsung disuruh ke kemah sementara para Pandawa diajak bertirtayatra untuk penyucian diri lahir batin. Yaitu di telaga Pancaka Tirta, letaknya di tengah hutan dekat dengan medan Kuru Setra. Telaga ini dibuat oleh Bhagawan Parasu Rama pada zaman dahulu.
Di Hastinapura, Dhrstaarastha menanyakan bagaimana kematian Duryodhana yang pahanya remuk dipukul dan apa kata terakhir yang muncul dari mulutnya. Sanjaya menceritakan rintihan-rintihan Duryodhana kepada Dhrstarastha, juga pesannya kepada krpa, Krtavarma dan Asvatama serta menginformasikan perintahnya kepada Carvaka tentang saat terakhir yang sangat menyakitkan. Utusan Duryodhana tiba di perkemahan Asvatama dan menyampaikan pesan dari Duryodhana. Krpa, Krttavarma dan Aswathama tiba di medan pertempuran dan melihat pertempuran sudah selesai. Asvathama sangat sedih hatinya melihat runtuhnya kerajaan besar dibawah pimpinan Duryodhana dan akan memenuhi janji yang diminta Duryodhana. Sumpah Asvatama dan permintaan Duryodhana untuk menjadikan Krpa sebagai panglima perang, selanjutnya perpisahan perpisahan ketiga pahlawan itu dan berakhir dengan kematian Duryodhana.
==========
Kitab Salyaparwa merupakan kitab kesembilan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Salya sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Karna yang telah gugur. di tangan Arjuna pada hari ke-17, Salya pun diangkat sebagai panglima baru pihak Korawa. Salya hanya memimpin selama setengah hari, karena pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka.
Pada hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun tewas terkena tombak Yudistira.
Naskah Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah menjadi tombak menembus dada Salya.
Kematian Salya diuraikan pula dalam Kakawin Bharatayuddha. Ketika ia diangkat sebagai panglima, Aswatama yang menjadi saksi kematian Karna mengajukan keberatan karena Salya telah berkhianat, yaitu diam-diam membantu Arjuna. Namun, Duryodana justru menuduh Aswatama bersikap lancang dan segera mengusirnya.
Salya maju perang menggunakan senjata Rudrarohastra. Muncul raksasa-raksasa kerdil namun sangat ganas yang jika dilukai justru bertambah banyak. Kresna mengutus Nakula supaya meminta dibunuh Salya saat itu juga. Nakula pun berangkat dan akhirnya tiba di hadapan Salya. Tentu saja Salya tidak tega membunuh keponakannya tersebut. Ia sadar kalau itu semua hanyalah siasat Kresna. Salya pun dengan jujur mengatakan, Rudrarohastra hanya bisa ditaklukkan dengan jiwa yang suci.
Kresna pun meminta Yudistira yang terkenal berhati suci untuk maju menghadapi Salya. Rudrarohastra berhasil dilumpuhkannya. Ia kemudian melepaskan pusaka Kalimahosaddha ke arah Salya. Pusaka berupa kitab itu kemudian berubah menjadi tombak yang melesat menembus dada Salya.
Sementara itu menurut versi pewayangan Jawa, Rudrarohastra disebut dengan nama Candabirawa. Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Bahkan, sejak itu Candabirawa justru berbalik mengabdi kepada Yudistira. Selanjutnya, Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun tewas seketika.
Baik versi Bharatayuddha ataupun versi pewayangan Jawa mengisahkan setelah Salya tewas, istrinya yaitu Setyawati datang menyusul ke medan pertempuran untuk melakukan bela pati. Setyawati dan pembantunya yang bernama Sugandika kemudian bunuh diri menggunakan keris.
Pada hari ke-18 ini juga Sangkuni bertempur melawan Sahadewa. Dengan mengandalkan ilmu sihirnya, Sangkuni menciptakan banjir besar melanda dataran Kurukshetra. Sadewa dengan susah payah akhirnya berhasil mangalahkan Sangkuni. Tokoh licik itu tewas terkena pedang Sadewa. Menurut versi MahaBharata bagian kedelapan atau Salyaparwa, Sangkuni tewas di tangan Sahadewa, yaitu Pandawa nomor lima. Pertempuran habis-habisan antara keduanya terjadi pada hari ke-18. Sangkuni mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta banjir besar yang menyapu daratan Kurukshetra, tempat perang berlangsung. Dengan penuh perjuangan, Sahadewa akhirnya berhasil memenggal kepala Sangkuni. Riwayat tokoh licik itu pun berakhir.
Versi Jawa
Menurut Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun 1157, Sangkuni bukan mati di tangan Sahadewa, melainkan di tangan Bimasena, Pandawa nomor dua. Sangkuni dikisahkan mati remuk oleh pukulan gada Bima. Tidak hanya itu, Bima kemudian memotong-motong tubuh Sangkuni menjadi beberapa bagian.
Pada hari terakhir Baratayuda, Sangkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima merasa putus asa.
Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan Sangkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak terkena Minyak Tala. Bima pun maju kembali. Sangkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima.
Ilmu kebal Sangkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sangkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sangkuni hanya sekarat tetapi tidak mati.
Pada sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para Korawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil Sangkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudana. Duryudana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya Banowati.
Akibat gigitan itu, Sangkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana. Ini membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya bukan istrinya, melainkan pamannya yaitu Sangkuni yang senantiasa berjuang dengan berbagai cara untuk membahagiakan para Korawa.
Diceritakan Duryodana yang ditinggal mati saudara dan sekutunya dan kini hanya ia sendirian sebagai Korawa yang menyerang Pandawa. Semenjak seluruh saudaranya gugur demi memihak dirinya, Duryodana menyesali segala perbuatannya dan berencana untuk menghentikan peperangan.
Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Ia pun bersedia untuk menyerahkan kerajaannya kepada para Pandawa agar mampu meninggalkan dunia fana dengan tenang. Sikap Duryodana tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa. Duryodana pun naik ke darat siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus, sikap itu ditunjukan karena Ia tahu bahwa Pandawa tidak akan mungkin secara bersama-sama mengeroyoknya.
Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13. Yudistira mengajukan tawaran, bahwa ia harus bertarung dengan salah satu Pandawa, dan jika Pandawa itu dikalahkan, maka Yudistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana.
Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana malu mendengarkan pembicaraan kakak dan adik ini. Ia menyadari nasi sudah menjadi bubur dan sekarang saatnya untuk mengakhriri. Meskipun bersifat angkara murka namun ia juga seorang pemberani.
Duryodana memilih bertarung dengan senjata gada melawan Bima. Kedua-duanya memiliki kemampuan yang setara dalam memainkan senjata gada karena mereka berdua menuntut ilmu kepada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan terjadi dengan sengit, keduanya sama-sama kuat dan sama-sama ahli bergulat dan bertarung dengan senjata gada. Khasiat mata sang Ibunda Gandari memanglah hebat tidak ada satupun badan dari Duryodana dapat dilukai Bima. Bima walaupun bertenaga sangat kuat namun ia tidak kunjung dapat melukai Duryodana, Bima mulai kehilangan kepercayaan diri dan kelelahan sementara Duryodana justu semakin meningkat kepercayaan dirinya dan mulai berusaha untuk membunuh Bima. Bima mulai mengalami banyak luka di sekujur tubuhnya, Ia semakin melemah sedangkan hari mendekati senja. Kontras dengan Bima, justru Duryodana semakin bersemangat.
Baladewa hadir juga menyaksikan pertempuran itu sehingga tidak leluasa bagi Krisna untuk memberikan petunjuk secara langsung kepada Bima. Satu kesalahan saja, akan membuat Baladewa memihak Duryodana. Akhirnya Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya (bahwa ia akan mematahkan paha Duryodana karena perbuatannya yang melecehkan Dropadi). Atas petunjuk Kresna, Bima menjadi ingat perbuatan keji Duryodana terhadap Droupadi dan mengingat sumpahnya kembali. Kemarahannya meningkat walaupun ia tidak yakin mampu melukai Duryodana Ia langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryodana. Setelah pahanya dipukul dengan keras, Duryodana tersungkur dan roboh. Ia mulai mengerang kesakitan, sebab itulah bagian tubuhnya yang tidak kebal telah dipukul oleh Bima. Keadaan itu terjadi ketika Gandari meminta Duryodana telanjang dihadapannya, namun krisna waktu itu mengejeknya tidak tahu tahu sopan santun karena menghadap ibunda dengan posisi telanjang. Ia kemudian memakai penutup pinggang hingga ke paha.
Saat Bima ingin mengakhiri riwayat Duryodana, Baladewa datang untuk mencegahnya dan mengancam bahwa ia akan membunuh Bima. Baladewa juga memarahi Bima yang telah memukul paha Duryodana, karena sangat dilarang untuk memukul bagian itu dalam pertempuran dengan senjata gada.
Kresna kemudian menyadarkan Baladewa, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi Bima untuk menunaikan sumpahnya. Kresna juga membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Duryodana. Duryodana lebih banyak melanggar aturan-aturan perang daripada Bima. Ia melakukan penyerangan secara curang untuk membunuh Abimanyu. Ia juga telah melakukan berbagai perbuatan curang agar Indraprastha jatuh ke tangannya.
Duryodana gugur dengan perlahan-lahan pada pertempuran di hari kedelapan belas. Hanya tiga ksatria yang bertahan hidup dan masih berada di pihaknya, yaitu Aswatama, Krepa, dan Kretawarma. Sebelum ia meninggal, Aswatama yang masih hidup diangkat menjadi panglima perang.
Sauptikaparwa adalah kitab ke-10 Mahabharata. Kitab yang tidak didapati dalam bahasa Jawa Kuna ini, menceritakan sang Aswatama yang menyelinap masuk ke istana Hastina dan membunuh para putra Pandawa, Srikandi dan lain-lainnya. Ia akhirnya dibunuh oleh sang Arjuna.
Dalam khazanah budaya Jawa baru, cerita ini dikenal sebagai lakon wayang “Aswatama Gugat”.
Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
=======
Kitab Sauptikaparwa merupakan kitab kesepuluh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah tiga ksatria dari pihak Korawa yang melakukan serangan membabi buta pada di malam hari, saat tentara Pandawa sedang tertidur pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah Aswatama, Krepa, dan Kritawarma.
Aswatama atau Ashwatthaman adalah putera Drona dengan Kripi, adik Krepa dari Hastinapura. Sebagai putera tunggal, Drona sangat menyayanginya. Saat kecil keluarganya hidup misikin, namun mengalami perubahan setelah Drona diterima sebagai guru di istana Hastinapura. Ia mengenyam ilmu militer bersama dengan para pangeran Kuru, yaitu Korawa dan Pandawa. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Saat perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia bersama Kertawarma dan Krepa yang bertahan hidup. Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta terhadap lima putera Pandawa namun lima putera Pandawa tidak terselamatkan nyawanya.
Saat perang di antara Pandawa dan Korawa meletus, ia memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya, dan berteman dengan Duryodana. Untuk membangkitkan semangat pasukan Korawa setelah dipukul mundur, ia memanggil senjata Narayanastra yang dahsyat. Mengetahui hal tersebut, Kresna membuat sebuah taktik dan karenanya senjata itu berhasil diatasi. Ia juga memanggil senjata Agneyastra untuk menyerang Arjuna, namun berhasil ditumpas dengan senjata Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima dalam Bharatayuddha berakhir secara “skakmat”.
Kabar angin yang salah mengenai kematiannya dalam perang di Kurukshetra membuat ayahnya meninggal di tangan pangeran Drestadyumna dari kerajaan Panchala. Aswatama yang menaruh dendam mendapat izin dari Duryodana untuk membunuh Drestadyumna secara brutal setelah perang berakhir secara resmi. Saat akhir peperangan, Aswatama yang didasari motif balas dendam berjanji kepada Duryodana bahwa ia akan membunuh Pandawa,
Ia menyerang kemah Pandawa saat tengah malam, Aswatama membunuh seluruh pasukan Panchala, Drestadyumna yang membunuh Drona, Srikandi serta kelima putera Pandawa atau Pancawala (anak Pandawa dari Dropadi). Kemudian Aswatama sejenak menyesali perbuatannya lalu pergi ke tengah hutan, berlindung di pertapaan Rsi Byasa.
Pandawa yang marah dengan perbuatan tersebut memburu Aswatama dan akhirnya ia bertarung dengan Arjuna. Saat pertarungan, Aswatama memanggil senjata ‘Brahmastra’ yang sangat dahsyat, yang dulu ingin ditukar dengan cakra milik Kresna namun tidak berhasil. Dengan senjata itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan senjata yang sama. Takut akan kehancuran dunia, Bhagawan Byasa menyuruh agar kedua kesatria tersebut menarik senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya, Aswatama tidak bisa melakukannya dan diberi pilihan agar senjata menyerang target lain untuk dihancurkan. Dengan rasa dendam, Aswatama mengarahkan senjata menuju rahim para wanita di keluarga Pandawa. Di antara mereka adalah Utara, menantu Arjuna.
Setelah Aswatama mengarahkan Brahmastra menuju perut Utara yang sedang mengandung, senjata itu berhasil membakar janin Utara, namun Kresna menghidupkannya lagi dan mengutuk Aswatama agar menderita kusta dan mengembara di bumi selama 6.000 tahun sebagai orang buangan tanpa rasa kasih sayang. Dalam versi lain, dipercaya bahwa ia dikutuk agar terus hidup sampai akhir zaman Kaliyuga. Karena dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta ini menjadikan ia sebagai satu di antara tujuh Chiranjiwin.
Legenda mengatakan bahwa Aswatama pergi mengembara ke daerah yang sekarang dikenal sebagai semenanjung Arab. Ada juga legenda yang mengatakan bahwa Aswatama masih mengembara di dunia dalam wujud badai dan angin topan. Sebuah benteng kuno di dekat Burhanpur, India, yang dikenal dengan Asirgarh memiliki kuil Siwa di puncaknya. Konon setiap subuh, Aswatama mengunjungi kuil tersebut untuk mempersembahkan bunga mawar merah. Masyarakat yang tinggal di sekitar benteng mencoba untuk menyaksikannya namun tidak pernah berhasil. Konon orang yang bisa menyaksikannya akan menjadi buta atau kehilangan suaranya. Di Gujarat, India, ada Taman Nasional Hutan Gir yang dipercaya sebagai tempat Aswatama mengembara dan ia masih hidup.
Menurut legenda, Aswatama menyerahkan batu permata berharga (Mani) yang terletak di dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para Dewa, danawa, dan naga.
Versi Jawa
Aswatama adalah putra Bhagawan Drona alias Resi Drona dengan Dewi Kripi, puteri Prabu Purungaji dari negara Tempuru. Ia berambut dan bertelapak kaki kuda karena ketika awal mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi kuda sembrani, dalam upaya menolong Bambang Kumbayana (Resi Drona) terbang menyeberangi lautan. Aswatama berasal dari padepokan Sokalima dan seperti ayahnya, ia memihak para Korawa saat perang Bharatayuddha. Ketika ayahnya menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di Hastinapura, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Panah Cundamanik.
Pada perang Bharatayuddha, Drona gugur karena terkena siasat oleh para Pandawa. Mereka berbohong bahwa Aswatama telah gugur, tetapi yang dimaksud bukan Aswatama manusia, melainkan seekor gajah yang bernama Hestitama (Hesti berarti “Gajah”) namun terdengar seperti Aswatama. Lalu Drona menjadi putus asa setelah ia menanyakan kebenaran kabar tersebut kepada Yudistira yang dikenal tak pernah berbohong. Aswatama merasa kecewa dengan sikap Duryodana yang terlalu membela Salya yang dituduhnya sebagai penyebab gugurnya Karna. Aswatama memutuskan untuk mundur dari perang Bharatayudha. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah dari Amarta ke Hastinapura, secara bersembunyi Aswatama masuk menyelundup ke dalam istana Hastinapura. Ia berhasil membunuh Drestadyumna (pembunuh ayahnya), Pancawala (putera Puntadewa alias Yudistira), Banowati (Janda Duryodana) dan Srikandi. Diceritakan bahwa akhirnya ia mati oleh Bima, karena badannya hancur dipukul Gada Rujakpala.
Kritavarma adalah salah seorang kepala suku dari wangsa Yadawa, Ia disebut dalam MahaBharata, Vishnu Purana, Bhagavata and the Harivamsa. Ia lahir di wangsa Andhaka yang masih keluarga besar Wangsa Yadawa. Ia yang juga melakukan konspirasi terbunuhnya Mertua Khrisna saat di episode Permata Syamantaka. Diperang ini ia memimpin pasukan Yadawa disisi Kourawa dan membantu Aswathama membantai Prajurit Pancala dan lainnya. Seteah perang besar Ia kembali ke kerajaannya dan kelak terbunuh oleh Satyaki ketika musnahnya wangsa Yadawa di Mausala Parva.
___________________

Striparwa adalah buku ke-11 Mahabharata. Kitab ini tidak terdapat versi Jawa Kunanya. Kisah yang singkat ini menceritakan ratapan para istri-istri ksatriya yang telah tewas dalam peperangan Bharatayuddha. Mereka melaksanakan ritual sraddha.
Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
Upacara sraddha adalah upacara umat Hindu di pulau Jawa zaman dahulu kala untuk mengenang arwah seseorang yang meninggal. Bentuk reminisensi upacara ini, masih ada sekarang dan disebut sadran dengan bentuk verba aktif nyadran.

12/Santiparwa adalah kitab ke-12 Mahabharata. Kitab ini tidak didapatkan dalam bahasa Jawa kuna.
Dalam kitab ini diceritakan tentang nasehat-nasehat bagawan Bisma ketika berada di atas saratalpa atau “ranjang panah” ketika sudah dikalahkan pada perang Bharatayuddha. Ia terutama memberikan nasehat-nasehat penting kepada Raja Yudistira.
Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.
—–
Usai perang Bharatayuda, ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat para kurawa yang telah tewas, semua anak menantu Gandari (Ibu para Kurawa) telah menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.
Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.
Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggauta keluargaku mengalami kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya anggauta keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri’
https://mahabhrata.files.wordpress.com/2010/10/resize-of-mahabharatax.jpgKrisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu




mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya

Posted on July 23, 2010by Bombo Unyil
Anusasanaparwa adalah kitab ke-13 Mahabharata dan merupakan terusan Santiparwa, tentang percakapan antara Yudistira dan Bisma. Kitab ini tidak terdapatkan dalam bahasa Jawa kuna.Dalam kitab ini diceritakan pula meninggalnya Bisma dan berpulangnya beliau ke surga.
Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
Posted on July 23, 2010by Bombo Unyil
Aswamedikaparwa adalah kitab ke 14 Mahabharata. Kitab ini tidak didapatkan dalam bahasa Jawa kuna.
Kitab ini terutama menceritakan penobatan Parikesit, putra Abimanyu, cucu Arjuna untuk menjadi Raja Hastina sampai ke akhir hayatnya, tewas digigit si naga Taksaka.
Cerita tentang digigitnya Parikesit oleh Taksaka terdapat pula pada kitab pertama Adiparwa, yang terdapati dalam bahasa Jawa kuna.
Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.
Posted on July 23, 2010by Bombo Unyil
Asramawasikaparwa atau dalam versi Jawa Kuna disebut Asramawasanaparwa adalah buku ke 15 Mahabharata. Adapun kisah ceritanya adalah sebagai berikut: Sehabis perang Bharatayuddha, sang Drestarastra diangkat menjadi raja selama limabelas tahun di Astina. Ini bermaksud untuk menolongnya sebab putra-putra dan keluarganya sudah meninggal semua. Para Pandawa taat dan berbakti kepadanya dan menyanjung-nyanjungkannya supaya ia tidak teringat akan putra-putranya. Tetapi sang Wrekodara selalu merasa jengkel dan mangkel terhadapnya karena teringat akan perbuatan sang Duryodana yang selalu berbuat jahat.
Maka kalau tidak ada orang sang Drestarastra dicaci maki olehnya dan ditunjukkan atas kesalah-salahannya. Akhirnya sang Drestarastra tidak tahan lagi karena merasa segan dan meminta diri kepada raja Yudistira akan pergi dan tinggal di dalam hutan. Lalu ia berangkat diantarkan oleh orang tua-tua: Arya Widura, dewi Gandari dan dewi Kunti. Selama dalam pertapaan para Pandawa pernah mengunjunginya namun tak lama kemudian sang Drestarastara meninggal, disusul oleh para pengiringnya.
Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.
Posted on July 23, 2010by Bombo Unyil
Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab Mahabharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana.
Ringkasan isi Kitab Mosalaparwa
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Ia telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.
Kutukan para brahmana
https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/1/12/Sambapregnant.jpg/240px-Sambapregnant.jpgPada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, “Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?”. Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, “Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!” (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Musnahnya Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa
Perkelahian antara Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa di Prabhasatirtha.
https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/6/6f/Prabhasa.jpg/240px-Prabhasa.jpgSetelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, “Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?”. Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, “Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga”.
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna menyadari bahwa rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eruka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna tahu bahwa ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan jalannya takdir. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam hutan. Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia. Kemudian keluar naga dari mulutnya dan naga ini masuk ke laut untuk bergabung dengan naga-naga lainnya. Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna mengenang segala peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia berbaring di bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara tidak sengaja) membunuhnya dengan anak panah dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan. Ketika sadar bahwa yang ia panah bukanlah seekor rusa, Jara meminta ma’af kepada Kresna. Kresna tersenyum dan berkata, “Apapun yang akan terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan hidupku”. Sebelum Kresna wafat, teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk pergi ke Hastinapura, untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka mulai ditinggalkan penduduknya.
Hancurnya Kerajaan Dwaraka
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, yang meratap dan memohon agar Arjuna melindungi mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa mangkat. Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Wresni atau Wrishni (Sanskerta: वृषणि ;Vṛṣṇi) adalah seorang bangsawan Wangsa Yadawa. Wresni lahir sebagai putra sulung Maharaja Madhu dari generasi ke-19 keturunan Yadu (leluhur Yadawa). Para keturunan Wresni disebut Warsneya. Kresna masuk ke dalam percabangan Candrawangsa keturunan Wresni dan dari sanalah ia mendapat nama Warshneya.[1] Rakyat Dwaraka dikenal sebagai Wangsa Wresni.
Migrasi Wangsa Wresni ke Dwaraka
Jarasanda, ayah mertua Kamsa, menyerang Mathura dengan pasukan besar; dan walaupun Kresna menghancurkan pasukan raksasa tersebut, asura yang lain, Kalayawan namanya, juga mengepung Mathura dengan pasukan lain yang berjumlah tiga juta setan ganas. Kemudian Kresna berpikir bahwa lebih baik mereka mengungsi ke DwarakaHancurnya Wangsa Wresni

https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/6/6f/Prabhasa.jpg/240px-Prabhasa.jpg

Setelah gugurnya Duryodana dalam Mahabharata, Kresna menerima kutukan dari ibu Duryodana (Gandari). Ia sedih meratapi kematian putera-puteranya, kawannya, dan musuhnya; lalu ia sadar bahwa Hari (Kresna) adalah biang keladi semuanya, yang bersembunyi di belakang layar. Kemudian ia mengutuk Kresna agar malapetaka terjadi. Kutukannya adalah: bahwa 36 tahun kemudian Kresna sendiri akan mendapat celaka dan rakyatnya, yaitu Wangsa Wresni, akan hancur. Hal ini akhirnya menjadi kenyataan. Kegilaan menyelimuti rakyat Dwaraka sehingga mereka saling menyerang satu sama lain dan terbunuh, bersama dengan seluruh anak dan cucu Kresna. Hanya para wanita, Kresna, Balarama, dan beberapa ksatria yang masih hidup. Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; sesudah itu ia sendiri pergi ke hutan, dimana Balarama menunggunya. Kresna menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan. Lautan, sungai suci, dan naga para Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya. Maka Kresna melihat bahwa kakaknya telah meninggalkan alam manusia, dan sekarang ia mengembara sendirian di hutan. Ia memikirkan kutukan Gandari dan merasa segalanya telah terjadi, dan ia tahu bahwa sudah saatnya ia meninggal. Lalu ia menahan panca indria untuk melakukan yoga dan berbaring di bawah. Kemudian datanglah seorang pemburu dan mengira bahwa Kresna seekor rusa, sehingga ia menembakkan panah dan menembus kaki Kresna. Namun ketika si pemburu mendekat, ia melihat seseorang mengenakan jubah kuning sedang melakukan yoga. Ia merasa dirinya bersalah, kemudian menyentuh kaki Kresna. Kemudian Kresna bangkit dan memberi kebahagiaan kepada si pemburu, kemudian Kresna naik ke surga.
Arjuna pergi ke Dwaraka dan membawa pergi para wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra. Di perjalanan, segerombolan ksatria menyerang rombongan pengungsi tersebut dan membawa kabur sebagian besar wanita. Arjuna menetapkan yang lainnya bersama dengan sisa keturunan Kresna di kota yang baru; namun Rukmini dan istri Kresna yang lainnya menjadi Sati, membakar dirinya sendiri ke dalam api, dan yang lainnya menjadi pertapa atau pendeta. Kemudian air lautan menyerbu dan membanjiri Dwaraka sehingga tidak ada lagi jejak-jejak yang ditinggalkan
=========
Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab MahaBharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.
Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, “Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?”. Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, “Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!” (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, “Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?”. Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, “Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga”.
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia mengetahui bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan Andhaka kecuali diri mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan sehingga berpotensi besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri. Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
https://mahabhrata.files.wordpress.com/2010/07/e22b2-mahabharatamap.gif?w=289&h=320
Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya. Kresna menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya.
Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu Setelah itu Ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular tersebut, yaitu Sesa.
Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna kemudian duduk disebuah batu dibawah pohon di Prabhasa Tirta, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.
Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu) bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna kerah-merahan, Ia pikir, ‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia memanahnya dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri Krisna yang berjubah kuning sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian meminta ma’af atas kesalahannya itu. Sri Kresna tersenyum dan berkata,
‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’.
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan Orang-orang tua, anak-anak, janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di dalam peperangan, Arjuna bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi para Brahmana, Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra.
Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan beberapa pesan kepada Arjuna, Basudewa mangkat.
Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Yang menarik dari catatan kematian Krisna adalah:
§  Bangsa Yadawa terkenal tidak terkalahkan sehingga menjadi sombong, arogan kasar dan gemar mabuk2an di menjelang akhir kehidupan sehingga cukup aneh bila ada pemburu yang tidak terusik dan santai di sekitar tempat pertemuan bangsa Yadawa tersebut
§  Disekitar hutan tersebut, saat itu justru sendang terjadi perang dashyat yang berujung musnahnya bangsa Yadawa, maka bagaimana mungkin ada seorang Pemburu yang begitu santainya berburu?
§  Sebagai seorang pemburu rusa, tentunya ia mengerti prilaku rusa yang sangat waspada dan gampang terkejut, jadi bagaimana mungkin ada rusa disekitar perang besar bangsa Yadawa tersebut.
§  Satu kebetulan menarik lainnya adalah arti nama Jara adalah Usia Tua, Sehingga ada pendapat bahwa kematian Krisna di panah Pemburu bernama Jara, merupakan sebuah metaphora? yaitu wafat dikarenakan usia tua [125 tahun]
Dengan catatan di atas, maka terdapat dua pesan terakhir Krishna yaitu:
§  Kematian Krisna adalah benar karena usia tua, sehingga percakapan antara Krishna dan Jara merupakan tambahan dan bukan yang sebenarnya, maka pesan terakhir dari Krisna hanyalah kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa-sisa penduduk bangsa Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka
§  Apabila Pemburu itu ada maka pesan terakhir krisna ada dua yaitu menenangkan Jara dari perasaan bersalah dan kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa2 penduduk Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka.


§  Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku Mahabharata yang ketujuh belas. Dalam buku ini diceritakan bagaimana Sang Pandawa Lima dan Dewi Dropadi mengundurkan diri dari Hastinapura dan pergi bertapa ke hutan. Mereka melakukan ini karena ajal sudah dekat. Akhirnya satu persatu para Pandawa dan Dropadi meninggal kecuali prabu Yudistira.
§  Ringkasan isi Kitab Prasthanikaparwa
§  Parikesit diangkat menjadi Raja Hastinapura
§  Perjalanan terakhir bagi Pandawa dan Dropadi
§  Akhirnya prabu Yudistira ditemani seekor anjing dan mendengar suara dari angkasa yang berkata akan mengangkatnya ke surga tanpa harus meninggal dulu. Ia hanya mau jika anjingnya juga diperbolehkan ikut. Hal ini pertama-tama ditolak, tetapi prabu Yudistira bersikeras dan akhirnya dituruti. Ternyata si anjing jelmaan Dewa Dharma yang ingin mengetesnya.
§  Setelah naik di sorga, Yudistira tidak melihat saudara-saudaranya dan dewi Dropadi, ternyata mereka berada di neraka. Lalu beliau menuntut supaya ditaruh di neraka saja sebab kenikmatan sorga adalah sia-sia tanpa saudara-saudaranya dan Dropadi. Lalu kisah ini dilanjutkan di buku ke 18 Swargarohanaparwa
§  Posted on July 23, 2010by Bombo Unyil
§  Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.
§  Buku Swargarohanaparwa adalah buku terakhir Mahabharata. Di dalam buku ini dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke surga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada tinggal di sorga dengan para Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya, para Pandawa dan dewi Dropadi.
§  Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya sengsara dan iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka tempat mereka berada berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah berdosa sedikit sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit, tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.
§  Kitab Swargarohanaparwa didapati pula dalam khazanah Sastra Jawa
























JADWAL PERANG KELUARGA  BARATA :KORAWA vs   PANDAWA.
PERANG BARATAYUDA HARI KE 1-18 DI KURUSETRA INDIA
KURAWA ANGKATAN DARAT & SEKUTU MEREKA :
§  Bhagdatta, Kerajaan Pragjyotisha – 1 Akshauhini
§  Salya, Kerajaan Madra – 1 Akshauhini
§  Bhorisrawa, Kerajaan Bahlika – 1 Akshauhini
§  Kritawarma (Bhoja, Dwaraka tentara Kresna Klan Wresni & Andaka) – 1 Akshauhini
§  Jayadrata (Saindhava) – 1 Akshauhini
§  Sudakshina, raja Kambhoja – 1 Akshauhini (memiliki Yavanas & Sakas dalam pasukannya)
§  Winda dan Anuwinda (dari Awanti) – 1 Akshauhini
§  Nila, dari Mahishmati – 1 Akshauhini (dari selatan)
§  Lima Kekaya bersaudara – 1 Akshauhini
§  Bhisma, Resi Drona, Duryudana Kurawa Brothers – 2 Akshauhini Hastinapura, Indraprasta dan kerajaan lain
§   
PANDAWA ANGKATAN DARAT & SEKUTU MEREKA :
§  Satyaki dari klan Wresni & Yadu, Kerajaan Youdheya – 1 Akshauhini
§  Kuntibhoja, Surasena – 1 Akshauhini (Kerajaan Kunti, Mathura dan Surasena jadi satu)
§  Dhrishtaketu, raja Chedi – 1 Akshauhini – anak dari Sisupala sepupu Kresna dan Pandawa    ketika Rajasuya di indraprasta di penggal kepalanya oleh Kresna.
§  Jayatsena, anak Jarasanda – 1 Akshauhini (dari Magadha) – Jarasanda, yang dibunuh oleh Bima sebelumnya, tapi anak itu memihak pembunuh ayahnya!
§  Drupada dengan anak-anaknya, Kerajaan Panchala – 1 Akshauhini
§  Wirata raja Matsya dengan anak-anaknya – 1 Akshauhini
§  Arjuna, Bima Pandawa Brother dan kerajaan lain – 1 Akshauhini (dijadikan satu Pandya, Malawa, Anarta, Chola, Kerala)
KERAJAAN PIHAK KURAWA
11 Aksauhini (11 divisi) atau 2.405.700 tentara.
Kerajaan Hastinapura ; Kerajaan Indraprasta (Milik Pandawa di kuasai Kurawa)
Kerajaan Dwaraka (Pinjaman tentara & Ksatria dari Kresna) ; Kerajaan Bhoja
Kerajaan Bahlika ; Kerajaan Madra ; Kerajaan Pandya ; Kerajaan Kekaya
Kerajaan Angga ; Kerajaan Pragjyotisha ; Kerajaan Awanti
Kerajaan Madhyadesa ; Kerajaan Gandhara ; Kerajaan Kamboja
Kerajaan Kalingga ; Kerajaan Saurashtra ; Kerajaan Gurjara
Kerajaan Karusha ; Kerajaan Dasarna ; Kerajaan Sindhudesa
Kerajaan Mahishmati ; Kerajaan Trigarta ; Pasukan Raksasa (Knight Alambusa)
KERAJAAN PIHAK PANDAWA
Aksauhini (7 divisi) atau 1.530.900 tentara,
Kerajaan Matsyah ; Kerajaan Panchala ; Kerajaan Kuntibhoja
Kerajaan Kerala ; Kerajaan Chedi ; Kerajaan Mathura
Kerajaan Pandya ; Kerajaan Chola ; Kerajaan Magadha
Kerajaan Youdheya ; Kerajaan Surasena ; Kerajaan Kasi
Kerajaan Malawa ; Kerajaan Anarta ; Pasukan Naga (Knight Irawan)
Pasukan Raksasa (Knight Gatotkaca) ; Kerajaan Salwa
Netral (Tidak Ikut dalam Perang)
- 1 Ksatria Dari Kerajaan Mathura (Baladewa Kakak Kresna)
- Kerajaan Widharba (Rukmi Kakak Ikpar Kresna, Kakak Rukmini)
Perhitungan lengkap untuk Akshauhini :
Sr.
Unit
Composition
Foot soldiers
Horses
Chariots
Elephants
1
Patti
3
——
——-
5
3
1
1
2
Sena-mukha
3
Patti
——-
15
9
3
3
3
Gulma
3
Sena-mukha
——-
45
27
9
9
4
Gana
3
Gulma
——-
135
81
27
27
5
Vahini
3
Vahini
Gana
405
243
81
81
6
Pritana
3
Pritana
Vahini
1,215
729
243
243
7
Chamu
3
Chamu
Pritana
3,645
2,187
729
729
8
Anikini
3
Anikini
Chamu
109,350
65,610
21,870
21,870
9
Akshauhini
10
Akshauhini
Pasukan tersebut dibagi ke dalam aksohini (divisi). Setiap aksohini berjumlah 218.700 prajurit yang terdiri dari:
§  21.870 pasukan berkereta kuda
§  21.870 pasukan penunggang gajah
§  65.610 pasukan penunggang kuda
§  109.350 tentara darat (infantri)
Perbandingan jumlah mereka adalah 1:1:3:5. Pasukan Pandawa memiliki 7 divisi, dengan total pasukan 1.530.900 prajurit. Pasukan Korawa memiliki 11 divisi, total 18 Akshauhinis dengan total pasukan 2.405.700 prajurit. Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang adalah 3.936.600 orang
FORMASI PERANG :
§  KrauncaWyuha (formasi Bangau)
§  CakraWyuha (formasi Cakram / Melingkar)
§  KurmaWyuha (formasi kura-kura)
§  MakaraWyuha (formasi Buaya)
§  TrisulaWyuha (formasi trisula)
§  SarpaWyuha (formasi ular)
§  KamalaWyuha (formasi Bunga)
§  PadmaWyuha (formasi Teratai)
§  CandraWyuha (Formasi Bulan Sabit)
§  GarudaWyuha (formasi Garuda)
§  PalemWyuha (formasi Pohon Palem)
§  MandalaWyuha (formasi Perisai)
PANJI PERANG :
§  Bhisma (Pohon Palem & Lima Bintang),
§  Resi Drona (Mangkuk Pendeta & Busur Kuning).
§  Aswatama (Singa),
§  Duryudana (Ular cobra),
§  Resi Kripa (Banteng),
§  Jayadrata (Babi Hutan),
§  Abimanyu (Pohon Karnikara Emas),
§  Arjuna (Kera Putih).
§  And ALL ?????
PERANG HARI PERTAMA:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (Dursasana) ; Pandawa (Bima)
FORMASI PERANG : Kurawa (KurmaWyuha) ; Pandawa (SarpaWyuha)
JALANNYA PERANG :
(Arjuna meminta kresna menjalankan Kereta ke tengah medan perang
untuk melihat kedua kubu, Arjuna ragu untuk perang, kresna menasehati
arjuna dalam Bhagafat Gita, Kresna menunjukkan wujud ketuhanannya
sebagai Wisnu pada arjuna )
(Yudistira melepaskan jubah perang dan pergi ke klan kurawa memohon restu pada Bhisma, Resi Drona, Resi Kripa & Raja Salya)
(Yudistira mengumumkan siapa ksatria dan pasukan yg mau berpindah baik dari klan pandawa atau klan Kurawa, Yuyutsu saudara Tiri Duryudana berpindah dan memihak Pandawa)
-          Kritawarma (lost) VS Abimanyu (win)
-          Raja Salya (lost) VS Abimanyu (win)
-          Durmaka (lost) VS Abimanyu (win)
-          Bhisma (win) VS Abimanyu (lost)
-          Duryudana (lost) VS Abimanyu (win)
-          Bhisma (win) VS Bima & Drestadyumna (lost)
-          Bhisma VS Arjuna = Draw
-          Raja salya (win) VS Uttara (Anak Raja Wirata) dead
-          Raja salya (win) VS Gajah wahana Uttara (dead)
-          7 Kaurava brothers (lost) VS Sweta (win)
-          Bhisma (win) VS Sweta (Kakak Uttara) dead
-          Duryudana (win) VS Bima (lost)
HASIL PERANG :
Kurawa (win) ; Pandawa (lost)
PERANG HARI KE 2:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (??????) ; Pandawa (???????)
FORMASI PERANG : Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
-          Bhisma (draw), Pasukan Hastinapura (lost) VS Arjuna (Draw)
-          Resi Drona (win) VS Drestadyumna (lost) saved Bima
-          Resi Drona (win) VS Bima (lost)
-          Pasukan Kalinga (dead) VS Bima (win)
-          Bhisma (lost) VS Abimanyu & Setyaki (win)
-          Resi Kripa, Aswatama, Wikarna (win) VS Pasukan matsyah (lost)
-          Duryudana VS Bima (Draw)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 3:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (depan=Bhisma, belakang=Duryudana)
Pandawa (kiri=Bima, kanan=Drestadyumna)
FORMASI PERANG :
Kurawa (Garuda Wyuha) ;
Pandawa (Candra wyuha)
JALANNYA PERANG :
-     40 Kaurava brothers (lost) VS Arjuna (win)
-     Pasukan dwaraka (win) VS Drestadyumna (lost)
-     Pasukan dwaraka (lost) VS Setyaki, Srikandi (win)
-     Sangkuni (win) VS Setyaki (lost)
-     Sangkuni, Pasukan Gandara (lost) VS Setyaki & Abimanyu (win)
-     Resi Drona, Bhisma VS 3 Pandava brothers (Yudistira, Nakula, Sadewa) (draw)
-     Duryudana, pasukan hastinapura (lost) VS Bima, Gatotkaca (win)
-     Bhisma VS Arjuna (draw)
-     (Kresna marah mengeluarkan Cakra untuk membunuh Bhisma dan di cegah Arjuna)
-     Bhisma VS Arjuna (Survive)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 4:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (???????) ; Pandawa (???????)
FORMASI PERANG : Kurawa (???????) ; Pandawa (???????)
JALANNYA PERANG :
-    Pasukan Hastinapura (lost) VS Abimanyu (win)
-    5 knights (Aswatama, Burisrawa, Raja salya, Citrasena, Putracala) (lost) VS Arjuna & Abimanyu (win)
-    Putracala (dead) VS Drestadyumna (win)
-    Cala, Raja Salya, Pasukan Madrah (win) VS Drestadyumna (lost)
-    Raja salya (win) VS Abimanyu (lost)
-    Raja Salya (lost) VS Irawan (win)
-    Kaurava brothers, Pasukan Gajah (lost) VS Bima (win)
-    8 Kaurava brothers (dead) VS Bima (win)
-    Duryudana (win) VS Bima (lost)
-    Resi Drona (lost) VS Gatotkaca (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 5:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Wikarna, Burisrawa, Resi drona) ; Pandawa (Cekitana, Raja wirata)
FORMASI PERANG :
Kurawa (TrisulaWyuha) ; Pandawa (MakaraWyuha)
JALANNYA PERANG :
-     Resi Drona (win) VS Setyaki (lost)
-     3 knights (Resi Drona, Raja salya, Sudaksin) VS Bima, Srikandi, Drestadyumna (Survive)
-     Bhisma (lost) VS Srikandi (win)
-     Resi Drona (win) VS Srikandi (lost)
-     Duryudana (lost) VS Setyaki, Pasukan Youdheya (win)
-     Burisrawa (win) VS 10 Anak of Setyaki (dead)
-     Burisrawa (win) VS Setyaki (lost) Saved Bima
-     Duryudana, Pasukan Hastinapura (lost) VS Arjuna (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 6:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Bhisma & Duryudana) ; Pandawa (Bima & Arjuna)
FORMASI PERANG :
Kurawa (KraunchaWyuha) ; Pandawa (MakaraWyuha)
JALANNYA PERANG :
-     12 Kaurava brothers (Dursasana, Durwisaha, Durmata, Dursaha, Jaya, Jayasina, Wikarna, Citrasena, Sudarsana, Curucitra, Suwarma, Duskarna) (win) VS Bima (Lost) Saved Drestadyumna
-     11 Kaurava brothers (lost) VS Drestadyumna (win)
-     Duryudana (win) VS Bima & Drestadyumna (lost)
-     Duryudana (lost) VS Abimanyu & Kekaya (win)
-     Resi Drona (win) VS Drestadyumna, pasukan Panchala (lost)
-     Resi Drona (win) VS Bima, Pasukan Matsyah (lost)
-     Duryudana (lost) VS Bima (win)
-     Bhisma (win) VS Bima (lost)
-     Duryudana VS 5 Panchawala Brothers (Pratiwindya, Sutasoma, Srutakarma, Satanika, & Srutakirti.) (Survive)
HASIL PERANG :
Kurawa (win) ; Pandawa (lost)
PERANG HARI KE 7:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Aswatama, Kritawarma, Resi Drona) ; Pandawa (Arjuna, Setyaki)
FORMASI PERANG :
Kurawa (MandalaWyuha) ; Pandawa (BajraWyuha)
JALANNYA PERANG :
-     Bhisma VS Arjuna (draw)
-     Resi Drona (win) VS Raja Wirata (lost) saved Sanga
-     Resi Drona (win) VS Raya Wirata & Sanga (lost)
-     Aswatama (win) VS Srikandi (lost)
-     Raja Salya (win) VS Nakula (lost)
-     Raja Salya (lost) VS Sadewa (win)
-     2 Prince Awanti (Winda & Anuwinda) (lost) VS Yudhamanyu (win)
-     Kritawarma, 3 Kurava (Citrasena, wikarna, Durmasha) (lost) VS Bima (win)
-     Raja Bhogadetta (win) VS Gatotkaca (lost)
-     Raksasa Alambusa (lost) VS Setyaki (win)
-     Burisrawa (win) VS Dristaketu (lost)
-     Srutayu (lost) VS Yudistira (win)
-     Resi Kripa (fainting) saved sakuni VS Chekitana (fainting) saved bima
-     Resi Drona (win) VS Sanga Anak Raja Wirata (dead)
-     Duryudana (lost) saved Sangkuni VS Drestadyumna (win)
-     3 Kourava brothers (lost) VS Abimanyu (win)
-     Bhisma (lost) VS Srikandi (win)
-     Bhisma (win) VS Pasukan Srinjaya (lost)
-     Bhisma (win) VS Abimanyu (lost)
-     Bhisma VS 5 Pandawa Brothers (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) (Draw)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 8:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Bhisma, Aswatama ,Dursasana, Curucitra)
Pandawa (Kanan=Bima, Tengah=Yudistira, Kiri=Setyaki)
FORMASI PERANG : Kurawa (KurmaWyuha / Kura-kura) ; Pandawa (TrisulaWyuha)
JALANNYA PERANG :
-     8 Kourava brothers (Sunaba, Adityaketu, Wahwasin, Kundadara, Mahodara, Aparajita, Panditaka dan Wisalaksa) (dead) VS Bima (win)
-     (Duryodana perintahkan para saudaranya yang masih hidup untuk membunuh Bima. Namun tak satu yang berani maju menghadapi Bima setelah mereka menyaksikan kematian 8 saudaranya.)
-     Wrisna (adik sangkuni) (dead), Raja Hredika, Wresaba, Pasukan Kamboja, Pasukan Mahi, Pasukan Aratha (lost) VS Irawan, Pasukan Berkuda, Pasukan Naga (win)
-     6 Knight (Shatrunjaya, Chandraketu, Mahawegha, Suwarcha , Suryabhasa, Kalikeya) (anak Subala) (dead) VS Abimanyu & Irawan (win)
-     Raksasa Alambusa (win) VS Irawan (putra Arjuna) (dead)
-     Raksasa Alambusa (win) VS Pasukan Naga (lost)
-     Raksasa Alambusa (win) VS Abimanyu (lost)
-     Raksasa Alambusa (lost) saved Duryudana VS Gatotkaca (win)
-     Duryudana (win) VS tentara Raksasa (lost)
-     Duryudana & Raja Wanga (win) VS Gatotkaca (lost)
-     Bhisma VS Bima & Gatotkaca (draw)
-     16 Kourava brothers (dead) VS Bhima (win)
-     Buri & Sala (adik Burisrawa) (dead) VS Setyaki (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 9:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Dursasana, Duryudana, Aswatama) ; Pandawa (Bima, Irawan)
FORMASI PERANG :
Kurawa (SarpaWyuha) ; Pandawa (KurmaWyuha)
JALANNYA PERANG :
-     Pasukan Hastinapura (lost) VS Abimanyu (win)
-     Raksasa Alambusa (win) VS 5 Pancawala Brothers (lost)
-     Raksasa Alambusa (lost) VS Abimanyu (win)
-     Bhisma VS Abimanyu (draw)
-     Drigalochana (dead) VS Abimanyu (win)
-     Wasatiya (dead) VS Abimanyu (win)
-     Resi Kripa VS Arjuna & Setyaki (draw)
-     Aswatama VS Setyaki (draw)
-     Aswatama & Resi Drona VS Setyaki (lost)
-     Aswatama & Resi Drona VS Setyaki & Arjuna (draw)
-     Resi Drona (lost) VS Arjuna (win)
-     Bhisma & Dursasana (win) VS 4 Pandava brothers (Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa) (lost)
-     (Kresna menjadi marah. turun dari keretanya sambil membawa cemeti dengan tujuan membunuh Bisma. Arjuna sekalilagi mencegahnya)
-     Dursasana (lost) VS Arjuna (win)
-   Bhisma (win) VS Arjuna (lost)
-   Raja Somadatta (Ayah Burisrawa) dead VS Setyaki (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 10:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa (Arjuna, Srikandi)
FORMASI PERANG :
Kurawa (Bhisma), (Dursasana=Kanan), (Sangkuni=Kiri), (Duryudana=Belakang)
Pandawa (Arjuna, Srikandi 1 Kereta), (Drestadyumna=Kanan, Setyaki=Kiri), (Yudhamanyu, Uttamaujas=Belakang)
JALANNYA PERANG :
-     3 Knight (Resi Drona, Anggada, Kritavarman) VS Uttamaujas & Yudhamanyu (draw)
-     Duryodana (win) VS Uttamaujas (lost) saved Yudhamanyu
-     Sushena (putra Karna) dead VS Uttamaujas (win)
-     Bhisma (Lost Forever) VS Srikandi (defense) & Arjuna (Attack) = (win)
-     (Meskipun tubuhnya ditancapi ratusan panah, Bisma masih mampu bertahan hidup Sampai Akhir Perang sebab ia diberi anugrah untuk bisa menentukan waktu kematiannya sendiri.)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 11:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Resi Drona) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (?????) ; Pandawa (??????)
FORMASI PERANG : Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
-     (Karna pertama kalinya melibatkan diri dalam perang dalam pihak Kurawa)
-     Sengkuni VS Sadewa (draw)
-     Wiwimsanti VS Bima (draw)
-     Raja Salya (lost) VS  Nakula (win)
-     Resi Kripa (win) VS Dristaketu (lost)
-     Kritawarma VS Setyaki (draw)
-     Karna (win) VS Raja Wirata (lost)
-     Paurawa (lost) VS Abimanyu (win)
-     6 Mentri Karna (dead) VS Abimanyu (win)
-     Jayadrata (lost) VS Abimanyu (win)
-     Resi Drona (win) VS 3 Knight (Wrika, Pancala, Setyajit) (dead)
-     Resi Drona (win) VS Kasiraja (lost)
-     Resi Drona (win) VS Satanika putra Raja wirata (dead)
-     Resi Drona (win) VS Ketama (dead)
-     Resi Drona (win) VS Washudana (dead)
-     Resi Drona (win) VS 4 knight (Yudhamanyu, Uttamaujas, Setyaki, Srikandi) (lost)
-     Somadatti Adik Burisrawa (dead), Anak Burisrawa (dead) VS 2 Pancawala (Pratiwindya, Srutasena) (win)
-     Resi Drona (win) VS Yudistira (lost) saved Arjuna
-     Resi Drona (lost) VS Arjuna (win)
-     Resi Kripa (lost) VS Arjuna (win)
-     Karna & Resi Krepa (lost) VS Uttamaujas (win)
-     Pangeran Asmaka, Susena (anak dari Karna) (dead) VS Abimanyu (win)
-     Kundhawedhin (dead) VS Abimanyu (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 12:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Resi Drona) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Duryudana, Bhogadetta) ; Pandawa (Arjuna, Bima, Setyaki)
FORMASI PERANG :
Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
-     Duryudana, Pasukan Gajah (lost) VS Bima (win)
-     Raja Bhogadetta & Gajah Supratika VS Bima (draw)
-     Raja Bhogadetta & Gajah Supratika (win) VS Raja Dasarna & Pasukan Gajah (lost)
-     Raja Bhogadetta & Gajah Supratika (win) VS Setyaki (lost)
-     Pasukan Trigarta (lost) & 35 Anak Susarma (dead) VS Arjuna (win)
-     Susarma (lost) VS Arjuna (win)
-     Raja Bhogadetta & Gajah Supratika (win) VS Bima (lost)
-     Gajah Supratika (dead) VS Arjuna (win)
-     Raja Bhagadetta (dead) VS Arjuna (win)
-     Wrisna (dead), Achala (dead) VS Arjuna (win)
-     Sengkuni (lost) VS Arjuna (win)
-     Duryodana & Resi Drona VS Yudhamanyu (draw)
-     Kritawarman (lost) VS Yudhamanyu (win)
-     Karna & Resi Krepa (win) VS Yudhamanyu (lost)
-     Chitrasena (kakak ikpar Karna) dead VS Yudhamanyu (lost)
-     Rukmarata (putra Salya) (dead) VS Abimanyu (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 13:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Resi Drona) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Resi Drona, Susarma, Jayadrata) ; Pandawa (Arjuna & Abimanyu)
FORMASI PERANG :
Kurawa (CakraByuha) ; Pandawa (???????)
JALANNYA PERANG :
–     Susarma & Pasukan Trigarta VS Arjuna (draw)
-     Resi Drona (win) VS Yudistira (lost) saved Bima
-     Resi Drona (win) VS Bima (lost)
-     Resi Drona (win) VS 3 knight (Chekitana, Drestadyumna, Raja Kuntibhoja) lost
-     Resi Drona (win) VS 8 Knight (Raja Drupada, Gatotkaca, Yudhamanyu, Srikandi, Uttamaujas, Raja Wirata, Raja Kekaya, Srinjayas) lost
-     Resi Drona (lost) VS Setyaki (win)
-     (Resi Drona & Pasukan Kurawa menggelar Formasi CakraByuha).
-     (Abimanyu menerobos masuk di ikuti pasukan Pandawa di blakangnya).
-     (Abimanyu berhasil masuk formasi, jayadrata menutup puntu formasi, pandawa tertahan di luar formasi oleh Jayadrata dan Pasukannya).
-     Jayadrata (Anugrah Siwa) VS 15 Knight (Nakula, sadewa, bima, Yudistira, Setyaki, Srikandi, Raja Kuntibhoja. Raja wirata, Raja Drupada, drestadyumna, Uttamaujas, Yudhamanyu, chekitana, Srinjayas, Yuyutsu) Draw
-     Duryudana (lost) VS Abimanyu (win)
-     Asmaka (lost) VS Abimanyu (win)
-     Dursasana (lost) VS Abimanyu (win)
-     Karna VS Abimanyu (draw)
-     Laksmana putra Duryudana (dead) VS  Abimanyu (win)
-     9 Knight (Resi Durna, Resi Kripa, Raja salya, Brihatbala, Burisrawa, Kritawarma, Wikarna, Srutayuda, Srutayu) VS Abimanyu (draw)
-     7 Knight (Duryudana, Dursasana, Anak Dursasana, Aswatama, Sengkuni, Karna, Chitraksa) win VS Abimanyu (dead)
-     Jayadrata (Anugrah Siwa) win VS 15 Knight (Nakula, Sadewa, bima, Yudistira, Setyaki, Srikandi, Raja Kuntibhoja. Raja wirata, Raja Drupada, Drestadyumna, Uttamaujas, Yudhamanyu, Chekitana, Srinjayas, Yuyutsu) lost
-     Susarma (dead) VS Arjuna (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (win) ; Pandawa (lost)
PERANG HARI KE 14
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Resi Drona) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Resi Drona, Duryudana, Jayadrata) ; Pandawa (Arjuna, Bima, Syaki)
FORMASI PERANG :
Kurawa (PadmaWyuha) ; Pandawa (PalemWyuha)
JALANNYA PERANG :
-          Resi Drona (lost) VS Arjuna (win)
-          (Arjuna Berhasil menembus Formasi PadmaByuha)
-          Kritawarma, Pasukan Bhoja, Sudaksina (lost) VS Arjuna (win)
-          Duryudana (lost) VS Arjuna (win)
-          Srutayuda (dead) VS Arjuna (win)
-          Raja Kamboja (dead) VS Arjuna (win)
-          Srutayu (dead), Asrutayu (dead) VS Arjuna (win)
-          2 Anak Srutayu (dead) VS Arjuna (win)
-          Winda, Anuwinda (lost) VS Arjuna (win)
-          Duryudana (magic armor giving Drona) lost VS Arjuna (win)
-          Resi Drona (lost) VS Setyaki (win)
-          (Setyaki berhasil menembus Formasi PadmaByuha)
-          Resi Drona (win) VS Pasukan Panchala (lost)
-          Resi Drona (win) VS Drestadyumna (lost)
-          Resi Drona (lost) VS Bima (win)
-          (Bima berhasil menembus Formasi PadmaByuha)
-          11 Kurawa Brothers (dead) VS Bima (win)
-          Pasukan Dasarna (lost) VS Bima (win)
-          Resi Drona (win) VS Pasukan Matsyah, Pasukan Panchala (lost)
-          Duryudana, Pasukan Hastina (lost) VS Arjuna (win)
-          Karna VS Bima (survive)
-     Durjaya adik Duryudana (dead) VS Bima (win)
-     Durmaka adik Duryudana (dead) VS Bima (win)
-     5 Kurawa Brothers (Durmasa, Dussaha, Durmata, Durdara, Jaya) dead VS Bima (win)
-     7 Kurawa Brothers (Chitra, Upachitra, Chitraksa, Curucitra, Surasena, Citrayuda, Citrawarma) dead VS Bima (win)
-     9 Kurawa Brothers (dead) VS Bima (win)
-     Wikarna Adik Duryudana (dead) VS Bima (win)
-     Karna (win) VS Bima (lost)
-     Karna (lost) VS Arjuna (win)
-     Resi Drona VS 3 Knight (Yudistira, Drestadyumna, Yuyutsu) (draw)
-     Burisrawa (lost) VS Setyaki (lost) (Setyaki Pingsan)
-     (Arjuna memotong tangan kanan Burisrawa)
-     (Burisrawa memarahi Arjuna tapi segera di disadarkan Ajuna mengenai kesalahan pengeroyokan Abimanyu)
-     (Burisrawa tersadar dan melakukan Yoga)
-     Burisrawa (dead)  terpenggal pedangnya sendiri yang di ambil Setyaki.
-     (Kresna Memanggil Kusirnya Daruka dengan Terompet Pancajahnya)
-     Pasukan Satu aksauhini (109.350 tentara) dead VS Arjuna (win)
-     Karna (lost) VS Setyaki (win) & Kusir Daruka
-     Aswatama (lost) VS Arjuna (win)
-     (Keajaiban Kresna matahari tertutup banyak awan sehingga tampak matahari sudah tenggelam)
-     Jayadrata (dead) VS Arjuna (win)
-     Resi Drona VS Yudhamanyu & Uttamaujas (draw)
–     4 Knight (Resi Kripa, Aswatama, Karna, Duryudana) lost VS Gatotkaca (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 15
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Resi Drona) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (Karna) ; Pandawa (Gatotkaca)
FORMASI PERANG : Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
-     Pasukan Hastinapura, Pasukan Bhalika, Pasukan Dwaraka (lost) VS Gatotkaca, Pasukan Raksasa (win)
-     Duryudana (lost) VS Gatotkaca (win)
-     Karna (win) VS Pasukan Raksasa (lost)
-     Karna (win) VS Gatotkaca (dead)
-     Resi Drona (win) VS Raja Drupada (dead), Pasukan Panchala (lost)
-     Resi Drona (win) VS Raja Wirata (dead), Pasukan Matsah (lost)
-     Resi Drona (win) VS Drestadyumna & Bima (lost)
-     Dursasana (lost) VS Nakula (win)
-     (Strategi Kresna, Bima membunuh Gajah bernama Aswatama)
-     (Bima mengumumkan dirinya membunuh Aswatama di pasukan Resi Drona)
-     (Resi Drona menanyakan kebenarannya pada Yudistira)
-     (Yudistira berbohong, Resi Drona sedih dan melakukan Yoga)
-     Resi Drona (dead) terpenggal pedang Drestadyumna
-     (Roda Kereta Yudistira yang melayang 3 inci dari tanah. Setelah peristiwa tersebut, keretanya menyentuh tanah.)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 16:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Karna) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (Dursasana) ; Pandawa (Bima)
FORMASI PERANG : Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
-  Resi Krepa (win) VS Drestadyumna (lost)
-  Resi Krepa (lost) VS Arjuna (win)
-  Dursasana adik Duryudana (dead) VS Bima (win)
-  Karna (win) Kusir Raja Salya VS Arjuna (lost) Kusir Kresna
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
  17) PERANG HARI KE 17
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Karna) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (dursasana) ; Pandawa (Bima)
FORMASI PERANG : Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
-     Karna (win) VS Nakula (lost)
-     Karna (win) VS Sadewa (lost)
-     Karna (win) VS Bima (lost)
-     Duryudana (lost) VS Yudistira (win)
-     Karna (win) VS Yudistira (lost)
-     Karna, Kusir Raja Salya VS Arjuna, Kusir Kresna (survive)
–     (Kereta perang karna terperosok rodanya dalam lumpur, dan karna lupa mantra memanggil senjata Bramastra)
–    Karna (dead) Kusir Raja Salya VS Arjuna (win) Kusir Kresna
-   10 Kurawa Brothers (dead) VS 3 knight (Drestadyumna, Yudhamanyu, Uttamaujas) (win)
-   18 Kurawa Brothers (dead) VS Bima (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 18
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Raja Salya) ; Pandawa (Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (Duryudana) ; Pandawa (Bima)
FORMASI PERANG : Kurawa (???????) ; Pandawa (???????)
JALANNYA PERANG :
-     Raja Salya (dead) VS Yudistira (win)
-     Sakuni (dead) VS Sadewa (win)
-     Duryudana (win) VS Cekitana (dead)
-     (Duryudana meninggalkan medan perang dan melakukan Yoga Di dalam Danau Dwaipayana)
-     (5 Pandawa Brothes, Kresna, Yuyutsu, Setyaki, Drestadyumna, Srikandi, Yudhamanyu, Uttamaujas mendatangi danau dan memanggil Duryudana)
-     (Duryudana memilih Bima sebagai lawan tanding Perang Gada)
-     (Nakula mendatangi kamp Kurawa mengambilkan Gada Duryudana yang terbaik)
-     (Kritawarma, Resi Kripa & Aswatama menunggu di sebrang danau yang bersiap menyerang Ksatria Pandawa jika berlaku curang)
-     (Baladewa Kakak Kresna sekaligus Guru dari Duryudana dan Bima datang serta memberi restu)
–     (Siasat Kresna. mengingatkan Bima akan sumpahnya mematahkan paha Duryudana)
-     Duryudana (dead) VS Bima (win) (Perang Gada)
-     (Baladewa marah dan mau membunuh Bima yang berlaku curang memukul paha saat perang Gada namun di cegah dan di tenangkan Kresna)
-     (Ksatria Pandawa meniggalkan Duryudana dan kembali ke Kamp)
-     (Kritawarma, Resi Kripa & Aswatama mendatangi Duryudana sekaligus member restu pada Aswatama untuk melanjutkan perang)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
KESATRIA YANG TERSISA :
Kurawa :
-     3 Knight (Aswatama, Kritawarma, ResiKripa)
Pandawa : 5 Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa)5 Panchawala (Pratiwindya putra Yudistira, Sutasoma putra Bima, Srutasena putra Arjuna, Satanika putra Nakula, Srutakerti putra Sahadewa)
-     7 Knight (Kresna, Drestadyumna, Setyaki, Srikandi, Uthamaujas, Yudhamanyu, Yuyutsu)
MALAM PEMBANTAIAN Hari ke19
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Aswatama) ; Pandawa (Drestadyumna)
-     Kritawarma & Resi Kripa membakar semua kamp pasukan pandawa, dan menjaga di luargerbang membunuh siapasaja prajurit dan ksatria yang mencoba untuk keluar.
-     Aswatama membunuh dengan panah dan menyembelih Drestadyumna, Srikandi, Uthamaujas, Yudhamanyu dan 5 Panchawala (Pratiwindya putra Yudistira, Sutasoma putra Bima, Srutasena putra Arjuna, Satanika putra Nakula, Srutakerti putra Sahadewa)
KESATRIA PANDAWA YANG TERSISA :
5 Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa)
4 Knight (Kresna, Setyaki, Yuyutsu adik Tiri Duryudana)
  20)  HARI PEMBALASAN
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Aswatama)
-     Aswatama VS Arjuna (survive)
–     (Resi Wiyasa menahan senjata Bramastra dari Arjuna dan Aswatama, dan meminta keduanya menarik kembali senjatanya)
–     (Arjuna mencabut kembali Bramastra, sedangkan Aswatama tidak tau mantra mencabut Bramastra, Wiyasa memintanya memilih target lainnya)
-     (Aswatama mengarahkan senjata Brahmastra pada janin yang di kandung Uttari istri Abimanyu putra Arjuna)
-     (Krisna mengutuk Aswatama agar menderita kusta dan mengembara di bumi sampai akhir zaman Kaliyuga. sebagai orang buangan tanpa rasa kasih sayang dan dicintai)
-     (Krisna menghidupkan kembali anak yang telah mati dari rahim Uttari)
-     (Pandawa dan kresna menemui Barbarika sebagai penghakiman)
–     (setelah penghakiman Barbarika memohon kematian pada Kresna, Cakra kresna menghancurkan kepala Barbarika)
MANAKAH YANG LEBIH DI TAKUTI DALAM PERANG KURUSETRA???
Dalam INDIA yang paling di takuti oleh kurawa bersaudara adalah = ARJUNA putra pandu
Dalam JAWA yang paling di takuti oleh kurawa bersaudara adalah = BIMA putra pandu
Lalu bagaimanakah kerangka berpikirnya secara logika???
1. Kurawa bersaudara dan Pandawa bersaudara adalah sama2 murid Resi Drona selain Aswatama, Jayadrata dan Drestadyumna yang juga adlah muridnya dari sekian banyak muridnya hanya Arjuna yang paling pandai dan cekatan menggunakan senjata jarak jauh yaitu panah, hanya arjunalah yang paling pandai mengunakan senjata dewa seperti Bramastra, Astra, dan Agnastra. Itulah sebabnya para kurawa bersaudara takut pada arjuna karena diantara mereka hanya pandai menggunakan senjata pedang, kapak, gada dan tombak. Walaupun panah adalah senjata yang wajib di kuasai para ksatria tapi tidak ada yang seterampil dan sehebat arjuna.
2. Bima salah satu dari 5 pandawa dan Kurawa bersaudara seperti Duryudana, dursasana, wikarna DLL adlah murid dari Baladewa kakak dari Kresna, dalam olah ilmu menggunakan senjata gada. Dari sekian banyaknya muridnya hanya Duryudanalah yang paling pandai menggunakan senjata gada. Sehingga walaupun baladewa dan Bima adalah saudara sepupu tapi murid yang paling pandai dan paling di sayangi adalah Duryudana, jadi tidak ada alasan apapun bagi para kurawa termasuk duryudana untuk takut pada Bima.
3. Ksatria bersenjata Panah paling hebat di india ada 10 orang mereka adlah Arjuna, Bhisma, Resi Drona, Parasurama, Aswatama, Karna, Kresna, Pradyumna, Abimanyu, Setyaki, Srikandi. Jika di telita lebih lanjut sebagai berikut
– Ayah dan anak, Kresna dan pradyumna tidak melibatkan diri dalam peperangan jadi Kurawa bersaudara aman dalam hal lawan tanding senjata panah. Begitu juga dengan Parasurama tidak ikut dalam perang.
– Abimanyu, satyaki dan srikandi di pihak padawa itu setara dengan kekuatan aswatama yang juga ahli panah dari pihak kurawa di tambah lagi ia tidak bisa mati. kurawa juga memiliki 3 senjata terhebat yaitu Bhisma, Resi Drona dan karna yang tidak mungkin di kalahkan kesatria dari pihak pandawa termasuk arjuna. Mereka baru di kalahkan oleh siasat kresna yang sebagai penasehat dan kusir arjuna,,, jika kurawa mengandalkan aswatama yang takbisa mati itu percuma karena walaupun takbisa mati tapi ia bisa di kalahkan arjuna… untuk itulah kurawa pantas takut kepada arjuna di karenakan 3 ksatria terhebatnya terkalahkan
4. Ksatria bersenjata gada paling hebat di india ada 13 orang mereka adalah, Baladewa, Jarasanda, Kicaka, Kamsa, parasurama, Bhisma, resi drona, Karna, Duryudana, Dursasana, Bima, Jayadrata dan Drestadyumna. Jika di telita lebih lanjut sebagai berikut.
– Jarasanda dan Kicaka telah tewas di bunuh bima sebelum perang baratayuda, Kamsa telah tewas di bunuh kresna sebelum baratayuda. Begitu juga dengan Parasurama tidak ikut dalam perang.
– Drestadyumna yang mahir segala jenis senjata setara kekuatannya dengan Jayadrata dan Dursasana. Jadi kurawa bersaudara aman.
– Kurawa bersaudara mempunya 4 senjata terhebat yaitu Bhisma, Resi Drona dan karna yang pandai segala jenis senjata dan takbisa di kalahkan Bima dan Arjuna. Yang ke 4 adalah duryudana kakak tertua kurawa yang paling ahli bermain senjata gada melebihi bima. Andai saja duryudana tidak terkena kutukan resi narada dengan kutukan paha hancur, dan sumpah maut dari bima untuk duryudana dan dursasana, taktik kresna dalam mengingatkan sumpah bima….. tentu duryudana takterkalahkan tentu bima sudah di hajar babak belur oleh duryudana,,,, kemenangan bima atas duryudana adalah suatu kecurangan, karena dalam perang gada tidah boleh memukul anggota badan di bagian pusar ke bawah, tapi bima memukul paha duryudana atas petunjuk kresna…