Sabtu, 16 Mei 2015

PUPULAN PERNAK PERIK YG BERMAKNA

Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu.[1]

Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular[

Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.

Wesampayana menuturkan Mahabharata[

Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawayang bertempur di Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.

Garis keturunan Maharaja Yayati[sunting | sunting sumber]

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Silsilah Dinasti Kuru dan Yadu
Leluhur Maharaja Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama Maharaja Yayati, beliau memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu, dan Puru. Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru disebut Paurawa.[1]


































































































































Yadu menurunkan
wangsa 
Yadawa













Puru menurunkan
wangsa 
Paurawa
Dalam silsilah generasi Paurawa, lahirlah Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha.[1] Sang Bharata menurunkan Dinasti Bharata. Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebuah tempat yang disebut Kurukshetra, kemdian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti Kuru.[1]
Setelah beberapa generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapura. Prabu Santanu memiliki dua istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga melahirkan Bhisma, sedangkan Satyawati melahirkan Chitrāngada dan Wicitrawirya. Karena Chitrāngada wafat di usia muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi tahta, maka Wicitrawirya melanjutkan pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua permaisuri, yaitu Ambika dan Ambalika. Dari Ambika lahirlah Drestarastra dan dari Ambalika lahirlah Pandu. Drestarastra memiliki seratus putera yang disebut Korawaçata (seratus Korawa) sedangkan Pandu memiliki lima putera yang disebut Panca Pandawa (lima putera Pandu).

Kisah Prabu Santanu dan keturunannya[

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f6/Ravi_Varma-Shantanu_and_Satyavati.jpg/240px-Ravi_Varma-Shantanu_and_Satyavati.jpg
Prabu Santanu jatuh cinta kepadaSatyawati, anak seorang nelayan (dilukis oleh Raja Ravi Varma).
Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa, bertahta diHastinapura. Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera. Di antara ketiga putera tersebut, Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian berputera 8 orang. Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja. Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngadadan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran melawan seorang RajaGandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya.[1] Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut melahirkan seorang putera, bernamaWidura yang sedikit pincang.[1] Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.

Masa kanak kanak Pandawa Korawa
Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang bernama Drestarastramelanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa. Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.

Terbakarnya rumah damar

Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba.
Sayembara Drupadi
Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik. Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadiberhak menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata, "Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri.[1]
ARJUNA BERTAPA
Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh pararakshasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistiradan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak memedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubungannya dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.

Kisah lain dalam Kitab Adiparwa

Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan melainkan meloncat-loncat.[1]

Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya[]

Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.

Kisah Sang Winata dan Sang Kadru]

Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya.[1]

Kisah pemutaran Mandaragiri]

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/b7/Kurma_avatar.jpg/150px-Kurma_avatar.jpg
Kurma Awatara sebagai kura-kura yang menjadi dasar Mandaragiri
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kurma Awatara
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta (air suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.
Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya. Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.

Kisah Sang Garuda dan para Naga[sunting | sunting sumber]

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/5c/Taal_van_het_Adiparwa.jpg/240px-Taal_van_het_Adiparwa.jpg
Lukisan Garuda karya I Made Tlaga, seniman Bali, abad ke-19. Sekarang lukisan ini disimpan di Universitas Leiden.
Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekorkuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yanghitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.

Bahasa dan sejarah


Adiparwa versi Jawa Kuna yang dicetak ulang oleh Phalgunadi dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1990.
Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa Sanskerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tidak tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).

Pengaruh dalam budaya

Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sanskerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan.[2] Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari bahasa Sanskerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa.[2] Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli.[2] Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa.[2]
Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut Mulyono dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa.[3] Hal serupa juga terjadi pada kisah DewiDropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam.[3] Pancawala yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera Yudistira saja.[3]

Bahan bacaanGanguli, K. Mohan (translator). The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa, Adi Parva (First Parva, or First Book), translated into English Prose from the Original Sanskrit Text [1883-1896]. The Project Gutenberg EBook #7864. April, 2005.

1.     Widyatmanta, S. Kitab Adiparwa, jilid I. Cabang Bagian Bahasa – Jogyakarta, Jawatan Kebudayaan Kementerian PP dan K. 1958.
2.     Zoetmulder, P.J. Kalangwan, sastra Jawa Kuno selayang pandang. Penerbit Djambatan, Jakarta. 1994.
Astadasa parwa
Mahabharata adalah sebuah kisah kepahlawanan abadi, Mahabharata bukan hanya sekedar kisah kepahlawanan akan tetapi juga merupakan kisah jatuh bangunnya kebudayaan dan peradaban India. Kitab Mahābhārata merupakan salah satu Itihāsa yang terkenal. Kitab Mahābhārata berisi lebih dari 100.000 sloka. Mahabharata juga merupakan sebuah kisah perseteruan antara yang benar (Dharma) melawan yang tidak benar (Adharma) yang pada akhirnya
Kebenaran(Dharma) yang menang.

Mahabharata merupakan sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atauVyasa dari India. Buku ini terdiri atas delapan kitab. Oleh karena itu, dinamakan Asta Dasa Parwa (asta=8, dasa=10, parwa=kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum masehi.
Delapan belas Parwa (Asta Dasa Parwa) atau bagian tersebut dalam kisah Mahabharata, yaitu sebagai berikut:

1. Adi-Parwa = Pendahuluan, kisah Raja Manu dan lahir serta dibesarkan Keturunan Manu (Pandawa-Kurawa).
2. Sabha-Parwa = Pandawa membangun istana Indraprasta, permainan judi, dan hidup di pengasingan. Diceritakan pula saat Yudhistira menyelamatkan para saudaranya dari kematian maka diuji dengan pertanyaan tentang Dharma kehidupan oleh Dewata.
3. Wana-Parwa = Dua belas tahun di pengasingan di hutan.
4. Wirata-Parwa = Tahun dalam pengasingan dihabiskan di Kerajaan Wirata.
5. Udyoga-Parwa = Negosiasi serta persiapan perang.
6. Bhisma-Parwa = Bagian pertama dari pertempuran besar, dengan Bisma sebagai komandan untuk Kurawa dan bagian saat Bhagawad-gita diturunkan oleh Sri Khrisna kepada sang Arjuna, yang disaksikan oleh kusir kereta Prabu Dhritarastra yang diangkat menjadi menteri raja. Beliau bernama Sanjaya.
7. Drona-Parwa = Pertempuran berlanjut, dengan Drona sebagai panglima.
8. Karna-Parwa = Pertempuran lagi, dengan Karna sebagai panglima.
9. Shalya- Parwa = Bagian terakhir dari pertempuran dengan Salya sebagai panglima.
10. Sauptika-Parwa = Bagaimana Ashwattama dan sisanya Kurawa membunuh tentara Pandawa dalam tidur mereka sehingga meninggalnya Panca Kumara, putra dari Panca Pandawa.
11. Stri-Parwa = Gandari dan para istri ksatria meratapi suami mereka yang meninggal/orang mati.
12. Shanti-Parwa = Yudhistira menjadi Raja Hastina.
13 Anusasana-Parwa = Final instruksi dari Bisma, kakek dari Pandawa dan Kurawa.
14. Ashwamedhika-Parwa = Upacara Kerajaan Ashwamedha yang dilakukan oleh Yudhistira.
15. Ashramawasika-Parwa = Dretarasta, Gandari, dan Kunti pergi ke Ashram, dan akhirnya meninggal di hutan.
16. Mausala-Parwa = Pertikaian antara bangsa Yadawa karena senjata mausala.
17. Mahaprasthanika-Parwa = Bagian pertama perjalanan “besar” menuju kematian dari Yudhistira dan saudara-saudaranya.

18. Swagarohana-Parwa = Pandawa kembali ke dunia spiritual (swarga)


Sinopsis Mahabharata

Kisah Mahabharata diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala. Raja Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati, menikahi Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura. Dari keluarga tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah luas yang disebut Kurukshetra. Sang Kuru menurunkan Dinasti Kuru atau Wangsa Kaurawa. Dalam Dinasti tersebut, lahirlah Pratipa, yang menjadi ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Kurawa.

    Prabu Santanu adalah seorang raja mahsyur dari garis keturunan Sang Kuru, berasal dari Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga yang dikutuk agar turun ke dunia, namun Dewi Gangga meninggalkannya karena Sang Prabu melanggar janji pernikahan. Hubungan Sang Prabu dengan Dewi Gangga sempat membuahkan 7 anak, akan tetapi semua ditenggelamkan ke laut Gangga oleh Dewi Gangga dengan alasan semua sudah terkena kutukan. Akan tetapi kemudian anak ke 8 bisa diselamatkan oleh Prabu Santanu yang diberi nama Dewabrata. Kemudian Dewi Ganggapun pergi meninggalkan Prabu Santanu. Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya, yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.

    Setelah ditinggal Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu menjadi duda. Beberapa tahun kemudian, Prabu Santanu melanjutkan kehidupan berumah tangga dengan menikahi Dewi Satyawati, puteri nelayan. Dari hubungannya, Sang Prabu berputera Sang Citrānggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, ia pergi ke Kerajaan Kasi dan memenangkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada adik-adiknya. Karena Citrānggada wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan Wicitrawirya sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan panah menembus dada Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba bereinkarnasi menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu putera Raja Drupada yang bernama Srikandi. Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.

    Citrānggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran, kemudian ia digantikan oleh adiknya yaitu Wicitrawirya. Wicitrawirya juga wafat di usia muda dan belum sempat memiliki keturunan. Satyawati mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, untuk menemui Resi Byasa, sebab Sang Resi dipanggil untuk mengadakan suatu upacara bagi mereka agar memperoleh keturunan. Satyawati menyuruh Ambika agar menemui Resi Byasa di ruang upacara. Setelah Ambika memasuki ruangan upacara, ia melihat wajah Sang Resi sangat dahsyat dengan mata yang menyala-nyala. Hal itu membuatnya menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, maka anaknya terlahir buta. Anak tersebut adalah Drestarastra. Kemudian Ambalika disuruh oleh Satyawati untuk mengunjungi Byasa ke dalam sebuah kamar sendirian, dan di sana ia akan diberi anugerah. Ia juga disuruh agar terus membuka matanya supaya jangan melahirkan putra yang buta (Drestarastra) seperti yang telah dilakukan Ambika. Maka dari itu, Ambalika terus membuka matanya namun ia menjadi pucat setelah melihat rupa Sang Bagawan (Byasa) yang luar biasa. Maka dari itu, Pandu (putranya), ayah para Pandawa, terlahir pucat. Drestarastra dan Pandu mempunyai saudara tiri yang bernama Widura. Widura merupakan anak dari Resi Byasa dengan seorang dayang Satyawati yang bernama Datri. Pada saat upacara dilangsungkan dia lari keluar kamar dan akhirnya terjatuh sehingga Widura pun lahir dengan kondisi pincang kakinya.

    Dikarenakan Drestarastra terlahir buta maka tahta Hastinapura diberikan kepada Pandu. Pandu menikahi Kunti kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya dengan Madrim, namun akibat kesalahan Pandu pada saat memanah seekor kijang yang sedang kasmaran, maka kijang tersebut mengeluarkan kutukan bahwa Pandu tidak akan merasakan lagi hubungan suami istri, dan bila dilakukannya, maka Pandu akan mengalami ajal. Kijang tersebut kemudian mati dengan berubah menjadi wujud aslinya yaitu seorang pendeta. Kemudian karena mengalami kejadian buruk seperti itu, Pandu lalu mengajak kedua istrinya untuk bermohon kepada Hyang Maha Kuasa agar dapat diberikan anak. Atas bantuan mantra Adityahredaya yang pernah diberikan oleh Resi Byasa maka Dewi Kunti bisa memanggil para dewa untuk kemudian mendapatkan putra. Pertama kali mencoba mantra tersebut datanglah Batara Surya, tak lama kemudian Kunti mengandung dan melahirkan seorang anak yang kemudian diberi nama Karna. Tetapi Karna kemudian dilarung kelaut dan dirawat oleh Kurawa, sehingga nanti pada saat perang Bharatayudha, Karna memihak kepada Kurawa. Kemudian atas permintaan Pandu, Kunti mencoba mantra itu lagi, Batara Guru mengirimkan Batara Dharma untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahir anak yang pertama yaitu Yudistira, setahun kemudian Batara Bayu dikirim juga untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Bima, Batara Guru juga mengutus Batara Indra untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Arjuna dan yang terakhir Batara Aswan dan Aswin dikirimkan untuk membuahi Dewi Madrim, dan lahirlah Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu tersebut dikenal sebagai Pandawa. Dretarastra yang buta menikahi Dewi Gandari, dan memiliki sembilan puluh sembilan orang putera dan seorang puteri yang dikenal dengan istilah Kurawa.

    Pandawa dan Kurawa merupakan dua kelompok dengan sifat yang berbeda namun berasal dari leluhur yang sama, yakni Kuru dan Bharata. Kurawa (khususnya Duryudana) bersifat licik dan selalu iri hati dengan kelebihan Pandawa, sedangkan Pandawa bersifat tenang dan selalu bersabar ketika ditindas oleh sepupu mereka. Ayah para Kurawa, yaitu Drestarastra, sangat menyayangi putera-puteranya. Hal itu membuat ia sering dihasut oleh iparnya yaitu Sengkuni, beserta putera kesayangannya yaitu Duryudana, agar mau mengizinkannya melakukan rencana jahat menyingkirkan para Pandawa.

    Pada suatu ketika, Duryudana mengundang Kunti dan para Pandawa untuk liburan. Di sana mereka menginap di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Duryudana. Pada malam hari, rumah itu dibakar. Namun para Pandawa bisa diselamatkan oleh Bima yang telah diberitahu oleh Widura akan kelicikan Kurawa sehingga mereka tidak terbakar hidup-hidup dalam rumah tersebut. Usai menyelamatkan diri, Pandawa dan Kunti masuk hutan. Di hutan tersebut Bima bertemu dengan raksasa Hidimba dan membunuhnya, lalu menikahi adiknya, yaitu raseksi Hidimbi atau Arimbi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca.

    Setelah melewati hutan rimba, Pandawa melewati Kerajaan Pancala. Di sana tersiar kabar bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Adipati Karna mengikuti sayembara tersebut, tetapi ditolak oleh Drupadi. Pandawa pun turut serta menghadiri sayembara itu, namun mereka berpakaian seperti kaum brahmana.

    Pandawa ikut sayembara untuk memenangkan lima macam sayembara, Yudistira untuk memenangkan sayembara filsafat dan tatanegara, Arjuna untuk memenangkan sayembara senjata Panah, Bima memenangkan sayembara Gada dan Nakula - Sadewa untuk memenangkan sayembara senjata Pedang. Pandawa berhasil melakukannya dengan baik untuk memenangkan sayembara.

    Drupadi harus menerima Pandawa sebagai suami-suaminya karena sesuai janjinya siapa yang dapat memenangkan sayembara yang dibuatnya itu akan jadi suaminya walau menyimpang dari keinginannya yaitu sebenarnya yang diinginkan hanya seorang Satriya.

    Setelah itu perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum brahmana tidak selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian meloloskan diri. sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa mereka datang membawa hasil meminta-minta. Ibu mereka pun menyuruh agar hasil tersebut dibagi rata untuk seluruh saudaranya. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat bahwa anak-anaknya tidak hanya membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita.

    Agar tidak terjadi pertempuran sengit, Kerajaan Kuru dibagi dua untuk dibagi kepada Pandawa dan Kurawa. Kurawa memerintah Kerajaan Kuru induk (pusat) dengan ibukota Hastinapura, sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan ibukota Indraprastha. Baik Hastinapura maupun Indraprastha memiliki istana megah, dan di sanalah Duryudana tercebur ke dalam kolam yang ia kira sebagai lantai, sehingga dirinya menjadi bahan ejekan bagi Drupadi. Hal tersebut membuatnya bertambah marah kepada para Pandawa.

    Untuk merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira, Duryudana mengundang Yudistira untuk main dadu, ini atas ide dari Arya Sengkuni. Pada saat permainan dadu, Duryudana diwakili oleh Sengkuni sebagai bandar dadu yang memiliki kesaktian untuk berbuat curang. Permulaan permainan taruhan senjata perang, taruhan pemainan terus meningkat menjadi taruhan harta kerajaan, selanjutnya prajurit dipertaruhkan, dan sampai pada puncak permainan Kerajaan menjadi taruhan, Pandawa kalah habislah semua harta dan kerajaan Pandawa termasuk saudara juga dipertaruhkan dan yang terakhir istrinya Drupadi dijadikan taruhan. Akhirnya Yudistira kalah dan Drupadi diminta untuk hadir di arena judi karena sudah menjadi milik Duryudana. Duryudana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Drupadi, namun Drupadi menolak. Setelah gagal, Duryudana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Drupadi. Drupadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun Drupadi menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Drupadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna yang melihat Dropadi dalam bahaya. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.

    Drupadi yang merasa malu dan tersinggung oleh sikap Dursasana bersumpah tidak akan menggelung rambutnya sebelum dikramasi dengan darah Dursasana. Bima pun bersumpah akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya kelak. Setelah mengucapkan sumpah tersebut, Drestarastra merasa bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya, maka ia mengembalikan segala harta Yudistira yang dijadikan taruhan.

    Duryudana yang merasa kecewa karena Drestarastra telah mengembalikan semua harta yang sebenarnya akan menjadi miliknya, menyelenggarakan permainan dadu untuk yang kedua kalinya. Kali ini, siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan setelah itu berhak kembali lagi ke kerajaannya. Untuk yang kedua kalinya, Yudistira mengikuti permainan tersebut dan sekali lagi ia kalah. Karena kekalahan tersebut, Pandawa terpaksa meninggalkan kerajaan mereka selama 12 tahun dan hidup dalam masa penyamaran selama setahun.

    Setelah masa pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak untuk mengambil alih kembali kerajaan yang dipimpin Duryudana. Namun Duryudana bersifat jahat. Ia tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Pandawa, walau seluas ujung jarum pun. Hal itu membuat kesabaran Pandawa habis. Misi damai dilakukan oleh Sri Kresna, namun berkali-kali gagal. Akhirnya, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi.

    Pandawa berusaha mencari sekutu dan ia mendapat bantuan pasukan dari Kerajaan Kekaya, Kerajaan Matsya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, Wangsa Yadawa, Kerajaan Dwaraka, dan masih banyak lagi. Selain itu para ksatria besar di Bharatawarsha seperti misalnya Drupada, Setyaki, Drestadjumna, Srikandi, Wirata, dan lain-lain ikut memihak Pandawa. Sementara itu Duryudana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Kurawa sekaligus mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Kurawa. Kurawa dibantu oleh Resi Dorna dan putranya Aswatama, kakak ipar para Kurawa yaitu Jayadrata, serta guru Krepa, Kertawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sengkuni, Karna, dan masih banyak lagi.

    Pertempuran berlangsung selama 18 hari penuh. Dalam pertempuran itu, banyak ksatria yang gugur, seperti misalnya Abimanyu, Durna, Karna, Bisma, Gatotkaca, Irawan, Raja Wirata dan puteranya, Bhagadatta, Susharma, Sengkuni, dan masih banyak lagi. Selama 18 hari tersebut dipenuhi oleh pertumpahan darah dan pembantaian yang mengenaskan. Pada akhir hari kedelapan belas, hanya sepuluh ksatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Setyaki, Aswatama, Krepa dan Kertawarma. (Nanti diceritakan dalam kisah Bharatayudha)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPDg2Bt7dPJoVlALImTAtU6L_5GhBWymMbDLMJ0qYuKSkNJ9Bq9FrKMGodxNExSuXp-rzul0b9ylw6XLNRisF2GqujPfYWpPEzgXCRd2JzJWaDfnIsj7iGzTPJ3aLriqNsj_TdoTnQs3qs/s1600/download+(47).jpg


    Setelah perang berakhir, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah memerintah selama beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, yaitu Parikesit. Kemudian, Yudistira bersama Pandawa dan Drupadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Di sana mereka meninggal dan mencapai surga. (Diceritakan dalam kisah Pandawa Seda)


    Parikesit memerintah Kerajaan Kuru dengan adil dan bijaksana. Ia menikahi Madrawati dan memiliki putera bernama Janamejaya. Janamejaya menikahi Wapushtama (Bhamustiman) dan memiliki putera bernama Satanika. Satanika berputera Aswamedhadatta. Aswamedhadatta dan keturunannya kemudian memimpin Kerajaan Wangsa Kuru di Hastinapura. (Diceritakan dalam kisah Parikesit)

Mahabharata Cerita yang benar-benar ada


Mahabharata Cerita yang benar-benar ada
mahabharat war
A. Pengertian Mahabharata :
Mahabharata (Sanskerta: महाभारत) adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.
Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari.
arjuna dan krisna
Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sanskerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.
B. Isi Kitab
1. Adiparwa : Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kisah tewasnya rakshasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan Dropadi
drupadi and pandawas
2. Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun.
judi di astinapura
3. Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti. Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
arjuna dan dewa siwa
4. Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai penata rias.
5. Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
sakuni
6. Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.
297880-arav-choudhary-as-bheeshma.jpg
7. Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
drona
8. Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17
karna
9. Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.
doryadana
10. Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
aswatama
11. Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
kunti and pandawa
12. Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.
yudistira
13. Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
kematian bhishma
14. Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.
krisna
15. Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.
16. Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana.
17. Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
abimanyu utari love
18. Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.
C. Tokoh penting
pandavas-draupadi meriage
Abimanyu · Adirata · Arjuna · Abyasa (Byasa) · Amba · Ambalika · Ambika · Babruwahana · Baladewa (Balarama) · Barbarika ·Basudewa · Bharata · Bima · Bisma · Burisrawa · Citrānggada · Citrānggadā · Cekitana · Drestadyumna · Dretarastra · Drona ·Dropadi · Drupada · Dursala · Dursasana · Duryodana · Duswanta · Ekalawya · Gandari · Gangga · Hidimba · Hidimbi · Irawan ·Janamejaya · Jarasanda · Karna · Kertawarma · Krepa · Kresna · Kunti · Kuru · Nakula · Pandu · Parikesit · Pratipa · Radha · Sadewa ·Sakuntala · Santanu · Satyaki · Satyawati (Durgandini) · Sisupala · Srikandi · Subadra · Ulupi · Utara · Wesampayana · Widura ·Wirata (Matsyapati) · Yudistira · Yuyutsu
D. Bukti Kebenaran Cerita
full war perang dahsyat
Perang Bharatayuda. Para arkeolog terkemuka dunia telah sepakat bahwa perang besar di Kuruksetra merupakan sejarah Bharatavarsa (sekarang India) yang terjadi sekitar 5000 tahun yang lalu. Sekarang para peneliti hanya ingin menentukan tanggal yang pasti tentang peristiwa tersebut. Dari hasil pengamatan beserta bukti-bukti ilmiah. Dari berbagai estimasi maka dibuatlah suatu usulan peristiwa-peristiwa sebagai berikut:

* Sri Krishna tiba di Hastinapura diprakirakan sekitar 28 September 3067 SM
* Bhishma pulang ke dunia rohani sekitar 17 Januari 3066 SM
* Balarama melakukan perjalanan suci di sungai Saraswati pada bulan Pushya 1 Nov. 1, 3067 SM
* Balarama kembali dari perjalanan tersebut pada bulan Sravana 12 Dec. 12, 3067 SM
* Gatotkaca terbunuh pada 2 Desember 3067 SM.
dwaraka
Batayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wira carita terkenal dari India.
Dr.Rao meneliti bukti-bukti sejarah di lautan, di teluk Gujarat, untuk mengungkap bukti keberadaan Kerajaan Dwaraka. Istana Sri Krisna, otak penggalang strategis dari pihak Pandawa. Konon, kerajaan ini musnah ditelan gelombang laut tahun 1478 SM, setelah perang Bharatayudha tahun 1443 SM.
Michael Cremo mengadakan penelitian di daratan, diantaranya: Indraprasta, Hastinapura, dan padang Khurusethra, bekas perang itu terjadi. Seperti diketahui, Indraprasta merupakan tempat bermukim keluarga Pandawa di awal perjuangan merebut Hastina. Khurusethra adalah bekas pertempuran dahsyat keluarga Bharata.
Para ahli menemukan banyak bukti yang mengejutkan. Tanah tegalan luas itu ternyata tak ditumbuhi tanaman apa pun, karena tercemar radio aktif. Pada puing-puing bangunan atau sisa-sisa tengkorak manusia yang ditemukan di Mohenjo Daro tercemar residu radio aktif yang cukup pekat.
Menurut Dr.Indrajit, ahli termonuklir, hal ini terjadi diduga akibat radiasi ledakan termonuklir skala besar dalam peperangan tersebut. Jelasnya terdapat dalam kalimat Weda yang diterjemahkan bebas seperti ini, ”Arjuna yang gagah berani, duduk dalam Weimana/ Vimana.
Dalam Ufology, Vimana adalah wahana mirip piring terbang. Bahkan ada teori, bahwa dulunya Vimana adalah istilah untuk kendaraan alien yang berperang dengan manusia Bumi yang pada saat itu juga sudah canggih.

Teori kedua dalam Ufology, bahwa dulunya ada dua ras alien yang memperebutkan Bumi dan menghasilkan radiasi-radiasi yang hingga kini masih dapat dibuktikan.
Oleh kerenanya, manusia mengganggap bahwa para alien tersebut adalah “Dewa-dewa dari langit” yang sangat tangguh dan perkasa, lalu manusia membuat ceritanya dalam kitab-kitab Hindu.
Vimana dapat mendarat di tengah air, lalu mengangkat gendewa dan meluncurkan sebatang anak panah. Semacam senjata mirip rudal/ roket, yang dapat menimbulkan sekaligus melepaskan nyala api yang bersinar terang di atas wilayah musuh.
ladies
Curahannya seperti hujan lebat yang deras, mengepung musuh dengan kekuatan dahsyat. Setelah panah itu tiba pada sasarannya, dalam sekejap sebuah bayangan yang tebal dengan cepat terbentuk seperti cendawan raksasa merekah di atas wilayah kurawa.
Angkasa menjadi gelap gulita, semua kompas yang ada dalam kegelapan menjadi tidak berfungsi, kemudian badai angin yang dahsyat mulai bertiup wuuus… wuuus, disertai debu pasir.
Burung-burung bercicit panik seolah-olah langit runtuh dan bumi gonjang-ganjing. Sementara itu di atas langit, matahari seolah-olah bergoyang, panas membara memancarkan udara mengerikan, membuat bumi berguncang, dan gunung-gunung bergoyang.” (sumber viva.c0.id )
war in mahabharat
* Kota kuno Dvaraka. Demikian juga keberadaan kota Dvaraka yang dulu menjadi misteri, kota tersebut disebutkan dalam Mahabharata bahwa Dvaraka tenggelam di pantai. Doktor Rao adalah seorang arkeolog senior yang dengan tekun menyelidiki dengan “marine archaeology” dan hasilnya ditemukannya reruntuhan kota bawah laut, beserta ornamennya, didaerah Gujarat. Dwaraka, kota kerajaan Sri Krishna masa lalu.

Terkait

·          
·         Twitter

Cetak/ekspor Udyogaparwa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Udyogaparwa adalah buku kelima dalam epos Mahabharata. Teks lengkap karya sastra parwa ini belum pernah diterbitkan. Isinya mengenai persiapan peperangan antaraKorawa dan Pandawa. Pihak Pandawa menuntut separoh dari Kerajaan tetapi Korawa bersikeras menolak dengan alasan bahwa Pandawa telah kehilangan haknya. Namun di pihak Korawa Widura, Drona, dan Bhisma menasihati sebelumnya agar diupayakan penyelesaian damai. Kresna berperan sebagai duta untuk menengahi konflik antara paraKorawa dan para Pandawa. Tetapi ia malah akan dibunuh Korawa, sehingga marah besar. Ini mengilhami cerita wayang berjudul Kresna Duta. Dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan Karna, dan Kresna membujuk Karna agar berpihak kepada Pandawa, mengingat Kunti adalah ibunya dan Pandawa adalah saudaranya. Tetapi Karna terikat budi baik ayah angkatnya dan Duryudana, yang mengangkatnya menjadi raja, dan utang budi itu jauh lebih mengikat daripada hubungan darah yang kurang terpelihara.Udyogaparwa sarat dengan nasihat keutamaan. Misalnya ada empat tahap menghadapi musuh; yang pertama adalah sama, mencari kesepakatan damai; yang kedua adalahbheda, artinya setuju berbeda, dan dalam posisi status-quo; yang ketika adalah dana, memberikan silih yang dapat mengerem kemarahan; yang keempat adalah denda, menghukum. Setelah ketiga langkah pertama gagal diusahakan, maka tidak ada jalan lain, kedua belah pihak siap perang untuk menghukum. Mereka menggerakkan pasukan ke medan perang, Kurusetra. English
Cerita Mahabharata
Menurut M.A Salmoen dalam bukunyaPedalangan Di Pasoendan dan dalam Kitab Filsafat dan Masa Depan Pewayangan karya Ir. Moelyono, Mahabharata berasal dari cerita bangsa Aria, yaitu suatu bangsa yang mendiami tanah dataran tinggi Kasymir di India utara yang bernama Wedda. Kitab Mahabharata yang berasal dari cerita rakyat, berubah menjadi cerita mitos yang disetarakan dengan kitab-kitab lainya di India, seperti Jayur wedda, rig wedda, sama wedda dan lain-lainya.

Pada awal abad ke 20, kitab Mahabharata telah diterjemahkan ke dalam + 300 bahasa sehingga hampir seluruh dunia mengenalnya. Asal mula cerita itu ditulis dalam bentuk puisi yang disebarkan secara lisan dan turun-temurun, kemudian setelah manusia bisa menulis dan membaca barulah dijadikan cerita tertulis yang disusun dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa.

Kedua cerita tersebut kadang-kadang dikaburkan oleh pendapat- pendapat atau pengertian yang campur aduk, karena perkembangan kedua cerita itu tidak terlepas dari pengaruh dan perubahan zaman, seperti perubahan politik, perubahan kepercayaan, perubahan sosial ekonomi dan lain-lainya, yang kemajuan alam pikiran manusia mempengeruhi perubahan-perubahan itu. Pada zaman Majapahit dan zaman-zaman sebelumnya, cerita wayang bertindak sebagai sumber penyebaran ajaran agama Hindu. Tetapi pada zaman Islam digunakan sebagai media pengembangan dan penyebaran agama Islam yang tentu berbeda maksud dan tujuannya, baik dalam pengertian maupun dalam falsafahnya.

Kitab Mahabharata ini sering juga disebut Asthadasaparwa. Astha berarti delapan, dasa berarti sepuluh, parwa berarti bagian atau bab. Jadi kitab Mahabharata ini dibagi menjadi 18 bagian atau 18 parwa. Sebagian besar menceritakan peperangan sengit antara Pandawa dan Kurawa selama 18 hari, sehingga ada yang menyebut dengan nama yang lengkap yaitu kitab Mahabharatayudda yang artinya peperangan besar antara keluarga Bharata

Kitab Mahabharata ditulis oleh Empu Wiyasa. Nyoman S. Pendita dalam halaman pendahuluan Mahabharatanya menyebutkan bahwa Mahabharata dikarang oleh 28 Wiyasa (Empu sastra) yang dipersonifikasikan sebagai seorang Maharsi Wiyasa (kakek Pandawa dan Kurawa). Asthadasaparwa artinya 18 parwa atau 18 bagian, diantaranya yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirathaparwa, Udyogaparwa, Bismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedaparwa, Asramawasanaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa.

Dalam parwa yang pertama yaitu Adiparwa, dimuat beberapa macam cerita, misalnya matinya Arimba, burung dewata mengaduk laut susu yang menyebabkan keluarnya air hidup dan juga timbulnya gerhana matahari dan bulan yang dalam ceritanya terungkap bulan yang ditelan oleh raksasa yang hanya berwujud kepala. Ada juga cerita tentang Pandawa dan Kurawa ketika masih kecil misalnya lakon Dewi Lara Amis, Bale si Gala-gala dan cerita Santanu. Negeri Hastina yang rajanya bernama prabu Santanu mempunyai anak bernama Prabata atau disebut juga Bisma yang artinya teguh janji. Suatu saat prabu Santanu tertarik dengan kecantikan dewi Satyawati. Padahal prabu Santanu sudah pernah sumpah tak akan kawin lagi, hanya akan mengasuh sang Prabata saja.

Bisma pun mengetahui pula bahwa sang ayah telah bersumpah tak akan kawin lagi. Namun demikian Bisma sangat iba hati melihat sang ayah prabu Santanu jatuh cinta kepada dewi Satyawati yang hanya mau dikawini bila keturunannya dapat naik tahta. Melihat gelagat yang kurang pas itu, Bisma rela untuk melepaskan haknya sebagai raja pengganti sang ayah. Bisma kemudian bersumpah akan hidup sendiri dan tidak menikah selamanya (wadat). Ini berarti Bisma tidak menggantikan tahta ayahnya, agar sang ayah bisa kawin dengan Satyawati. Pernikahan Santanu dengan Dewi Satyawati berputra dua yaitu Citragada dan Wicitrawirya. Citranggada tidak lama hidup dia mati muda maka Wicatrawirya yang menggantikan sang prabu sebagai raja Hastina dengan istri dua dewi Ambika dan Ambalika dari negara Kasi. Belum sampai punya keturunan prabu
Wicitrawirya meninggal. Oleh Satyawati Bisma disuruh mengawini kedua janda itu, tetapi dengan tegas Bisma menolak. Kemudian dewi Satyawati menyuruh anaknya si Abiyasa (Wiyasa) hasil perkawinannya dengan begawan Parasara untuk mengawini si janda Ambika dan Ambalika dengan harapan ada keturunan dari silsilah Bharata yang meneruskan menjabat sebagai raja di negara Astina.

Dewi Ambika yang menikah dengan resi Wiyasa punya keturunan laki-laki bernama Dretharastra yang sejak lahir menderita buta dan tidak bisa menjadi raja. Sedangkan pernikahan antara Wiyasa dengan Dewi Ambalika menurunkan anak laki-laki bernama Pandhu si muka pucat. Pandhulah yang kemudian menduduki singgasana kerajaan Hastina. Pandhu menikah dengan dua wanita yaitu Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Pernikahanya dengan Dewi Kunthi berputra 3 laki-laki, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna. Sedangkan pernikahanya dengan Dewi Madrim berputra 2 laki-laki, yaitu Nakula dan Sadewa. Sehingga Prabu Pandhu mempunya 5 orang anak, dan kelima anak tersebut disebut Pandawa.

Drestharastra akhirnya menikah dengan kakak perempuan Sangkuni yang bernama Dewi Gandari dan mempunyai keturunan 100 orang. Ketika Pandhu meninggal, Drestharastra terpaksa menggantikan raja sementara meskipun buta. Drestharastra menjabat raja hanya sementara, inilah yang menimbulkan perang besar Bharatayuda selama 18 hari yang memakan korban sangat banyak.

Pada parwa yang kedua yaitu Sabhaparwa menceritakan tentang permainan dadu hingga Pandawa menjalani hukuman. Usaha Kurawa untuk menghancurkan Pandawa tidak pernah mau berhenti. Kali ini Pandawa yang sudah menempati Indraprastha sebagai tempat berteduh diajak main dadu. Ternyata atas kelicikan orang Kurawa, meskipun Yudhistira ahli main dadu, tetapi tetap kalah karena tipu muslihat Sengkuni. Dalam permainan tersebut Yudhistira juga menyerahkan dirinya untuk dijadikan taruhan, hingga Yudhistira kalah dan menerima hukuman. Tetapi karena usaha Drestharastra para Pandawa menjadi bebas.

Kurawa tetap menginginkan kehancuran Pandawa dan diajaknya main dadu lagi dengan taruhan bila Pandawa kalah harus menjalani pembuangan selama 12 tahun dan tahun ke 13 mereka harus menyelinap atau bersembunyi. Jika dalam penyelinapannya diketahui para Kurawa, Pandawa harus kembali ke hutan selama 12 tahun lagi dan menyelinap pada tahun ke 13 dan seterusnya.

Dalam Wanaparwa yaitu bagian yang ketiga ini mengisahkan pengalaman-pengalaman Pandawa ketika berada dalam hutan buangan selama 12 tahun. Pernah para Pandawa menolong seorang desa yang akan dimakan oleh seorang raja raksasa bernama prabu Baka dari negeri Ekacakra. Prabu Baka mati terkena kuku Pancanaka Bratasena, perutnya sobek usus keluar. Negeri Ekacakra tentram dan seorang yang tertolong itu berjanji akan sanggup menjadi korban saji (tawur) ketika perang besar nanti terjadi. Di samping itu dikisahkan pula bahwa Raden Arjuna juga pernah merukunkan suami istri yang belum akur menjadi satu selama perkawinannya. Setelah Raden Arjuna yang merukunkannya, maka orang tersebut sanggup menjadi tawur pada perang besar nanti. Pada saat Pandawa dalam hutan buangan sering menerima kehadiran para Brahmana yang hadir untuk mendoakannya.

Maharsi Wiyasa datang untuk memberikan nasehat-nasehatnya agar Arjuna mau bertapa di gunung Mahameru untuk memohon senjata-senjata yang ampuh dan sakti. Tapa Arjuna inilah yang menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.

Parwa yang ke empat yaitu Wirathaparwa mengisahkan Pandawa sudah selesai menjalani 12 tahun di hutan sebagai buangan. Maka mereka keluar dari hutan ingin menyelinap sesuai perjanjian. Para Kurawa berpendapat bahwa Pandawa pasti sudah mati dimakan binatang buas. Tetapi ternyata mereka sudah berada di negeri Wiratha sebagai budak sang prabu Matsyapati.

Penyamaran yang dilakukan para Pandawa adalah sebagai berikut, Yudhistira sebagai kepala pasar berpangkat tandha bernama Dwijangkangka, Bratasena sebagai tukang menyembelih sapi (jagal) dengan nama Ballawa dan ikut seorang jagal Walakas di desa Pajagalan. Arjuna diterima sebagai abdi sang permaisuri dewi Sudisna bersama putri mahkota dewi Utari, tugasnya mengajar tari dan sindhen bernama Kandhi Wrehatnala dengan watak banci (wandu). Sedangkan Nakula dan Sadewa sebagai tukang memelihara kuda dan tukang rumput (Gamel), bernama Grantika dan Tantripala. Drupadi bernama Salindri sebagai pelayan sang permaisuri dewi Sudesna dan merangkap sebagai penjual kinang di pasar. Penyamaran Ini memang strategi mereka biar tidak jauh dengan Kandhi Wrehatnala, dan pada saat keluar supaya mudah berhubungan dengan tandha Dwijangkangka dan Jagal Ballawa serta Grantika dan Tantripala.

Meskipun di Wiratha sering mendapat marah oleh sang Prabu Matsyapati, tetapi Pandawa sadar itu suatu perjalanan penuh kesabaran dan tawakal (laku prihatin) yang harus dijalani. Mengabdi sebagai budak kerajaan harus mau menerima apa adanya meskipun menerima siksa, dihina, dicerca, meskipun benar dianggap salah toh mereka beranggapan bahwa kebenaranlah yang akan mendapat anugerah.

Sabagai abdi mereka berenam dalam strategisnya mampu mengamankan negara Wiratha yang sedang terancam bahaya, misalnya jagal Billawa mampu membunuh tritunggal Kencakarupa – Praupakenca dan Rajamala. Sedangkan Arjuna si Kandhi Wrehatnala mampu membunuh beribu-ribu tentara sekutu Astina bersama para senapatinya sehingga negeri itu menjadi tenang dan tentram. Setelah para budak bersembunyi dan menyelinap di Wirataha selama satu tahun, barulah tahu dengan jelas bagi prabu Matsyapati yang menyadari bahwa keenam bersaudara tersebut adalah para Pandawa yang terhitung masih cucunya sendiri. Demikianlah kata para budak si Pandawa. “Kakek Matsyapati, akulah cucu-cucumu Pandawa.” Seketika itu kemarahan Matsyapati menjadi kesabaran dan berjanji akan mengutamakan kebijaksanaan.

Udyogaparwa adalah parwa yang kelima mengisahkan bahwa pada tahun ke 14 Pandawa tak bisa dicari orang Hastina, apalagi para Kurawa yakin bahwa Pandawa sudah mati. Maka orang Hastina cemas bahwa Pandawa kembali ke Indraprastha. Di dalam bagian ke 5 ini Sri Kresna sebagai perantara untuk minta separuh negara, tetapi Kurawa tidak rela. Oleh karena itu tidak ada jalan lain, kecuali harus mempersiapkan diri untuk menghadapi peperangan.

Pada parwa yang ke enam yaitu Bismaparwa dikisahkan bahwa perang Bharatayuda sudah dimulai dan Bisma sebagai panglima perang Hastina dan Dhresthadyumna sebagai panglima perang Pandawa akan berhadapan di medan perang Tegalkurukasetra. Pembela Pandawa yang lain adalah dari negara Wirata diantaranya adalah Seta, Utara, Wratsangka yang akhirnya ketiga kesatriya tersebut gugur terkena panah Bisma.

Dalam perang besar Bharatayuda, kedudukan Sri Kresna sebagai penasehat Pandawa dan pengatur siasat perang serta menjadi kusir atau pengendara kereta Arjuna. Dikala Arjuna bimbang menghadapi musuhnya yaitu saudara-saudara, guru, kakek, kakak, maka Sri Kresna memberikan nasehat (wejangan) tentang hakekat dan kewajiban manusia secara mendalam. Wejangan yang mendalam dan panjang itu merupakan bagian yang disebut Nyanyian Tuhan (Baghawadgita).

Sepuluh hari pertempuran berlangsung, maka gugurlah Bisma. Ia tidak terus mati, melainkan masih hidup beberapa lama lagi. Kemudian masih mampu memberikan wejangan kepada kedua belah pihak yang bertikai.

Dronaparwa adalah bagian yang ke tujuh mengisahkan tentang begawan Drona sebagai senapati Kurawa dan gugurnya Gathotkaca. Drona telah menjadi panglima perang Kurawa. Sedangkan Karna mengamuk telah ditantang Gathotkaca namun Gathotkaca gugur, Abimanyu anak Arjuna juga gugur oleh Jayajerata. Raja Drupadapun gugur, sebagai seorang anak maka Dhresthadyumna mengamuk dan pada hari ke 15 Drona gugur oleh Dhresthadyumna.

Karnaparwa adalah parwa yang ke delapan. Pada bagian ke 8 ini juga diceritakan Bima merobek dada Dursasana secara sadis dan meminum darah Dursasana. Pada hari ke 17, Karna terbunuh oleh Arjuna hingga terpenggal kepalanya.

Salyaparwa adalah bagian yang ke sembilan mengisahkan tentang Prabu Salya raja Mandraka menjadi panglima perang Kurawa namun hanya setengah hari gugur oleh tipu muslihat Nakula dan Sadewa. Hal tersebut dilakukan oleh Nakula dan Sadewa karena perintah Sri Kresna sebagai dalang Pandawa.

Dalam parwa yang ke sepuluh yaitu Sauptikaparwa, menceritakan perihal Aswatama putra Drona. Karena dendam, maka pada malam hari yang dinyatakan tidak perang itu, Aswatama masuk ke kemah-kemah membunuh semua yang ditemuinya, di antaranya Dresthadyumna. Dalam parwa ini diungkapkan bahwa Aswatama lari ke hutan dan berlindung di pertapaan Wiyasa. Keesokan harinya datanglah Pandawa ke pertapaan Wiyasa. Dalam pertemuan itu terjadi perang ramai antara Pandawa dan Aswatama yang kemudian dilerai oleh resi Wiyasa dan Kresna. Aswatama menyerahkan senjata dan kesaktiannya. Akhirnya Aswatama pergi menjadi pertapa. Striparwa adalah bagian yang ke sebelas, mengisahkan tentang Prabu Dhrestharastra, Pandawa, Kresna dan semua istri pada pahlawan datang di medan Tegal Kurukasetra. Mereka mencari suaminya masing-masing dan hari itu adalah hari tangis. Mereka menyesali kejadian itu. Semua jenasah para pahlawan yang ditemukan dibakar bersama.

Pada bagian yang ke duabelas yaitu Santiparwa menceritakan para Pandawa mencari pencerahan jiwa dan pembersihan diri. Sebulan lamanya Pandawa tinggal di hutan untuk membersihkan diri. Atas petunjuk resi Wiyasa dan Kresna, diharapkan Yudhistiraa agar mau memerintah di Hastina dan didukung oleh adik-adiknya. Wiyasa dan Kresna memberi wejangan tentang kewajiban dan kesanggupan manusia dan para ksatria sebagai generasi penerus. Akhirnya Yudhistira mau menjadi raja di istana Hastina serta mereka menunaikan tugas bersama.

Anusasanaparwa adalah bagian yang ke tigabelas. Parwa ini mengisahkan kejadian-kejadian sebagai penutup Bharatayuda dan wejangan dari Bisma terhadap Yudhistira. Dan akhirnya Bisma meninggal sesudah perang.

Dalam bagian yang ke empatbelas yaitu Aswamedaparwa mengisahkan prabu Yudhistira pada saat mengadakan selamatan untuk naik tahta kerajaan dengan cara membiarkan dan membebaskan kuda. Pembebasan kuda tersebut dilakukan selama satu tahun dengan penjagaan ketat, bagi siapa yang menggaggu kuda tersebut dihukum.

Asramawasanaparwa adalah bagian yang ke limabelas. Parwa ini mengisahkan tentang Drestharastra yang menarik diri dari keramaian dan ingin hidup di hutan dengan Gandari dan Kunthi juga ingin menjadi pertapa. Tetapi setelah hidup di hutan selama satu tahun lalu mereka mati karena hutan terbakar oleh api Drestharastra
sendiri.

Mausalaparwa adalah parwa yang ke enambelas. Parwa ini menceritakan musnahnya kerajaan Dwarawati akibat berkobarnya perang saudara antara kaum Yadawa atau bangsa kulit hitam (Wangsa Wresni). Wangsa ini lenyap karena saling perang dengan menggunakan gada alang-alang. Baladewa mati, Kresna lari ke hutan dan mati terbunuh dengan tidak sengaja oleh seorang pemburu. Parwa ke tujuhbelas disebut Prasthanikaparwa. Parwa ini menceritakan sesudah pemerintahan diserahkan ke cucunya Pandawa yang bernama Prabu Parikesit, maka Pandawa lima bersama-sama Dropadi menarik diri untuk menuju pantai. Satu demi satu mereka meninggal secara berurutan dari Dropadi, kemudian dari yang muda Sadewa , Nakula, Arjuna, Bima.

Tinggal Yudhistira dengan seekor anjing yang selalu mengikuti pengembaraan pada Pandawa. Batara Indra datang menjemput Yudhistira tetapi ditolak bila anjing tidak boleh ikut serta. Akhirnya anjingnyapun diperbolehkan ikut, maka masuklah Yudhistira ke Indraloka bersama Batara Indra. Sedangkan anjing itu masuk ke Sorgaloka berubah menjadi Sang Hyang Batara Darma / Hyang Suci.

Swargarohanaparwa adalah bagian yang ke delapanbelas atau parwa yang terakhir. Parwa ini menceritakan sewaktu Yudhistira ke Surga tidak bertemu dengan saudara-saudaranya, dan juga dengan Dropadi. Justru malah bertemu dengan kakak-kakaknya dari Hastina. Oleh karena itu dia mencari ke Neraka dan bertemu dengan adiknya-adiknya dalam penyiksaan. Namun dengan masuknya Yudhistira ke Neraka maka berbaliklah keadaannya. Neraka dibalik menjadi Surga. Sedangkan Surganya orang-orang Kurawa telah berbalik menjadi Neraka. Pandawa dan Dropadi tenteram di Sorgaloka. Dalam kitab Swargarohanaparwa ini memerlukan pengamatan khusus yaitu mengapa ada Nneraka dibalik menjadi Sorga? Sebaliknya mengapa ada Sorga dibalik menjadi Neraka?

Demikianlah kisah dari 18 parwa dalam kitab Mahabharata. Masih banyak sumber sastra lain seperti yang dibicarakan pada bagian sastra lakon. Itupun juga berupa sumber sastra-sumber sastra yang dapat dipakai sebagai sarana penggarapan lakon atau cerita dalam seni pertunjukan wayang kulit purwa Jawa pada umumnya.

Bagian-bagian Astadasaparwa

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/9/95/Adiparwa-Dinas_Pendidikan_Daerah_Tingkat_I-Bali.JPG/180px-Adiparwa-Dinas_Pendidikan_Daerah_Tingkat_I-Bali.JPG
Adiparwa versi Jawa Kuna yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Daerah Tingkat I provinsi Bali

Adiparwa]

Kitab Adiparwa merupakan kitab pertama dari seri Astadasaparwa yang menceritakan berbagai kisah yang bernafaskan ajaran Hindu. Kisah kepahlawanannya dibumbui oleh ilmu sakti dan mitologi. Pada bagian awal yang diceritakan adalah kisah Maharaja Janamejayayang menyelenggarakan upacara pengorbanan ular. Upacara yang diselenggarakannya kemudian gagal. Untuk menghibur Sang Raja, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah tentang para leluhur Sang Raja, kemudian beralih kepada cerita pemutaran Mandaragiri, kisah Sang Garuda dan para Naga, kisah Bagawan Dhomya, kisah para Raja besar: Yayati, Bharata, Santanu. Selain itu kitab Adiparwa juga menceritakan kisah kelahiran Rsi Byasa (penyusun kitab Mahabharata), kisah masa kecil Pandawa dan Korawa, kisah para Pandawa mendapatkan Dropadi sebagai istri mereka atas kemenangan Sang Arjuna, kisah Arjuna yang mengasingkan diri ke hutan kemudian menikah dengan Chitrāngadā, Ulupi, dan Subadra, serta kisah lahirnya Abimanyu, putera Arjuna dengan Subadra.

Sabhaparwa[

Kitab Sabhaparwa merupakan kitab kedua dari seri Astadasaparwa. Kitab Sabhaparwa menceritakan kisah para Korawa yang mencari akal untuk melenyapkan para Pandawa. Atas siasat licik Sangkuni, Duryodana mengajak para Pandawa main dadu. Taruhannya adalah harta, istana, kerajaan, prajurit, sampai diri mereka sendiri. Dalam permainan yang telah disetel dengan sedemikian rupa tersebut, para Pandawa kalah. Dalam kisah tersebut juga diceritakan bahwa Dropadi ingin ditelanjangi oleh Dursasana karena menolak untuk menyerahkan pakaiannya. Atas bantuan Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan. Pandawa yang sudah kalah wajib untuk menyerahkan segala hartanya, namun berkat pengampunan dari Dretarastra, para Pandawa mendapatkan kebebasannya kembali. Tetapi karena siasat Duryodana yang licik, perjudian dilakukan sekali lagi. Kali ini taruhannya adalah siapa yang kalah harus keluar dari kerajaannya dan mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun. Pada tahun yang ke-13, yang kalah harus hidup dalam penyamaran selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, yang kalah berhak kembali ke kerajaannya. Dalam pertandingan tersebut, para Pandawa kalah sehingga terpaksa mereka harus meinggalkan kerajaannya.

Wanaparwa[

Kitab Wanaparwa merupakan kitab ketiga dari seri Astadasaparwa. Kitab Wanaparwa menceritakan kisah pengalaman para Pandawa bersama Dropadi di tengah hutan. Mereka bertemu dengan Rsi Byasa, seorang guru rohani yang mengajarkan ajaran-ajaran Hindu kepada Pandawa dan Dropadi, istri mereka. Atas saran Rsi Byasa, Arjuna bertapa di gunung Himalaya agar memperoleh senjata sakti yang kelak digunakan dalam Bharatayuddha. Kisah Sang Arjuna yang sedang menjalani masa bertapa di gunung Himalaya menjadi inspirasi untuk menulis Kakawin Arjuna Wiwaha.

Wirataparwa

Kitab Wirataparwa merupakan kitab keempat dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah penyamaran para Pandawa beserta Dropadi di Kerajaan Wirata. Yudistiramenyamar sebagai seorang ahli agama, Bima menyamar sebagai juru masak, Arjuna menyamar sebagai guru tari, Nakula menyamar sebagai penjaga kuda, Sahadewamenyamar sebagai pengembala, dan Dropadi menyamar sebagai penata rias.

Udyogaparwa

Kitab Udyogaparwa merupakan kitab kelima dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan sikap Duryodana yang tidak mau mengembalikan kerajaan para Pandawa yang telah selesai menjalani masa pengasingan, namun sebaliknya ia menantang mereka untuk berperang. Pandawa yang selalu bersabar mengirimkan duta perdamaian ke pihakKorawa, namun usaha mereka tidak membuahkan perdamaian. Sikap para Korawa membuat perang tidak dapat dielakkan. Pandawa dan Korawa mempersiapkan kekuatannya dengan mencari bala bantuan dan sekutu ke seluruh pelosok Bharatawarsha (India Kuno). Sri Kresna mengajukan tawaran kepada Pandawa dan Korawa, bahwa di antara mereka boleh meminta satu pilihan: pasukannya atau tenaganya. Melihat tawaran tersebut, Pandawa yang diwakili Arjuna menginginkan tenaga Sri Kresna sebagai kusir dan penasihat sedangkan Korawa yang diwakili Duryodana memilih pasukan Sri Kresna. Dalam kitab ini juga diceritakan kisah perjalanan Salya – “Sang Raja Madra” – menuju markas Pandawa karena memihak mereka, namun di tengah jalan ia disambut dengan baik oleh Duryodana sehingga Salya mengubah pikirannya dan memihak Korawa karena merasa berhutang kepada Duryodana. Duryodana juga berniat jahat terhadap Sri Kresna namun karena Sri Kresna bukan manusia biasa, maka usahanya tidak berhasil.

Bhismaparwa

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/6/67/Bhagavad-gita-front.jpg/240px-Bhagavad-gita-front.jpg
Bhagawad Gita, sebuah bab dari kitab Bhismaparwa yang kemudian menjadi kitab tersendiri. Isinya mengenai ajaran-ajaran Agama Hindu yang disampaikan oleh perantara Kresna kepada Arjuna
Kitab Bhismaparwa merupakan kitab keenam dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah dimulainya pertempuran akbar antara pihak Pandawa dan Korawa di sebuah daratan luas yang sangat suci dan keramat bernama Kurukshetra, letaknya di sebelah utara negeri India. Setelah kedua belah pihak sepakat dengan aturan perang, maka kedua belah pihak berkumpul dan memenuhi daratan Kurukshetra, siap untuk berperang. Pihak Korawa dipimpin oleh Bhisma sedangkan pihak Pandawa dipimpin olehDrestadyumna. Sebelum pertempuran berlangsung, Arjuna dilanda keraguan dan kebimbangan setelah ia melihat para saudara dan kerabatnya berkumpul untuk saling membantai. Arjuna tidak tega untuk membunuh para Korawa, yang masih merupakan saudara. Karena Arjuna dilanda oleh berbagai keraguan, Kresna yang berperan sebagai kusir kereta Arjuna mencoba menyadarkannya dengan memberikan wejangan-wejangan suci yang kemudian dikenal sebagai “Bhagawad Gita”, atau “Nyanyian seorang rohaniwan”. Bhagawad Gita ini menjadi kitab tersendiri yang merupakan intisari dari ajaran-ajaran Veda. Wejangan suci dari Kresna membuat Arjuna bangkit, dan melangsungkan pertempuran. Akhirnya Bhisma yang menjadi panglima perang Korawa, gugur pada hari kesepuluh dengan siasat Arjuna yang menggandeng Srikandi.

Dronaparwa

Kitab Dronaparwa merupakan kitab ketujuh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Bagawan Dronasebagai panglima perang pasukan Korawa setelah Rsi Bhisma gugur di tangan Arjuna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Drona ingin menangkap Yudistira hidup-hidup untuk membuat Duryodana senang. Usaha tersebut tidak berhasil karena Arjuna selalu melindungi Yudistira. Pasukan yang dikirim oleh Duryodana untuk membinasakan Arjuna selalu berhasil ditumpas oleh para ksatria Pandawaseperti Bima dan Satyaki. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan tentang siasat Sri Kresna yang menyuruh agar Bima membunuh gajah bernama Aswatama. Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan tersebut kepada Yudistira, dan Yudistira berkata bahwa Aswatama mati. Mendengar hal tersebut, Drona kehilangan semangat berperang sehingga meletakkan senjatanya. Melihat hal itu, ia dipenggal oleh Drestadyumna. Setelah kematian Drona, Aswatama, putera Bagawan Drona, hendak membalas dendam. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu yang terperangkap dalam formasi Cakrawyuha serta gugurnya Gatotkaca dengan senjata sakti panah Konta.

Karnaparwa]

Kitab Karnaparwa merupakan kitab kedelapan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Karna sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca gugur, Arjuna dan Bima mengamuk. Mereka banyak membantai pasukan Korawa. dalam kitab ini diceritakan bahwa Bima berhasil membunuh Dursasana dan merobek dadanya untuk meminum darahnya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir kereta Karna. Kemudian terjadi pertengkaran antara Salya dengan Karna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa roda kereta perang Karna terperosok ke dalam lubang. Karna turun dari kereta dan mencoba untuk mengangkat roda keretanya. Dengan senjata panah pasupati, Arjuna berhasil membunuh Karna yang sedang lengah.

Salyaparwa

Kitab Salyaparwa merupakan kitab kesembilan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Salya sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Karna yang telah gugur. Salya hanya memimpin selama setengah hari, karena pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Dalam kitab ini diceritakan kisahDuryodana yang ditinggal mati saudara dan sekutunya dan kini hanya ia sendirian sebagai Korawa yang menyerang Pandawa. Semenjak seluruh saudaranya gugur demi memihak dirinya, Duryodana menyesali segala perbuatannya dan berencana untuk menhentikan peperangan. Ia pun bersedia untuk menyerahkan kerajaannya kepada para Pandawa agar mampu meninggalkan dunia fana dengan tenang. Sikap Duryodana tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa. Karena tidak tahan, Duryodana tampil ke medan laga dan melakukan perang tanding menggunakan gada melawan Bima. Dalam pertempuran tersebut, Kresna yang mengetahui kelemahan Duryodana menyuruh Bima agar memukul paha Duryodana. Setelah pahanya terpukul, Duryodana kalah. Namun sebelum ia meninggal, Aswatama yang masih hidup diangkat menjadi panglima perang.

Sauptikaparwa[

Kitab Sauptikaparwa merupakan kitab kesepuluh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah tiga ksatria dari pihak Korawa yang melakukan serangan membabi buta pada di malam hari, saat tentara Pandawa sedang tertidur pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah Aswatama, Krepa, dan Kritawarma. Aswatama yang didasari motif balas dendam membunuh seluruh pasukan Panchala termasuk Drestadyumna, yang membunuh Drona, ayah Aswatama. Selain itu Aswatama juga membunuh Srikandi serta kelima putera Pandawa atau Pancawala. Aswatama kemudian menyesali perbuatannya lalu pergi ke tengah hutan, berlindung di pertapaan Rsi Byasa. Para Pandawa dan Kresnamenyusulnya. Kemudian di sana terjadi pertarungan sengit antara Aswatama dengan Arjuna. Rsi Byasa dan Kresna berhasil menyelesaikan pertengkaran tersebut. Kemudian Aswatama menyerahkan seluruh senjata dan kesaktiannya. Ia sendiri mengundurkan diri demi menjadi pertapa.

Striparwa[

Kitab Striparwa merupakan kitab kesebelas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah ratap tangis para janda yang ditinggal suaminya di medan perang. Dikisahkan pula Dretarastra yang sedih karena kehilangan putera-puteranya di medan perang, semuanya telah dibunuh oleh Pandawa. Yudistira kemudian mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada arwah leluhur. Dalam kitab ini, Kunti menceritakan asal usul Karna yang selama ini menjadi rahasia pribadinya.

Santiparwa[

Kitab Santiparwa merupakan kitab kedua belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah berkumpulnya Dretarastra, Gandari, Pandawa, dan Kresna di Kurukshetra. Mereka sangat menyesali segala perbuatan yang telah terjadi dan hari itu adalah hari tangisan. Yudistira menghadapi masalah batin karena ia merasa berdosa telah membunuh guru dan saudara sendiri. Kemudian Bhisma yang masih terbujur di atas panah memberikan wejangan kepada Yudistira. Ia membeberkan ajaran-ajaran Agama Hindu secara panjang lebar kepadanya. Rsi Byasa dan Kresna turut membujuknya. Mereka semua memberikan nasihat tentang ajaran kepemimpinan dan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh Yudistira.

Anusasanaparwa[

Kitab Anusasanaparwa merupakan kitab ketiga belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Yudistira yang menyerahkan diri bulat-bulat kepada Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma menjelaskan ajaran Agama Hindu dengan panjang lebar kepadanya, termasuk ajaran kepemimpinan, pemeintahan yang luhur, pelajaran tentang menunaikan kewajiban, tentang mencari kebahagiaan, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma yang sakti mangkat ke surga dengan tenang.

Aswamedhikaparwa[

Kitab Aswamedhikaparwa merupakan kitab keempat belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah kelahiran Parikesit yang sebelumnya tewas dalam kandungan karena senjata sakti milik Aswatama. Dengan pertolongan dari Kresna, Parikesit dapat dihidupkan kembali. Kemudian Yudistira melakukan upacara Aswamedha. Untuk menyelenggarakan upacara tersebut, ia melepas seekor kuda. Kuda tersebut mengembara selama setahun dan di belakangnya terdapat pasukan Pandawa yang dipimpin olehArjuna. Mereka mengikuti kuda tersebut kemanapun pergi. Kerajaan-kerajaan yang dilalui oleh kuda tersebut harus mau tunduk di bawah kuasa Yudistira jika tidak mau berperang. Sebagian mau tunduk sedangkan yang membangkang harus maju bertarung dengan Arjuna karena menentang Yudistira. Pada akhirnya, para Raja di daratan Indiamau mengakui Yudistira sebagai Maharaja Dunia.

Asramawasikaparwa[

Kitab Asramawasikaparwa merupakan kitab kelima belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Dretarasta, Gandari, Kunti, Widura dan Sanjaya yang menyerahkan kerajaan sepenuhnya kepada Raja Yudistira sedangkan mereka pergi bertapa ke tengah hutan. Pandawa sempat mengunjungi pertapaan merekja di tengah hutan. Akhirnya, Batara Narada datang ke hadapan para Pandawa, dan mengatakan bahwa hutan tempat Dretarastra, Gandari, Kunti bertapa terbakar oleh api suci mereka sendiri, sehingga mereka wafat dan langsung menuju surga.

Mosalaparwa[

Kitab Mosalaparwa merupakan kitab keenam belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah binasanya bangsa Wresni karena kutukan seorang Brahmana. Bangsa Wresni menghancurkan sesamanya dengan menggunakan senjata gada (mosala) setelah lupa diri karena meminum arak yang menyebabkan mereka mabuk. Sehabis pertempuran bangsa Wresni, Baladewa bermeditasi di tengah hutan kemudian mengeluarkan ular suci dari mulutnya, setelah itu ia menghilang mencapai keabadian. SetelahKresna ditinggal Baladewa dan bangsa Wresni musnah semua, ia pergi ke tengah hutan untuk bertapa. Di dalam hutan, seorang pemburu melihat kaki Kresna bagaikan seekor rusa kemudian menembakkan anak panah. Hal tersebut membuat Kresna mencapai keabadian dan meninggalkan dunia fana. Arjuna sempat mengunjungi Dwarawati, dan ia mendapati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia mengadukan hal tersebut kepada Rsi Byasa, dan Rsi Byasa menasihati para Pandawa agar meninggalkan hal-hal duniawi untuk menempuh hidup sebagai “Sanyasin” (pertapa).

Prasthanikaparwa[

Kitab Prasthanikaparwa merupakan kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Pandawa dan Dropadi yang mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi untuk menjadi seorang pertapa. Mereka menyerahkan tahta kepada Parikesit, satu-satunya keturunan mereka yang selamat dari perang Bharatayuddha. Para Pandawa beserta Dropadi berencana untuk berziarah ke gunung Himalaya sebagai akhir hidup mereka. Dalam perjalanan, Dropadi dan satu persatu dari Pandawa bersaudara (Sahadewa, Nakula, Arjuna, Bima) meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih hidup dan melanjutkan perjalanannya. Yudistira membiarkan jenazah saudara-saudaranya terkubur di tengah perjalanan tanpa memberikan upacara pembakaran yang layak. Di tengah jalan, Yudistira bertemu dengan seekoranjing, dan anjing tersebut kemudian menjadi teman perjalanannya. Bersama-sama, mereka berdua berhasil mencapai puncak. Sesampainya di puncak, kereta kencana DewaIndra pun turun ke bumi untuk menjemput Yudistira ke surga.

Swargarohanaparwa[

Kitab Swargarohanaparwa merupakan kitab kedelapan belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan akhir kisah perjalanan suci yang dilakukan oleh Pandawa. Kisahnya diawali dengan penolakan Yudistira yang tidak mau berangkat ke surga jika harus meninggalkan anjing yang setia menemani dalam perjalanannya. Atas ketulusan hati Yudistira, si anjing pun menampakkan wujud aslinya sebagai Dewa Dharma, ayah Yudistira. Dewa Dharma mengatakan bahwa Yudistira telah berhasil melewati ujian yang diberikan kepadanya dengan tenang. Setelah mengetahui yang sebenarnya, Yudistira bersedia berangkat ke surga. Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena tidak menemukan saudara-saudaranya yang saleh, melainkan mendapati bahwa Duryodana beserta sekutunya yang jahat ada di sana. Sang Dewa mengatakan bahwa mereka bisa berada di surga karena gugur di tanah suci Kurukshetra. Yudistira kemudian berangkat ke neraka. Di sana ia mendengar suara saudara-saudaranya yang menyayat agar mau menemani penderitaan mereka. Yudistira yang memilih untuk tinggal di neraka bersama saudara yang saleh daripada tinggal di surga bersama saudara yang jahat membuat para Dewa tersentuh. Tabir ilusi pun dibuka. Dewa Indra menjelaskan bahwa sebenarnya saudara-saudara Yudistira telah berada di surga bersama dengan saudaranya yang jahat. Yudistira pun menyadarinya kemudian hidup berbahagia di surga setelah membuang jasadnya.
·          
·         PAKILITAN SAPTA WARA  RING PAWETUAN  MANUSA RING BUMI
·         WATEK OTON
·         Membaca Watak Kelahiran dari Tenung Wariga
Ramalan tentang watak dasar manusia menurut kelahirannya dalam kesusastraan Bali tergolong lengkap dan mendetail. Catatan-catatan mengenai watak ini ditulis dalam daun lontar dan disucikan oleh masyarakatnya, terutama oleh seorang juru wacak pawatekan atau orang yang menekuni masalah watak kelahiran dan ruwatan-nya. Ilmu ini lumrahnya diistilahkan dengan Tenung Wariga. Apa saja yang ada di dalamnya dan apa penjelasannya?
---------------------
DALAM meramal watak kelahiran, sang juru wacak akan mencari formulasi kala atau waktu kelahiran dari si penanya. Biasanya akan dicari terlebih dahulu kategori wuku dan wawaran kelahiran. Selanjutnya dicari palalintangan pancawara-saptawara, barulah sasih-nya atau hitungan bulan dalam kalender Bali. Hitungan wawaran dan wuku terkait dengan rumus-rumus wariga sesuai dengan matematika tradisional Bali, sedangkan palalintangan dan pasasihan terkait erat dengan konstalasi bintang-bintang di langit yang diyakini mempengaruhi watak kelahiran seseorang.
Dari hitungan wuku, wawaran, dan palalintangan terdapat 210 varian watak menurut kelahiran manusia, selanjutnya 12 dalam hitungan sasih. Jadi dari keseluruhannya, Tenung Wariga dalam budaya Bali memiliki 2520 jenis watak manusia yang didapat dari mengalikan 210 varian wuku, wawaran, dan palalintangan dengan 12 jenis watak manusia menurut sasih atau bulan dalam setahun.
Di sini tentu tidak dapat disajikan secara mendetail seluruhya, namun untuk memberi sedikit gambaran bagaimana ramalan akan watak kelahiran manusia perspektif budaya Bali, berikut akan disajikan watak kelahiran manusia menurut teks "Pawatekan Wrhaspati Kalpa" dalam hitungan saptawara sebagai bagian kecil dari kompleksitas Tenung Wariga. Hari apa Anda lahir? Coba cek watak Anda berdasarkan hari kelahiran Anda berikut ini.

* Redite (Minggu)
Kayunya alemes, bisa bergaul dengan sembarang orang, dan bisa menerima pendapat orang lain. Burungnya beo (syung), senang meniru kepribadian orang. Wayangnya jantur, tampil pendiam dan jarang berbicara yang dirasanya tidak perlu. Sinar tubuhnya terlihat kemerah-merahan, cepat meledak amarahnya. Mereka yang terlahir pada hari ini dikatakan telah menjelma sebanyak lima kali atas titah Sang Hyang Iswara. Dewa mereka adalah Indra, hingga cocok menjadi seorang pemimpin yang keras.
Bila terlahir wanita dan ada tahi lalat di kemaluan, ia akan cenderung memiliki cinta mendua. Namun, di balik sifat-sifat baiknya, ia memiliki pendirian yang goyah dan berubah-ubah dan menjadi lupa diri lantaran kata-kata kasar. Penyakitnya ada di telinga kiri, pinggang kiri, mata kiri, tangan kiri dan bagian tubuh sebelah kiri. Pengeruwatan-nya air dari kendi keramik berlobang lima.

* Soma (Senin)
Lambangnya bulan, menjadi tempat berlindung orang-orang kesusahan, bisa memberikan nasihat yang berguna bagi orang yang susah dan bersedih. Kayunya kroya, memiliki sifat kikir. Bunganya pole, berkepribadian baik dan harum, namun memiliki kecenderungan sulit menemukan jodoh apabila mereka berkepribadian tertutup. Mereka telah menjelma menjadi manusia sebanyak empat kali atas titah Bhatara Maheswara, Dewanya Uma. Bintangnya Wresabha. Yoni-nya Dewa, hingga memiliki sifat yang baik. Sinar tubuhnya hitam, tenang namun sering bersedih. Terlihat pantas dengan berbagai jenis pakaian.
Yang terlahir pada hari ini, hati-hatilah menjaga anak, lantaran memiliki kecenderungan memiliki anak yang meninggal. Bicaranya baik dan lembut. Berhati-hati dalam mengambil keputusan, hingga sering terlalu banyak pertimbangan kemudian terjebak dalam pikiran yang bercabang. Penyakitnya beraneka macam, hati-hati pada kelamin. Pengeruwatan-nya disiram dengan memakai air dari kendi keramik berlobang empat.

* Anggara (Selasa)
Lambangnya api, memiliki sifat pendendam dan baru puas jika telah membalaskannya, disenangi banyak orang dan dibutuhkan lantaran keahliannya. Kayunya warangireng. Burungnya gagak, sering membanggakan diri dan menyanjung diri sendiri, dan terkadang dapat melihat sesuatu yang bersifat gaib. Wayangnya ceng-ceng, banyak ucap dan sering terlibat adu argumen dan berbantahan. Mereka telah tiga kali menjelma menjadi manusia atas perintah Sang Hyang Brahma. Sering ditimpa masalah dan kesulitan mencari jalan keluarnya, namun memiliki kebijaksanaan yang cukup.
Orang yang lahir hari ini memiliki kecenderungan berani membantah orangtuanya. Penyakit yang diderita biasanya di kaki, kelamin, dan kuku. Percintaannya juga sering mendua dan berselingkuh. Yoni-nya raksasa hingga memiliki pribadi yang liar dan susah diatur. Pengeruwatan-nya memakai air kendi keramik berlobang tiga.

* Buda (Rabu)
Lambangnya langit, berpenampilan tenang namun susah diduga. Wayangnya goleng, cepat bisa dalam sembarang pekerjaan. Telah menjelma sebanyak empat kali atas perintah Sang Hyang Rudra. Ada kecenderungan akan memiliki anak yang murtad, sering tersangkut masalah lantaran karmanya pada kehidupannya yang dahulu. Memiliki sifat yang baik dan senang bila bisa berderma, keras keinginannya. Bisa menjadi seorang sastrawan dan pintar.
Senang mencari ilmu gaib dan keagamaan. Keras keinginannya untuk tahu berbagai bidang pekerjaan dan disukai oleh orang-orang miskin hingga sangat dihormati oleh orang-orang kelas bawah. Penyakitnya ada di kaki hingga ada kecenderungan lumpuh. Pengeruwatan-nya banten lengkap dengan mantra Rudra.

* Wraspati (Kamis)
Lambangnya guru, memiliki kebijaksanaan yang akan membuatnya termasyur dan disenangi orang lantaran pengetahuan dan kepintarannya. Kayunya beringin, cocok menjadi pelindung bagi orang-orang yang susah dan didera masalah. Burungnya merak, tampil rupawan dan memikat namun sayangnya senang pamer kekayaan ketika menjadi kaya. Wayangnya dalang, pintar dalam mengatur strategi, namun terkadang lepas kontrol lantaran individualisnya.
Telah menjelma menjadi manusia sebanyak delapan kali atas titah Sang Hyang Maha Dewa. Dewanya Bhatara Guru. Bintangnya Wrasaba. Memiliki kecenderungan ditinggal istri atau suami lantaran cemburu. Senang dengan ilmu gaib sedari kecil, setia pada temannya bukan lantaran harta. Penyakitnya ada di tangan dan bagian tubuh sebelah kanan. Pengeruwatan-nya memakai uang kepeng sebanyak 888 keping, air kendi keramik berlobang delapan.

* Sukra (Jumat)
Lambangnya bumi, disenangi orang lantaran kesabarannya, namun sering kena fitnah dan dijelek-jelekkan orang. Kayunya ancak, menjadi teman baik orang-orang suci. Burungnya titiran atau perkutut, disayang orang-orang besar. Wayangnya jugil, enam kali menjelma menjadi manusia atas titah Sang Hyang Sangkara. Dewanya Bhatari Sri, pintar membuat orang senang. Bintangnya Tumbamina, memiliki banyak keinginan dan angan-angan, susah lantaran hutang.
Berbahagia dan kaya lantaran sahabat-sahabatnya. Mantra yang diucapkannya sering manjur, cerdas lantaran bertanya, cocok menjadi arsitek atau ahli bangunan (undagi). Penyakitnya ada di tenggorokan, mata kanan, di perut, pada telapakan kaki atau pun tangan. Pengeruwatan-nya memakai air kendi keramik berlobang enam.

* Saniscara (Sabtu)
Lambangnya Durga, memiliki kecenderungan egoistis dan individualis, namun bisa menjaga sahabat, kerabat dan anak-anaknya dengan baik. Menjadi lupa diri dan lepas kendali bila ia marah. Dewanya Sang Hyang Kala, kayunya kepuh, berpenampilan angker dan menakutkan. Burungnya dok, suka menyendiri. Telah menjelma menjadi manusia sebanyak sembilan kali atas titah Bhatara Wisnu. Bintangnya Tulamina, yoni-nya Raksasa, berbudi liar.
Berpikiran tetap, cenderung berani terhadap orang tua (dursila ring wong atuha). Hidup berkecukupan dari kecil, memiliki tangan dan budi usil, senang bercanda dan
·          

·         PINUPULAN DE SIRA KAKYANG DALANG SADHAR JERO SATRIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar