Raja
Janamejaya mengadakan upacara korban ular[
Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu
itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan
wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama
Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga
dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja
berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan
mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan
bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya
membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular
untuk membalas Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala
kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu
proses upacara. Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka
menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk
menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi
ke lokasi upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar
Sang Raja membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan
terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri
untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
Wesampayana
menuturkan Mahabharata[
Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak
sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah
leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawayang
bertempur di Kurukshetra. Karena
Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh mewakilinya. Ia adalah
murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai
keinginan Raja Janamejaya, Bagawan
Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang
raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula
menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian
kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
Garis keturunan Maharaja Yayati[sunting | sunting sumber]
Leluhur Maharaja Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti
Puru dan Yadu bernama Maharaja Yayati, beliau
memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani
melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan
Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu, dan Puru. Keturunan
Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru
disebut Paurawa.[1]
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||
Dalam silsilah generasi Paurawa, lahirlah
Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang
kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang
Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha.[1] Sang Bharata menurunkan Dinasti
Bharata. Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang
menyucikan sebuah tempat yang disebut Kurukshetra, kemdian
menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti Kuru.[1]
Setelah beberapa generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang
mewarisi tahta Hastinapura. Prabu
Santanu memiliki dua istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga
melahirkan Bhisma, sedangkan
Satyawati melahirkan Chitrāngada dan Wicitrawirya. Karena
Chitrāngada wafat di usia muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi tahta,
maka Wicitrawirya melanjutkan pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua
permaisuri, yaitu Ambika dan Ambalika. Dari Ambika
lahirlah Drestarastra dan dari Ambalika lahirlah Pandu.
Drestarastra memiliki seratus putera yang disebut Korawaçata (seratus Korawa) sedangkan Pandu
memiliki lima putera yang disebut Panca Pandawa (lima putera Pandu).
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||
|
|
Watsa
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
Keluarga
Bharata |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
Yamadi
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
Sunanda
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
Kisah Prabu Santanu dan keturunannya[
Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau
merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa, bertahta diHastinapura. Raja
Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang
melahirkan tiga putera. Di antara ketiga putera tersebut, Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja
Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian
berputera 8 orang. Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh
istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena
perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja. Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di
kemudian hari bernama Bhisma. Raja
Santanu menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati
melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngadadan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun
karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran melawan seorang RajaGandharva,
pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya.[1] Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama
setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua
janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika
melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika
melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah Bagawan
Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut melahirkan
seorang putera, bernamaWidura yang sedikit pincang.[1] Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera
yang disebut Korawa. Pandu
menikahi Kunti dan Madri. Kunti
melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri
melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan
Pandu tersebut disebut Pandawa.
Masa kanak kanak Pandawa Korawa
Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka semasa
kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu
mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang bernama Drestarastramelanjutkan
pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut
justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu
Korawa. Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering
membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.
Terbakarnya rumah damar
Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya
mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada.
Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau
yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal
bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya
berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima
beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai keponakannya secara
berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia
langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak
memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan
Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang
bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka
berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang megah,
yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan
itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala
sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa
lima. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang
datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu
Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama
kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan
rimba.
Sayembara
Drupadi
Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang
diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan
Panchala.
Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak
ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa
menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah
sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah
sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi.
Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah
dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah
sasaran dengan baik. Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna
anak seorang kusir yang tentu
lebih rendah kastanya. Karna
kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian
seperti Brāhmana. Ketika ia
tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadiberhak
menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang
Brāhmana tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan
ksatria. Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria
di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka.
Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami datang membawa hasil
meminta-minta". Kunti, ibu para
Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan
berkata, "Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia
menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil
meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta,
membuat anak-anaknya untuk berbagai istri.[1]
ARJUNA
BERTAPA
Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga
berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar
bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu
adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang
pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh pararakshasa. Arjuna yang
merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya.
Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistiradan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi
kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak memedulikan
Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut,
Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima
hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi.
Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari
hubungannya dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.
Kisah lain dalam Kitab
Adiparwa
Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang
Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk
cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan
melainkan meloncat-loncat.[1]
Kisah
Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya[]
Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki
3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan
diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan
berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika
biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang
sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia
perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan
pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang
jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan
anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang
Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat
mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut
juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri”
untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta. Ia tidak
tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang
Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari,
didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian
mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang
Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit
oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk
menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti
perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala perintah gurunya
dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam ilmu
pengetahuan, mantra Veda, dan
kecerdasan.
Kisah
Sang Winata dan Sang Kadru]
Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera
bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi
oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama:
Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa,
Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua
kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak
sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa
memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan
dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing
dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan
lahirlah para Naga. Yang
terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara
telur Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas.
Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang
anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari
pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah karena ditetaskan sebelum
waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang
Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan
ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena
tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya.[1]
Kisah
pemutaran Mandaragiri]
Kurma
Awatara sebagai kura-kura yang menjadi dasar Mandaragiri
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari
tirta amerta (air suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan
bahwa tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah
dengan mengaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju
laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara
(Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa
ke tengah lautan. Seekor kura-kura (Kurma) besar
menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut,
kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang
kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung
tidak melambung ke atas.
Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta.
Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal
tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa
memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang
wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Para
rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi
tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta
dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian
terjadilah pertempuran antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu
teringat dengan senjata chakra-nya. Senjata chakra kemudian
turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka
yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri
ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.
Kisah
Sang Garuda dan para Naga[sunting | sunting sumber]
Lukisan
Garuda karya I Made Tlaga, seniman Bali, abad ke-19. Sekarang lukisan ini
disimpan di Universitas Leiden.
Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri
Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekorkuda bernama Uccaihsrawa, hasil
pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru
mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yanghitam. Karena
berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan
menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok
sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada
anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah,
karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa
kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke
ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk
melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang
marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara
pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak
mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga
warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan
taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah
burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda
mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang
Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda
membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari
kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa
dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang
Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya
akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan
dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat
Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda,
jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti
aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada
anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak
mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya
anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku
memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”.
Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi
kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut
diberikan kepada para naga. Sang Garuda
mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai
mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang
Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi
terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan,
tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa
kabur oleh Dewa Indra. Para naga
kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga
pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun
ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda
terbang ke surga karena merasa sudah menebus
perbudakan ibunya.
Bahasa dan sejarah
Adiparwa
versi Jawa Kuna yang dicetak ulang oleh Phalgunadi dan diterjemahkan dalam
bahasa Inggris pada tahun 1990.
Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab
Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa
Sanskerta dan dianggap
sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tidak
tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana
disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah
disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan
Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).
Pengaruh dalam budaya
Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa
Sanskerta ke Bahasa Jawa
Kuno atau Bahasa Kawi, banyak
digubah menjadi cerita pewayangan.[2] Dalam kitab Adiparwa yang
diterjemahkan dari bahasa Sanskerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon
pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa
segala sesuatunya terjadi di Jawa.[2] Hal ini disebabkan oleh kecerdasan
para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau
pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli.[2] Jika Hastinapura sebenarnya
terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani,
Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa.[2]
Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi
aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan
hanya satu orang saja. Menurut Mulyono dalam artikelnya berjudul “Dewi
Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa
terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan
Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa.[3] Hal serupa juga terjadi pada kisah
DewiDropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam
Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena
pengaruh Islam) Dropadi
hanya bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih
dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk
mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut
agar sesuai dengan ajaran Islam.[3] Pancawala yang sebenarnya
merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh
yang merupakan putera Yudistira saja.[3]
Bahan bacaanGanguli, K. Mohan (translator). The Mahabharata of
Krishna-Dwaipayana Vyasa, Adi Parva (First Parva, or First Book),
translated into English Prose from the Original Sanskrit Text [1883-1896]. The
Project Gutenberg EBook #7864. April, 2005.
1.
Widyatmanta, S. Kitab Adiparwa, jilid I. Cabang
Bagian Bahasa – Jogyakarta, Jawatan Kebudayaan Kementerian PP dan K. 1958.
2.
Zoetmulder, P.J. Kalangwan, sastra Jawa Kuno
selayang pandang. Penerbit Djambatan, Jakarta. 1994.
Astadasa parwa
Mahabharata adalah sebuah kisah kepahlawanan abadi, Mahabharata bukan hanya sekedar kisah kepahlawanan akan tetapi juga merupakan kisah jatuh bangunnya kebudayaan dan peradaban India. Kitab Mahābhārata merupakan salah satu Itihāsa yang terkenal. Kitab Mahābhārata berisi lebih dari 100.000 sloka. Mahabharata juga merupakan sebuah kisah perseteruan antara yang benar (Dharma) melawan yang tidak benar (Adharma) yang pada akhirnya
Mahabharata adalah sebuah kisah kepahlawanan abadi, Mahabharata bukan hanya sekedar kisah kepahlawanan akan tetapi juga merupakan kisah jatuh bangunnya kebudayaan dan peradaban India. Kitab Mahābhārata merupakan salah satu Itihāsa yang terkenal. Kitab Mahābhārata berisi lebih dari 100.000 sloka. Mahabharata juga merupakan sebuah kisah perseteruan antara yang benar (Dharma) melawan yang tidak benar (Adharma) yang pada akhirnya
Mahabharata
merupakan sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan
Byasa atauVyasa dari India. Buku ini terdiri atas delapan
kitab. Oleh karena itu, dinamakan Asta Dasa Parwa (asta=8, dasa=10, parwa=kitab).
Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan
dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad
ke-4 sebelum masehi.
Delapan
belas Parwa (Asta Dasa Parwa) atau bagian tersebut dalam kisah Mahabharata,
yaitu sebagai berikut:
1. Adi-Parwa =
Pendahuluan, kisah Raja Manu dan lahir serta dibesarkan Keturunan Manu
(Pandawa-Kurawa).
2. Sabha-Parwa =
Pandawa membangun istana Indraprasta, permainan judi, dan hidup di pengasingan.
Diceritakan pula saat Yudhistira menyelamatkan para saudaranya dari kematian
maka diuji dengan pertanyaan tentang Dharma kehidupan oleh Dewata.
3. Wana-Parwa = Dua
belas tahun di pengasingan di hutan.
4. Wirata-Parwa =
Tahun dalam pengasingan dihabiskan di Kerajaan Wirata.
5. Udyoga-Parwa =
Negosiasi serta persiapan perang.
6. Bhisma-Parwa =
Bagian pertama dari pertempuran besar, dengan Bisma sebagai komandan untuk
Kurawa dan bagian saat Bhagawad-gita diturunkan oleh Sri Khrisna kepada sang
Arjuna, yang disaksikan oleh kusir kereta Prabu Dhritarastra yang diangkat
menjadi menteri raja. Beliau bernama Sanjaya.
7. Drona-Parwa =
Pertempuran berlanjut, dengan Drona sebagai panglima.
8. Karna-Parwa =
Pertempuran lagi, dengan Karna sebagai panglima.
9. Shalya-
Parwa = Bagian terakhir dari pertempuran dengan Salya sebagai panglima.
10. Sauptika-Parwa =
Bagaimana Ashwattama dan sisanya Kurawa membunuh tentara Pandawa dalam tidur
mereka sehingga meninggalnya Panca Kumara, putra dari Panca Pandawa.
11. Stri-Parwa = Gandari
dan para istri ksatria meratapi suami mereka yang meninggal/orang mati.
12. Shanti-Parwa =
Yudhistira menjadi Raja Hastina.
13 Anusasana-Parwa = Final
instruksi dari Bisma, kakek dari Pandawa dan Kurawa.
14. Ashwamedhika-Parwa =
Upacara Kerajaan Ashwamedha yang dilakukan oleh Yudhistira.
15. Ashramawasika-Parwa =
Dretarasta, Gandari, dan Kunti pergi ke Ashram, dan akhirnya meninggal di
hutan.
16. Mausala-Parwa =
Pertikaian antara bangsa Yadawa karena senjata mausala.
17. Mahaprasthanika-Parwa =
Bagian pertama perjalanan “besar” menuju kematian dari Yudhistira dan
saudara-saudaranya.
18. Swagarohana-Parwa = Pandawa
kembali ke dunia spiritual (swarga)
Sinopsis
Mahabharata
Kisah
Mahabharata diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala. Raja
Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati,
menikahi Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata.
Sang Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat
pemerintahan bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura.
Dari keluarga tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan menyucikan
sebuah daerah luas yang disebut Kurukshetra. Sang Kuru menurunkan Dinasti Kuru
atau Wangsa Kaurawa. Dalam Dinasti tersebut, lahirlah Pratipa, yang menjadi
ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Kurawa.
Prabu Santanu adalah seorang raja mahsyur dari garis keturunan Sang Kuru,
berasal dari Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga yang dikutuk agar turun
ke dunia, namun Dewi Gangga meninggalkannya karena Sang Prabu melanggar janji
pernikahan. Hubungan Sang Prabu dengan Dewi Gangga sempat membuahkan 7 anak,
akan tetapi semua ditenggelamkan ke laut Gangga oleh Dewi Gangga dengan alasan
semua sudah terkena kutukan. Akan tetapi kemudian anak ke 8 bisa diselamatkan
oleh Prabu Santanu yang diberi nama Dewabrata. Kemudian Dewi Ganggapun pergi
meninggalkan Prabu Santanu. Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia
melakukan bhishan pratigya, yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak
akan mewarisi tahta ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan
keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.
Setelah ditinggal Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu menjadi duda. Beberapa
tahun kemudian, Prabu Santanu melanjutkan kehidupan berumah tangga dengan
menikahi Dewi Satyawati, puteri nelayan. Dari hubungannya, Sang Prabu berputera
Sang Citrānggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, ia pergi ke
Kerajaan Kasi dan memenangkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga
orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada
adik-adiknya. Karena Citrānggada wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan
Wicitrawirya sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena
terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk
menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan panah menembus dada
Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba bereinkarnasi
menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu putera Raja
Drupada yang bernama Srikandi. Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi
yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.
Citrānggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran, kemudian ia digantikan
oleh adiknya yaitu Wicitrawirya. Wicitrawirya juga wafat di usia muda dan belum
sempat memiliki keturunan. Satyawati mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu
Ambika dan Ambalika, untuk menemui Resi Byasa, sebab Sang Resi dipanggil untuk
mengadakan suatu upacara bagi mereka agar memperoleh keturunan. Satyawati
menyuruh Ambika agar menemui Resi Byasa di ruang upacara. Setelah Ambika memasuki
ruangan upacara, ia melihat wajah Sang Resi sangat dahsyat dengan mata yang
menyala-nyala. Hal itu membuatnya menutup mata. Karena Ambika menutup mata
selama upacara berlangsung, maka anaknya terlahir buta. Anak tersebut adalah
Drestarastra. Kemudian Ambalika disuruh oleh Satyawati untuk mengunjungi Byasa
ke dalam sebuah kamar sendirian, dan di sana ia akan diberi anugerah. Ia juga
disuruh agar terus membuka matanya supaya jangan melahirkan putra yang buta
(Drestarastra) seperti yang telah dilakukan Ambika. Maka dari itu, Ambalika
terus membuka matanya namun ia menjadi pucat setelah melihat rupa Sang Bagawan
(Byasa) yang luar biasa. Maka dari itu, Pandu (putranya), ayah para Pandawa,
terlahir pucat. Drestarastra dan Pandu mempunyai saudara tiri yang bernama
Widura. Widura merupakan anak dari Resi Byasa dengan seorang dayang Satyawati
yang bernama Datri. Pada saat upacara dilangsungkan dia lari keluar kamar dan
akhirnya terjatuh sehingga Widura pun lahir dengan kondisi pincang kakinya.
Dikarenakan Drestarastra terlahir buta maka tahta Hastinapura diberikan kepada
Pandu. Pandu menikahi Kunti kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya
dengan Madrim, namun akibat kesalahan Pandu pada saat memanah seekor kijang
yang sedang kasmaran, maka kijang tersebut mengeluarkan kutukan bahwa Pandu
tidak akan merasakan lagi hubungan suami istri, dan bila dilakukannya, maka
Pandu akan mengalami ajal. Kijang tersebut kemudian mati dengan berubah menjadi
wujud aslinya yaitu seorang pendeta. Kemudian karena mengalami kejadian buruk
seperti itu, Pandu lalu mengajak kedua istrinya untuk bermohon kepada Hyang
Maha Kuasa agar dapat diberikan anak. Atas bantuan mantra Adityahredaya yang
pernah diberikan oleh Resi Byasa maka Dewi Kunti bisa memanggil para dewa untuk
kemudian mendapatkan putra. Pertama kali mencoba mantra tersebut datanglah
Batara Surya, tak lama kemudian Kunti mengandung dan melahirkan seorang anak
yang kemudian diberi nama Karna. Tetapi Karna kemudian dilarung kelaut dan
dirawat oleh Kurawa, sehingga nanti pada saat perang Bharatayudha, Karna
memihak kepada Kurawa. Kemudian atas permintaan Pandu, Kunti mencoba mantra itu
lagi, Batara Guru mengirimkan Batara Dharma untuk membuahi Dewi Kunti sehingga
lahir anak yang pertama yaitu Yudistira, setahun kemudian Batara Bayu dikirim
juga untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Bima, Batara Guru juga
mengutus Batara Indra untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Arjuna dan
yang terakhir Batara Aswan dan Aswin dikirimkan untuk membuahi Dewi Madrim, dan
lahirlah Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu tersebut dikenal sebagai
Pandawa. Dretarastra yang buta menikahi Dewi Gandari, dan memiliki sembilan
puluh sembilan orang putera dan seorang puteri yang dikenal dengan istilah
Kurawa.
Pandawa dan Kurawa merupakan dua kelompok dengan sifat yang berbeda namun
berasal dari leluhur yang sama, yakni Kuru dan Bharata. Kurawa (khususnya
Duryudana) bersifat licik dan selalu iri hati dengan kelebihan Pandawa,
sedangkan Pandawa bersifat tenang dan selalu bersabar ketika ditindas oleh
sepupu mereka. Ayah para Kurawa, yaitu Drestarastra, sangat menyayangi
putera-puteranya. Hal itu membuat ia sering dihasut oleh iparnya yaitu
Sengkuni, beserta putera kesayangannya yaitu Duryudana, agar mau mengizinkannya
melakukan rencana jahat menyingkirkan para Pandawa.
Pada suatu ketika, Duryudana mengundang Kunti dan para Pandawa untuk liburan.
Di sana mereka menginap di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Duryudana.
Pada malam hari, rumah itu dibakar. Namun para Pandawa bisa diselamatkan oleh
Bima yang telah diberitahu oleh Widura akan kelicikan Kurawa sehingga mereka
tidak terbakar hidup-hidup dalam rumah tersebut. Usai menyelamatkan diri,
Pandawa dan Kunti masuk hutan. Di hutan tersebut Bima bertemu dengan raksasa
Hidimba dan membunuhnya, lalu menikahi adiknya, yaitu raseksi Hidimbi atau
Arimbi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca.
Setelah melewati hutan rimba, Pandawa melewati Kerajaan Pancala. Di sana
tersiar kabar bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi
Drupadi. Adipati Karna mengikuti sayembara tersebut, tetapi ditolak oleh
Drupadi. Pandawa pun turut serta menghadiri sayembara itu, namun mereka
berpakaian seperti kaum brahmana.
Pandawa ikut sayembara untuk memenangkan lima macam sayembara, Yudistira untuk
memenangkan sayembara filsafat dan tatanegara, Arjuna untuk memenangkan
sayembara senjata Panah, Bima memenangkan sayembara Gada dan Nakula - Sadewa
untuk memenangkan sayembara senjata Pedang. Pandawa berhasil melakukannya
dengan baik untuk memenangkan sayembara.
Drupadi harus menerima Pandawa sebagai suami-suaminya karena sesuai janjinya
siapa yang dapat memenangkan sayembara yang dibuatnya itu akan jadi suaminya
walau menyimpang dari keinginannya yaitu sebenarnya yang diinginkan hanya
seorang Satriya.
Setelah itu perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum
brahmana tidak selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian
meloloskan diri. sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa
mereka datang membawa hasil meminta-minta. Ibu mereka pun menyuruh agar hasil
tersebut dibagi rata untuk seluruh saudaranya. Namun, betapa terkejutnya ia
saat melihat bahwa anak-anaknya tidak hanya membawa hasil meminta-minta, namun
juga seorang wanita.
Agar tidak terjadi pertempuran sengit, Kerajaan Kuru dibagi dua untuk dibagi
kepada Pandawa dan Kurawa. Kurawa memerintah Kerajaan Kuru induk (pusat) dengan
ibukota Hastinapura, sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan
ibukota Indraprastha. Baik Hastinapura maupun Indraprastha memiliki istana
megah, dan di sanalah Duryudana tercebur ke dalam kolam yang ia kira sebagai
lantai, sehingga dirinya menjadi bahan ejekan bagi Drupadi. Hal tersebut
membuatnya bertambah marah kepada para Pandawa.
Untuk merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira, Duryudana mengundang Yudistira
untuk main dadu, ini atas ide dari Arya Sengkuni. Pada saat permainan dadu,
Duryudana diwakili oleh Sengkuni sebagai bandar dadu yang memiliki kesaktian
untuk berbuat curang. Permulaan permainan taruhan senjata perang, taruhan
pemainan terus meningkat menjadi taruhan harta kerajaan, selanjutnya prajurit
dipertaruhkan, dan sampai pada puncak permainan Kerajaan menjadi taruhan,
Pandawa kalah habislah semua harta dan kerajaan Pandawa termasuk saudara juga
dipertaruhkan dan yang terakhir istrinya Drupadi dijadikan taruhan. Akhirnya
Yudistira kalah dan Drupadi diminta untuk hadir di arena judi karena sudah
menjadi milik Duryudana. Duryudana mengutus para pengawalnya untuk menjemput
Drupadi, namun Drupadi menolak. Setelah gagal, Duryudana menyuruh Dursasana,
adiknya, untuk menjemput Drupadi. Drupadi yang menolak untuk datang, diseret
oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Rambutnya ditarik sampai
ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Karena sudah kalah,
Yudistira dan seluruh adiknya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun Drupadi
menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Drupadi,
namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat
kekuatan gaib dari Sri Kresna yang melihat Dropadi dalam bahaya. Pertolongan
Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna
pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.
Drupadi yang merasa malu dan tersinggung oleh sikap Dursasana bersumpah tidak
akan menggelung rambutnya sebelum dikramasi dengan darah Dursasana. Bima pun
bersumpah akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya kelak. Setelah
mengucapkan sumpah tersebut, Drestarastra merasa bahwa malapetaka akan menimpa
keturunannya, maka ia mengembalikan segala harta Yudistira yang dijadikan
taruhan.
Duryudana yang merasa kecewa karena Drestarastra telah mengembalikan semua
harta yang sebenarnya akan menjadi miliknya, menyelenggarakan permainan dadu untuk
yang kedua kalinya. Kali ini, siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan
selama 12 tahun, setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan
setelah itu berhak kembali lagi ke kerajaannya. Untuk yang kedua kalinya,
Yudistira mengikuti permainan tersebut dan sekali lagi ia kalah. Karena
kekalahan tersebut, Pandawa terpaksa meninggalkan kerajaan mereka selama 12
tahun dan hidup dalam masa penyamaran selama setahun.
Setelah masa pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa
berhak untuk mengambil alih kembali kerajaan yang dipimpin Duryudana. Namun
Duryudana bersifat jahat. Ia tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Pandawa,
walau seluas ujung jarum pun. Hal itu membuat kesabaran Pandawa habis. Misi
damai dilakukan oleh Sri Kresna, namun berkali-kali gagal. Akhirnya,
pertempuran tidak dapat dielakkan lagi.
Pandawa berusaha mencari sekutu dan ia mendapat bantuan pasukan dari Kerajaan
Kekaya, Kerajaan Matsya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan
Magadha, Wangsa Yadawa, Kerajaan Dwaraka, dan masih banyak lagi. Selain itu
para ksatria besar di Bharatawarsha seperti misalnya Drupada, Setyaki,
Drestadjumna, Srikandi, Wirata, dan lain-lain ikut memihak Pandawa. Sementara
itu Duryudana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Kurawa sekaligus
mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Kurawa. Kurawa dibantu oleh
Resi Dorna dan putranya Aswatama, kakak ipar para Kurawa yaitu Jayadrata, serta
guru Krepa, Kertawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sengkuni, Karna,
dan masih banyak lagi.
Pertempuran berlangsung selama 18 hari penuh. Dalam pertempuran itu, banyak
ksatria yang gugur, seperti misalnya Abimanyu, Durna, Karna, Bisma, Gatotkaca,
Irawan, Raja Wirata dan puteranya, Bhagadatta, Susharma, Sengkuni, dan masih
banyak lagi. Selama 18 hari tersebut dipenuhi oleh pertumpahan darah dan
pembantaian yang mengenaskan. Pada akhir hari kedelapan belas, hanya sepuluh
ksatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu,
Setyaki, Aswatama, Krepa dan Kertawarma. (Nanti diceritakan dalam kisah
Bharatayudha)
Setelah perang berakhir, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah
memerintah selama beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, yaitu
Parikesit. Kemudian, Yudistira bersama Pandawa dan Drupadi mendaki gunung
Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Di sana mereka meninggal dan
mencapai surga. (Diceritakan dalam kisah Pandawa Seda)
Parikesit memerintah Kerajaan Kuru dengan adil dan bijaksana. Ia menikahi
Madrawati dan memiliki putera bernama Janamejaya. Janamejaya menikahi
Wapushtama (Bhamustiman) dan memiliki putera bernama Satanika. Satanika
berputera Aswamedhadatta. Aswamedhadatta dan keturunannya kemudian memimpin Kerajaan
Wangsa Kuru di Hastinapura. (Diceritakan dalam kisah Parikesit)
Mahabharata Cerita yang
benar-benar ada
Mahabharata Cerita yang benar-benar ada
A.
Pengertian Mahabharata :
Mahabharata (Sanskerta: महाभारत) adalah sebuah karya
sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku
ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8,
dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya
merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang
dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.
Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para
Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai
sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang
Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan
belas hari.
Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga
mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh
sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama
Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sanskerta ini kemudian disalin
dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada
masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.
B. Isi Kitab
1. Adiparwa : Kitab Adiparwa berisi berbagai
cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri,
kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa
dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa dan
Korawa, kisah tewasnya rakshasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna
mendapatkan Dropadi
2. Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan
Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena
usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa
sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12
tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun.
3. Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12
tahun pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah
Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti. Kisah
Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
4. Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun
penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12
tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna
sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala,
dan Dropadi sebagai penata rias.
5. Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang
keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak sebagai juru damai
gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu
sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India
Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
6. Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan
tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu
percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung.
Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab
Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena
usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.
7. Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan
Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkap
Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh
Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan
kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah
gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
8. Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna
sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan
sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh
Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara
mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada
hari ke-17
9. Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya
sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya gugur
di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali
perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu
menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi
dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat
mengangkat Aswatama sebagai panglima.
10. Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam
Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan
Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang,
kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan
harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan
Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya
Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
11. Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita
yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira
menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan
mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti
menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
12. Santiparwa berisi kisah pertikaian batin
Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran.
Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka
menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan
kewajibannya sebagai Raja.
13. Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira
kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran
Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan
sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
14. Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara
Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah
pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang
semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan
kembali oleh Sri Kresna.
15. Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra,
Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia
ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi
Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar
oleh api sucinya sendiri.
16. Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni.
Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna
mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas
nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau
mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana.
17. Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa
dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan
kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa
(kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
18. Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang
mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa
Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia.
Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing
menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.
C. Tokoh penting
Abimanyu · Adirata · Arjuna · Abyasa (Byasa) · Amba · Ambalika · Ambika · Babruwahana · Baladewa (Balarama) · Barbarika ·Basudewa · Bharata · Bima · Bisma · Burisrawa · Citrānggada · Citrānggadā · Cekitana · Drestadyumna · Dretarastra · Drona ·Dropadi · Drupada · Dursala · Dursasana · Duryodana · Duswanta · Ekalawya · Gandari · Gangga · Hidimba · Hidimbi · Irawan ·Janamejaya · Jarasanda · Karna · Kertawarma · Krepa · Kresna · Kunti · Kuru · Nakula · Pandu · Parikesit · Pratipa · Radha · Sadewa ·Sakuntala · Santanu · Satyaki · Satyawati (Durgandini) · Sisupala · Srikandi · Subadra · Ulupi · Utara · Wesampayana · Widura ·Wirata
(Matsyapati) · Yudistira · Yuyutsu
D. Bukti Kebenaran Cerita
Perang
Bharatayuda. Para arkeolog terkemuka dunia telah sepakat bahwa perang besar di
Kuruksetra merupakan sejarah Bharatavarsa (sekarang India) yang terjadi sekitar
5000 tahun yang lalu. Sekarang para peneliti hanya ingin menentukan tanggal
yang pasti tentang peristiwa tersebut. Dari hasil pengamatan beserta
bukti-bukti ilmiah. Dari berbagai estimasi maka dibuatlah suatu usulan
peristiwa-peristiwa sebagai berikut:
* Sri Krishna tiba di Hastinapura diprakirakan
sekitar 28 September 3067 SM
* Bhishma pulang ke dunia rohani sekitar 17 Januari 3066 SM
* Balarama melakukan perjalanan suci di sungai Saraswati pada bulan Pushya 1 Nov. 1, 3067 SM
* Balarama kembali dari perjalanan tersebut pada bulan Sravana 12 Dec. 12, 3067 SM
* Gatotkaca terbunuh pada 2 Desember 3067 SM.
* Bhishma pulang ke dunia rohani sekitar 17 Januari 3066 SM
* Balarama melakukan perjalanan suci di sungai Saraswati pada bulan Pushya 1 Nov. 1, 3067 SM
* Balarama kembali dari perjalanan tersebut pada bulan Sravana 12 Dec. 12, 3067 SM
* Gatotkaca terbunuh pada 2 Desember 3067 SM.
Batayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang
besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini
merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wira carita terkenal
dari India.
Dr.Rao meneliti bukti-bukti sejarah di lautan, di teluk Gujarat, untuk
mengungkap bukti keberadaan Kerajaan Dwaraka. Istana Sri Krisna, otak
penggalang strategis dari pihak Pandawa. Konon, kerajaan ini musnah ditelan gelombang
laut tahun 1478 SM, setelah perang Bharatayudha tahun 1443 SM.
Michael Cremo mengadakan penelitian di daratan, diantaranya: Indraprasta, Hastinapura, dan padang Khurusethra, bekas perang itu terjadi. Seperti diketahui, Indraprasta merupakan tempat bermukim keluarga Pandawa di awal perjuangan merebut Hastina. Khurusethra adalah bekas pertempuran dahsyat keluarga Bharata.
Michael Cremo mengadakan penelitian di daratan, diantaranya: Indraprasta, Hastinapura, dan padang Khurusethra, bekas perang itu terjadi. Seperti diketahui, Indraprasta merupakan tempat bermukim keluarga Pandawa di awal perjuangan merebut Hastina. Khurusethra adalah bekas pertempuran dahsyat keluarga Bharata.
Para ahli menemukan banyak bukti yang mengejutkan. Tanah tegalan
luas itu ternyata tak ditumbuhi tanaman apa pun, karena tercemar radio aktif.
Pada puing-puing bangunan atau sisa-sisa tengkorak manusia yang ditemukan di
Mohenjo Daro tercemar residu radio aktif yang cukup pekat.
Menurut Dr.Indrajit, ahli termonuklir, hal ini terjadi diduga
akibat radiasi ledakan termonuklir skala besar dalam peperangan tersebut.
Jelasnya terdapat dalam kalimat Weda yang diterjemahkan bebas seperti ini,
”Arjuna yang gagah berani, duduk dalam Weimana/ Vimana.
Dalam Ufology, Vimana adalah wahana mirip piring terbang. Bahkan
ada teori, bahwa dulunya Vimana adalah istilah untuk kendaraan alien yang
berperang dengan manusia Bumi yang pada saat itu juga sudah canggih.
Teori kedua dalam Ufology, bahwa dulunya ada dua ras alien yang
memperebutkan Bumi dan menghasilkan radiasi-radiasi yang hingga kini masih dapat
dibuktikan.
Oleh kerenanya, manusia mengganggap bahwa para alien tersebut
adalah “Dewa-dewa dari langit” yang sangat tangguh dan perkasa, lalu manusia
membuat ceritanya dalam kitab-kitab Hindu.
Vimana dapat mendarat di tengah air, lalu mengangkat gendewa dan
meluncurkan sebatang anak panah. Semacam senjata mirip rudal/ roket, yang dapat
menimbulkan sekaligus melepaskan nyala api yang bersinar terang di atas wilayah
musuh.
Curahannya seperti hujan lebat yang deras, mengepung musuh dengan
kekuatan dahsyat. Setelah panah itu tiba pada sasarannya, dalam sekejap sebuah
bayangan yang tebal dengan cepat terbentuk seperti cendawan raksasa merekah di
atas wilayah kurawa.
Angkasa menjadi gelap gulita, semua kompas yang ada dalam
kegelapan menjadi tidak berfungsi, kemudian badai angin yang dahsyat mulai
bertiup wuuus… wuuus, disertai debu pasir.
Burung-burung bercicit panik seolah-olah langit runtuh dan bumi
gonjang-ganjing. Sementara itu di atas langit, matahari seolah-olah bergoyang,
panas membara memancarkan udara mengerikan, membuat bumi berguncang, dan
gunung-gunung bergoyang.” (sumber viva.c0.id )
*
Kota kuno Dvaraka. Demikian
juga keberadaan kota Dvaraka yang dulu menjadi misteri, kota tersebut
disebutkan dalam Mahabharata bahwa Dvaraka tenggelam di pantai. Doktor Rao
adalah seorang arkeolog senior yang dengan tekun menyelidiki dengan “marine
archaeology” dan hasilnya ditemukannya reruntuhan kota bawah laut, beserta
ornamennya, didaerah Gujarat. Dwaraka, kota kerajaan Sri Krishna masa lalu.
Terkait
·
Cetak/ekspor Udyogaparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Udyogaparwa adalah buku kelima dalam epos Mahabharata. Teks lengkap karya sastra parwa ini belum
pernah diterbitkan. Isinya mengenai persiapan peperangan antaraKorawa dan Pandawa. Pihak Pandawa menuntut separoh dari
Kerajaan tetapi Korawa bersikeras menolak dengan alasan bahwa Pandawa telah
kehilangan haknya. Namun di pihak Korawa Widura, Drona, dan Bhisma menasihati sebelumnya agar diupayakan
penyelesaian damai. Kresna berperan sebagai duta untuk menengahi konflik
antara paraKorawa dan para Pandawa. Tetapi ia malah akan dibunuh Korawa,
sehingga marah besar. Ini mengilhami cerita wayang berjudul Kresna Duta. Dalam perjalanan
pulang ia bertemu dengan Karna, dan Kresna membujuk Karna agar berpihak
kepada Pandawa, mengingat Kunti adalah ibunya dan Pandawa adalah saudaranya.
Tetapi Karna terikat budi baik ayah angkatnya dan Duryudana, yang mengangkatnya menjadi raja, dan utang
budi itu jauh lebih mengikat daripada hubungan darah yang kurang terpelihara.Udyogaparwa sarat dengan nasihat keutamaan.
Misalnya ada empat tahap menghadapi musuh; yang pertama adalah sama, mencari kesepakatan
damai; yang kedua adalahbheda, artinya setuju berbeda, dan dalam posisi
status-quo; yang ketika adalah dana,
memberikan silih yang dapat mengerem kemarahan; yang keempat adalah denda, menghukum. Setelah
ketiga langkah pertama gagal diusahakan, maka tidak ada jalan lain, kedua belah
pihak siap perang untuk menghukum. Mereka menggerakkan pasukan ke medan perang, Kurusetra. English
Menurut M.A Salmoen dalam bukunyaPedalangan Di Pasoendan dan dalam Kitab Filsafat dan Masa Depan Pewayangan karya Ir. Moelyono, Mahabharata
berasal dari cerita bangsa Aria, yaitu suatu bangsa yang mendiami tanah dataran
tinggi Kasymir di India utara yang bernama Wedda. Kitab Mahabharata yang
berasal dari cerita rakyat, berubah menjadi cerita mitos yang disetarakan dengan
kitab-kitab lainya di India, seperti Jayur wedda, rig wedda, sama wedda dan
lain-lainya.
Pada awal abad ke 20, kitab Mahabharata telah diterjemahkan ke
dalam + 300 bahasa sehingga hampir seluruh dunia mengenalnya. Asal mula cerita
itu ditulis dalam bentuk puisi yang disebarkan secara lisan dan turun-temurun,
kemudian setelah manusia bisa menulis dan membaca barulah dijadikan cerita
tertulis yang disusun dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa.
Kedua cerita tersebut kadang-kadang dikaburkan oleh pendapat- pendapat atau pengertian yang campur aduk, karena perkembangan kedua cerita itu tidak terlepas dari pengaruh dan perubahan zaman, seperti perubahan politik, perubahan kepercayaan, perubahan sosial ekonomi dan lain-lainya, yang kemajuan alam pikiran manusia mempengeruhi perubahan-perubahan itu. Pada zaman Majapahit dan zaman-zaman sebelumnya, cerita wayang bertindak sebagai sumber penyebaran ajaran agama Hindu. Tetapi pada zaman Islam digunakan sebagai media pengembangan dan penyebaran agama Islam yang tentu berbeda maksud dan tujuannya, baik dalam pengertian maupun dalam falsafahnya.
Kitab Mahabharata ini sering juga disebut Asthadasaparwa. Astha berarti delapan, dasa berarti sepuluh, parwa berarti bagian atau bab. Jadi kitab Mahabharata ini dibagi menjadi 18 bagian atau 18 parwa. Sebagian besar menceritakan peperangan sengit antara Pandawa dan Kurawa selama 18 hari, sehingga ada yang menyebut dengan nama yang lengkap yaitu kitab Mahabharatayudda yang artinya peperangan besar antara keluarga Bharata
Kitab Mahabharata ditulis oleh Empu Wiyasa. Nyoman S. Pendita dalam halaman pendahuluan Mahabharatanya menyebutkan bahwa Mahabharata dikarang oleh 28 Wiyasa (Empu sastra) yang dipersonifikasikan sebagai seorang Maharsi Wiyasa (kakek Pandawa dan Kurawa). Asthadasaparwa artinya 18 parwa atau 18 bagian, diantaranya yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirathaparwa, Udyogaparwa, Bismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedaparwa, Asramawasanaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa.
Dalam parwa yang pertama yaitu Adiparwa, dimuat beberapa macam cerita, misalnya matinya Arimba, burung dewata mengaduk laut susu yang menyebabkan keluarnya air hidup dan juga timbulnya gerhana matahari dan bulan yang dalam ceritanya terungkap bulan yang ditelan oleh raksasa yang hanya berwujud kepala. Ada juga cerita tentang Pandawa dan Kurawa ketika masih kecil misalnya lakon Dewi Lara Amis, Bale si Gala-gala dan cerita Santanu. Negeri Hastina yang rajanya bernama prabu Santanu mempunyai anak bernama Prabata atau disebut juga Bisma yang artinya teguh janji. Suatu saat prabu Santanu tertarik dengan kecantikan dewi Satyawati. Padahal prabu Santanu sudah pernah sumpah tak akan kawin lagi, hanya akan mengasuh sang Prabata saja.
Bisma pun mengetahui pula bahwa sang ayah telah bersumpah tak akan kawin lagi. Namun demikian Bisma sangat iba hati melihat sang ayah prabu Santanu jatuh cinta kepada dewi Satyawati yang hanya mau dikawini bila keturunannya dapat naik tahta. Melihat gelagat yang kurang pas itu, Bisma rela untuk melepaskan haknya sebagai raja pengganti sang ayah. Bisma kemudian bersumpah akan hidup sendiri dan tidak menikah selamanya (wadat). Ini berarti Bisma tidak menggantikan tahta ayahnya, agar sang ayah bisa kawin dengan Satyawati. Pernikahan Santanu dengan Dewi Satyawati berputra dua yaitu Citragada dan Wicitrawirya. Citranggada tidak lama hidup dia mati muda maka Wicatrawirya yang menggantikan sang prabu sebagai raja Hastina dengan istri dua dewi Ambika dan Ambalika dari negara Kasi. Belum sampai punya keturunan prabu
Wicitrawirya meninggal. Oleh Satyawati Bisma disuruh mengawini kedua janda itu, tetapi dengan tegas Bisma menolak. Kemudian dewi Satyawati menyuruh anaknya si Abiyasa (Wiyasa) hasil perkawinannya dengan begawan Parasara untuk mengawini si janda Ambika dan Ambalika dengan harapan ada keturunan dari silsilah Bharata yang meneruskan menjabat sebagai raja di negara Astina.
Dewi Ambika yang menikah dengan resi Wiyasa punya keturunan laki-laki bernama Dretharastra yang sejak lahir menderita buta dan tidak bisa menjadi raja. Sedangkan pernikahan antara Wiyasa dengan Dewi Ambalika menurunkan anak laki-laki bernama Pandhu si muka pucat. Pandhulah yang kemudian menduduki singgasana kerajaan Hastina. Pandhu menikah dengan dua wanita yaitu Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Pernikahanya dengan Dewi Kunthi berputra 3 laki-laki, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna. Sedangkan pernikahanya dengan Dewi Madrim berputra 2 laki-laki, yaitu Nakula dan Sadewa. Sehingga Prabu Pandhu mempunya 5 orang anak, dan kelima anak tersebut disebut Pandawa.
Drestharastra akhirnya menikah dengan kakak perempuan Sangkuni yang bernama Dewi Gandari dan mempunyai keturunan 100 orang. Ketika Pandhu meninggal, Drestharastra terpaksa menggantikan raja sementara meskipun buta. Drestharastra menjabat raja hanya sementara, inilah yang menimbulkan perang besar Bharatayuda selama 18 hari yang memakan korban sangat banyak.
Pada parwa yang kedua yaitu Sabhaparwa menceritakan tentang permainan dadu hingga Pandawa menjalani hukuman. Usaha Kurawa untuk menghancurkan Pandawa tidak pernah mau berhenti. Kali ini Pandawa yang sudah menempati Indraprastha sebagai tempat berteduh diajak main dadu. Ternyata atas kelicikan orang Kurawa, meskipun Yudhistira ahli main dadu, tetapi tetap kalah karena tipu muslihat Sengkuni. Dalam permainan tersebut Yudhistira juga menyerahkan dirinya untuk dijadikan taruhan, hingga Yudhistira kalah dan menerima hukuman. Tetapi karena usaha Drestharastra para Pandawa menjadi bebas.
Kurawa tetap menginginkan kehancuran Pandawa dan diajaknya main dadu lagi dengan taruhan bila Pandawa kalah harus menjalani pembuangan selama 12 tahun dan tahun ke 13 mereka harus menyelinap atau bersembunyi. Jika dalam penyelinapannya diketahui para Kurawa, Pandawa harus kembali ke hutan selama 12 tahun lagi dan menyelinap pada tahun ke 13 dan seterusnya.
Dalam Wanaparwa yaitu bagian yang ketiga ini mengisahkan pengalaman-pengalaman Pandawa ketika berada dalam hutan buangan selama 12 tahun. Pernah para Pandawa menolong seorang desa yang akan dimakan oleh seorang raja raksasa bernama prabu Baka dari negeri Ekacakra. Prabu Baka mati terkena kuku Pancanaka Bratasena, perutnya sobek usus keluar. Negeri Ekacakra tentram dan seorang yang tertolong itu berjanji akan sanggup menjadi korban saji (tawur) ketika perang besar nanti terjadi. Di samping itu dikisahkan pula bahwa Raden Arjuna juga pernah merukunkan suami istri yang belum akur menjadi satu selama perkawinannya. Setelah Raden Arjuna yang merukunkannya, maka orang tersebut sanggup menjadi tawur pada perang besar nanti. Pada saat Pandawa dalam hutan buangan sering menerima kehadiran para Brahmana yang hadir untuk mendoakannya.
Maharsi Wiyasa datang untuk memberikan nasehat-nasehatnya agar Arjuna mau bertapa di gunung Mahameru untuk memohon senjata-senjata yang ampuh dan sakti. Tapa Arjuna inilah yang menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
Parwa yang ke empat yaitu Wirathaparwa mengisahkan Pandawa sudah selesai menjalani 12 tahun di hutan sebagai buangan. Maka mereka keluar dari hutan ingin menyelinap sesuai perjanjian. Para Kurawa berpendapat bahwa Pandawa pasti sudah mati dimakan binatang buas. Tetapi ternyata mereka sudah berada di negeri Wiratha sebagai budak sang prabu Matsyapati.
Penyamaran yang dilakukan para Pandawa adalah sebagai berikut, Yudhistira sebagai kepala pasar berpangkat tandha bernama Dwijangkangka, Bratasena sebagai tukang menyembelih sapi (jagal) dengan nama Ballawa dan ikut seorang jagal Walakas di desa Pajagalan. Arjuna diterima sebagai abdi sang permaisuri dewi Sudisna bersama putri mahkota dewi Utari, tugasnya mengajar tari dan sindhen bernama Kandhi Wrehatnala dengan watak banci (wandu). Sedangkan Nakula dan Sadewa sebagai tukang memelihara kuda dan tukang rumput (Gamel), bernama Grantika dan Tantripala. Drupadi bernama Salindri sebagai pelayan sang permaisuri dewi Sudesna dan merangkap sebagai penjual kinang di pasar. Penyamaran Ini memang strategi mereka biar tidak jauh dengan Kandhi Wrehatnala, dan pada saat keluar supaya mudah berhubungan dengan tandha Dwijangkangka dan Jagal Ballawa serta Grantika dan Tantripala.
Meskipun di Wiratha sering mendapat marah oleh sang Prabu
Matsyapati, tetapi Pandawa sadar itu suatu perjalanan penuh kesabaran dan
tawakal (laku prihatin) yang harus dijalani. Mengabdi sebagai budak kerajaan
harus mau menerima apa adanya meskipun menerima siksa, dihina, dicerca,
meskipun benar dianggap salah toh mereka beranggapan bahwa kebenaranlah yang
akan mendapat anugerah.
Sabagai abdi mereka berenam dalam strategisnya mampu mengamankan negara Wiratha yang sedang terancam bahaya, misalnya jagal Billawa mampu membunuh tritunggal Kencakarupa – Praupakenca dan Rajamala. Sedangkan Arjuna si Kandhi Wrehatnala mampu membunuh beribu-ribu tentara sekutu Astina bersama para senapatinya sehingga negeri itu menjadi tenang dan tentram. Setelah para budak bersembunyi dan menyelinap di Wirataha selama satu tahun, barulah tahu dengan jelas bagi prabu Matsyapati yang menyadari bahwa keenam bersaudara tersebut adalah para Pandawa yang terhitung masih cucunya sendiri. Demikianlah kata para budak si Pandawa. “Kakek Matsyapati, akulah cucu-cucumu Pandawa.” Seketika itu kemarahan Matsyapati menjadi kesabaran dan berjanji akan mengutamakan kebijaksanaan.
Udyogaparwa adalah parwa yang kelima mengisahkan bahwa pada tahun ke 14 Pandawa tak bisa dicari orang Hastina, apalagi para Kurawa yakin bahwa Pandawa sudah mati. Maka orang Hastina cemas bahwa Pandawa kembali ke Indraprastha. Di dalam bagian ke 5 ini Sri Kresna sebagai perantara untuk minta separuh negara, tetapi Kurawa tidak rela. Oleh karena itu tidak ada jalan lain, kecuali harus mempersiapkan diri untuk menghadapi peperangan.
Pada parwa yang ke enam yaitu Bismaparwa dikisahkan bahwa perang Bharatayuda sudah dimulai dan Bisma sebagai panglima perang Hastina dan Dhresthadyumna sebagai panglima perang Pandawa akan berhadapan di medan perang Tegalkurukasetra. Pembela Pandawa yang lain adalah dari negara Wirata diantaranya adalah Seta, Utara, Wratsangka yang akhirnya ketiga kesatriya tersebut gugur terkena panah Bisma.
Dalam perang besar Bharatayuda, kedudukan Sri Kresna sebagai penasehat Pandawa dan pengatur siasat perang serta menjadi kusir atau pengendara kereta Arjuna. Dikala Arjuna bimbang menghadapi musuhnya yaitu saudara-saudara, guru, kakek, kakak, maka Sri Kresna memberikan nasehat (wejangan) tentang hakekat dan kewajiban manusia secara mendalam. Wejangan yang mendalam dan panjang itu merupakan bagian yang disebut Nyanyian Tuhan (Baghawadgita).
Sepuluh hari pertempuran berlangsung, maka gugurlah Bisma. Ia tidak terus mati, melainkan masih hidup beberapa lama lagi. Kemudian masih mampu memberikan wejangan kepada kedua belah pihak yang bertikai.
Dronaparwa adalah bagian yang ke tujuh mengisahkan tentang begawan Drona sebagai senapati Kurawa dan gugurnya Gathotkaca. Drona telah menjadi panglima perang Kurawa. Sedangkan Karna mengamuk telah ditantang Gathotkaca namun Gathotkaca gugur, Abimanyu anak Arjuna juga gugur oleh Jayajerata. Raja Drupadapun gugur, sebagai seorang anak maka Dhresthadyumna mengamuk dan pada hari ke 15 Drona gugur oleh Dhresthadyumna.
Karnaparwa adalah parwa yang ke delapan. Pada bagian ke 8 ini juga diceritakan Bima merobek dada Dursasana secara sadis dan meminum darah Dursasana. Pada hari ke 17, Karna terbunuh oleh Arjuna hingga terpenggal kepalanya.
Salyaparwa adalah bagian yang ke sembilan mengisahkan tentang Prabu Salya raja Mandraka menjadi panglima perang Kurawa namun hanya setengah hari gugur oleh tipu muslihat Nakula dan Sadewa. Hal tersebut dilakukan oleh Nakula dan Sadewa karena perintah Sri Kresna sebagai dalang Pandawa.
Dalam parwa yang ke sepuluh yaitu Sauptikaparwa, menceritakan perihal Aswatama putra Drona. Karena dendam, maka pada malam hari yang dinyatakan tidak perang itu, Aswatama masuk ke kemah-kemah membunuh semua yang ditemuinya, di antaranya Dresthadyumna. Dalam parwa ini diungkapkan bahwa Aswatama lari ke hutan dan berlindung di pertapaan Wiyasa. Keesokan harinya datanglah Pandawa ke pertapaan Wiyasa. Dalam pertemuan itu terjadi perang ramai antara Pandawa dan Aswatama yang kemudian dilerai oleh resi Wiyasa dan Kresna. Aswatama menyerahkan senjata dan kesaktiannya. Akhirnya Aswatama pergi menjadi pertapa. Striparwa adalah bagian yang ke sebelas, mengisahkan tentang Prabu Dhrestharastra, Pandawa, Kresna dan semua istri pada pahlawan datang di medan Tegal Kurukasetra. Mereka mencari suaminya masing-masing dan hari itu adalah hari tangis. Mereka menyesali kejadian itu. Semua jenasah para pahlawan yang ditemukan dibakar bersama.
Pada bagian yang ke duabelas yaitu Santiparwa menceritakan para Pandawa mencari pencerahan jiwa dan pembersihan diri. Sebulan lamanya Pandawa tinggal di hutan untuk membersihkan diri. Atas petunjuk resi Wiyasa dan Kresna, diharapkan Yudhistiraa agar mau memerintah di Hastina dan didukung oleh adik-adiknya. Wiyasa dan Kresna memberi wejangan tentang kewajiban dan kesanggupan manusia dan para ksatria sebagai generasi penerus. Akhirnya Yudhistira mau menjadi raja di istana Hastina serta mereka menunaikan tugas bersama.
Anusasanaparwa adalah bagian yang ke tigabelas. Parwa ini mengisahkan kejadian-kejadian sebagai penutup Bharatayuda dan wejangan dari Bisma terhadap Yudhistira. Dan akhirnya Bisma meninggal sesudah perang.
Dalam bagian yang ke empatbelas yaitu Aswamedaparwa mengisahkan prabu Yudhistira pada saat mengadakan selamatan untuk naik tahta kerajaan dengan cara membiarkan dan membebaskan kuda. Pembebasan kuda tersebut dilakukan selama satu tahun dengan penjagaan ketat, bagi siapa yang menggaggu kuda tersebut dihukum.
Asramawasanaparwa adalah bagian yang ke limabelas. Parwa ini mengisahkan tentang Drestharastra yang menarik diri dari keramaian dan ingin hidup di hutan dengan Gandari dan Kunthi juga ingin menjadi pertapa. Tetapi setelah hidup di hutan selama satu tahun lalu mereka mati karena hutan terbakar oleh api Drestharastra
sendiri.
Mausalaparwa adalah parwa yang ke enambelas. Parwa ini menceritakan musnahnya kerajaan Dwarawati akibat berkobarnya perang saudara antara kaum Yadawa atau bangsa kulit hitam (Wangsa Wresni). Wangsa ini lenyap karena saling perang dengan menggunakan gada alang-alang. Baladewa mati, Kresna lari ke hutan dan mati terbunuh dengan tidak sengaja oleh seorang pemburu. Parwa ke tujuhbelas disebut Prasthanikaparwa. Parwa ini menceritakan sesudah pemerintahan diserahkan ke cucunya Pandawa yang bernama Prabu Parikesit, maka Pandawa lima bersama-sama Dropadi menarik diri untuk menuju pantai. Satu demi satu mereka meninggal secara berurutan dari Dropadi, kemudian dari yang muda Sadewa , Nakula, Arjuna, Bima.
Tinggal Yudhistira dengan seekor anjing yang selalu mengikuti pengembaraan pada Pandawa. Batara Indra datang menjemput Yudhistira tetapi ditolak bila anjing tidak boleh ikut serta. Akhirnya anjingnyapun diperbolehkan ikut, maka masuklah Yudhistira ke Indraloka bersama Batara Indra. Sedangkan anjing itu masuk ke Sorgaloka berubah menjadi Sang Hyang Batara Darma / Hyang Suci.
Swargarohanaparwa adalah bagian yang ke delapanbelas atau parwa yang terakhir. Parwa ini menceritakan sewaktu Yudhistira ke Surga tidak bertemu dengan saudara-saudaranya, dan juga dengan Dropadi. Justru malah bertemu dengan kakak-kakaknya dari Hastina. Oleh karena itu dia mencari ke Neraka dan bertemu dengan adiknya-adiknya dalam penyiksaan. Namun dengan masuknya Yudhistira ke Neraka maka berbaliklah keadaannya. Neraka dibalik menjadi Surga. Sedangkan Surganya orang-orang Kurawa telah berbalik menjadi Neraka. Pandawa dan Dropadi tenteram di Sorgaloka. Dalam kitab Swargarohanaparwa ini memerlukan pengamatan khusus yaitu mengapa ada Nneraka dibalik menjadi Sorga? Sebaliknya mengapa ada Sorga dibalik menjadi Neraka?
Demikianlah kisah dari 18 parwa dalam kitab Mahabharata. Masih banyak sumber sastra lain seperti yang dibicarakan pada bagian sastra lakon. Itupun juga berupa sumber sastra-sumber sastra yang dapat dipakai sebagai sarana penggarapan lakon atau cerita dalam seni pertunjukan wayang kulit purwa Jawa pada umumnya.
Bagian-bagian
Astadasaparwa
Adiparwa versi Jawa Kuna yang diterbitkan oleh Dinas
Pendidikan Daerah Tingkat I provinsi Bali
Adiparwa]
Kitab Adiparwa merupakan kitab pertama dari seri
Astadasaparwa yang menceritakan berbagai kisah yang bernafaskan ajaran Hindu. Kisah kepahlawanannya dibumbui oleh ilmu
sakti dan mitologi. Pada bagian awal yang diceritakan adalah
kisah Maharaja Janamejayayang menyelenggarakan upacara pengorbanan ular. Upacara yang diselenggarakannya kemudian
gagal. Untuk menghibur Sang Raja, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah tentang para leluhur
Sang Raja, kemudian beralih kepada cerita pemutaran Mandaragiri, kisah Sang Garuda dan para Naga, kisah Bagawan Dhomya, kisah
para Raja besar: Yayati, Bharata, Santanu. Selain itu kitab Adiparwa juga menceritakan
kisah kelahiran Rsi Byasa (penyusun kitab Mahabharata), kisah masa kecil Pandawa dan Korawa, kisah para Pandawa mendapatkan Dropadi sebagai istri mereka atas kemenangan Sang Arjuna, kisah Arjuna yang mengasingkan diri ke
hutan kemudian menikah dengan Chitrāngadā, Ulupi, dan Subadra, serta kisah lahirnya Abimanyu, putera Arjuna dengan Subadra.
Sabhaparwa[
Kitab Sabhaparwa merupakan kitab kedua dari seri
Astadasaparwa. Kitab Sabhaparwa menceritakan kisah para Korawa yang mencari akal untuk melenyapkan para Pandawa. Atas siasat licik Sangkuni, Duryodana mengajak para Pandawa main dadu. Taruhannya
adalah harta, istana, kerajaan, prajurit, sampai diri mereka sendiri. Dalam
permainan yang telah disetel dengan sedemikian rupa tersebut, para Pandawa
kalah. Dalam kisah tersebut juga diceritakan bahwa Dropadi ingin ditelanjangi oleh Dursasana karena menolak untuk menyerahkan pakaiannya.
Atas bantuan Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan. Pandawa yang
sudah kalah wajib untuk menyerahkan segala hartanya, namun berkat pengampunan
dari Dretarastra, para Pandawa mendapatkan kebebasannya
kembali. Tetapi karena siasat Duryodana yang licik, perjudian dilakukan sekali
lagi. Kali ini taruhannya adalah siapa yang kalah harus keluar dari kerajaannya
dan mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun. Pada tahun yang ke-13, yang
kalah harus hidup dalam penyamaran selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, yang
kalah berhak kembali ke kerajaannya. Dalam pertandingan tersebut, para Pandawa
kalah sehingga terpaksa mereka harus meinggalkan kerajaannya.
Wanaparwa[
Kitab Wanaparwa merupakan kitab ketiga dari seri
Astadasaparwa. Kitab Wanaparwa menceritakan kisah pengalaman para Pandawa bersama Dropadi di tengah hutan. Mereka bertemu dengan Rsi Byasa, seorang guru rohani yang mengajarkan
ajaran-ajaran Hindu kepada Pandawa dan Dropadi, istri mereka.
Atas saran Rsi Byasa, Arjuna bertapa di gunung Himalaya agar memperoleh senjata sakti yang kelak
digunakan dalam Bharatayuddha. Kisah Sang Arjuna yang sedang menjalani
masa bertapa di gunung Himalaya menjadi inspirasi untuk menulis Kakawin Arjuna Wiwaha.
Wirataparwa
Kitab Wirataparwa merupakan kitab keempat dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah penyamaran para Pandawa beserta Dropadi di Kerajaan Wirata. Yudistiramenyamar sebagai seorang ahli agama, Bima menyamar sebagai juru masak, Arjuna menyamar sebagai guru tari, Nakula menyamar sebagai penjaga kuda, Sahadewamenyamar sebagai pengembala, dan Dropadi menyamar sebagai penata rias.
Udyogaparwa
Kitab Udyogaparwa merupakan kitab kelima dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan sikap Duryodana yang tidak mau mengembalikan kerajaan para Pandawa yang telah selesai menjalani masa
pengasingan, namun sebaliknya ia menantang mereka untuk berperang. Pandawa yang
selalu bersabar mengirimkan duta perdamaian ke pihakKorawa, namun usaha mereka tidak membuahkan
perdamaian. Sikap para Korawa membuat perang tidak dapat dielakkan. Pandawa dan
Korawa mempersiapkan kekuatannya dengan mencari bala bantuan dan sekutu ke
seluruh pelosok Bharatawarsha (India Kuno). Sri Kresna mengajukan tawaran kepada Pandawa dan Korawa,
bahwa di antara mereka boleh meminta satu pilihan: pasukannya atau tenaganya.
Melihat tawaran tersebut, Pandawa yang diwakili Arjuna menginginkan tenaga Sri Kresna sebagai kusir
dan penasihat sedangkan Korawa yang diwakili Duryodana memilih pasukan Sri
Kresna. Dalam kitab ini juga diceritakan kisah perjalanan Salya – “Sang Raja Madra” – menuju markas Pandawa karena memihak
mereka, namun di tengah jalan ia disambut dengan baik oleh Duryodana sehingga
Salya mengubah pikirannya dan memihak Korawa karena merasa berhutang kepada
Duryodana. Duryodana juga berniat jahat terhadap Sri Kresna namun karena Sri
Kresna bukan manusia biasa, maka usahanya tidak berhasil.
Bhismaparwa
Bhagawad Gita, sebuah bab dari kitab Bhismaparwa yang kemudian menjadi
kitab tersendiri. Isinya mengenai ajaran-ajaran Agama Hindu yang disampaikan oleh perantara Kresna kepada Arjuna
Kitab Bhismaparwa merupakan kitab keenam dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah dimulainya pertempuran akbar antara
pihak Pandawa dan Korawa di sebuah daratan luas yang sangat suci dan
keramat bernama Kurukshetra, letaknya di sebelah utara negeri India. Setelah kedua belah pihak sepakat dengan
aturan perang, maka kedua belah pihak berkumpul dan memenuhi daratan
Kurukshetra, siap untuk berperang. Pihak Korawa dipimpin oleh Bhisma sedangkan pihak Pandawa dipimpin olehDrestadyumna. Sebelum pertempuran berlangsung, Arjuna dilanda keraguan dan kebimbangan setelah ia
melihat para saudara dan kerabatnya berkumpul untuk saling membantai. Arjuna
tidak tega untuk membunuh para Korawa, yang masih merupakan saudara. Karena
Arjuna dilanda oleh berbagai keraguan, Kresna yang berperan sebagai kusir kereta Arjuna
mencoba menyadarkannya dengan memberikan wejangan-wejangan suci yang kemudian
dikenal sebagai “Bhagawad Gita”, atau “Nyanyian seorang rohaniwan”. Bhagawad Gita ini menjadi kitab
tersendiri yang merupakan intisari dari ajaran-ajaran Veda. Wejangan suci dari
Kresna membuat Arjuna bangkit, dan melangsungkan pertempuran. Akhirnya Bhisma
yang menjadi panglima perang Korawa, gugur pada hari kesepuluh dengan siasat
Arjuna yang menggandeng Srikandi.
Dronaparwa
Kitab Dronaparwa merupakan kitab ketujuh dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Bagawan Dronasebagai panglima perang pasukan Korawa setelah Rsi Bhisma gugur di tangan Arjuna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Drona
ingin menangkap Yudistira hidup-hidup untuk membuat Duryodana senang. Usaha tersebut tidak berhasil karena
Arjuna selalu melindungi Yudistira. Pasukan yang dikirim oleh Duryodana untuk
membinasakan Arjuna selalu berhasil ditumpas oleh para ksatria Pandawaseperti Bima dan Satyaki. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan
tentang siasat Sri Kresna yang menyuruh agar Bima membunuh gajah
bernama Aswatama. Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak
sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan
tersebut kepada Yudistira, dan Yudistira berkata bahwa Aswatama mati. Mendengar
hal tersebut, Drona kehilangan semangat berperang sehingga meletakkan
senjatanya. Melihat hal itu, ia dipenggal oleh Drestadyumna. Setelah kematian Drona, Aswatama, putera Bagawan Drona, hendak membalas
dendam. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu yang terperangkap dalam formasi Cakrawyuha serta gugurnya Gatotkaca dengan senjata sakti panah Konta.
Karnaparwa]
Kitab Karnaparwa merupakan kitab kedelapan dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Karna sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca gugur, Arjuna dan Bima mengamuk. Mereka banyak membantai pasukan Korawa. dalam kitab ini diceritakan bahwa Bima
berhasil membunuh Dursasana dan merobek dadanya untuk meminum darahnya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir kereta Karna. Kemudian
terjadi pertengkaran antara Salya dengan Karna. Dalam kitab ini diceritakan
bahwa roda kereta perang Karna terperosok ke dalam lubang. Karna turun
dari kereta dan mencoba untuk mengangkat roda keretanya. Dengan senjata panah
pasupati, Arjuna berhasil membunuh Karna yang sedang lengah.
Salyaparwa
Kitab Salyaparwa merupakan kitab kesembilan dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Salya sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Karna yang telah gugur. Salya hanya memimpin selama
setengah hari, karena pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Dalam kitab ini diceritakan kisahDuryodana yang ditinggal mati saudara dan sekutunya dan
kini hanya ia sendirian sebagai Korawa yang menyerang Pandawa. Semenjak seluruh saudaranya gugur demi
memihak dirinya, Duryodana menyesali segala perbuatannya dan berencana untuk
menhentikan peperangan. Ia pun bersedia untuk menyerahkan kerajaannya kepada
para Pandawa agar mampu meninggalkan dunia fana dengan tenang. Sikap Duryodana
tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa. Karena tidak tahan, Duryodana tampil
ke medan laga dan melakukan perang tanding menggunakan gada melawan Bima. Dalam pertempuran tersebut, Kresna yang mengetahui kelemahan Duryodana menyuruh
Bima agar memukul paha Duryodana. Setelah pahanya terpukul, Duryodana kalah.
Namun sebelum ia meninggal, Aswatama yang masih hidup diangkat menjadi panglima
perang.
Sauptikaparwa[
Kitab Sauptikaparwa merupakan kitab kesepuluh dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah tiga ksatria dari pihak Korawa yang melakukan serangan membabi buta pada di
malam hari, saat tentara Pandawa sedang tertidur pulas. Ketiga ksatria
tersebut adalah Aswatama, Krepa, dan Kritawarma. Aswatama yang didasari motif balas dendam
membunuh seluruh pasukan Panchala termasuk Drestadyumna, yang membunuh Drona, ayah Aswatama. Selain itu Aswatama juga
membunuh Srikandi serta kelima putera Pandawa atau Pancawala. Aswatama kemudian menyesali perbuatannya
lalu pergi ke tengah hutan, berlindung di pertapaan Rsi Byasa. Para Pandawa dan Kresnamenyusulnya. Kemudian di sana terjadi
pertarungan sengit antara Aswatama dengan Arjuna. Rsi Byasa dan Kresna berhasil
menyelesaikan pertengkaran tersebut. Kemudian Aswatama menyerahkan seluruh
senjata dan kesaktiannya. Ia sendiri mengundurkan diri demi menjadi pertapa.
Striparwa[
Kitab Striparwa merupakan kitab kesebelas dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah ratap tangis para janda yang
ditinggal suaminya di medan perang. Dikisahkan pula Dretarastra yang sedih karena kehilangan putera-puteranya
di medan perang, semuanya telah dibunuh oleh Pandawa. Yudistira kemudian mengadakan upacara pembakaran
jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada arwah
leluhur. Dalam kitab ini, Kunti menceritakan asal usul Karna yang selama ini menjadi rahasia pribadinya.
Santiparwa[
Kitab Santiparwa merupakan kitab kedua belas dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah berkumpulnya Dretarastra, Gandari, Pandawa, dan Kresna di Kurukshetra. Mereka sangat menyesali segala perbuatan
yang telah terjadi dan hari itu adalah hari tangisan. Yudistira menghadapi masalah batin karena ia merasa
berdosa telah membunuh guru dan saudara sendiri. Kemudian Bhisma yang masih terbujur di atas panah memberikan
wejangan kepada Yudistira. Ia membeberkan ajaran-ajaran Agama Hindu secara panjang lebar kepadanya. Rsi Byasa dan Kresna turut membujuknya. Mereka semua memberikan
nasihat tentang ajaran kepemimpinan dan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh
Yudistira.
Anusasanaparwa[
Kitab Anusasanaparwa merupakan kitab ketiga belas dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Yudistira yang menyerahkan diri bulat-bulat kepada Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma menjelaskan
ajaran Agama Hindu dengan panjang lebar kepadanya, termasuk
ajaran kepemimpinan, pemeintahan yang luhur, pelajaran tentang menunaikan
kewajiban, tentang mencari kebahagiaan, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma yang
sakti mangkat ke surga dengan tenang.
Aswamedhikaparwa[
Kitab Aswamedhikaparwa merupakan kitab keempat belas dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah kelahiran Parikesit yang sebelumnya tewas dalam kandungan karena
senjata sakti milik Aswatama. Dengan pertolongan dari Kresna, Parikesit dapat dihidupkan kembali.
Kemudian Yudistira melakukan upacara Aswamedha. Untuk menyelenggarakan upacara tersebut, ia melepas seekor kuda. Kuda
tersebut mengembara selama setahun dan di belakangnya terdapat pasukan Pandawa yang dipimpin olehArjuna. Mereka mengikuti kuda tersebut kemanapun
pergi. Kerajaan-kerajaan yang dilalui oleh kuda tersebut harus mau tunduk di
bawah kuasa Yudistira jika tidak mau berperang. Sebagian mau tunduk sedangkan
yang membangkang harus maju bertarung dengan Arjuna karena menentang Yudistira.
Pada akhirnya, para Raja di daratan Indiamau mengakui Yudistira sebagai Maharaja
Dunia.
Asramawasikaparwa[
Kitab Asramawasikaparwa merupakan kitab kelima belas dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Dretarasta, Gandari, Kunti, Widura dan Sanjaya yang menyerahkan kerajaan sepenuhnya kepada Raja Yudistira sedangkan mereka pergi bertapa ke tengah
hutan. Pandawa sempat mengunjungi pertapaan merekja di
tengah hutan. Akhirnya, Batara Narada datang ke hadapan para Pandawa, dan
mengatakan bahwa hutan tempat Dretarastra, Gandari, Kunti bertapa terbakar oleh
api suci mereka sendiri, sehingga mereka wafat dan langsung menuju surga.
Mosalaparwa[
Kitab Mosalaparwa merupakan kitab keenam belas dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah binasanya bangsa Wresni karena kutukan seorang Brahmana. Bangsa Wresni menghancurkan sesamanya
dengan menggunakan senjata gada (mosala) setelah lupa diri karena meminum
arak yang menyebabkan mereka mabuk. Sehabis pertempuran bangsa Wresni, Baladewa bermeditasi di tengah hutan kemudian
mengeluarkan ular suci dari mulutnya, setelah itu ia menghilang mencapai
keabadian. SetelahKresna ditinggal Baladewa dan bangsa Wresni musnah semua, ia pergi ke tengah hutan
untuk bertapa. Di dalam hutan, seorang pemburu melihat kaki Kresna bagaikan
seekor rusa kemudian menembakkan anak panah. Hal tersebut membuat Kresna
mencapai keabadian dan meninggalkan dunia fana. Arjuna sempat mengunjungi Dwarawati, dan ia
mendapati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia mengadukan hal tersebut kepada Rsi Byasa, dan Rsi Byasa menasihati para Pandawa agar meninggalkan hal-hal duniawi untuk
menempuh hidup sebagai “Sanyasin” (pertapa).
Prasthanikaparwa[
Kitab Prasthanikaparwa merupakan kitab ketujuh belas dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Pandawa dan Dropadi yang mengundurkan diri dari pemerintahan dan
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi untuk menjadi seorang pertapa. Mereka
menyerahkan tahta kepada Parikesit, satu-satunya keturunan mereka yang selamat
dari perang Bharatayuddha. Para Pandawa beserta Dropadi berencana
untuk berziarah ke gunung Himalaya sebagai akhir hidup mereka. Dalam perjalanan,
Dropadi dan satu persatu dari Pandawa bersaudara (Sahadewa, Nakula, Arjuna, Bima) meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih hidup dan melanjutkan
perjalanannya. Yudistira membiarkan jenazah saudara-saudaranya terkubur di
tengah perjalanan tanpa memberikan upacara pembakaran yang layak. Di tengah
jalan, Yudistira bertemu dengan seekoranjing, dan anjing tersebut kemudian menjadi teman
perjalanannya. Bersama-sama, mereka berdua berhasil mencapai puncak.
Sesampainya di puncak, kereta kencana DewaIndra pun turun ke bumi untuk menjemput Yudistira
ke surga.
Swargarohanaparwa[
Kitab Swargarohanaparwa merupakan kitab kedelapan belas dari seri
Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan akhir kisah perjalanan suci yang
dilakukan oleh Pandawa. Kisahnya diawali dengan penolakan Yudistira yang tidak mau berangkat ke surga jika harus meninggalkan anjing yang setia
menemani dalam perjalanannya. Atas ketulusan hati Yudistira, si anjing pun
menampakkan wujud aslinya sebagai Dewa Dharma, ayah Yudistira. Dewa Dharma mengatakan
bahwa Yudistira telah berhasil melewati ujian yang diberikan kepadanya dengan
tenang. Setelah mengetahui yang sebenarnya, Yudistira bersedia berangkat ke
surga. Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena tidak menemukan
saudara-saudaranya yang saleh, melainkan mendapati bahwa Duryodana beserta sekutunya yang jahat ada di sana.
Sang Dewa mengatakan bahwa mereka bisa berada di surga karena gugur di tanah
suci Kurukshetra. Yudistira kemudian berangkat ke neraka. Di
sana ia mendengar suara saudara-saudaranya yang menyayat agar mau menemani
penderitaan mereka. Yudistira yang memilih untuk tinggal di neraka bersama saudara
yang saleh daripada tinggal di surga bersama saudara yang jahat membuat para
Dewa tersentuh. Tabir ilusi pun dibuka. Dewa Indra menjelaskan bahwa sebenarnya saudara-saudara
Yudistira telah berada di surga bersama dengan saudaranya yang jahat. Yudistira
pun menyadarinya kemudian hidup berbahagia di surga setelah membuang jasadnya.
·
·
PAKILITAN
SAPTA WARA RING PAWETUAN MANUSA RING BUMI
·
WATEK OTON
·
Membaca
Watak Kelahiran dari Tenung Wariga
Ramalan tentang watak dasar manusia menurut kelahirannya dalam kesusastraan Bali tergolong lengkap dan mendetail. Catatan-catatan mengenai watak ini ditulis dalam daun lontar dan disucikan oleh masyarakatnya, terutama oleh seorang juru wacak pawatekan atau orang yang menekuni masalah watak kelahiran dan ruwatan-nya. Ilmu ini lumrahnya diistilahkan dengan Tenung Wariga. Apa saja yang ada di dalamnya dan apa penjelasannya?
---------------------
DALAM meramal watak kelahiran, sang juru wacak akan mencari formulasi kala atau waktu kelahiran dari si penanya. Biasanya akan dicari terlebih dahulu kategori wuku dan wawaran kelahiran. Selanjutnya dicari palalintangan pancawara-saptawara, barulah sasih-nya atau hitungan bulan dalam kalender Bali. Hitungan wawaran dan wuku terkait dengan rumus-rumus wariga sesuai dengan matematika tradisional Bali, sedangkan palalintangan dan pasasihan terkait erat dengan konstalasi bintang-bintang di langit yang diyakini mempengaruhi watak kelahiran seseorang.
Dari hitungan wuku, wawaran, dan palalintangan terdapat 210 varian watak menurut kelahiran manusia, selanjutnya 12 dalam hitungan sasih. Jadi dari keseluruhannya, Tenung Wariga dalam budaya Bali memiliki 2520 jenis watak manusia yang didapat dari mengalikan 210 varian wuku, wawaran, dan palalintangan dengan 12 jenis watak manusia menurut sasih atau bulan dalam setahun.
Di sini tentu tidak dapat disajikan secara mendetail seluruhya, namun untuk memberi sedikit gambaran bagaimana ramalan akan watak kelahiran manusia perspektif budaya Bali, berikut akan disajikan watak kelahiran manusia menurut teks "Pawatekan Wrhaspati Kalpa" dalam hitungan saptawara sebagai bagian kecil dari kompleksitas Tenung Wariga. Hari apa Anda lahir? Coba cek watak Anda berdasarkan hari kelahiran Anda berikut ini.
* Redite (Minggu)
Kayunya alemes, bisa bergaul dengan sembarang orang, dan bisa menerima pendapat orang lain. Burungnya beo (syung), senang meniru kepribadian orang. Wayangnya jantur, tampil pendiam dan jarang berbicara yang dirasanya tidak perlu. Sinar tubuhnya terlihat kemerah-merahan, cepat meledak amarahnya. Mereka yang terlahir pada hari ini dikatakan telah menjelma sebanyak lima kali atas titah Sang Hyang Iswara. Dewa mereka adalah Indra, hingga cocok menjadi seorang pemimpin yang keras.
Bila terlahir wanita dan ada tahi lalat di kemaluan, ia akan cenderung memiliki cinta mendua. Namun, di balik sifat-sifat baiknya, ia memiliki pendirian yang goyah dan berubah-ubah dan menjadi lupa diri lantaran kata-kata kasar. Penyakitnya ada di telinga kiri, pinggang kiri, mata kiri, tangan kiri dan bagian tubuh sebelah kiri. Pengeruwatan-nya air dari kendi keramik berlobang lima.
* Soma (Senin)
Lambangnya bulan, menjadi tempat berlindung orang-orang kesusahan, bisa memberikan nasihat yang berguna bagi orang yang susah dan bersedih. Kayunya kroya, memiliki sifat kikir. Bunganya pole, berkepribadian baik dan harum, namun memiliki kecenderungan sulit menemukan jodoh apabila mereka berkepribadian tertutup. Mereka telah menjelma menjadi manusia sebanyak empat kali atas titah Bhatara Maheswara, Dewanya Uma. Bintangnya Wresabha. Yoni-nya Dewa, hingga memiliki sifat yang baik. Sinar tubuhnya hitam, tenang namun sering bersedih. Terlihat pantas dengan berbagai jenis pakaian.
Yang terlahir pada hari ini, hati-hatilah menjaga anak, lantaran memiliki kecenderungan memiliki anak yang meninggal. Bicaranya baik dan lembut. Berhati-hati dalam mengambil keputusan, hingga sering terlalu banyak pertimbangan kemudian terjebak dalam pikiran yang bercabang. Penyakitnya beraneka macam, hati-hati pada kelamin. Pengeruwatan-nya disiram dengan memakai air dari kendi keramik berlobang empat.
* Anggara (Selasa)
Lambangnya api, memiliki sifat pendendam dan baru puas jika telah membalaskannya, disenangi banyak orang dan dibutuhkan lantaran keahliannya. Kayunya warangireng. Burungnya gagak, sering membanggakan diri dan menyanjung diri sendiri, dan terkadang dapat melihat sesuatu yang bersifat gaib. Wayangnya ceng-ceng, banyak ucap dan sering terlibat adu argumen dan berbantahan. Mereka telah tiga kali menjelma menjadi manusia atas perintah Sang Hyang Brahma. Sering ditimpa masalah dan kesulitan mencari jalan keluarnya, namun memiliki kebijaksanaan yang cukup.
Orang yang lahir hari ini memiliki kecenderungan berani membantah orangtuanya. Penyakit yang diderita biasanya di kaki, kelamin, dan kuku. Percintaannya juga sering mendua dan berselingkuh. Yoni-nya raksasa hingga memiliki pribadi yang liar dan susah diatur. Pengeruwatan-nya memakai air kendi keramik berlobang tiga.
* Buda (Rabu)
Lambangnya langit, berpenampilan tenang namun susah diduga. Wayangnya goleng, cepat bisa dalam sembarang pekerjaan. Telah menjelma sebanyak empat kali atas perintah Sang Hyang Rudra. Ada kecenderungan akan memiliki anak yang murtad, sering tersangkut masalah lantaran karmanya pada kehidupannya yang dahulu. Memiliki sifat yang baik dan senang bila bisa berderma, keras keinginannya. Bisa menjadi seorang sastrawan dan pintar.
Senang mencari ilmu gaib dan keagamaan. Keras keinginannya untuk tahu berbagai bidang pekerjaan dan disukai oleh orang-orang miskin hingga sangat dihormati oleh orang-orang kelas bawah. Penyakitnya ada di kaki hingga ada kecenderungan lumpuh. Pengeruwatan-nya banten lengkap dengan mantra Rudra.
* Wraspati (Kamis)
Lambangnya guru, memiliki kebijaksanaan yang akan membuatnya termasyur dan disenangi orang lantaran pengetahuan dan kepintarannya. Kayunya beringin, cocok menjadi pelindung bagi orang-orang yang susah dan didera masalah. Burungnya merak, tampil rupawan dan memikat namun sayangnya senang pamer kekayaan ketika menjadi kaya. Wayangnya dalang, pintar dalam mengatur strategi, namun terkadang lepas kontrol lantaran individualisnya.
Telah menjelma menjadi manusia sebanyak delapan kali atas titah Sang Hyang Maha Dewa. Dewanya Bhatara Guru. Bintangnya Wrasaba. Memiliki kecenderungan ditinggal istri atau suami lantaran cemburu. Senang dengan ilmu gaib sedari kecil, setia pada temannya bukan lantaran harta. Penyakitnya ada di tangan dan bagian tubuh sebelah kanan. Pengeruwatan-nya memakai uang kepeng sebanyak 888 keping, air kendi keramik berlobang delapan.
* Sukra (Jumat)
Lambangnya bumi, disenangi orang lantaran kesabarannya, namun sering kena fitnah dan dijelek-jelekkan orang. Kayunya ancak, menjadi teman baik orang-orang suci. Burungnya titiran atau perkutut, disayang orang-orang besar. Wayangnya jugil, enam kali menjelma menjadi manusia atas titah Sang Hyang Sangkara. Dewanya Bhatari Sri, pintar membuat orang senang. Bintangnya Tumbamina, memiliki banyak keinginan dan angan-angan, susah lantaran hutang.
Berbahagia dan kaya lantaran sahabat-sahabatnya. Mantra yang diucapkannya sering manjur, cerdas lantaran bertanya, cocok menjadi arsitek atau ahli bangunan (undagi). Penyakitnya ada di tenggorokan, mata kanan, di perut, pada telapakan kaki atau pun tangan. Pengeruwatan-nya memakai air kendi keramik berlobang enam.
* Saniscara (Sabtu)
Lambangnya Durga, memiliki kecenderungan egoistis dan individualis, namun bisa menjaga sahabat, kerabat dan anak-anaknya dengan baik. Menjadi lupa diri dan lepas kendali bila ia marah. Dewanya Sang Hyang Kala, kayunya kepuh, berpenampilan angker dan menakutkan. Burungnya dok, suka menyendiri. Telah menjelma menjadi manusia sebanyak sembilan kali atas titah Bhatara Wisnu. Bintangnya Tulamina, yoni-nya Raksasa, berbudi liar.
Berpikiran tetap, cenderung berani terhadap orang tua (dursila ring wong atuha). Hidup berkecukupan dari kecil, memiliki tangan dan budi usil, senang bercanda dan
Ramalan tentang watak dasar manusia menurut kelahirannya dalam kesusastraan Bali tergolong lengkap dan mendetail. Catatan-catatan mengenai watak ini ditulis dalam daun lontar dan disucikan oleh masyarakatnya, terutama oleh seorang juru wacak pawatekan atau orang yang menekuni masalah watak kelahiran dan ruwatan-nya. Ilmu ini lumrahnya diistilahkan dengan Tenung Wariga. Apa saja yang ada di dalamnya dan apa penjelasannya?
---------------------
DALAM meramal watak kelahiran, sang juru wacak akan mencari formulasi kala atau waktu kelahiran dari si penanya. Biasanya akan dicari terlebih dahulu kategori wuku dan wawaran kelahiran. Selanjutnya dicari palalintangan pancawara-saptawara, barulah sasih-nya atau hitungan bulan dalam kalender Bali. Hitungan wawaran dan wuku terkait dengan rumus-rumus wariga sesuai dengan matematika tradisional Bali, sedangkan palalintangan dan pasasihan terkait erat dengan konstalasi bintang-bintang di langit yang diyakini mempengaruhi watak kelahiran seseorang.
Dari hitungan wuku, wawaran, dan palalintangan terdapat 210 varian watak menurut kelahiran manusia, selanjutnya 12 dalam hitungan sasih. Jadi dari keseluruhannya, Tenung Wariga dalam budaya Bali memiliki 2520 jenis watak manusia yang didapat dari mengalikan 210 varian wuku, wawaran, dan palalintangan dengan 12 jenis watak manusia menurut sasih atau bulan dalam setahun.
Di sini tentu tidak dapat disajikan secara mendetail seluruhya, namun untuk memberi sedikit gambaran bagaimana ramalan akan watak kelahiran manusia perspektif budaya Bali, berikut akan disajikan watak kelahiran manusia menurut teks "Pawatekan Wrhaspati Kalpa" dalam hitungan saptawara sebagai bagian kecil dari kompleksitas Tenung Wariga. Hari apa Anda lahir? Coba cek watak Anda berdasarkan hari kelahiran Anda berikut ini.
* Redite (Minggu)
Kayunya alemes, bisa bergaul dengan sembarang orang, dan bisa menerima pendapat orang lain. Burungnya beo (syung), senang meniru kepribadian orang. Wayangnya jantur, tampil pendiam dan jarang berbicara yang dirasanya tidak perlu. Sinar tubuhnya terlihat kemerah-merahan, cepat meledak amarahnya. Mereka yang terlahir pada hari ini dikatakan telah menjelma sebanyak lima kali atas titah Sang Hyang Iswara. Dewa mereka adalah Indra, hingga cocok menjadi seorang pemimpin yang keras.
Bila terlahir wanita dan ada tahi lalat di kemaluan, ia akan cenderung memiliki cinta mendua. Namun, di balik sifat-sifat baiknya, ia memiliki pendirian yang goyah dan berubah-ubah dan menjadi lupa diri lantaran kata-kata kasar. Penyakitnya ada di telinga kiri, pinggang kiri, mata kiri, tangan kiri dan bagian tubuh sebelah kiri. Pengeruwatan-nya air dari kendi keramik berlobang lima.
* Soma (Senin)
Lambangnya bulan, menjadi tempat berlindung orang-orang kesusahan, bisa memberikan nasihat yang berguna bagi orang yang susah dan bersedih. Kayunya kroya, memiliki sifat kikir. Bunganya pole, berkepribadian baik dan harum, namun memiliki kecenderungan sulit menemukan jodoh apabila mereka berkepribadian tertutup. Mereka telah menjelma menjadi manusia sebanyak empat kali atas titah Bhatara Maheswara, Dewanya Uma. Bintangnya Wresabha. Yoni-nya Dewa, hingga memiliki sifat yang baik. Sinar tubuhnya hitam, tenang namun sering bersedih. Terlihat pantas dengan berbagai jenis pakaian.
Yang terlahir pada hari ini, hati-hatilah menjaga anak, lantaran memiliki kecenderungan memiliki anak yang meninggal. Bicaranya baik dan lembut. Berhati-hati dalam mengambil keputusan, hingga sering terlalu banyak pertimbangan kemudian terjebak dalam pikiran yang bercabang. Penyakitnya beraneka macam, hati-hati pada kelamin. Pengeruwatan-nya disiram dengan memakai air dari kendi keramik berlobang empat.
* Anggara (Selasa)
Lambangnya api, memiliki sifat pendendam dan baru puas jika telah membalaskannya, disenangi banyak orang dan dibutuhkan lantaran keahliannya. Kayunya warangireng. Burungnya gagak, sering membanggakan diri dan menyanjung diri sendiri, dan terkadang dapat melihat sesuatu yang bersifat gaib. Wayangnya ceng-ceng, banyak ucap dan sering terlibat adu argumen dan berbantahan. Mereka telah tiga kali menjelma menjadi manusia atas perintah Sang Hyang Brahma. Sering ditimpa masalah dan kesulitan mencari jalan keluarnya, namun memiliki kebijaksanaan yang cukup.
Orang yang lahir hari ini memiliki kecenderungan berani membantah orangtuanya. Penyakit yang diderita biasanya di kaki, kelamin, dan kuku. Percintaannya juga sering mendua dan berselingkuh. Yoni-nya raksasa hingga memiliki pribadi yang liar dan susah diatur. Pengeruwatan-nya memakai air kendi keramik berlobang tiga.
* Buda (Rabu)
Lambangnya langit, berpenampilan tenang namun susah diduga. Wayangnya goleng, cepat bisa dalam sembarang pekerjaan. Telah menjelma sebanyak empat kali atas perintah Sang Hyang Rudra. Ada kecenderungan akan memiliki anak yang murtad, sering tersangkut masalah lantaran karmanya pada kehidupannya yang dahulu. Memiliki sifat yang baik dan senang bila bisa berderma, keras keinginannya. Bisa menjadi seorang sastrawan dan pintar.
Senang mencari ilmu gaib dan keagamaan. Keras keinginannya untuk tahu berbagai bidang pekerjaan dan disukai oleh orang-orang miskin hingga sangat dihormati oleh orang-orang kelas bawah. Penyakitnya ada di kaki hingga ada kecenderungan lumpuh. Pengeruwatan-nya banten lengkap dengan mantra Rudra.
* Wraspati (Kamis)
Lambangnya guru, memiliki kebijaksanaan yang akan membuatnya termasyur dan disenangi orang lantaran pengetahuan dan kepintarannya. Kayunya beringin, cocok menjadi pelindung bagi orang-orang yang susah dan didera masalah. Burungnya merak, tampil rupawan dan memikat namun sayangnya senang pamer kekayaan ketika menjadi kaya. Wayangnya dalang, pintar dalam mengatur strategi, namun terkadang lepas kontrol lantaran individualisnya.
Telah menjelma menjadi manusia sebanyak delapan kali atas titah Sang Hyang Maha Dewa. Dewanya Bhatara Guru. Bintangnya Wrasaba. Memiliki kecenderungan ditinggal istri atau suami lantaran cemburu. Senang dengan ilmu gaib sedari kecil, setia pada temannya bukan lantaran harta. Penyakitnya ada di tangan dan bagian tubuh sebelah kanan. Pengeruwatan-nya memakai uang kepeng sebanyak 888 keping, air kendi keramik berlobang delapan.
* Sukra (Jumat)
Lambangnya bumi, disenangi orang lantaran kesabarannya, namun sering kena fitnah dan dijelek-jelekkan orang. Kayunya ancak, menjadi teman baik orang-orang suci. Burungnya titiran atau perkutut, disayang orang-orang besar. Wayangnya jugil, enam kali menjelma menjadi manusia atas titah Sang Hyang Sangkara. Dewanya Bhatari Sri, pintar membuat orang senang. Bintangnya Tumbamina, memiliki banyak keinginan dan angan-angan, susah lantaran hutang.
Berbahagia dan kaya lantaran sahabat-sahabatnya. Mantra yang diucapkannya sering manjur, cerdas lantaran bertanya, cocok menjadi arsitek atau ahli bangunan (undagi). Penyakitnya ada di tenggorokan, mata kanan, di perut, pada telapakan kaki atau pun tangan. Pengeruwatan-nya memakai air kendi keramik berlobang enam.
* Saniscara (Sabtu)
Lambangnya Durga, memiliki kecenderungan egoistis dan individualis, namun bisa menjaga sahabat, kerabat dan anak-anaknya dengan baik. Menjadi lupa diri dan lepas kendali bila ia marah. Dewanya Sang Hyang Kala, kayunya kepuh, berpenampilan angker dan menakutkan. Burungnya dok, suka menyendiri. Telah menjelma menjadi manusia sebanyak sembilan kali atas titah Bhatara Wisnu. Bintangnya Tulamina, yoni-nya Raksasa, berbudi liar.
Berpikiran tetap, cenderung berani terhadap orang tua (dursila ring wong atuha). Hidup berkecukupan dari kecil, memiliki tangan dan budi usil, senang bercanda dan
·
·
PINUPULAN
DE SIRA KAKYANG DALANG SADHAR JERO SATRIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar