Senin, 23 Februari 2015
Sabtu, 21 Februari 2015
BARATA yuddha karena kutukan dan sumpah sendiri !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
YAYATI PRABHU KENA
KUTUKAN.......
Pada suatu sore, dimana
matahari mulai terbenam, Prabu Yayati melamun sambil melihat
kelelawar-kelelawar yang keluar dari pupus-pupus daun pisang. Lalu putra
bungsunya (Puru) dipanggil. Setelah Puru dating berkatalah Prabu Yayati:
“Oh putraku Puru, ternyata
engkau adalah satu-satunya putraku yang telah mengorbankan diri demi ayahmu,
milikmu yang paling berharga. Oh anakku saying, ternyata bahwa nafsu-nafsu
angkara, nafsu-nafsu birahi, nafsu-nafsu syahwat, tidak akan puas hanya dengan
melampiaskannya. Nafsu yang diumbar, ternyata bukan makin padam, tetapi justru
makin berkobar. Laksana bola salju. Makin digulung dan makin jauh
menggelinding, dia makin besar. Kini aku tahu, bahwa dengan melampiaskan hawa
nafsu tidak membawa kedamaian hidup. Ternyata kedamaian hanya dapat dicapai dan
diterima dengan jalan cinta kasih dan keseimbangan jiwa, mestinya sejak semula
aku harus bersikap : Dengan tulus ikhlas menerima nasib. Jika mengalami
kehilangan tanpa menyesal, menerima dengan kesabaran hati apa bila menghadapi
pengalaman yang mengganggu bahkan dihina sekalipun. Dan ketiga, dengan rela dan
rendah hati menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Itulah jalan yang paling
bahagia. Bagiku sekarang hanyalah menyingkiri, kuasa menahan dan memusnahkan
hawa nafsu-nafsu jahatku. Itulah suatu jalan yang akan kutempuh, agar aku dapat
hidup damai dan mendapat Rahmat Tuhan. Karena itu, Oh Puru: Ambillah kembali
ke”muda”anmu dari diriku dan sekarang perintahlah kerajaan ini dengan bijaksana
adil paramarta, agar rakyatmu patuh, setia (saiyeg seaka kapti) menjunjung
titahmu”.
Maka Prabu Yayati memeluk anak
bungsunya (Puru) untuk menerima kembali ketuaannya. Dan sat itu juga, Prabu
Yayati menyerahkan kembali kemudaannya kepada putranya. Beberapa waktu kemudian
Prabu Puru dinobatkan menjadi Raja di Astinapura. Dan Raja Puru inilah yang
nantinya menurunkan bangsa Puru atau bangsa Kuru yang kemudian menurunkan
Kurawa. Kelak Prabu Kuru mempunyai putra bernama Dusmanta. Prabu Dusmanta kawin
dengan Sakuntala kemudian melahirkan Bharata. Dan Bharata inilah nantinya akan
melahirkan keluarga besar Bharata atau Maha Bharata.
Bharata menurunkan Kuru, Kuru
menurunkan Pratip, Pratipa menurunkan Sentanu, Sentanu menurunkan Bisma.
Nah, sekarang kiranya menjadi jelas.
Bahwa menurut versi Maha Bharata pemilik negara Astina itu adalah Prabu Nahusa.
Prabu Yayati, Puru, Dusmanta, Bharata, Kuru, Pratipa, Hasti, Sentanu, sampai
kepada Bisma.
Sedangkan menurut versi Pustaka
Raja Purwa pemilik dan pencipta kerajaan Astina adalah Palasara, Abiyasa,
Pandu, Duryudana dan Yudistira kemudian Parikesit.
Nah, inilah manusia hidup.
Menurut anthropologis (filsafat manusia), bahwa manusia hidup itu terdiri dari
jasmani (raga) dan rohani (jiwa) serta dilengkapi dengan lima nafsu yaitu:
amarah, sufiah, aluamah, mulhimah, dan mutmainah. Atau cairan yang mengalir
pada badan manusia itu ada lima macam yaitu: darah merah, kuning, hitam, hijau
dan putih. Yang ideal adalah, kalau jumlah nafsu-nafsu itu (harus) seimbang.
Sebab kalau banyak darah merahnya, manusia akan menjadi pemarah, serakah dan
rakus.
Begitu pula sebaliknya kalau
banyak putihnya akan menjadi orang suci atau negatifnya akan menjadi fatalis
(mungsaderma).
Karena manusia itu juga terdiri
dari unsure wadag atau bersifat jasmaniah, maka orang hidup harus makan. Namun
dalam menghadapi makan perlu mempunyi sifat distansi (jarak) dan moderasi
(menguasi diri). Pendeknya ada aturannya, tidak asal makan. Makan adalah untuk
hidup. Supaya sehat, maka hidup itu perlu dan harus makan, namun bukan hidup
untuk makan.
Jelasnya, lihat binatang kalau
sedang makan. Binatang itu selalu tergesa-gesa dan hanyut serta tenggelam dalam
makanan, akhirnya dia juga dimakan (dikuasi) oleh makanan. Ia membabi buta,
seperti besok tidak ada hari lagi. Dan sambil “nggereng” mencengkeram
makanannya, bahkan apa bila ada yang mendekat dan mengganggu dia menyerang
(homo-homo mini lupus).
Sedangkan manusia tidaklah
demikian. Kita memiliki sopan santun dan cara makan, karena itu sungguh tepat
kalau Wulangreh memberi petunjuk:
“Pada gulangening kalbu, ing
sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kaesti,
pesunen sariranira, cegah dahar lawan guling”.
Yang artinya:
“Latihlah dirimu agar supaya
menjadi cerdas dalam sasmita (awas dan waspada). Jangan hanya hanyut menuruti
nafsu perut (makan) dan nafsu tidur (syahwat). Tetapi usahakan “watak perwira”
ini dengan jalan mencegah (mengurangi) nafsu perut dan nafsu tidur”.
Nah, begitulah
kira-kira maksud dari nenek moyang yang sudah tahu akan bahaya yang akan
terjadi, kalau manusia kelewat bebas dan batas dalam memenuhin kebutuhan
jasmaniah dan lahiriahnya. Makin dilampiaskan nafsu jahatnya, makin berkobarlah
nafsu-nafsu itu meSakuntala, Ibu Bharata Raja Besar
di Astinapura

Syahdan, suatu tempat pertapaan yang begigtu
tenang dan damai, sehingga kijang-menjangan dapat hidup berdampingan dengan
singa dan macan yang buas. Semua itu seolah-olah karena pengaruh sianr sucinya
pertapaan. Segala yang pada mulanya bengis, kejam, buas dan rakus, berubah
menjadi sejuk, nyaman, rukun dan tenang penuh kedamaian.
Siapakah
gerangan pertapa besar yang bersemayajm di situ? Ia adalah Begawan Kanwa yang
hidup bersama dengan seorang anak gadisnya, Sakuntala namanya. Sakuntala yuang
cantik adalah anak angkat dari Begawan Kanwa. Semula Sakuntala adalah putrid
Prabu Wismamitra yang lahir dari rahim bidadari Menaka. Yaitu, dikala Prabu
Wismamitra sedang bertapa menjauhkan diri dari keduniawian, sekonyong-konyong
melihat kedatangan bidadari Menaka yang tersingkap kainnya oleh hembusan angina
yang nakal, sehingga Wismamitra sampai tak dapat mengendalikan dirinya. Ia
takluk kepada keinginannya untuk segera menghisap madunya Batari Menaka. Pendek
kata betari Menaka kemudian melahirkan seorang bayi wanita yang kemudian diberi
nama Sakuntala. Setelah sang bayi lahir, maka kembalilah Menaka ke Kahyangan
dan Sakuntala ditinggalkan sendirian di tepi sungai Malini. Kelihatannya kejam
dan tak bertanggung jawab, tetapi memang itulah yang disebut “laku”.
Pada suatu hari, ketika Begawan Kanwa sedang santai di sungai Malini, sangat terkejut setelah mehilat bayi yang sedang disuapi oleh burung-burung penghuni hutan dengan penuh kasih sayang. Maka diambillah Sakuntala dan dibawa pulang ke pertapaan dan diasuh sebagai anaknya sendiri.
Pada suatu hari, ketika Begawan Kanwa sedang santai di sungai Malini, sangat terkejut setelah mehilat bayi yang sedang disuapi oleh burung-burung penghuni hutan dengan penuh kasih sayang. Maka diambillah Sakuntala dan dibawa pulang ke pertapaan dan diasuh sebagai anaknya sendiri.
Demikianlah Sakuntala bercerita
kepada raja Astina Prabu Dusmanta yang singgah di pertapaan begawan Kanwa.
Prabu Dusmanta yang sudah terkena panah asmaranya Sakuntala tak dapat menahan
diri, maka bersabdalah ia:
“Sakuntala putri begawan yang suci,
perkenankanlah aku melamarmu untuk menjadi suami sang putri”.
Semula lamaran sang Prabu ini
ditolak, akan tetapi karena desakan yang tak dapat ditolak, maka berkatalah
Sakuntala:
“Ya Tuanku, hamba bersedia menjadi
permaisuri baginda, tetapi kelak apabila dari pernikahan kita ini lahir seorang
putra, hendaklah dinobatkan menjadi raja Astinapura sebagai pengganti sang
Prabu”.
Tanpa berkata dipeluknya Sakuntala
dan pernikahan gandarwa dilangsungkan. Setelah sang Prabu Dusmanta tinggal
beberapa saat di pertapaan, maka ia berpamit hendak pulang ke istana. Ia
berjanji bahwa Sakuntala akan segera dijemput untuk diboyong ke Astina.
Sakuntala sangat sedih dan malu atas
semua perbuatannya itu, sehingga tak berani menyongsong kedatangan begawan
Kanwa, karena ia mengira, pasti ayahnya telah mengetahui apa yang terjadi
terhadap dirinya. Dengan bijaksana begawan Kanwa berkata dengan lemah lembut:
“Oh anakku Sakuntala, kau tidak
salah. Anak yang kau kandung itu kelak akan menjadi manusia besar sepanjang
sejarah. Semua ini adalah sudah kehendak Dewata”.
Sakuntala
bersujud sambil menangis dan menciumi kaki ayah angkatnya. Ringkasnya, setelah
Sembilan bulan, lahirlah seorang bayi laki-laki yang pekik, tegap, sigap,
pantas sekali calon manusia besar. Oleh ibunya ia diberi nama Sarwadamana yang
artinya ; manusia kuat penakluk binatang buas.

Tetapi setelah selang beberapa tahun lamanya, jemputan dari Prabu Dusmanta tak kunjung dating, maka atas titah Begawan Kanwa, Sakuntala berangkat ke negeri Astinapura untuk mempersembahkan Sarwadamana di hadapan Prabu Dusmanta. Setelah menghadap berkatalah Sakuntala:

Tetapi setelah selang beberapa tahun lamanya, jemputan dari Prabu Dusmanta tak kunjung dating, maka atas titah Begawan Kanwa, Sakuntala berangkat ke negeri Astinapura untuk mempersembahkan Sarwadamana di hadapan Prabu Dusmanta. Setelah menghadap berkatalah Sakuntala:
“Baginda yang mulia, ini adalah putra
baginda hasil perkawinan gandarwa kita berdua. Angkatlah Sarwadamana sebagai
raja Astina pengganti baginda”.
Dengan muka marah merah padam
berkatalah Prabu Dusmanta:
“Hai wanita tak tahu malu! Hentikan
kata-katamu yang kurang ajar itu. Bagaimana mungkin aku seorang raja agung
dapat beristerikan wanita hina seperti kau ini”.
Belum sampai selesai Prabu Dusmanta
berkata, tiba-tiba ada suara gaib terdengar menggema di angkasa yang dapat
didengar oleh sang Prabu dan menteri-menteri dalam kabinetnya:
“Hai Prabu Dusmanta, janganlah
ragu-ragu. Anak ini adalah benar-benar putramu”.
Maka seluruh hadirin menjadi riang
gembira dan Sakuntala diangkat menjadi permaisurinya yang syah dengan upacara
yang meriah, sedang Sarwadamana dinobatkan menjadi Adipati dan oleh baginda
diberi nama Bharata. Mulai saat itulah Bharata menajdi raja muda di Astina dan
pemimpin besar dunia. Bharata inilah yang seterusnya menurunkan darah Bharata
yang besar dan megah sepanjang jaman. Bharata berarti Mahatman atau Terpuji,
yang kelak ia menurunkan Prabu Hastin, kemudian Prabu Kurupratipa baru kemudian
lahir manusia besar Prabu Sentanu.
Dalam pedalangan wayang kulit purwa,
pada umumnya hanya Sentanulah yang dikenal. Ia bukan sebagai pemilik negara
Astina, tetapi sebagai peminjam negara Astina. Sedang kalau menurut Mahabharata
lain lagi ceritanya:
Di kala raja Astina Prabu Kurupratipa
sedang bertapa tiba-tiba datanglah batari Gangga. Ia duduk di pangkuannya
sebelah kiri. Cara duduk Batari Gangga ini memberikan petunjuk kepada Prabu
Kurupati, bahwa ia bukan jodohnya, tetapi calon menantunya. Karena itu setelah
Prabu Kurupratipa mempunyai seorang anak laki-laki bernama Sentanu, maka
Sentanui dikawinkan dengan Batari Gangga. Dan Sentanu inilah sebenarnya pemilik
dan pewaris Negara Astina yang nanti diperebutkan cucu-cucunya, yakni: Kurawa
dan Pandawa.
Bagaimana kisah Sentanui dan Batari
Gangga
Perempuan
yang Ingin Membunuh Bisma
Begitulah dewabrata
kelak seorang penunggang kuda akan menghampirimu
aku titipkan cemas yang dulu
lalu ia rentangkan busur dengan ribuan anak panah
yang kuraut sendiri
tersenyumlah, aku datang menjemputmu
kelak seorang penunggang kuda akan menghampirimu
aku titipkan cemas yang dulu
lalu ia rentangkan busur dengan ribuan anak panah
yang kuraut sendiri
tersenyumlah, aku datang menjemputmu
BAGINDA sendiri yang menuntun saya
menuju kereta. Membukakan pintu dan berkata; “Amba, kau telah menjadi putri
boyongan. Pergilah bersama calon suamimu dan jaga adik-adikmu. Bagaimanapun,
lak-laki itu telah memenangkan sayembara. Aku tak lagi berkuasa atasmu. Jangan
mencoba membuat malu dengan ulah kekanak-kanakanmu. Lupakan Salwa. Sebagai
perempuan, kau tak punya pilihan.”
Pagi menjadi sangat kelam. Bunga
tanjung jatuh satu-satu.
“Pergilah. Jagalah martabat dan
kehormatan negerimu.”
Saya menahan marah yang menggumpal.
Tapi saya tak ingin menangis. Mereka yang sedang tak jatuh cinta memang selalu
menganggap remeh arti sebuah percintaan. Sebagai anak raja, apalagi perempuan,
kau tak boleh membangkang apa yang menjadi keinginan raja.
Sebenarnya semua tak akan menjadi
serumit ini kalau saja saya belum memiliki kekasih. Tapi baginda sendiri telah
merestui saya, putrinya, menjalin cinta dengan Kangmas Salwa. Bukankah pesta
pertunangan pada purnama lalu telah menjadi pertanda bahwa kebersamaan kami
akan segera menjadi kenyataan?
“Bimbing adik-adikmu, Ambika dan
Ambalika, menjadi istri yang baik. Jangan kau kotori kehormatan tanah leluhurmu
dengan ketidakmengertianmu,” baginda berkata lagi, lalu membalikkan badan
meninggalkan kereta wangi berhias bunga-bunga, tanpa menoleh lagi.
Ambika dan Ambalika sudah menunggu
saya di dalam kereta. Saya melangkahkan kaki dengan wajah menunduk. Inilah awal
segala dendam berdenyut mengaliri seluruh urat nadi saya.
Kereta bergerak, membawa saya dan
adik-adik saya menuju Astina.
Brengsek! Semua ini gara-gara Bisma
sialan itu. Saya tahu Bisma tak terkalahkan. Tapi tidak semestinya dia membawa
saya dalam rombongan kereta ini. Sebab bukankah hanya Ambika dan Ambalika yang
belum berjodoh? Sebab bukankah saya sudah memilik tautan hati dengan Kangmas
Salwa, raja Saubala? Kenapa Bisma tetap memboyong saya dan Baginda malah
membiarkan saja?
Kemarahan menghantam seluruh urat
nadi saya. Saya sungguh tak bisa menerima semua kekeliruan ini.
Saya merasakan roda kereta seperti
menggerus dada, memerih hingga ke tulang, mencabik-cabik hati saya, menjadi
layaknya debu yang berhamburan di sisi kanan-kiri kereta yang melaju kencang.
Menyadari saya adalah seorang
perempuan yang tak memiliki kuasa apa-apa bahkan atas tubuh dan keinginan saya
sendiri membuat hati saya perih. Padahal saya anak raja. Padahal saya bukan
perempuan kebanyakan. Apakah akan selalu demikian nasib para perempuan?
Tapi baiklah, untuk sementara saya
menurut saja. Tapi kelak saya akan membuat perhitungan dengan Bisma.
PADA malam sesampai di Astina saya
langsung menemui Bisma. Saya menyampaikan protes secara baik-baik. Di taman
itu, saya berkata padanya; “Seharusnya kau tahu, saya tak sepantasnya diboyong
ke Astina. Hati saya sudah terpaut dengan Salwa. Kau memang telah
mengalahkannya. Tapi saya mohon jiwa ksatriamu terketuk untuk mengembalikan
saya padanya.”
Bisma berkata tanpa memandang wajah
saya, “Ayahmu sendiri yang menyerahkan dirimu dan adik-adikmu setelah sayembara
itu. Seorang anak raja tidak seharusnya membantah perintah rajanya. Apalagi kau
hanya seorang perempuan.”
Bisma menyalin ulang aturan yang
telah menjadi semacam dogma itu. Saya ingin menamparnya, menyobek-nyobek
mulutnya dan mengatakan bahwa perempuan, anak raja atau bukan, berhak untuk
menetukan keinginannya sendiri.
Tapi saya mencoba menenangkan diri
dan menerangkan situasi rumit yang saya hadapi dengan pelan-pelan. Saya katakan
tidak mungkin saya meninggalkan Salwa. Apalagi ternyata bukan dia sendiri,
Bisma maksud saya, yang akan mengawini saya dan adik-adik saya, tapi
Wicitrawirya, adik tirinya. Sebab saya mendengar dia telah bersumpah tak akan
menikah seumur hidupnya.
Saya bertanya, jika dia telah
bersumpah wadat, lalu untuk apa mengikuti sayembara?
“Setelah kemenangan itu, akulah yang
paling berhak atas diri kalian. Bahkan Darmahumbara, ayahmu, pun tak punya
kuasa untuk mengatur-atur kalian lagi.”
Saya katakan lagi bahwa sekarang dia
memang berkuasa atas kami, saya dan adik-adik saya. Oleh karena itu, dia pun
sebenarnya berkuasa untuk mengembalikan saya ke Salwa. Saya katakan padanya
agar mengambil Ambika dan Ambalika saja. Sebab saya mencintai Salwa.
“Percayalah, adikmu tak akan bahagia
menikahi saya karena hati saya sudah saya berikan untuk Salwa. Saya pasti juga
tidak akan bahagia menjadi istri adikmu itu. Jadi kembalikan saya ke Saubala
negeri Salwa.”
Saya bersyukur karena Bisma mau
menerima penjelasan saya. Dia mengatakan salah dan meminta maaf. Bisma kemudian
berjanji akan mengantarkan saya kepada Salwa pagi-pagi buta.
Sungguh, malam itu saya merasa amat
bahagia. Saya mengucapkan terima kasih pada Bisma dan kembali ke keputren
dengan hati berbunga-bunga. Ah, di balik kesombongannya, Bisma ternyata masih
bisa menghargai keinginan seorang perempuan.
Malam itu saya memang pantas
berbahagia. Bagi saya, ini bukan semata-mata pergi dari Astina, tapi juga
berarti kebebasan saya untuk menjadi perempuan yang bisa menentukan apa yang
saya mau. Sebab itulah hakikat hidup. Jika kita tak bisa melakukan apa yang
kita mau lakukan, untuk apa hidup?
Semalaman itu saya malah tak bisa
memejamkan mata. Rasa kangen pada Kangmas Salwa mengalir deras ke seluruh nadi
saya. Saya tak sabar menungu pagi tiba. Kangmas Salwa pasti tak menyangka saya
akan datang. Semuanya memang serba tak terduga. Tapi Bisma akan menjelaskan
semua kesalahpahaman ini.
SIANG itu saya bertemu Kangmas Salwa
di pendapa Saubala. Hati saya sangat bergelora menyampaikan bahwa saya telah
bebas dari Bisma dan ingin segera menikah dengannya. Tapi semuanya sungguh tak
seperti yang saya sangka. Kangmas Salwa bukannya berbahagia dengan kabar yang
saya bawa, tapi malah marah besar dan berkata sambil membelakangi saya.
“Aku seorang raja, tak pantas
menerima barang yang telah dibuang. Saat ini juga aku bisa mendapatkan seribu
perempuan yang lebih baik darimu. Pergilah dan jangan pernah lagi datang ke
tempat ini.”
Tak terbayangkan rasa terhina saya.
Kemarahan saya menjalar ke seluruh tubuh. Ketika saya sampaikan kabar ini pada
Bisma, laki-laki yang mulai beranjak tua itu hanya menasihati saya untuk
menerima nasib dan bersabar.
Dia berkata, “Wicitrawirya tak
mungkin menjadikanmu permaisuri karena hatimu telah mendua. Aku merasa kasihan
kepadamu. Tapi aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku telah bersumpah tak akan
menikah. Tak akan kujilat kehormatanku dengan menikahimu.”
Saya seperti bunga tanjung yang
jatuh. Tidak ada yang bisa menolong saya. Saya katakan pada Bisma; “Kaulah
pangkal dari semua malapetaka ini. Demi segala dewa, aku bersumpah kelak akan
membunuhmu.”
Malam itu saya berlari ke hutan dan
terus menerus mengutuki Bisma. Malam itu, saya putuskan untuk menjadi pertapa.
Saya ingin menjadi sakti dan membunuh Bisma. Saya tahu, ini sangat berat. Tapi
inilah pilihan terbaik dari pada bunuh diri. Saya tak ingin mati sia-sia atas
nama kehormatan. Bagi saya, semua urusan harus diselesaikan sebelum kematian
datang.

SISA debu pertempuran masih
beterbangan pada hari terakhir perang besar Baratayuda itu. Menjelang senja,
para Kurawa dan Pandawa menepi. Di depan mereka, di bawah pohon besar
Kurusetra, Bisma baru saja ambruk. Semua membisu. Semua tertunduk. Semua diam
dengan dada tetap bergemuruh.
Di atas tubuh Bisma yang sekarat,
seorang perempuan berkelebat mendekat. Amba. Tak ada yang bisa melihat
perempuan yang tetap jelita ini kecuali Bisma. Para kurawa dan Pandawa seperti
tak terusik dengan kedatangan Amba, dan terus meratapi Bisma.
Di ambang petang itu, Amba menatap
wajah Bisma yang mulai berat. Ia seperti sedang berkata-kata dengan laki-laki
yang tak tergeletak tak berdaya itu.
Inilah akhir dari kesombonganmu,
Bisma. Kau sendiri yang telah menculikku, tapi kau pula yang campakkan aku demi
sesuatu yang kau sebut kehormatan. Aku terpedaya olehmu. Tertipu.
Di tengah hutan setelah kau siakan
aku beberapa tahun lalu itu, hatiku memang benar-benar lumat. Menyedihkan
memang, cintaku terkatung-katung dalam kisah yang berakhir tak membahagiakan.
Aku menjadi perempuan boyongan, dianggap rongsokan oleh kekasihku sendiri, dan
ditolak Wicitrawirya, laki-laki untuk siapa sebenarnya aku disayembarakan. Dan
kau sendiri melepas tanggung jawab.
Mengapa Bisma, mengapa harus
seseorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya dan
sebagainya?
Kau tahu, Bisma, betapa aku ingin
menjelma srigala yang tega mencabik-cabik tubuhmu. Ingin aku beralih rupa
menjadi ribuan anak panah yang meluncur deras dan menembus tubuhmu, membuat
daging dan kulitmu serupa serpihan-serpihan hingga tak sedebu pun darimu
tersisa. Aku ingin membunuhmu!
Di hutan itu, aku memohon kepada para
dewa untuk menjadikanku sakti mandraguna. Apa pun akan kuberikan, bahkan
nyawaku, asal para dewa memberi jalan agar aku bisa membunuhmu.
Beruntung dewa-dewa itu bermuka dua.
Mereka kabulkan permohonanku. Enam tahun aku menunggu saat seperti ini tiba,
Bisma. Aku bertemu Srikandi, putri Drupada yang banci itu. Aku ajari dia ilmu
kanuragan, memanah dan menunggang kuda, pemberian dewa-dewa. Aku memang meniru
apa yang dilakukan oleh Bargawa yang karena dendamnya kepada para satria,
menurunkan semua ilmunya kepada para brahmana termasuk kau. Aku memilih
Srikandi bukannya tanpa alasan. Sebab, bagiku, kau memang hanya pantas
bertarung dengan Srikandi yang banci itu.
Bisma, di usiamu yang senja ini, kau
pasti mulai kesepian. Tapi aku tahu, saat-saat seperti ini, kematian bagimu
adalah cita-cita. Tenangkan hatimu, Bisma, karena saat itu akan segera tiba.
Panah Hrusangkali yang menembus lehermu dari busur Srikandi tak akan
menyembuhkanmu. Sebab aku telah menjadikannya sebagai jalan kematianmu.
Tak perlu ada yang disesali. Telah
sama kita tetapkan hari kematianmu pada hari terakhir perang besar ini. Semua
telah terlanjur. Tak ada lagi yang bisa ditahan. Meski aku tahu, sampai saat
ini, aku hanyalah seorang perempuan yang ingin membunuhmu. Tak apa. Kau mati di
tangan siapa, bagiku, sama saja. Setelah semua ini, aku pun tak akan pernah
lagi mengalirkan air kepedihan dari mataku.
Hening melumat. Di tengah napasnya
yang makin memberat, Bisma tersenyum. Hari itu, senja begitu sangat kekalnya di
Padang Kurusetra.***
1) Petikan sajak “Dongeng Sebelum
Tidur”, Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 Goenawan Mohammad.
RelatedAdiparwa (1)
Adiparwa (Sansekerta
आदिपर्व) adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah
Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita
Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang
keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa).
Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya
meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga
besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang
mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.
Bagian-bagian
Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di
antaranya:
Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan Waisampayana (Waiçampāyana). Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas kegagalan kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.
Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing parwa.
Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.
Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau upacara pengorbanan ular.
Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja Janamejaya.
Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular.
Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan bulan.
Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga Taksaka.
Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan Astika mengurungkan kurban ular ini.
Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala (Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata. Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada lahirnya Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para Pandawa, dan sang Widura.
Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.
Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhîma) mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.
Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan Waisampayana (Waiçampāyana). Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas kegagalan kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.
Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing parwa.
Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.
Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau upacara pengorbanan ular.
Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja Janamejaya.
Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular.
Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan bulan.
Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga Taksaka.
Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan Astika mengurungkan kurban ular ini.
Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala (Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata. Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada lahirnya Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para Pandawa, dan sang Widura.
Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.
Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhîma) mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.
Ringkasan isi Kitab Adiparwa
Adiparwa dituturkan seperti sebuah
narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang Ugrasrawa mendatangi
Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa[1]. Sang Ugrasrawa
menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan kitab
yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa
dan Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah
kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).
Mangkatnya Raja Parikesit
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama
Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Ia merupakan
keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa[1]. Pada suatu hari, beliau
berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak. Di
hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang
Raja menanyakan kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta membisu
(bertapa dengan bisu). Hal tersebut membuat Raja Parikesit marah. Ia mengambil
bangkai ular, kemudian mengalungkannya di leher sang pendeta.
Putera sang pendeta yang bernama
Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang Kresa, kemudian ia
menjadi marah. Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular,
tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Setelah Sang Raja menerima kutukan tersebut,
maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh
prajurit dan para patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib
yang ahli menangani bisa ular. Pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan
menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama Taksaka menyamar menjadi
ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Akhirnya Sang Raja mangkat
setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu[1].
Raja Janamejaya mengadakan upacara
korban ular
Setelah Maharaja Parikesit mangkat,
puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau
masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang
tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama
Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga
dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja
berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan
mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan
bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita
tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja
dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga
Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan
mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat
Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian
ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika
menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara. Sang Astika
menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya.
Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan
upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga
Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
Wesampayana menuturkan Mahabharata
Maharaja Janamejaya yang sedih karena
upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah
leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra.
Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh
mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga
Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana
menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir,
kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah
leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja
Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah
buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
Garis keturunan Maharaja Yayati
Leluhur Maharaja Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama Maharaja Yayati, beliau memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu, dan Puru. Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru disebut Paurawa.[1]
Leluhur Maharaja Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama Maharaja Yayati, beliau memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu, dan Puru. Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru disebut Paurawa.[1]

Dalam silsilah generasi Paurawa, lahirlah Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha[1]. Sang Bharata menurunkan Dinasti Bharata. Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebuah tempat yang disebut Kurukshetra, kemdian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti Kuru[1].
Setelah beberapa generasi, lahirlah
Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapura. Prabu Santanu memiliki dua
istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga melahirkan Bhisma,
sedangkan Satyawati melahirkan Chitrāngada dan Wicitrawirya. Karena Chitrāngada
wafat di usia muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi tahta, maka
Wicitrawirya melanjutkan pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua
permaisuri, yaitu Ambika dan Ambalika. Dari Ambika lahirlah Drestarastra dan
dari Ambalika lahirlah Pandu. Drestarastra memiliki seratus putera yang disebut
Korawaçata (seratus Korawa) sedangkan Pandu memiliki lima putera yang disebut
Panca Pandawa (lima putera Pandu).
Kisah Prabu Santanu dan keturunannya
Tersebutlah seorang Raja bernama
Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa,
bertahta di Hastinapura. Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari
Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera. Di antara ketiga putera tersebut,
Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian
berputera 8 orang. Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh
istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena
perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja. Puteranya tersebut bernama
Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah sekali
lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2
putera, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.

Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya.
Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran melawan seorang Raja
Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya[1].
Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah
pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda
Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika
melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang
pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam
upacara tersebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit
pincang[1]. Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera yang
disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira,
Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut
disebut Pandawa.
Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama
di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka semasa kanak-kanak,
bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu mereka diasuh pula
oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang bernama
Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para
Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut
justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa.
Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering membuat
Duryodana dan adik-adiknya kesal.
Terbakarnya rumah damar
Suatu hari Duryodana berpikir ia
bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila
sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang
dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang
beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya
untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai
keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota
tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia
tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati
dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka
yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama
Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana
untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat
pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan
Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima.
Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang
datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu
Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama
kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan
rimba.
Pandawa mendapatkan Dropadi
Pada suatu hari, Pandawa mengikuti
sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan Panchala. Sayembara
tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha
turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah
sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah
sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu
ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat.
Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah sasaran dengan
baik. Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seorang
kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap
Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili oleh
Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke
muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya.
Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas
untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan
Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan
Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa
berseru, “Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta”. Kunti, ibu para
Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan
berkata, “Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh”. Ketika ia menoleh,
alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil
meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta,
membuat anak-anaknya untuk berbagai istri[1].
Arjuna mengasingkan diri ke hutan
Para Pandawa sepakat untuk membagi
Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi
ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa.
Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa
sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana
dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa. Arjuna yang merasa
memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun
senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang
menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil
senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di
kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan
selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna menghabiskan masa
pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India
Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka
adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubungannya
dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan.
Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.
Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang
Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk
cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan
melainkan meloncat-loncat[1].
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir kisahnya.
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir kisahnya.
Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga
muridnya
Dikisahkan seorang Brāhmana bernama
Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3 murid, bernama: Sang
Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh
Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika
merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah
hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya. Ia khawatir
kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk
menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia
merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air.
Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh
Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh
mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air
kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang
digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu
menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut
mengakibatkan matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam
sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya
menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah
sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena
kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu
menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh
tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang
Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala
perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi
segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.
Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan terdapat seorang Maharsi
bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi
oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama:
Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa,
Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata
dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan
Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya
memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir
telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut
kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur
milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang
Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah
menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka
telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah
jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada.
Sang anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian
mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak,
saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak
tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha.
Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya[1].
Kisah pemutaran Mandaragiri
Kurma Awatara sebagai kura-kura yang
menjadi dasar Mandaragiri
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala,
para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta (air
suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut berada di
dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut.
Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya,
Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai
tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kura
(Kurma) besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung
tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya
memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung
ke atas.
Beberapa lama setelah gunung diputar,
keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan
Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah
Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta
tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta
amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta
tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik,
kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Para rakshasa-daitya yang
melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut.
Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah
kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi
marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan
rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya. Senjata
chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya.
Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang
menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil
membawa tirta amerta ke surga.
Kisah Sang Garuda dan para Naga

Sang Kadru menceritakan masalah
taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya
sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun
cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk
memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam.
Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut
tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan
api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya.
Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun
memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih
kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang
Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang
Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama
Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati
ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu
ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari.
Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk
menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa
tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda
menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil
menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat Sang
Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang
Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti
pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta
kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda
tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada
saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu
untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”. Sang
Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan
Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak
setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan
bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat
tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang
Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi
terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan,
tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa
kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan
tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun menjilati daun
tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci
karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena
merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
Bahasa
dan sejarah
Adiparwa
versi Jawa Kuna yang dicetak ulang oleh Phalgunadi dan diterjemahkan dalam
bahasa Inggris pada tahun 1990
Sebagaimana
kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa
Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tidak
tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana
disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah
disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada
masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016)
(Zoetmulder, 1994).
Pengaruh
dalam budaya
Kitab
Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno atau
Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan[2]. Dalam kitab Adiparwa
yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan
lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan
bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa.[2] Hal ini disebabkan oleh kecerdasan
para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau
pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli[2]. Jika Hastinapura
sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka,
Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah
Jawa[2].
Begitu
pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka
terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu
orang saja. Menurut Mulyono dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara
kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya
perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam
pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa[3]. Hal
serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam
Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena
pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam,
seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu,
cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu
menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman
Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam[3]. Pancawala
yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh
yang merupakan putera Yudistira saja[3].
Sabhaparwa adalah
buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang Pandawa Lima
ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12
tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana
mereka berjudi dan kalah dari Duryodana.
Niat licik Duryodana dan Sangkuni
Semenjak pulang dari Indraprastha,
Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk mendapatkan kemegahan dan
kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan harta dan
istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas
dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni.
Sangkuni berkata, “Aku tahu Yudistira
suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan.
Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah
dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda.
Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan
demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan”.
Duryodana tersenyum lega mendengar saran
pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra
untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan sikapnya yang
iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat puteranya
tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari Duryodana dan
Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.
Pandawa dan Korawa main dadu

Dretarastra menyiapkan arena judi di
Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa
bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi
undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal,
Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan
mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama
satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian.
Yudistira berkata, “Kakanda Prabu,
berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang bijak, berjudi
sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan”. Setelah
mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, “Ma’af paduka Prabu. Saya
kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih
bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang
sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah
hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya
jika rencana ini kita jalankan?”
Yudistira yang senang main dadu
akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun dimulai. Yudistira
heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak
lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu
Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.
Mula-mula Yudistira mempertaruhkan
harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi
gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah
hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun
lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi
sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi
untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget,
namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan
Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena
Yudistira kalah main dadu.
Dropadi dihina di muka umum
Dursasana yang berwatak kasar,
menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan
tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna
Harta, istana, kerajaan, prajurit,
dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak
memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia
kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah
tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan
Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang
tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak
ada pada Yudistira.
Duryodana mengutus Widura untuk menjemput
Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena
Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi.
Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi
menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh
Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang,
diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis
dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami
dan para iparnya berkumpul.
Dengan menangis terisak-isak, Dropadi
berkata, “Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan
banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang
pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang
semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?”, ujar Dropadi kepada
semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan
Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.
Wikarna, salah satu Korawa yang masih
memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, “Tuan-Tuan sekalian yang saya
hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini,
maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa
Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni!
Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah
kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi
Dropadi tidak sah!”
Para hadirin yang mendengar perkataan
Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna
berkata, “Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak
orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih
bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau
berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib
Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau
melihat wanita bersuami sampai lima orang?”
Mendengar perkataan Karna, Wikarna
diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta
istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang menolak.
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi
berdo’a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do’a
Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain
yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik
kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana
menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena
perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di
Indraprastha.
Pandawa dibuang ke tengah hutan
Melihat perbuatan Dursasana yang
asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan merobek dada
Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing
dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui
firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil
kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi.
Dretarastra berkata, “O Yudistira,
engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini
kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah
berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha”.
Setelah mendapat pengampunan dari
Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia
menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan
berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah,
maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana
jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke
istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus
mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan
berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun.
Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.
Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak
menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi,
Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya
mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun.
Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para
Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.
Sabhaparwa di Indonesia, Kitab
Sabhaparwa juga dikenal dalam khazanah Sastra Jawa Kuna.
Wanaparwa (3)
Wanaparwa adalah buku ke-3
Mahababharata dan merupakan terusan langsung buku ke 2; Sabhaparwa. Di dalam
Wanaparwa diceritakan bagaimana para Pandawa dan dewi Dropadi harus hidup di
hutan selama 12 tahun karena Yudistira kalah berjudi.
Cerita ini bermula ketika Yudhistira kalah bermain judi dengan para
Kurawa, kemudian dia kalah dengan memepertaruhkan kerajaan dan negaranya. Tidak
tanggung-tanggung para Kurawa memberi beban kepada para Pandhawa untuk
melakukan masa pembuangan. Di dalam pembuangan itu para pandhawa melakukan
penyamaran. Di dalam masyarakat jawa sendiri ini biasa disebut dengan istilah “Kodrat Wiradat” yaitu takdir Tuhan tidak bersifat
mutlak. Seseorang mengatakan kegagalan suatu usaha karena alasan adalah takdir.
Boleh jadi kegagalan yang kita peroleh itu karena sifat sembrono, urakan,
ugal-ugalan, dan kelalaian manusia sendiri. Nasib ini lantas jangan menjadikan
kecil hati, bagi mereka yang cukup gigih dan kreatif tentu akan optimis dalam
menghadapi masa depan. Andaikan Yudhistira tidak suka berjudi dan tidak
terpancing dengan emosi sesaatnya mungkin hal ini tidak akan terjadi. Setelah
para Pandhawa pergi meninggalkan istana dmuan menuju hutan Kamyaka.
Saat di hutan, para pandhawa
bertemu dengan Rsi Byasa, seorang guru rohani yang mengajarkan agama hindu
kepada pandhawa dan Dropadi, istri mereka. Atas saran Rsi Byasa maka Arjuna
melakukan tapa di gunung Himalaya agar memperoleh senjata sakti yang kelak
digunakan dalam perang Bharatayudha. Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung
Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin oleh
Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang
diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan,
dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa Indra. Setelah mendengarkan laporan
para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai
seorang pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa
di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan
untuk mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya,
terutama para Korawa yang selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah
mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya.
Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat anugerah dari
Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Siwa. Siwa yang terkesan dengan
tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia
menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna
terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu
tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut.
Di saat yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut
melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena
kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu
menjadi satu.
Pertengkaran hebat terjadi
antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku
telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang
menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah
mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka
berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu,
tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta ma’af
kepada Sang Dewa karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah
kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa
memberi anugerah berupa panah sakti bernama “Pasupati”. Karena Arjuna Lila
legawa dapat diterjemahkan dengan rela dan ikhlas. Yakni sikap seseorang yang
lapang dada, terbuka hati, berani kehilangan, dan tidak mau menyesali kerugian
atas dirinya. Bencana, kesulitan dan cobaan dari mana pun datangnya dianggab
seolah-olah tidak pernah terjadi. Dalam tembang Jawa ada pesan lila lamun
kelangan nora gegetun, ‘rela bila kehilangan tidak menyesali, diterima dengan
hati ikhlas’. Kerugian yang terjadi karena orang lain hatinya memaafkan.
Kerugian karena lingkungan, hatinya menganggap sesuatu yang alamiah. Kerugian
karena bencana mendadak, hatinya menganggap sudah menjadi kehendak Tuhan. Orang
yang lila legawa tidak pernah ada beban dalam pikirannya. Sikap inilah yang
dilakukan Arjuna, dia ikhlas dalam melakukan perbuatannya. Jika Arjuna tidak
memiliki sikap seperti ini maka dia tidak akan memiliki senjata yang sangat
kuat seperti panah Pasupati pemberian dewa Siwa yang takjub akan tapa yang
dilakukan Arjuna dan sikap lilanya demi sebuah cita-cita yang mulia.
Suatu ketika para Korawa datang
ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa. Namun,
mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam
peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira
justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan
berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua
Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan
untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar
biasa yang ia rasakan. Inilah yang dimaksud dengan Becik ketitik, ala ketara.
Duryudana yang tadinya berniat jahat malah kena akibat jahat, sedangkan
pandhawa yang mempunyai sifat baik rela menolong. Sifat seperti inilah yang
mesti ditumbuh kembangkan dikehidupan masyarakat luas.
Pada waktu di hutan pernah
terdapat kejadian Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh
Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata
dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu
tersebut. Sifat pemaaf merupakan sikap asor yang tak bisa lepas dari sifat
pandhawa. Setiap orang tidak aka nada yang sempurna, walaupun para pandhawa ini
kuat dan suka menolong tetapi mereka juga memiliki sikap buruk seperti
Yudhistira yang suka main judi, janaka yang suka bermain judi dan sebagainya.
Peristiwa lainnya, adalah
ketika Droupadi menemukan bunga yang sangat harum dan meminta Bhima untuk
mencarikan bunga tersebut untuk ditanam. Bhima pergi mencari hingga sampailah
ia di kaki suatu gunung dan ia melihat seekor kera besar bersinar-sinar
berbaring tidur menghalangi jalannya. Ia coba mengusirnya dengan
berteriak-teriak agar mahluk itu takut. Mahluk itu hanya membuka sebelah
matanya dengan malasnya dan berkata, ‘aku lagi kurang nyaman makanya aku tidur
disini mengapa engkau membangunkanku, Engkau adalah manusia bijaksana dan aku
hanya binatang, seharusnya manusia yang rasional berbelas kasih pada bnatang
sepertiku. Aku khawatir engkau ini tidak mengindahkan mana kebenaran dan
kejahatan. Siapa kamu? Ngga mungkin engkau melanjutkan perjalanan lebih lanjut
lagi, karena ini merupakan jalan dewa2, manusia ngga boleh melewati batas ini.
Makan saja buah2 yang ada disini sesukamu dan pergilah dengan damai.
Bhima yang tidak biasa dianggap
enteng menjadi marah dan berteriak,’Lho kamu ini siapa, kamu ini hanyalah kera
namun sok berbicara tinggi, aku adalah Ksatriya, pahlawan keturuna Kuru dan
anak dari Kunti. Aku adalah anak dari Deva Vayu, Ayo menyingkir!’. Mendengar
ini, kera itu hanya tertawa dan berkata ‘Saya ini hanya kera, namun engkau akan
mengalami kehancuran apabila memaksa jalan terus’. Bima berkata,’ itu bukan
urusanmu, menyingkirlah atau aku singkirkan engkau!’. Kera itu berkata,’Aku
tidak punya kekuatan untuk berdiri, jika engkau bersikeras untuk terus untuk
pergi, lompati saja aku’ Bima berkata,’Ya itu sih mudah, namun kitab suci
melarang iu, kecuali aku melompatimu dan gunung dalam satu lompatan seperti
yang dilakukan Hanuman menyebrangi lautan. Kera itu berkata,’ Siapa Hanuman
yang menyebrangi Lautan itu, ceritakanlah cerita itu padaku’.
Bima berkata ‘Belum pernah
dengar Hanuman? Ia adalah kakak ku, yang dengan loncatanya menyebrangi lautan
untuk mencari Sita istri Rama, Aku setara dengannya dalam hal kekuatan dan
Kegagahan. Ah sudah cukup berbicara, ayo menyingkirlah dan memberi jalan,
jangan memprovokasiku untuk menyakitimu. Kera itu berkata,’ Ah orang gagah,
bersabarlah, lembutlah karena engkau kuat, berbelas kasihlah pada yang lemah
dan tua. Aku tak berkekuatan untuk berdiri, karena kitab mu melarang untuk
melompatiku, ya sudah singkirkan saja ekorku ini agar engkau dapat melanjutkan
perjalanan’.
Bangga dengan kekuatannya, Ia pikir dapat dengan mudahnya menarik
ekor Kera itu ke sisi jalan, namun ternyata hingga ia menggunakan seluruh
kekuatannya ekor itu tidak bergerak sama sekali kemudian dengan malu ia
berkata,’Maafkan aku, Apakah engkau adalah orang sakti, Gandharva atau Dewa?’
Hanuman berkata,’ Oh Pandava, Aku adalah kakakmu yang engkau sebut tadi, jika
engkau melewati jalan yang merupakan jalan menuju dunia fana dimana Yaksha dan
raksasa tinggal, engkau akan menghadapi bahaya dan itulah sebabnya aku
menghalangimu. Tidak ada manusia yang dapat melewati jalan ini dan tetap hidup,
namun di bawah sana ada aliran sungai dimana engkau akan temukan bunga
saugandhika yang engkau cari itu’. Jangan sampai melihat dari luarnya, dalam
istilah jawa terdapat istilah “Bathok Bolu Isi Madu”
jangan melihat sesuatu dari luarnya, tapi perhatikan dan resapi baik-baik apa
yang dapat kita peroleh nantinya bisa jadi yang kita peroleh adalah contoh suri
tauladan yang memberikan kebaikan kepada kita dan orang banyak. Seperti di
dalam kiksah diatas, sang Bima belum mengetahui siapa kera yang besar itu, dia
terlalu cepat marah karena merasa diremehkan, sang Bima juga terlalu
mengagungkan kekuatannya sendiri dan itu malah membuatnya sombong
sehingga dia merasa malu karena kera tersebut lebih kuat dari dirinya.
Hanya mengangkat ekornya saja sang Bima tidak sanggup.
Pada suatu hari menjelang
berakhirnya masa pembuangan 12 tahun, Yudistira dan keempat adiknya membantu
seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada
tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa
merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak
kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul
pula. Yudistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.
Yudistira kemudian berangkat
menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah telaga. Muncul
seorang raksasa yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia menceritakan bahwa
keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka menolak menjawab
pertanyaan sang raksasa. Sambil menahan haus, Yudistira mempersilakan Sang
Raksasa untuk bertanya. Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia
jawab. Akhirnya, Sang Raksasa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup
menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk
dihidupkan kembali. Raksasa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik
kandung. Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu
Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang
dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu
Nakula.
Raksasa terkesan pada keadilan
Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Kedatangannya
dengan menyamar sebagai rusa liar dan raksasa adalah untuk memberikan ujian
kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya
Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.
Sifat keadilan merupakan sifat
luhur, yang mana setiap orang belum tentu memiliki sikap seperti ini. Sikap
adil akan menghasilkan kebaikan untuk semuanya, seperti kisah diatas karena
keadilan sang Yudhistira maka diapun bisa melihat saudaranya-saudaranya kembali
hidup. Andaikan Yudhistira tidak memiliki sikap seperti ini bisa dikatakan
Yudhistira tidak akan melihat saudaranya hidup kembali. Kemudian sikap sabar
yang dimiliki Yudhistira juga menghasilkan kebaikan untuk dirinya dan orang
banyak. Walaupun banyak hambatan tetapi tetap sabar, dan bersedia menerima hal
tersebut lila legawa.
Buku Wanaparwa merupakan dasar inspirasi karya sastra Jawa Kuna; kakawin Arjunawiwaha karangan
empu Kanwa.
Wirataparwa
menceritakan kisah ketika para Pandawa harus bersembunyi selama setahun setelah
mereka dibuang selama duabelas tahun di hutan. Kisah pembuangan ini diceritakan
di Wanaparwa.
Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata.
Jika mereka ketahuan, maka harus dibuang selama 12 tahun lagi. Di sana sang
Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama Kangka. Sang Werkodara
menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat bernama Balawa. Lalu sang
Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi. Sang
Nakula menjadi seorang penggembala kuda dan sang Sadewa menjadi penggembala
sapi. Lalu Dewi Dropadi menjadi seorang perias bernama Sairindi.
Alkisah
patih Wirata, sang Kicaka jatuh cinta kepada Sairindi dan ingin menikahinya.
Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu sang Balawa membunuhnya. Hal ini hampir
saja membuat samaran mereka ketahuan.
Lalu
negeri Wirata diserang oleh musuh Pandawa, para Korawa dari negeri Astina. Para
Pandawa berperang melawan mereka, membela Wirata. Setelah perang usai, kedok
mereka ketahuan. Tetapi mereka sudah bersembunyi selama setahun, jadi tidak
apa-apa.
Catatan Pinggir
Kerajaan Wirata (bahasa Sansekerta Virāṭa) adalah kerajaan yang didirikan oleh Raja Dinasti Matsya bernama Wirata. Di kerajaan ini Pandawa menghabiskan tahun ketiga belas dalam masa penyamarannya (Ajgnata Vasa) setelah dua belas tahun menjalanai kehidupan di hutan (Vana Vasa) di hutan Kamyaka dan Dwaita. Ibukotanya adalah Wirata Nagari, di zaman sekarang disebut Bairat di Distrik Jaipur, Rajasthan. Upaplawya merupakan kota lain di kerajaan tersebut dimana Pandawa dan sekutunya berkemah seblum dimulainya perang besar di Kurukshetra.
Kerajaan Wirata (bahasa Sansekerta Virāṭa) adalah kerajaan yang didirikan oleh Raja Dinasti Matsya bernama Wirata. Di kerajaan ini Pandawa menghabiskan tahun ketiga belas dalam masa penyamarannya (Ajgnata Vasa) setelah dua belas tahun menjalanai kehidupan di hutan (Vana Vasa) di hutan Kamyaka dan Dwaita. Ibukotanya adalah Wirata Nagari, di zaman sekarang disebut Bairat di Distrik Jaipur, Rajasthan. Upaplawya merupakan kota lain di kerajaan tersebut dimana Pandawa dan sekutunya berkemah seblum dimulainya perang besar di Kurukshetra.
Raja
Wirata dan para puteranya turut bertempur dan gugur. Puteri Wirata bernama
Utara menikahi putera Arjuna bernama Abimanyu dan menurunkan Parikesit yang
kemudian menjadi Raja Kuru setelah masa pemerintahan Pandawa
Wirata (Sanskerta: विराट ;Virāṭa) alias Matsyapati (Raja Matsya) merupakan seorang raja yang menolong para Pandawa untuk bersembunyi selama masa pengasingannya. Ia berasal dari Dinasti Kerajaan Matsya dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Wirata. Raja Wirata memiliki tiga putera bernama Utara, Sweta dan Sangka. Ia turut serta dalam perang di Kurukshetra dan memihak Pandawa. Dalam pertempuran, ia dan seluruh puteranya terbunuh oleh para kesatria Korawa.
Wirata (Sanskerta: विराट ;Virāṭa) alias Matsyapati (Raja Matsya) merupakan seorang raja yang menolong para Pandawa untuk bersembunyi selama masa pengasingannya. Ia berasal dari Dinasti Kerajaan Matsya dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Wirata. Raja Wirata memiliki tiga putera bernama Utara, Sweta dan Sangka. Ia turut serta dalam perang di Kurukshetra dan memihak Pandawa. Dalam pertempuran, ia dan seluruh puteranya terbunuh oleh para kesatria Korawa.
Kerajaan Matsya (
Sansekerta: matsya; ikan ) merupakan kerajaan di India yang sebagian besar
penduduknya adalah nelayan. Mereka membentuk suatu komunitas lalu menjadi
kerajaan. Kerajaan ini muncul dalam Wiracarita Mahabharata.
Pada
kisah epik Mahabharata, Raja Wirata merupakan seorang Raja dari Matsya, yang
kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Wirata. Satyawati, istri Prabu Santanu,
berasal dari kerajaan Matsya.
Hastinapura,
Hastinapura (Sanskerta: हस्तिनापुर ;Hastināpura) adalah sebuah kota dan
Nagar Panchayat di distrik Meerut, Uttar Pradesh,India. Hastinapura berasal
dari kata Hasti (gajah) + Pura (kota). Banyak kejadian dalam kisah Mahabharata
yang terjadi di Hastinapura. Pada masa kini, di India, kota ini disebut Hastinapur, jaraknya 120 km
dari Delhi. Di sana terdapat objek wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti
Kuil Jain dan Taman Nasional
Hastinapura masa kini Di masa kini, Hastinapura merupakan kota kecil di wilayah Doab di Uttar Pradesh, dan disebut Hatsinapur, 37 km dari Meerut 120 km dari Delhi. Populasi sekitar 20.000 jiwa. Perjalanan ke sana dapat ditempuh dengan bus dari Meerut yang siap sedia dari jam 7 pagi sampai 9 malam. Jalanan bagus dan bersih dengan pemandangan hijau dan hamparan persawahan di kiri-kanan. Di sana terdapat objek wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Kuil Jain dan Taman Nasional Hastinapur.
Hastinapura masa kini Di masa kini, Hastinapura merupakan kota kecil di wilayah Doab di Uttar Pradesh, dan disebut Hatsinapur, 37 km dari Meerut 120 km dari Delhi. Populasi sekitar 20.000 jiwa. Perjalanan ke sana dapat ditempuh dengan bus dari Meerut yang siap sedia dari jam 7 pagi sampai 9 malam. Jalanan bagus dan bersih dengan pemandangan hijau dan hamparan persawahan di kiri-kanan. Di sana terdapat objek wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Kuil Jain dan Taman Nasional Hastinapur.
Indraprastha ,Indraprastha
(Sanskerta: इन्द्रप्रस्थ ;Indrapraśtha) adalah sebuah kota
besar di India utara pada zaman dahulu kala.
Kota ini muncul dalam kisah wiracarita Mahābhārata dan diperintah oleh Panca
Pandawa. Kota ini terletak di tepi sungai Yamuna, lokasinya dekat dengan
ibukota India zaman sekarang, Delhi. Sebelum dikenal sebagai Indraprastha, kota
ini dikenal sebagai Kandawaprastha.
Menurut kitab Mahabharata, konon Kandawaprastha merupakan ibukota kerajaan besar di India pada zaman dahulu kala, dan diperintah oleh para leluhur Pandawa dan Korawa, seperti misalnya Maharaja Pururawa, Nahusa, dan Yayati. Namun kota tersebut menjadi gersang akibat kutukan para resi, untuk menghukum putra Budha.
Menurut kitab Mahabharata, konon Kandawaprastha merupakan ibukota kerajaan besar di India pada zaman dahulu kala, dan diperintah oleh para leluhur Pandawa dan Korawa, seperti misalnya Maharaja Pururawa, Nahusa, dan Yayati. Namun kota tersebut menjadi gersang akibat kutukan para resi, untuk menghukum putra Budha.
Saat diberikan kepada Pandawa, Kandawaprastha
merupakan kota gersang. Melihat keadaan itu, Sri Kresna memanggil Indra,
pemimpin para Dewa, untuk membantu Yudistira memperbaiki keadaan negeri
tersebut. Dewa Indra memunculkan Wiswakarman, arsitek para Dewa yang merancang
kota megah. Dengan suatu upacara, Wiswakarman berhasil mengusir segala penyakit
di negeri tersebut dan menyuburkan kembali daerah yang gersang. Sesuai janji
Kresna, Kandawaprastha akan diberi namaIndraprastha jika Indra mampu
mengubah keadaan Kandawaprastha. Perlahan-lahan kota tersebut menjadi kota yang
makmur dan berduyun-duyun orang-orang dari negeri tetangga bermigrasi ke negeri
baru tersebut. Kota Indraprastha pun menjadi kota besar. Setelah Yudistira naik
tahta, kota Indraprastha tetap mendapat pengawasan dari Hastinapura.
Konon Indraprastha berumur 50.000 tahun. Legenda mengatakan bahwa Indraprastha terletak di wilayah Purani Choot sekarang ini. Sebuah desa bernama Indraprat ada di Delhi sampai permulaan abad ke-20, kemudian digusur dan kota New Delhi dibangun di atasnya. Penggalian di wilayah perbukitan Indraprastha, ibukota para Pandawa, seperti yang ditunjukkan Purana Qila menemukan bukti bahwa daerah itu pernah didiami selama hampir 2.500 tahun.
Semenjak catatan sejarah India banyak yang tak jelas, tidak diketahui apa yang terjadi setelah zaman Mahabharata. Indraprastha sempat menjadi kota besar selama berabad-abad, dari zaman Kerajaan Maurya sampai Kerajaan Gupta di India, namun kurang terkenal karena berdirinya kota-kota seperti Pataliputra, di sebelah tenggara daerah aliran sungai, yang menjadi sumber dua kerajaan terkuat di India. Indraprastha diserbu oleh bangsa Hun setelah jatuhnya Kerajaan Gupta.
Raja Hindu bernama Dhilon konon membangun kota Delhi Kuno, dekat dengan Indraprastha.
Konon Indraprastha berumur 50.000 tahun. Legenda mengatakan bahwa Indraprastha terletak di wilayah Purani Choot sekarang ini. Sebuah desa bernama Indraprat ada di Delhi sampai permulaan abad ke-20, kemudian digusur dan kota New Delhi dibangun di atasnya. Penggalian di wilayah perbukitan Indraprastha, ibukota para Pandawa, seperti yang ditunjukkan Purana Qila menemukan bukti bahwa daerah itu pernah didiami selama hampir 2.500 tahun.
Semenjak catatan sejarah India banyak yang tak jelas, tidak diketahui apa yang terjadi setelah zaman Mahabharata. Indraprastha sempat menjadi kota besar selama berabad-abad, dari zaman Kerajaan Maurya sampai Kerajaan Gupta di India, namun kurang terkenal karena berdirinya kota-kota seperti Pataliputra, di sebelah tenggara daerah aliran sungai, yang menjadi sumber dua kerajaan terkuat di India. Indraprastha diserbu oleh bangsa Hun setelah jatuhnya Kerajaan Gupta.
Raja Hindu bernama Dhilon konon membangun kota Delhi Kuno, dekat dengan Indraprastha.
Sejarah Indraprastha versi Jawa
Sejarah ini dikenal dengan kisah atau lakon Babad Alas Wanamarta. Korawa yang telah merasa berhasil membunuh Pandawa dalam cerita Bale Sigalagala terkejut ketika mengetahui ternyata Pandawa masih hidup. Prabu Duryudana yang tidak ingin kerajaan Astina atau Hastina diminta oleh Pandawa selaku penguasa yang sah mencari berbagai cara agar bisa membunuh kembali Pandawa. Untuk memperhalus niatan tersebut, Pandawa diberikan daerah yang masih berupa hutan yang bernama hutan Wanamarta (Wana berarti Hutan). Hutan tersebut terkenal keangkerannya, begitu angkernya sehingga digunakan istilah “Manusia Datang, Manusia Mati, Hewan Datang, Hewan Mati” (Jalma Mara, Jalma Mati, Sato Mara, Sato Mati) untuk menggambarkan keangkerannya.
Sejarah ini dikenal dengan kisah atau lakon Babad Alas Wanamarta. Korawa yang telah merasa berhasil membunuh Pandawa dalam cerita Bale Sigalagala terkejut ketika mengetahui ternyata Pandawa masih hidup. Prabu Duryudana yang tidak ingin kerajaan Astina atau Hastina diminta oleh Pandawa selaku penguasa yang sah mencari berbagai cara agar bisa membunuh kembali Pandawa. Untuk memperhalus niatan tersebut, Pandawa diberikan daerah yang masih berupa hutan yang bernama hutan Wanamarta (Wana berarti Hutan). Hutan tersebut terkenal keangkerannya, begitu angkernya sehingga digunakan istilah “Manusia Datang, Manusia Mati, Hewan Datang, Hewan Mati” (Jalma Mara, Jalma Mati, Sato Mara, Sato Mati) untuk menggambarkan keangkerannya.
Pandawa kesulitan dalam membuka hutan Wanamarta
karena dikuasai oleh lima makhluk halus yang wajahnya mirip dengan para
Pandawa. Kelima makhluk halus tersebut adalah Yudistira yang mirip dengan Prabu
Puntadewa, Dandungwacana yang mirip dengan Bima, Dananjaya yang mirip dengan
Arjuna, Nakula dan Sadewa yang mirip dengan si kembar Pinten dan Tansen. Kelima
penguasa Wanamarta ini tidak sudi diganggu ketenangannya. Arjuna yang mempunyai
minyak Jayengkaton mengoleskannya ke setiap mata Pandawa agar dapat melihat
kelima makluk halus penguasa Wanamarta.
Akhirnya Pandawa dapat mengalahkan kelima penguasa
hutan Wanamarta tersebut dan kelimanya menitis masuk kedalam tubuh para Pandawa
sehingga Pandawa memiliki nama yang sama dengan para penguasa hutan Wanamarta
tersebut serta seketika itu juga hutan Wanamarta berubah menjadi kerajaan yang
megah luar biasa bernama Indraprastha atau Amarta.
Sebagai
bentuk syukur atas berdirinya kerajaan Indraprastha atau Amarta ini atas
petunjuk Sri Batara Kresna maka dilakukan upacara yang disebut dengan Sesaji
Raja Surya atau Sesaji Rajasuya.
Rajasuya adalah sebuah upacara yang diselenggarakan oleh Para
Raja pada zaman India Kuno. Upacara tersebut sangat terkenal, selayaknya
upacara Aswamedha. Rajasuya maupun Aswamedha sama-sama merupakan upacara yang
hanya bisa dilakukan apabila seorang Raja merasa cukup kuat untuk menjadi
penguasa.
Seperti Aswamedha, selama persiapan upacara Rajasuya, para jendral ( patih,
saudara, atau ksatria yang masih sekerabat) melakukan kampanye dengan
menaklukkan daerah-daerah (kerajaan) di sekitar mereka, sekaligus mengambil
upeti dari kerajaan yang berhasil ditaklukkannya. Raja yang kalah harus
bersedia untuk memberikan upeti dan mau menghadiri penyelenggaraan upacara.
Terdapat perbedaan antara upacara Aswamedha dengan Rajasuya. Pada saat upacara
Aswamedha, kampanye militer dilakukan dengan melepaskan seekor kuda lalu para
prajurit mengikuti kuda tersebut dan daerah yang dilalui kuda tersebut
ditaklukkan, sedangkan dalam upacara Rajasuya, kuda tidak diperlukan. Para
prajurit menaklukkan kerajaan sekitar sesuai dengan apa yang sudah mereka
rencanakan.
Upacara Rajasuya yang terkenal diselenggarakan Rajasuya yang diselenggarakan
oleh Yudistira, putera tertua Pandu di antara para Pandawa. Hal tersebut
dijelaskan dengan detail dalam kitab Mahābhārata.
Udyogaparwa (5)
Kitab Udyogaparwa berisi kisah
tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang
bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa.
Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha,
dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
Dalam Udyogaparwa, buku kelima
Mahabharata ini sang Kresna berperan sebagai duta untuk menengahi konflik
antara para Korawa dan para Pandawa. Tetapi bantuan beliau tidak berhasil dan
akhirnya akan menjadi perang Bharatayuddha.
Kitab Udyogaparwa merupakan kitab
kelima dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan sikap Duryodana yang
tidak mau mengembalikan kerajaan para Pandawa yang telah selesai menjalani masa
pengasingan selama 13 tahun berakhir. Pandawa kembali untuk mengambil kembali
negeri mereka dari tangan Korawa. Namun pihak Korawa menolak mengembalikan
Kerajaan Indraprastha dengan alasan penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata
telah terbongkar.
Pandawa yang selalu bersabar
mengirimkan Krisna sebagai duta perdamaian ke pihak Korawa, namun usaha mereka
tidak membuahkan perdamaian. Sebagai seorang pangeran, Pandawa merasa wajib dan
berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan, maka akhirnya hanya meminta
lima buah desa saja. Tetapi Duryodana sombong dan berkata bahwa ia tidak
bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa, bahkan seluas ujung jarum pun.
Jawaban itu membuat para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang tak bisa
dihindari. Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.
Dalam kesempatan itu, Kresna menemui
Karna dan mengajaknya berbicara empat mata. Ia menjelaskan bahwa para Pandawa
sebenarnya adik seibu Karna. Apabila Karna bergabung dengan Pandawa, maka
Yudistira pasti akan merelakan takhta Hastinapura untuknya.
Karna sangat terkejut mendengar jati
dirinya terungkap, Dengan penuh pertimbangan ia memutuskan tetap pada
pendiriannya yaitu membela Korawa. Ia tidak mau meninggalkan Duryodana yang
telah memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para
Pandawa dahulu. Rayuan Kresna tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna
terhadap Duryodana yang dianggapnya sebagai saudara sejati.
—-
Versi Jawa Kuno
Kedatangan Kresna
bukan untuk membuka jati diri Karna, melainkan hanya untuk penegasan saja.
Seperti telah dikisahkan sebelumnya, Karna sudah mengetahui jati dirinya dari
Batara Narada menjelang perkawinannya dengan Surtikanti. Jadi, Kresna hanya
ingin memastikan sikap Karna membela Korawa atau Pandawa. Jawaban dan alasan
Karna pun sama persis dengan versi MahaBharata.
Kresna dengan kepandaiannya berbicara
akhirnya berhasil mengetahui alasan karna yang paling rahasia (Dialog Karna
dengan Krisna sewaktu Widura dan Kunti mengantar Krisna beristirahat). Karna
mengaku memihak Korawa demi kehancuran angkara murka. Ia sadar kalau Korawa
adalah pihak yang salah. Setiap hari ia berusaha menghasut Duryodana supaya
tidak takut menghadapi para Pandawa. Karna menjadi tokoh yang paling
menginginkan perang terjadi, karena hanya dengan cara itu Korawa dapat
mengalami kehancuran. Karna sadar sebagai seorang penghasut, dirinya harus
memberi contoh berani dalam menghadapi Pandawa. Ia rela jika dalam perang nanti
dirinya harus tewas bersama para Korawa. Ia bersedia mengorbankan jiwa dan raga
demi untuk kemenangan para Pandawa dan kebahagiaan adik-adiknya itu. Kresna
terharu mendengar rahasia Karna. Ia yakin meskipun selama di dunia Karna hidup
bersama Korawa, namun kelak di akhirat pasti berkumpul bersama Pandawa.
Setelah pertemuan dengan Kresna,
Karna ganti mengalami pertemuan dengan Kunti, ibu kandungnya. Kunti menemui
Karna saat putera sulungnya itu bersembahyang di tepi sungai. Ia merayu Karna
supaya mau memanggilnya “ibu” dan sudi bergabung dengan para Pandawa. Karna
kembali bersikap tegas. Ia sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dulu
membuangnya sehingga kini ia harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri
sebagai musuh. Ia menolak bergabung dengan Pandawa dan tetap menganggap Radha istri
Adirata sebagai ibu sejatinya. Meskipun demikian, Karna tetap menghibur
kekecewaan Kunti. Ia bersumpah dalam perang Bharatayuddha kelak, ia tidak akan
membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna.
Sebelumnya, Pandawa dan Korawa
mempersiapkan kekuatannya dengan mencari bala bantuan dan sekutu ke seluruh
pelosok Bharatawarsha (India Kuno). Arjuna dan Duryodana pergi ke Dwaraka untuk
memohon bantuan dari Krishna
Duryodana datang terlebih dahulu,
kemudian Arjuna. Krishna sedang beristirahat. Mereka masuk kekamarnya. Durodana
duduk disisi Krishna, Arjuna berdiri tepat diujung kaki Krisna. Krisna kemudian
terbangun dan membuka matanya melihat arjuna terlebih dahulu dan menyapanya
Baru kemudian menyapa Duryodana. Ia menanyakan apa yang membuat mereka datang
ke Dwaraka. Duryodana berbicara pertama bahwa Perang akan dimulai dan mereka
meminta agar Krishna dan pasukannya membantu mereka, Ia juga menyampaikan bahwa
Ia darang duluan. Krishna menyatakan bahwa mungkin benar Duryodana datang
duluan, namun ia melihat Arjuna terlebih dahulu ketika terbangun, lagi pula
adat yang berlaku selalu mempersilakan yang lebih muda untuk duluan. Untuk itu
Krishna menyatakan bahwa Ia tidak bersedia bertempur secara pribadi. Sri Kresna
mengajukan tawaran kepada Pandawa dan Korawa, bahwa di antara mereka boleh
meminta satu pilihan: pasukannya atau tenaganya.
Pandawa yang diwakili Arjuna
menginginkan Sri Kresna tanpa senjata Ia memohon Krishna bersedia mengendarai
kereta perangnya dan menjadi penasihat Pandawa sedangkan Korawa yang diwakili
Duryodana memilih pasukan Sri Kresna. Sri Kresna bersedia mengabulkan
permohonan tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas terlebih lagi Duryodana
merasa pilihan arjuna merupakan suatu kebodohan karena ia tahu ketangguhan dari
pasukan Krisna namun setibanya Duryodana dikerajaan dengan gembira ia ceritakan
keberuntungannya itu dihadapan Sangkuni. Sangkuni justru memakinya sebagai
orang paling Bodoh dan mengatakan 1 orang Krisna tidak dapat dibandingkan
dengan ratusan ribu Prajuritnya walaupun sekuat apapun Prajuritnya itu.
Pandawa telah mendapatkan tenaga
Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara Kresna. Persiapan perang
dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan ksatria
gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan
dari berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa
memiliki tujuh divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa
kerajaan pada zaman India kuno seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi,
Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya dan wangsa Yadu dari Mandura
bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa terdiri dari Raja
Pragjyotisha, Anga, Kekaya, Sindhudesa, Mahishmati, Awanti dari Madhyadesa,
Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika, Kamboja, dan masih banyak
lagi.
Pihak Pandawa
Melihat tidak ada harapan untuk
berdamai, Yudistira, kakak sulung para Pandawa, meminta saudara-saudaranya
untuk mengatur pasukan mereka. Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh divisi.
Setiap divisi dipimpin oleh Drupada, Wirata, Drestadyumna, Srikandi, Satyaki,
Cekitana dan Bima. Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para Pandawa
menunjuk Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. MahaBharata
menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di daratan India utara bersekutu dengan
Pandawa dan memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di antara
mereka yakni: Kerajaan Kekeya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan
Kerala, Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.
Pihak Korawa
Duryodana meminta Bisma untuk
memimpin pasukan Korawa. Bisma menerimanya dengan perasaan bahwa ketika ia
bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para Pandawa. Bisma
juga tidak ingin bertarung di sisi Karna dan tidak akan membiarkannya menyerang
Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna menyerang
Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia tidak ingin penyerangan
secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan bahwa kasta Karna lebih
rendah. Bagaimanapun juga, Duryodana memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya
sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas
divisi. Seratus Korawa dipimpin oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya —
Duhsasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam pertempuran Korawa dibantu oleh
Rsi Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa — Jayadrata, guru
Kripa, Kritawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sangkuni, dan masih
banyak lagi para ksatria dan Raja gagah perkasa yang memihak Korawa demi Hastinapura
maupun Dretarastra.
Pihak netral
Kerajaan Widarbha dan rajanya, Raja
Rukma dan juga kakak Kresna, Baladewa, berada pada pihak yang netral dalam
peperangan tersebut. Baladewa netral karena kasih dan perdamaiannya pada
duabelah pihak, namun netralnya Raja Rukma bukan karena ia tidak mau memihak,
namun justru karena kesal dan merasa terhina oleh duabelah pihak
Kerajaan Widharba dahulunya dipimpin
oleh Raja Bhismaka Ia mempunyai lima anak satu diantaranya wanita bernama
Rukmini. Ia telah mendengar tentang Krisna dan kemasyurannya dan berharap dapat
bersatu dengannya dalam satu perkawinan. Keluarganya menyetujui ide itu kecuali
kakak tertuanya Rukma yang lebih mengingikan Rukmini dikawinkan dengan Sisupala
raja Chedi.Karena raja semakin tua, Rukma menjadi dominan kehendaknya di
kerajaan tersebut Rukmini menjadi takut bahwa ayahnya menjadi tidak berdaya.
Kemudian ia mencari jalan mengatasi keadaan yang sulit ini. Ia kemudian meminta
saran kepada seorang Brahmana yang kemudian pergi ke Drawaka untuk bertemu
Krisna dan menyampaikan surat yang dikirim Rukmini.
“Hatiku telah menerimamu sebagai
Tuhan dan pemimpin, Aku memintamu untuk datag dan menyelamatkanku dari Sisupala
yang akan membawa ku dengan paksa. Hal ini tidak dapat ditunda lagi, datanglah
esok. Pasukan Sisupala dan jarasandha akan berusaha menghadangmu sebelum engkau
mendapatkanmu. Semoga engkau berkenan menyelamatkan ku. Dan sebagai bagian dari
upacara perkawinan Aku akan berada di kuil untuk memuja Parvati (shakti Siva)
bersama rombongan. Itu adalah saat yang terbaik untuk datang dan
menyelamatkanku. Jika Engkau tidak hadir maka aku akan mengakhiri hidupku dan
semoga akau akan bersatu dengan mu di kehidupan mendatang “
Setelah Krisna membaca itu, Ia segera
menaiki keretanya menuju Kundinapura, Ibukota Widarbha. Balarama tahu kepergian
yang tiba-tiba dan rahasia Krisna dan kemudian ia segera menyiapkan pasukan dan
menuju Kundinapura. Di kuil Rukmini berdoa, ‘Oh Dewi, kuserahkan hidupku
padamu”. Melangkah keluar kuil. Rukmini melihat Kereta Krisna dan segera
berlari melayang bagikan jarum tersedot magnet menuju kereta Krisna. Krisna
mengemudikan kereta dibawah pandangan kagum semua yang melihat mereka
Pengawal segera memberitahu Rukma
mengenai apa yang terjadi, kemudian berkata ‘Aku tidak akan kembali sebelum
membunuhnya!’ dan segera mengejar Krisna dengan pasukan yang besar. Sementara
itu Balarama telah tiba dengan pasukannya dan pertempuran pun terjadi. Balarama
dan Krisna pulang dengan memperoleh kemenangan.
Rukma yang telah kalah malu pulang
kandang dan mendirikan kerajaan diantara Dwaraka dan menamakannya menjadi
Bhojakata. Ketika Ia mendengar akan diadakan perang Khurkshetra, Rukma datang
dengan pasukan besar berpikir untuk memperbaiki hubungannya dengan Krisna
(Basudeva) dan menawarkan bantuan pada Pandawa
“Oh, Pandawa, Pasukan musuh begitu
besarnya. Aku datang untuk menawarkan bantuan padamu. Berikan aku perintah dan
aku akan menyerang semua tempat yang engkau perintahkan. Aku punya kekuatan
untuk melawan Drona, Kripa dan bahkan Bhisma. Ku berikan kemenangan bagimu,
katakanlah kehendakmu” Ujarnya pada Arjuna
Menoleh pada Basudeva, Arjuna tertawa
“Oh penguasa Bhojakata, Kami tidak
mengkhawatirkan jumah musuh. Kami belum memerlukan bantuanmu. Engkau boleh
menyingkir atau tetap di sekitar sini sesukamu”, Ujar Arjuna
Rukma yang merasa marah dan malu,
pergi ke Duryodana dengan pasukannya, “Pandawa menolak bantuan ku, Pasukanku
terserah engkau akan apakan”, katanya pada Duryodana
“Jadi, setelah Pandawa menolakmu
bantuanmu makanya engkau datang kemari? Saya tidak setakut itu untuk menerimamu
setelah mereka membuangmu’ jawab Duryodana
Rukma merasa terhina oleh duabelah
pihak dan ia kembali kekerajaannya tanpa ambil bagian dari perang besar itu
Di kisahkan juga perjalanan Salya –
“Sang Raja Madra” – menuju markas Pandawa karena memihak mereka, Salya membawa
pasukan besar menuju Upaplawya untuk menyatakan dukungan terhadap Pandawa
menjelang meletusnya perang besar di Kurukshetra atau Baratayuda. Di tengah
jalan rombongannya singgah beristirahat dalam sebuah perkemahan lengkap dengan
segala jenis hidangan.
Salya menikmati jamuan itu karena
mengira semuanya berasal dari pihak Pandawa. Tiba-tiba para Korawa yang
dipimpin Duryodana muncul dan mengaku sebagai pemilik perkemahan tersebut
beserta isinya. Duryodana meminta Salya bergabung dengan pihak Korawa untuk
membalas jasa. Sebagai seorang raja yang harus berlaku adil, Salya pun bersedia
memenuhi permintaan itu.
Salya kemudian menemui para
keponakannya, yaitu Pandawa Lima untuk memberi tahu bahwa dalam perang kelak,
dirinya harus berada di pihak musuh. Para Pandawa terkejut dan sedih
mendengarnya. Namun Salya menghibur dengan memberikan restu kemenangan untuk
mereka.
Untuk kesekian kalinya sebelum
keputusan berperang, sekali lagi para Pandawa berusaha mencari sekutu dengan
mengirimkan surat permohonan kepada para Raja di daratan India Kuno agar mau
mengirimkan pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang besar akan
terjadi. Begitu juga yang dilakukan oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu
membuat para Raja di daratan India Kuno terbagi menjadi dua pihak, pihak
Pandawa dan pihak Korawa.
Sementara itu, Kresna mencoba untuk
melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke Hastinapura untuk mengusulkan
perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun Duryodana menolak usul Kresna
dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya untuk menangkap Kresna
sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia biasa. Ia
mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata para prajurit Duryodana
yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia menunjukkan bentuk rohaninya
yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati suci: Bisma, Drona, dan Widura.
Setelah Kresna meninggalkan istana
Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk memberitahu para Pandawa bahwa perang
tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta agar para Pandawa menyiapkan tentara dan
memberitahu para sekutu bahwa perang besar akan terjadi.
Perang di Kurukshetra merupakan
klimaks dari Mahābhārata, sebuah wiracarita tentang pertikaian Dinasti Kuru
sebagai titik sentralnya. Kurukshetra sendiri bermakna “daratan Kuru”, yang
juga disebut Dharmakshetra atau “daratan keadilan”. Lokasi ini dipilih sebagai
ajang pertempuran karena merupakan tanah yang dianggap suci. Dosa-dosa apa pun
yang dilakukan di sana pasti dapat terampuni berkat kesucian daerah ini.
Dataran Kurukshetra yang menjadi
lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai sekarang.
Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India.
———-
Dialog Karna dan
Kunti
Radheya(Karna) dan Kunti (nama
lain Sang Karna adalah Radheya)
Kisah ini diambil dari Udyoga parva,
setelah Sri Khrisna gagal sebagai Duta Perdamaian guna mencegah perang Pandava
dengan Kurawa
Kunti begitu gelisah setelah usaha
damai yang ditempuh menemui jalan buntu, berarti perang sebentar lagi akan
pecah, pasukan Raja Raja di seluruh dunia telah menuju Kurukhsetra.
Namun yang ada dalam benak Kunti adalah Radheya (Karna), kebencian Radheya terhadap Pandava terutama Arjuna melebihi kebencian Duryodhana terhadap Pandava
Kunti berniat menemui putra tertuanya itu dan memberitahu sejatinya Radheya.
——————————————————————————————————–
Radheya baru saja selesai melakukan Surya Sewana (pemujaan terhadap Dewa Matahari ), telah terkenal bahwa setiap selesai melakukan Puja tersebut Radheya akan memberikan anugerah kepada siapapun yang datang dan meminta kepadanya.
Namun yang ada dalam benak Kunti adalah Radheya (Karna), kebencian Radheya terhadap Pandava terutama Arjuna melebihi kebencian Duryodhana terhadap Pandava
Kunti berniat menemui putra tertuanya itu dan memberitahu sejatinya Radheya.
——————————————————————————————————–
Radheya baru saja selesai melakukan Surya Sewana (pemujaan terhadap Dewa Matahari ), telah terkenal bahwa setiap selesai melakukan Puja tersebut Radheya akan memberikan anugerah kepada siapapun yang datang dan meminta kepadanya.
Ditepi sungai Gangga………
Saat berbalik Radheya melihat Seorang wanita duduk berteduh dibawah pohon, diapun menghampiri (karena sesuai kebiasaan bahwa orang yang menunggunya melakukan Puja adalah orang yang akan meminta berkahnya) lalu membungkuk hormat
Saat berbalik Radheya melihat Seorang wanita duduk berteduh dibawah pohon, diapun menghampiri (karena sesuai kebiasaan bahwa orang yang menunggunya melakukan Puja adalah orang yang akan meminta berkahnya) lalu membungkuk hormat
Radheya (R) : salam Ibu.. apa yang
ibu minta? Radheya menunggu perintahmu
Kunti hanya memandangnya dengan
tatapan sedih, terkenang kembali ke masa lalu saat dia membuang Radheya begitu
lahir dengan menghanyutkannya di sungai Gangga.
R : aku adalah Radheya, Putra
Adhirata ibuku bernama Radha karena itu orang memanggilku Radheya, katakanlah
Ibu apa Permintaanmu ?
Kunti (K) : aku kesini bukan untuk
meminta anugerahmu, aku hanya ingin bertanya tidakkah kau mengenal siapa aku ?
Radheya menatap wanita didepannya,
mencoba mengingat ingat lalu sesuatu pun terlintas dalam pikirannya
…………….dadanya pun berdebar
R : ini aneh, aku tidak tahu siapa
dirimu, tapi aku merasa telah lama mengenalmu……………… ya engkau adalah wanita
yang hadir dalam mimpiku
K : Maukah kau duduk disampingku, dan
menceritakan wanita impianmu ?
Radheya mendekat dan duduk disamping
Kunti
R : ini aneh, selama ini aku tidak
pernah menceritakan tentang mimpiku ini kepada siapapun bahkan kepada ibuku
Radha, tapi kenapa sekarang aku ingin menceritakan kepadamu Ibu.
Mungkin kau sudah tau siapa aku mungkin juga tidak, aku adalah Radheya putra Radha, ayahku Adhirata kusir sang Raja, tapi aku bukanlah anak Ibuku…….. ayahku memungut aku dari Gangga dalam kotak kayu waktu aku kecil.
Semasa kecil aku selalu bermimpi, seorang wanita cantik yang berpakaian layaknya Putri Raja datang padaku, dia selalu menangis dan sedih
Dalam mimpi aku bertanya “ siapa engkau Ibu? Mengapa kau menangis?”
Wanita itu selalu menjawab ” aku menangis dan sedih karena aku melakukan ketidakadilan ini padamu”
Ketika aku bertanya ” mengapa Ibu, mengapa kau lakukan ini padaku ?
Dia hanya diam membisu hanya air mata yang menjawab semua pertanyaanku, lalu wanita itu akan menghilang dari pandanganku seberapa keras pun aku memanggilnya….
Mimpi yang sama selalu terulang berkali2.
Mimpi itu terus menghantuiku sampai aku remaja mimpi itu mulai berkurang, wanita itu semakin jarang menemuiku dalam mimpi, dan sampai sekarang dia tak pernah lagi menemui aku dalam mimpi ……………. yah mungkin karena dia mulai lupa denganku atau dia sudah punya anak yang lain
Mungkin kau sudah tau siapa aku mungkin juga tidak, aku adalah Radheya putra Radha, ayahku Adhirata kusir sang Raja, tapi aku bukanlah anak Ibuku…….. ayahku memungut aku dari Gangga dalam kotak kayu waktu aku kecil.
Semasa kecil aku selalu bermimpi, seorang wanita cantik yang berpakaian layaknya Putri Raja datang padaku, dia selalu menangis dan sedih
Dalam mimpi aku bertanya “ siapa engkau Ibu? Mengapa kau menangis?”
Wanita itu selalu menjawab ” aku menangis dan sedih karena aku melakukan ketidakadilan ini padamu”
Ketika aku bertanya ” mengapa Ibu, mengapa kau lakukan ini padaku ?
Dia hanya diam membisu hanya air mata yang menjawab semua pertanyaanku, lalu wanita itu akan menghilang dari pandanganku seberapa keras pun aku memanggilnya….
Mimpi yang sama selalu terulang berkali2.
Mimpi itu terus menghantuiku sampai aku remaja mimpi itu mulai berkurang, wanita itu semakin jarang menemuiku dalam mimpi, dan sampai sekarang dia tak pernah lagi menemui aku dalam mimpi ……………. yah mungkin karena dia mulai lupa denganku atau dia sudah punya anak yang lain
K : kau salah anakku , wanita itu
tidak pernah dan tidak akan bisa melupakanmu, meski dia sudah punya anak yang
lain
R : mengapa kau begitu yakin Ibu,
seolah olah kau tau dan mengenal wanita dalam mimpiku ?
Dada Radheya semakin berdebar2,
semakin lama dia memandang wanita itu dia semakin yakin kalau wanita
dihadapannya adalah wanita yang hadir dalam mimpi2nya
Kunti pun menangis, dengan tersendat dia berkata
Kunti pun menangis, dengan tersendat dia berkata
K : Aku tau siapa wanita dalam
mimpimu, karena akulah wanita itu aku adalah Kunti wanita yang melahirkanmu………
Kunti mencurahkan air matanya,
perasaan yang dipendam selama puluhan Tahun seakan ingin dia tumpahkan semua saat
ini
Radheya diam mematung, tak percaya dengan apa yang dia dengar
Radheya diam mematung, tak percaya dengan apa yang dia dengar
R : ah mana mungkin………. Kunti Devi
Ratu Astina, ibu mulia dari lima Pahlawan Agung hari ini datang pada Radheya,
dan mengaku sebagai Ibunya……… mungkin Radheya sedang bermimpi, sebaiknya aku
tidur lagi
K : jangan lagi memanggil dirimu
Radheya kau adalah Kaunteya putra Kunti, putra tertua ku…………… mulai saat ini
kau akan dikenal sebagai Putraku
R : Tapi mengapa Ibu……….?? aku sudah
tau bahwa kau adalah ibuku……bahwa Radheya sebenarnya Putra Kunti dan Surya
(Dewa Matahari ), tapi mengapa baru sekarang kau datang padaku
K : Bagaimana kau tau aku adalah
ibumu dan Surya adalah ayahmu ?
R : Kemarin Khrisna dengan rasa cinta
kasihnya memberitahuku jati diriku yang sebenarnya, tapi sudahlah Ibu janganlah
kita membicarakan hal yang berlalu, hari ini aku begitu bahagia karena Ibu
telah datang menemui aku……… jadi jangan berkata apa pa lagi
Keduanya berpelukan dan menangis
bersama, melepas kerinduan mereka selama ini, Radheya merebahkan kepalanya di
pangkuan Kunti, dengan lembut Kunti membelai rambut putranya yang ”Hilang”,
mereka larut untuk sesaat dalam hening…………
Beberapa saat berlalu, Radheya pun bangkit
Beberapa saat berlalu, Radheya pun bangkit
R : Terima kasih Ibu, Ibu telah
memberikan saat-saat yang paling suci dalam hidupku kini perintahlah Radheya
K : Tidak anakku, Ibu tidak memberimu
perintah tapi Ibu akan memintamu melakukan sesuatu.
R : Katakanlah Ibu apa yang harus aku
lakukan
K : Ikutlah bersama Ibu ke Pandava,
mereka adalah saudaramu, Ibu akan memberi tau Yudhistira bahwa kau adalah Putra
tertua ku, hilangkan kebencianmu selama ini kepada Arjuna, berperanglah di
pihak Pandawa yang pasti akan menang, Dunia akan melihat engkau bersatu kembali
dengan saudara saudaramu, mereka akan melihat dirimu bersatu dengan Arjuna,
didunia ini siapa yang bisa mengalahkan Kalian berdua, kalian akan Jaya seperti
Khrisna – Balarama, menangkan perang ini lalu perintahlah seluruh dunia karena
kau lah Pewaris Tahta Kerajaan. Yudhisthira akan menjadi Yuvaraja (Putra
mahkota) dan memegang Payung kebesaranmu, Arjuna akan menjadi kusirmu, Bhima
akan menjadi kepala Pengawal, sedangkan si kembar akan selalu setia
melayanimu………….
Radheya terdiam, betapa Hidup ini
penuh misteri, selama ini dia hidup dengan pandangan orang yang menilai rendah
dirinya karena hanya seorang ”Sutaputra” (putra kusir kereta), namun dalam 2
hari terakhir dua orang mulia (Khrisna dan Kunti) datang menawarkan Dunia
kepadanya. Godaan yang begitu besar, namun Radheya tak bergeming
R : Ibu aku sangat ingin menuruti
perintahmu, tapi aku tidak bisa
K : mengapa anakku? Aku akan mengakui
pada dunia bahwa kau adalah putra tertua ku…….
R : Ibu tidakkah kau tau betapa aku
membencimu, atas perlakuanmu padamu…. aku menyimpan kemarahan ini bertahun
tahun. Aku menderita karena kelahiranku. Namun ketika hari ini kau datang semua
kemarahanku itu lenyap bagai butiran salju yang jatuh di gurun pasir yang
tandus
Dunia mengenalku sebagai Sutaputra, nama ini menodai kelahiranku yang sebenarnya, saat menginjak remaja kau bertanya pada Ibuku Radha ” Ibu mengapa aku ingin sekali menjadi seorang pemanah bukan menjadi kusir kereta seperti ayah ?”
Saat itu lah aku tau bahwa Ibuku Radha bukanlah ibuku, namun cinta kasihnya melebihi cinta kasih seorang ibu kepadaku……….. karena itu aku bangga dengan nama Radheya nama yang aku bawa sampai mati
Lalu aku pun berkelana, untuk menuntut ilmu memanah, namun tidak ada yang mau mengajariku
Drona menolakku karena aku adalah seorang ’Sutaputra’, nama yang melekat dan menyakiti hatiku ini semua karena ketidakadilan mu padaku ”
Kemudian aku menghadap Bhargawa (Parasurama ) beliau mau mengajariku karena aku mengaku sebagai Brahmana, tetapi ketika Beliau tau aku bukan seorang Brahmana beliau mengutukku bahwa aku akan melupakan Mantra yang sangat aku perlukan.
Disamping itu seorang Brahmana mengutukku bahwa roda keretaku akan terbenam dan aku terbunuh pada saat aku tidak siap, seperti hal nya sapi Brahmana itu yang aku bunuh.
Saat aku kembali ke Astina, saat itu adalah waktu Perlombaan ketangkasan Para Pangeran Astina.
Jiwa Pemanahku bergolak melihat kesombongan Arjuna yang bangga akan keahliannya, akupun menantangnya lalu semua orang tau bahwa aku hanyalah seorang putra kusir, mereka menghina dan mencemoohkan aku terutama Bhima mu yang tersayang, mereka menilai aku bukan lah lawan yang pantas bagi Arjuna.
Saat itu lah Duryodhana yang Agung datang padaku, mengakui aku sebagai sahabatnya dan mengangkatku sebagai Raja Anga, Duryodhana lah orang yang mengangkat derajatku saat semua orang merendahkan ku, dia hanya meminta Hati ku sebagai balasanya, dan Mulai saat itu Hati ku milik sang Raja, Majikan sekaligus sahabatku Pangeran Duryodhana.
Ibu Tidakkah kau mengenalku saat itu ? aku yakin kau pasti mengenalku dari Kavaca ( Baju Pelindung ) dan kundala (anting-anting) yang kukenakan, namun dengan alasan yang kau ketahui sendiri saat itu Ibu diam membisu
Namun mengapa sekarang kau datang padaku………….????
Di Dunia ini hanya ada dua cinta terpenting bagi Radheya, cintaku kepada Ibu ku Radha dan Cintaku kepada Sahabat sejatiku Duryodhana.
Aku tidak pernah dan tidak berani berpikir akan ada cinta yang lebih agung datang dalam kehidupanku.
Aku tidak bisa meninggalkan Duryodhana untuk bergabung dengan saudara saudaraku yang baru aku temukan sesuai dengan permintaanmu ibu”
Dunia mengenalku sebagai Sutaputra, nama ini menodai kelahiranku yang sebenarnya, saat menginjak remaja kau bertanya pada Ibuku Radha ” Ibu mengapa aku ingin sekali menjadi seorang pemanah bukan menjadi kusir kereta seperti ayah ?”
Saat itu lah aku tau bahwa Ibuku Radha bukanlah ibuku, namun cinta kasihnya melebihi cinta kasih seorang ibu kepadaku……….. karena itu aku bangga dengan nama Radheya nama yang aku bawa sampai mati
Lalu aku pun berkelana, untuk menuntut ilmu memanah, namun tidak ada yang mau mengajariku
Drona menolakku karena aku adalah seorang ’Sutaputra’, nama yang melekat dan menyakiti hatiku ini semua karena ketidakadilan mu padaku ”
Kemudian aku menghadap Bhargawa (Parasurama ) beliau mau mengajariku karena aku mengaku sebagai Brahmana, tetapi ketika Beliau tau aku bukan seorang Brahmana beliau mengutukku bahwa aku akan melupakan Mantra yang sangat aku perlukan.
Disamping itu seorang Brahmana mengutukku bahwa roda keretaku akan terbenam dan aku terbunuh pada saat aku tidak siap, seperti hal nya sapi Brahmana itu yang aku bunuh.
Saat aku kembali ke Astina, saat itu adalah waktu Perlombaan ketangkasan Para Pangeran Astina.
Jiwa Pemanahku bergolak melihat kesombongan Arjuna yang bangga akan keahliannya, akupun menantangnya lalu semua orang tau bahwa aku hanyalah seorang putra kusir, mereka menghina dan mencemoohkan aku terutama Bhima mu yang tersayang, mereka menilai aku bukan lah lawan yang pantas bagi Arjuna.
Saat itu lah Duryodhana yang Agung datang padaku, mengakui aku sebagai sahabatnya dan mengangkatku sebagai Raja Anga, Duryodhana lah orang yang mengangkat derajatku saat semua orang merendahkan ku, dia hanya meminta Hati ku sebagai balasanya, dan Mulai saat itu Hati ku milik sang Raja, Majikan sekaligus sahabatku Pangeran Duryodhana.
Ibu Tidakkah kau mengenalku saat itu ? aku yakin kau pasti mengenalku dari Kavaca ( Baju Pelindung ) dan kundala (anting-anting) yang kukenakan, namun dengan alasan yang kau ketahui sendiri saat itu Ibu diam membisu
Namun mengapa sekarang kau datang padaku………….????
Di Dunia ini hanya ada dua cinta terpenting bagi Radheya, cintaku kepada Ibu ku Radha dan Cintaku kepada Sahabat sejatiku Duryodhana.
Aku tidak pernah dan tidak berani berpikir akan ada cinta yang lebih agung datang dalam kehidupanku.
Aku tidak bisa meninggalkan Duryodhana untuk bergabung dengan saudara saudaraku yang baru aku temukan sesuai dengan permintaanmu ibu”
Dengan berlinang airmata Kunti
bertanya
K : Mengapa anakku……….???
Terdengar suara dari langit, Surya
Dewa Matahari berkata ” Anakku Turutilah kemauan Ibumu, bergabunglah dengan
Pandawa ”
Namun Radheya tidak bergeming
Namun Radheya tidak bergeming
R : Ibu ,Aku terikat jalinan jutaan
untai benang dengan Sahabatku Duryodhana, satu satunya orang di dunia ini yang
menjadikan aku sahabatnya tanpa peduli aku seorang Sutaputra, bergantung padaku
Dia telah memulai perang ini, dunia mengenalku sebagai sahabat sang Raja,
Duryodhana malah ingin berbagi Singasana yang sama denganku, aku tidak bisa
memungkiri kebahagiaanku melewati hari hari bersama sang Pangeran.
Namun kini Ibu datang padaku dengan cinta yang membuat temaram cinta yang aku tau selama ini
Aku akan tetap berada disamping Duryodhana untuk melunasi hutangku, hutang cinta dan terima kasih adalah hutang yang sangat sulit untuk dibayar
Katakanlah ibu , begitu agungkah cinta seorang Ibu hingga membuat aku begitu bimbang, tapi Radheya tidak akan merubah pendiriannya , sekarang janganlah berkata2 apa apa lagi aku tidak ingin menyakitimu dengan kata kataku ”
Namun kini Ibu datang padaku dengan cinta yang membuat temaram cinta yang aku tau selama ini
Aku akan tetap berada disamping Duryodhana untuk melunasi hutangku, hutang cinta dan terima kasih adalah hutang yang sangat sulit untuk dibayar
Katakanlah ibu , begitu agungkah cinta seorang Ibu hingga membuat aku begitu bimbang, tapi Radheya tidak akan merubah pendiriannya , sekarang janganlah berkata2 apa apa lagi aku tidak ingin menyakitimu dengan kata kataku ”
Radheya menutup kedua matanya dan
menangis, Kunti tertunduk lemas air matanya bercucuran tak terhingga, mereka
kembali berpelukan dalam tangis.
Sesaat kemudian Radheya melepaskan
pelukannya
R : Ibu tangisan ini tidak baik
untukku, seorang Ibu hanya boleh menangisi anaknya yang sudah mati, aku akan
tetap bersama sahabatku dan aku tau akhir hidupku
Aku tau bahwa kami semua yang berpihak pada Duryodhana akan dikirim ke alam Yama (kematian) kami akan kalah, aku tau itu Ibu
Namun jalan satu satunya orang hidup didunia ini adalah mengukir nama Baiknya, kemasyuran……….. jika aku bergabung dengan Pandawa aku akan kehilangan nama baik yang telah aku ukir selama ini, apapun Takdir yang telah ditetapkan, seseorang tidak boleh menyerah untuk mempertahankan dan mencari Nama Baik dan kemahsyuran, itulah jalan yang aku tempuh selama ini, aku menginginkan nama baik.
Ibu Restuilah aku berikan aku anugerah :
”Bahwa namaku akan di ingat sepanjang manusia masih hidup di dunia ini, kemahsyuran ku akan abadi sepanjang sejarah”
Aku tau bahwa kami semua yang berpihak pada Duryodhana akan dikirim ke alam Yama (kematian) kami akan kalah, aku tau itu Ibu
Namun jalan satu satunya orang hidup didunia ini adalah mengukir nama Baiknya, kemasyuran……….. jika aku bergabung dengan Pandawa aku akan kehilangan nama baik yang telah aku ukir selama ini, apapun Takdir yang telah ditetapkan, seseorang tidak boleh menyerah untuk mempertahankan dan mencari Nama Baik dan kemahsyuran, itulah jalan yang aku tempuh selama ini, aku menginginkan nama baik.
Ibu Restuilah aku berikan aku anugerah :
”Bahwa namaku akan di ingat sepanjang manusia masih hidup di dunia ini, kemahsyuran ku akan abadi sepanjang sejarah”
Dengan Hati yang hancur lebur Kunti
merestui permintaan putranya
R : Terimakasih ibu, namun ini
tidaklah benar……….. biasanya akulah yang memberikan anugerah kepada orang2 yang
datang padaku setelah aku selesai memuja Ayahku, kini aku akan memberimu
anugerah yang setara dengan Permintaanmu sesuai dengan kemampuanku, engkau
menginginkan hatiku, tapi hatiku bukan miliku, hatiku milik sahabatku
Duryodhana
” Engkau akan Tetap memiliki lima Putera, Yudhistira, Bhima,Nakula dan Sahadeva Tidak akan aku bunuh dalam perang, mereka tidak akan mati ditanganku, tapi tidak dengan Arjuna, pertarungan diantara kami harus terjadinya………. itulah satu satunya cara untuk melunasi hutang kepada sahabatku Duryodhana, namun bagaimana pun hasilnya kau akan tetap punya lima Putera, dengan Aku tanpa Arjuna, ataupun Dengan Arjuna tanpa Radheya puteramu Tetap akan lima, itulah anugerahku ”
” Engkau akan Tetap memiliki lima Putera, Yudhistira, Bhima,Nakula dan Sahadeva Tidak akan aku bunuh dalam perang, mereka tidak akan mati ditanganku, tapi tidak dengan Arjuna, pertarungan diantara kami harus terjadinya………. itulah satu satunya cara untuk melunasi hutang kepada sahabatku Duryodhana, namun bagaimana pun hasilnya kau akan tetap punya lima Putera, dengan Aku tanpa Arjuna, ataupun Dengan Arjuna tanpa Radheya puteramu Tetap akan lima, itulah anugerahku ”
Radheya menghela nafas panjang,
dengan tatapan sedih Kunti memandangnya
R : Tapi ibu aku tahu, Arjuna akan
tetap bersamamu, dibawah lindungan Khrisna Pandawa akan aman seperti Bayi dalam
rahim ibunya, mereka akan selamat melewati Perang besar ini
Sedangkan kami yang memihak Duryodhana sudah dikutuk, kami akan mati…………
Engkau mungkin sudah tau Ibu….
Aku juga telah dikutuk
Guruku Bhargawa (Parasurama) telah mengutukku ” bahwa aku kan melupakan mantra senjata yang aku perlukan disaat saat genting.
Lalu seorang Brahmana mengutukku, bahwa roda kereta ku akan ditelan Bumi dan aku dibunuh oleh musuh saat aku tidak siap.
Selain dua kutukan tadi Indra Raja Dewata telah meminta Kavaca ( Baju pelindung) dan Kundala (anting2) yang akan melindungi aku dari kematian.
Dan kemarin Khrisna datang dengan cinta yang Agung menggoyahkan perisai hatiku dan hari ini kau datang dengan kasih seorang Ibu yang kau hempaskan dan menghancurkan Tameng Hatiku, satu satunya senjata ku untuk melawan Pandawa adalah kebencianku kini semuanya telah hancur, bagaimana aku bisa berhadapan dengan Arjuna yang kini dimataku adalah seorang anak kecil yang mengulurkan tangannya dengan penuh cinta.
Ibu katakanlah
Dengan semua itu bagaimana aku bisa selamat dari perang ???
Sedangkan kami yang memihak Duryodhana sudah dikutuk, kami akan mati…………
Engkau mungkin sudah tau Ibu….
Aku juga telah dikutuk
Guruku Bhargawa (Parasurama) telah mengutukku ” bahwa aku kan melupakan mantra senjata yang aku perlukan disaat saat genting.
Lalu seorang Brahmana mengutukku, bahwa roda kereta ku akan ditelan Bumi dan aku dibunuh oleh musuh saat aku tidak siap.
Selain dua kutukan tadi Indra Raja Dewata telah meminta Kavaca ( Baju pelindung) dan Kundala (anting2) yang akan melindungi aku dari kematian.
Dan kemarin Khrisna datang dengan cinta yang Agung menggoyahkan perisai hatiku dan hari ini kau datang dengan kasih seorang Ibu yang kau hempaskan dan menghancurkan Tameng Hatiku, satu satunya senjata ku untuk melawan Pandawa adalah kebencianku kini semuanya telah hancur, bagaimana aku bisa berhadapan dengan Arjuna yang kini dimataku adalah seorang anak kecil yang mengulurkan tangannya dengan penuh cinta.
Ibu katakanlah
Dengan semua itu bagaimana aku bisa selamat dari perang ???
Kini mata Radheya terang tanpa
airmata, dengan suara pelan meyakinkan Kunti
R : Ibu janganlah sedih, apa yang
sudah digariskan oleh Para Dewa tidak ada yang bisa merubahnya, tidak juga
Cintamu yang Agung, aku harus bertarung dengan Arjuna dan aku akan mati
ditangannya
Sekarang pulanglah Ibu ku sayang, jangan sampai ada orang yang melihat kau datang menemui aku, biarlah dunia tetap menganggapku ”Sutaputra” tapi dirimu dan aku tahu bahwa Radheya adalah putera Kunti dan Surya, biarlah rahasia kelahiranku lenyap bersama kematianku ”
Sekarang pulanglah Ibu ku sayang, jangan sampai ada orang yang melihat kau datang menemui aku, biarlah dunia tetap menganggapku ”Sutaputra” tapi dirimu dan aku tahu bahwa Radheya adalah putera Kunti dan Surya, biarlah rahasia kelahiranku lenyap bersama kematianku ”
Tubuh Kunti begitu lemas, Radheya
berkali kali harus memapahnya, Dia telah kehilangan puteranya selama ini dan
setelah menemui Radheya dia semakin kehilangan, Pertemuan mereka hanyalah
kebahagiaan sesaat seperti sinar kilat menyambar lalu lenyap saat Dunia masih
gelap. Kunti dengan segala kegetiran meninggalkan Puteranya yang Mulia…………..
Bhismaparwa (6)
Bhismaparwa
konon merupakan bagian terpenting Mahabharata karena kitab keenam ini
mengandung kitab Bhagawad Gita. Dalam Bhismaparwa dikisahkan bagaimana kedua
pasukan, pasukan Korawa dan pasukan Pandawa berhadapan satu sama lain sebelum
Bharatayuddha dimulai. Lalu sang Arjuna dan kusirnya sang Kresna berada di
antara kedua pasukan. Arjuna pun bisa melihat bala tentara Korawa dan para
Korawa, sepupunya sendiri. Iapun menjadi sedih karena harus memerangi mereka.
Walaupun mereka jahat, tetapi Arjuna teringat bagaimana mereka pernah dididik
bersama-sama sewaktu kecil dan sekarang berhadapan satu sama lain sebagai
musuh. Lalu Kresna memberi Arjuna sebuah wejangan. Wejangannya ini disebut
dengan nama Bhagawad Gita atau “Gita Sang Bagawan”, artinya adalah nyanyian seorang
suci.
Bhismaparwa diakhiri dengan
dikalahkannya Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Bisma mempunyai sebuah
kesaktian bahwa ia bisa meninggal pada waktu yang ditentukan sendiri. Lalu ia
memilih untuk tetap tidur terbentang saja pada “tempat tidur panahnya”
(saratalpa) sampai perang Bharatayuddha selesai. Bisma terkena panah banyak
sekali sampai ia terjatuh tetapi tubuhnya tidak menyentuh tanah, hanya
ujung-ujung panahnya saja.
Ringkasan isi Kitab
Bhismaparwa
Janamejaya bertanya,
“Bagaimanakah para pahlawan bangsa Kuru, Pandawa, dan Somaka, beserta para
rajanya yang berasal dari berbagai kerajaan itu mengatur pasukannya siap untuk
bertempur?”
Mendengar pertanyaan
tersebut, Wesampayana menguraikan dengan detail, kejadian-kejadian yang sedang
berlangsung di medan perang Kurukshetra.
Suasana di medan perang,
Kurukshetra
Sebelum pertempuran
dimulai, kedua belah pihak sudah memenuhi daratan Kurukshetra. Para Raja
terkemuka pada zaman India Kuno seperti misalnya Drupada, Sudakshina Kamboja,
Bahlika, Salya, Wirata, Yudhamanyu, Uttamauja, Yuyudhana, Chekitana, Purujit,
Kuntibhoja, dan lain-lain turut berpartisipasi dalam pembantaian besar-besaran
tersebut. Bisma, Sang sesepuh Wangsa Kuru, mengenakan jubah putih dan bendera
putih, bersinar, dan tampak seperti gunung putih. Arjuna menaiki kereta kencana
yang ditarik oleh empat ekor kuda putih dan dikemudikan oleh Kresna, yang
mengenakan jubah sutera kuning.
Pasukan Korawa menghadap ke
barat, sedangkan pasukan Pandawa menghadap ke timur. Pasukan Korawa terdiri dari
11 divisi, sedangkan pasukan Pandawa terdiri dari 7 divisi. Pandawa mengatur
pasukannya membentuk formasi Bajra, formasi yang konon diciptakan Dewa Indra.
Pasukan Korawa jumlahnya lebih banyak daripada pasukan Pandawa, dan formasinya
lebih menakutkan. Fomasi tersebut disusun oleh Drona, Bisma, Aswatama, Bahlika,
dan Kripa yang semuanya ahli dalam peperangan. Pasukan gajah merupakan tubuh
formasi, para Raja merupakan kepala dan pasukan berkuda merupakan sayapnya.
Yudistira sempat gemetar dan cemas melihat formasi yang kelihatannya sulit
ditembus tersebut, namun setelah mendapat penjelasan dari Arjuna, rasa percaya
dirinya bangkit.
Turunnya Bhagawad Gita
Sebelum pertempuran
dimulai, terlebih dahulu Bisma meniup terompet kerangnya yang menggemparkan
seluruh medan perang, kemudian disusul oleh para Raja dan ksatria, baik dari
pihak Korawa maupun Pandawa. Setelah itu, Arjuna menyuruh Kresna yang menjadi
kusir keretanya, agar membawanya ke tengah medan pertempuran, supaya Arjuna
bisa melihat siapa yang sudah siap bertarung dan siapa yang harus ia hadapi
nanti di medan pertempuran.
Di tengah medan
pertempuran, Arjuna melihat kakeknya, gurunya, teman, saudara, ipar, dan
kerabatnya berdiri di medan pertempuran, siap untuk bertempur. Tiba-tiba Arjuna
menjadi lemas setelah melihat keadaan itu. Ia tidak tega untuk membunuh mereka
semua. Ia ingin mengundurkan diri dari medan pertempuran.
Arjuna berkata, “Kresna
yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya,
dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan
saya gemetar dan mulut saya terasa kering…..Kita akan dikuasai dosa jika
membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh
para putera Dretarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Lakshmi Dewi, apa
keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh
sanak keluarga kita sendiri?”
Dilanda oleh pergolakan
batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Kresna mencoba untuk
menyadarkan Arjuna. Kresna yang menjadi kusir Arjuna, memberikan
wejangan-wejangan suci kepada Arjuna, agar ia bisa membedakan mana yang benar
dan mana yang salah. Kresna juga menguraikan berbagai ajaran Hindu kepada
Arjuna, agar segala keraguan di hatinya sirna, sehingga ia mau melanjutkan
pertempuran. Selain itu, Kresna memperlihatkan wujud semestanya kepada Arjuna,
agar Arjuna tahu siapa Kresna sebenarnya.
Wejangan suci yang
diberikan oleh Kresna kepada Arjuna kemudian disebut Bhagavad Gītā, yang
berarti “Nyanyian Tuhan”. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi kitab
tersendiri dan sangat terkenal di kalangan umat Hindu, karena dianggap
merupakan pokok-pokok ajaran Hindu dan intisari ajaran Veda.
Penghormatan sebelum perang oleh Yudistira
Setelah Arjuna sadar
terhadap kewajibannya dan mau melanjutkan pertarungan karena sudah mendapat
wejangan suci dari Kresna, maka pertempuran segera dimulai. Arjuna mengangkat
busur panahnya yang bernama Gandiwa, diringi oleh sorak sorai gegap gempita.
Pasukan kedua pihak bergemuruh. Mereka meniup sangkala dan terompet tanduk,
memukul tambur dan genderang. Para Dewa, Pitara, Rishi, dan penghuni surga
lainnya turut menyaksikan pembantaian besar-besaran tersebut.
Pada saat-saat menjelang
pertempuran tersebut, tiba-tiba Yudistira melepaskan baju zirahnya, meletakkan
senjatanya, dan turun dari keretanya, sambil mencakupkan tangan dan berjalan ke
arah pasukan Korawa. Seluruh pihak yang melihat tindakannya tidak percaya. Para
Pandawa mengikutinya dari belakang sambil bertanya-tanya, namun Yudistira diam
membisu, hanya terus melangkah. Di saat semua pihak terheran-heran, hanya
Kresna yang tersenyum karena mengetahui tujuan Yudistira. Pasukan Korawa
penasaran dengan tindakan Yudistira. Mereka siap siaga dengan senjata lengkap
dan tidak melepaskan pandangan kepada Yudistira. Yudistira berjalan melangkah
ke arah Bisma, kemudian dengan rasa bakti yang tulus ia menjatuhkan dirinya dan
menyembah kaki Bisma, kakek yang sangat dihormatinya.
Yudistira berkata, “Hamba
datang untuk menghormat kepadamu, O paduka nan gagah tak terkalahkan. Kami akan
menghadapi paduka dalam pertempuran. Kami mohon perkenan paduka dalam hal ini,
dan kami pun memohon doa restu paduka”.
Bisma menjawab, “Apabila
engkau, O Maharaja, dalam menghadapi pertempuran yang akan berlangsung ini engkau
tidak datang kepadaku seperti ini, pasti kukutuk dirimu, O keturunan Bharata,
agar menderita kekalahan! Aku puas, O putera mulia. Berperanglah dan dapatkan
kemenangan, hai putera Pandu! Apa lagi cita-cita yang ingin kaucapai dalam
pertempuran ini? Pintalah suatu berkah dan restu, O putera Pritha. Pintalah
sesuatu yang kauinginkan! Atas restuku itu pastilah, O Maharaja, kekalahan
tidak akan menimpa dirimu. Orang dapat menjadi budak kekayaan, namun kekayaan
itu bukanlah budak siapa pun juga. Keadaan ini benar-benar terjadi, O putera
bangsa Kuru. Dengan kekayaannya, kaum Korawa telah mengikat diriku…”
Setelah Yudistira mendapat
doa restu dari Bisma, kemudian ia menyembah Drona, Kripa, dan Salya. Semuanya
memberikan doa restu yang sama seperti yang diucapkan Bisma, dan mendoakan agar
kemenangan berpihak kepada Pandawa. Setelah mendapat doa restu dari mereka
semua, Yudistira kembali menuju pasukannya, dan siap untuk memulai pertarungan.
Yuyutsu memihak Pandawa
Setelah tiba di
tengah-tengah medan pertempuran, di antara kedua pasukan yang saling
berhadapan, Yudistira berseru, “Siapa pun juga yang memilih kami, mereka itulah
yang kupilih menjadi sekutu kami!”
Setelah berseru demikian,
suasana hening sejenak. Tiba-tiba di antara pasukan Korawa terdengar jawaban yang
diserukan oleh Yuyutsu. Dengan pandangan lurus ke arah Pandawa, Yuyutsu
berseru, ”Hamba bersedia bertempur di bawah panji-panji paduka, demi kemenangan
paduka sekalian! Hamba akan menghadapi putera Dretarastra, itu pun apabila
paduka raja berkenan menerima! Demikianlah, O paduka Raja nan suci!”
Dengan gembira, Yudistira
berseru, “Mari, kemarilah! Kami semua ingin bertempur menghadapi
saudara-saudaramu yang tolol itu! O Yuyutsu, baik Vāsudewa (Kresna) maupun kami
lima bersaudara menyatakan kepadamu bahwa aku menerimamu, O pahlawan perkasa,
berjuanglah bersama kami, untuk kepentinganku, menegakkan Dharma! Rupanya hanya
anda sendirilah yang menjadi penerus garis keturunan Dretarastra, sekaligus
melanjutkan pelaksanaan upacara persembahan kepada para leluhur mereka! O
putera mahkota nan gagah, terimalah kami yang juga telah menerima dirimu itu!
Duryodana yang kejam dan berpengertian cutak itu segera akan menemui ajalnya!”
Setelah mendengar jawaban
demikian, Yuyutsu meninggalkan pasukan Korawa dan bergabung dengan para
Pandawa. Kedatangannya disambut gembira. Yudistira mengenakan kembali baju
zirahnya, kemudian berperang.
Pembantaian Bisma
Pertempuran dimulai. Kedua
belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi
pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang para ksatria Pandawa dan
membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu melihat hal tersebut
dan menyuruh paman-pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang
Bisma dan para pengawalnya. Namun usaha para ksatria Pandawa di hari pertama
tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan. Putera Raja Wirata, Uttara dan
Sweta, gugur oleh Bisma dan Salya di hari pertama. Kekalahan di hari pertama
membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan
sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.
Duel Arjuna dengan Bisma
Pada hari kedua, Arjuna
bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama. Arjuna
mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa
berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga
meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma.
Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di
tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma
terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona menyerang Drestadyumna
bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Duryodana mengirim pasukan
bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun serangan dari
Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Setyaki yang bersekutu
dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda
melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa
mendapat kekalahan.
Habisnya kesabaran Kresna

Pada hari ketiga, Bisma
memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang dengan
dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara
Duryodana melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan
lagi. Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi
bulan sabit dengan Bima dan Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri.
Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya kepada Arjuna, namun banyak
pasukan Korawa yang tak mampu menandingi kekuatan Arjuna. Abimanyu dan Setyaki
menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni.
Bisma yang terlibat duel sengit dengan Arjuna, masih bertarung dengan setengah
hati. Duryodana memarahi Bisma yang masih segan untuk menghabisi Arjuna.
Perkataan Duryodana membuat hati Bisma tersinggung, kemudian ia mengubah
perasaanya.
Arjuna dan Kresna mencoba
menyerang Bhishma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam pertarungan yang
bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya.
Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, “Aku sudah tak bisa
bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri,” lalu ia
mengambil chakra-nya dan berlari ke arah Bisma. Bisma menyerahkan dirinya
kepada Kresna dengan pasrah. Ia merasa beruntung jika gugur di tangan Kresna.
Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Arjuna
memegang kaki Kresna. Pada langkah yang kesepuluh, Kresna berhenti.
Arjuna berkata, “O
junjunganku, padamkanlah kemarahan ini. Paduka tempat kami berlindung. Baiklah,
hari ini hamba bersumpah, atas nama dan saudara-saudara hamba, bahwa hamba
tidak akan menarik diri dari sumpah yang hamba ucapkan. O Kesawa, O adik Dewa
Indra, atas perintah paduka, baiklah, hamba yang akan memusnahkan bangsa Kuru!”
Mendengar sumpah tersebut,
Kresna puas hatinya. Kemarahannya mereda, namun masih tetap memegang senjata
chakra. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak
pasukan Korawa.
Keberanian Bima
Hari keempat merupakan hari
dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk
bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna
melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting
tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana
mengirimkan pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan
gajah menuju ke arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu
dengan gada baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah pasukan
Korawa. Kemudian Bima menyerang para ksatria Korawa dan membunuh delapan adik
Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat
hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati
bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan
agar mundur. Pada hari itu, Duryodana kehilangan banyak saudara-saudaranya.
Perbantaian terus berlanjut
Pada hari kelima,
pembantaian terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga membalas
serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di
sampingnya. Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak
untuk bertarung dan pergi. Sementara itu, Setyaki membinasakan pasukan besar
yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan
antara Setyaki melawan Burisrawas dan kemudian Setyaki kesusahan sehingga
berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Setyaki
dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh
ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.
Pertumpahan darah yang
sulit dibayangkan terus berlanjut dari hari ke hari selama pertempuran
berlangsung. Hari keenam merupakan hari pembantaian yang hebat. Drona membantai
banyak prajurit di pihak Pandawa yang jumlahnya sukar diukur. Formasi kedua
belah pihak pecah. Pada hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera
Dretarastra. Putera Arjuna — Irawan — terbunuh oleh para Korawa.
Pada hari kesembilan Bisma
menyerang pasukan Pandawa dengan membabi buta. Banyak laskar yang tercerai
berai karena serangan Bisma. Banyak yang melarikan diri atau menjauh dari
Bisma, pendekar tua nan sakti dari Wangsa Kuru. Kresna memacu kuda-kudanya agar
berlari ke arah Bisma. Arjuna dan Bisma terlibat dalam pertarungan sengit,
namun Arjuna bertarung dengan setengah hati sementara Bisma menyerangnya dengan
bertubi-tubi. Melihat keadaan itu, sekali lagi Kresna menjadi marah. Ia ingin
mengakhiri riwayat Bisma dengan tangannya sendiri. Ia meloncat turun dari
kereta Arjuna, dengan mata merah menyala tanda kemarahan memuncak, bergerak
berjalan menghampiri Bisma. Dengan senjata Chakra di tangan, Kresna membidik
Bisma. Bisma dengan pasrah tidak menghindarinya, namun semakin merasa bahagia
jika gugur di tangan Kresna. Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan
berusaha menarik kaki Kresna untuk menghentikan langkahnya.
Dengan sedih dan suara
tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka
memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah
mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila
paduka melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa paduka
pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah yang harus
menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat itu!…”
Kresna tidak menjawab
setelah mendengar kata-kata Arjuna, tetapi dengan menahan kemarahan ia naik
kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali
pertarungannya.
Gugurnya Bisma
Resi Bisma tidur di
“ranjang panah” (saratalpa)
Para Pandawa tidak
mengetahui bagaimana cara mengalahkan Bisma. Pada malam harinya, Pandawa
menyusup ke dalam kemah Bisma. Bisma menyambutnya dengan doa restu. Pandawa
menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu mencari cara untuk mengalahkan Bisma.
Kemudian Bisma membeberkan hal-hal yang membuatnya tidak tega untuk berperang.
Setelah mendengar penjelasan Bisma, Arjuna berdiskusi dengan Kresna. Ia merasa
tidak tega untuk mengakhiri riwayat kakeknya. Kemudian Kresna mencoba
menyadarkan Arjuna, tentang mana yang benar dan mana yang salah.
·
Pada hari kesepuluh, pasukan Pandawa dipelopori oleh Srikandi di
garis depan. Srikandi menyerang Bisma, namun ia tidak dihiraukan. Bisma hanya
tertawa kepada Srikandi, karena ia tidak mau menyerang Srikandi yang
berkepribadian seperti wanita. Melihat Bisma menghindari Srikandi, Arjuna
memanah Bisma berkali-kali. Puluhan panah menancap di tubuh Bisma. Bisma
terjatuh dari keretanya. Pasukan Pandawa bersorak. Tepat pada hari itu senja
hari. Kedua belah pihak menghentikan pertarungannya, mereka mengelilingi Bisma
yang berbaring tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah. Bisma
menyuruh para ksatria untuk memberikannya bantal, namun tidak satu pun bantal
yang mau ia terima. Kemudian ia menyuruh Arjuna memberikannya bantal. Arjuna
menancapkan tiga anak panah di bawah kepala Bisma sebagai bantal. Bisma
merestui tindakan Arjuna, dan ia mengatakan bahwa ia memilih hari kematian
ketika garis balik matahari berada di utara.
·
Kitab Dronaparwa menceritakan kisah
pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha
menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal
oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang
menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan
kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
Kitab Dronaparwa tidak didapati di
Indonesia. Kitab ini kitab ketujuh Mahabharata. Di sini diceritakan kematian
bagawan Drona dalam perang Bharatayuddha. Ia ditipu oleh antara lain Yudistira
apakah putranya Aswatama sudah tewas atau belum.
——–
Kitab
Dronaparwa merupakan kitab ketujuh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah diangkatnya Bagawan Drona sebagai panglima perang pasukan
Korawa di Hari ke-11, setelah Rsi Bhisma gugur di tangan Arjuna dan
sejak di hari ke-11, Karna mulai berperang sehingga segera membangkitkan
semangat para Korawa. Ia menyarankan agar Duryodana memilih Drona sebagai
pengganti Bisma, dengan alasan Drona merupakan guru bagi sebagian besar sekutu
Korawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara para sekutu Korawa
memperebutkan jabatan panglima dapat dihindari.
Catatan
Pinggir
Drona
atau Dronacharya adalah guru para Korawa dan
Pandawa. Ia merupakan ahli mengembangkan seni pertempuran, termasuk dewāstra.
Arjuna adalah murid yang disukainya. Kasih sayang Drona terhadap Arjuna adalah
yang kedua jika dibandingkan dengan rasa kasih sayang terhadap puteranya,
Aswatama.
Drona dilahirkan dalam keluarga
brahmana (kaum pendeta Hindu). Ia merupakan putera dari pendeta Bharadwaja, lahir
di kota yang sekarang disebut Dehradun (modifikasi dari kata dehra-dron, guci
tanah liat), yang berarti bahwa ia (Drona) berkembang bukan di dalam rahim,
namun di luar tubuh manusia, yakni dalam Droon (tong atau guci).
Bharadwaja pergi bersama rombongannya
menuju Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat bidadari yang
sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta dikuasai nafsu, menyebabkannya
mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Ia mengatur supaya air mani tersebut
ditampung dalam sebuah pot yang disebut drona, dan dari cairan tersebut Drona
lahir kemudian dirawat. Drona kemudian bangga bahwa ia lahir dari Bharadwaja
tanpa pernah berada di dalam rahim. Drona menghabiskan masa mudanya dalam
kemiskinan, namun belajar agama dan militer bersama-sama dengan pangeran dari
Kerajaan Panchala bernama Drupada. Drupada dan Drona kemudian menjadi teman
dekat dan Drupada, dalam masa kecilnya yang bahagia, berjanji untuk memberikan
setengah kerajaannya kepada Drona pada saat menjadi Raja Panchala.
Drona menikahi Krepi, adik Krepa,
guru di keraton Hastinapura. Krepi dan Drona memiliki putera bernama Aswatama.
Mengetahui bahwa Parasurama mau
memberi pengetahuan yang dimilikinya kepada para brahmana, Drona mendatanginya.
Sayangnya pada saat Drona datang, Parasurama telah memberikan segala miliknya
kepada brahmana yang lain. Karena tersentuh oleh kesanggupan hati Drona,
Parasurama memutuskan untuk memberikan pengetahuannya tentang ilmu peperangan
kepada Drona.
Demi keperluan istri dan puteranya,
Drona ingin bebas dari kemiskinan. Teringat kepada janji yang diberikan oleh
Drupada, Drona ingin menemuinya untuk meminta bantuan. Tetapi, karena mabuk
oleh kekuasaan, Raja Drupada menolak untuk mengakui Drona (sebagai temannya)
dan menghinanya dengan mengatakan bahwa ia manusia rendah.
Drupada memberi penjelasan yang
panjang dan sombong kepada Drona tentang masalah kenapa ia tidak mau mengakui
Drona. Drupada berkata, “Persahabatan, adalah mungkin jika hanya terjadi antara
dua orang dengan taraf hidup yang sama”. Dia berkata bahwa sebagai anak-anak,
adalah hal yang mungkin bagi dirinya untuk berteman dengan Drona, karena pada
masa itu mereka sama. Tetapi sekarang Drupada menjadi raja, sementara Drona
berada dalam kemiskinan. Dalam keadaan seperti ini, persahabatan adalah hal
yang mustahil. Tetapi ia berkata bahwa ia akan memuaskan hati Drona apabila
Drona mau meminta sedekah selayaknya para brahmana daripada mengaku sebagai
seorang teman. Drupada menasihati Drona supaya tidak memikirkan masalah itu
lagi dan ingin ia hidup menurut jalannya sendiri. Drona pergi membisu, namun di
dalam hatinya ia bersumpah akan membalas dendam.
Drona pergi ke Hastinapura dengan
harapan dapat membuka sekolah seni militer bagi para pangeran muda dengan
memohon bantuan Raja Dretarastra. Pada suatu hari, ia melihat banyak anak muda,
yaitu para Korawa dan Pandawa yang sedang mengelilingi sumur. Ia bertanya
kepada mereka tentang masalah apa yang terjadi, dan Yudistira, si sulung,
menjawab bahwa bola mereka jatuh ke dalam sumur dan mereka tidak tahu bagaimana
cara mengambilnya kembali.
Drona tertawa, dan menasihati mereka
karena tidak berdaya menghadapi masalah yang sepele. Yudistira menjawab bahwa
jika Sang Brahmana (Drona) mampu mengambil bola tersebut maka Raja Hastinapura
pasti akan memenuhi segala keperluan hidupnya. Pertama Drona melempar cincin
kepunyaannya, mengumpulkan beberapa mata pisau, dan merapalkan mantra Weda.
Kemudian ia melempar mata pisau ke dalam sumur seperti tombak. Mata pisau
pertama menancap pada bola, dan mata pisau kedua menancap pada mata pisau
pertama, dan begitu seterusnya, sehingga membentuk sebuah rantai.
Perlahan-lahan Drona menarik bola tersebut dengan tali.
Dengan keahliannya yang membuat
anak-anak sangat terkesima, Drona merapalkan mantra Weda sekali lagi dan menembakkan
mata pisau itu ke dalam sumur. Pisau itu menancap pada bagian tengah cincin
yang terapung kemudian ia menariknya ke atas sehingga cincin itu kembali lagi.
Karena terpesona, para bocah membawa Drona ke kota dan melaporkan kejadian
tersebut kepada Bisma, kakek mereka.
Bisma segera sadar bahwa dia adalah
Drona, dan keberaniannya yang memberi contoh, ia kemudian menawarkan agar Drona
mau menjadi guru bagi para pangeran Kuru dan mengajari mereka seni peperangan.
Kemudian Drona mendirikan sekolah di dekat kota, dimana para pangeran dari
berbagai kerajaan di sekitar negeri datang untuk belajar di bawah bimbingannya.
Satu diantara yang terhebat dan
terkemuka adalah Ekalawya, yang merupakan seorang pangeran muda dari suku
Nishadha, mereka adalah kaum pemburu. Ekalawya datang mencari Drona karena
minta diajari. Drona menolak mengajarinya. Ekalawya kemudian memasuki hutan,
dan ia mulai belajar dan berlatih sendirian kemampuan luarbiasanya sehingga
setara bahkan melebihi Arjuna.
========
Ekalawya secara harfiah berarti “ia yang memusatkan
pikirannya kepada suatu ilmu/mata pelajaran”. Ekalawya Bertekad ingin menjadi
pemanah terbaik di dunia, lalu ia pergi ke Hastina ingin berguru kepada Bagawan
Drona. Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu panah lebih jauh, menuntun
dirinya untuk datang ke Hastina dan berguru langsung pada Drona. Namun niatnya
ditolak, Ini dikarenakan Drona melihat kemampuannya yang bisa menandingi
Arjuna, padahal keinginan dan janji Drona adalah menjadikan Arjuna sebagai
satu-satunya ksatria pemanah paling unggul di jagat raya. Ini menggambarkan
sisi negatif dari Drona, serta menunjukkan sikap pilih kasih Drona kepada
murid-muridnya, dimana Drona sangat menyayangi Arjuna melebihi murid-murid yang
lainnya.
Penolakan sang guru tidak menghalangi
niatnya untuk memperdalam ilmu keprajuritan, ia kemudian kembali masuk kehutan
dan mulai belajar sendiri dan membuat patung Drona serta memujanya dan
menghormati sebagai seorang murid yang sedang menimba ilmu pada sang guru.
Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalawya menjadi seorang prajurit yang
gagah dengan kecapakan yang luar biasa dalam ilmu memanah, yang sejajar bahkan
lebih pandai daripada Arjuna, murid kesayangan Drona. Suatu hari, ditengah
hutan saat ia sedang berlatih sendiri, ia mendengar suara anjing menggonggong,
tanpa melihat Ekalawya melepaskan anak panah yang tepat mengenai mulut anjing
tersebut. Saat anjing tersebut ditemukan oleh para Pandawa, mereka
bertanya-tanya siapa orang yang mampu melakukan ini semua selain Arjuna.
Kemudian mereka melihat Ekalwya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid dari
Guru Drona.
Mendengar pengakuan Ekalawya, timbul
kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tidak lagi menjadi seorang prajurit
terbaik, ksatria utama. Perasaan gundah Arjuna bisa dibaca oleh Drona, yang
juga mengingat akan janjinya pada Arjuna bahwa hanya Arjuna-lah murid yang
terbaik diantara semua muridnya. Kemudian Drona bersama Arjuna mengunjungi
Ekalawya. Ekalawya dengan sigap menyembah pada sang guru. Namun ia malahan
mendapat amarah atas sikap Ekalawya yang tidak bermoral, mengaku sebagai murid
Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diangkat murid. Dalam
kesempatan itu pula Drona meminta Ekalwya untuk melakukan Dakshina, permintaan
guru kepada muridnya sebagai tanda terima kasih seorang murid yang telah
menyelesaikan pendidikan. Drona meminta supaya ia memotong ibu jarinya, yang
tanpa ragu dilakukan oleh Ekalawya serta menyerahkan ibu jari kanannya kepada
Drona, meskipun dia tahu akan akibat dari pengorbanannya tersebut, ia akan kehilangan
kemampuan dalam ilmu memanah. Ekalawya menghormati sang guru dan menunjukkan
“Guru-bhakti”. Namun tidak setimpal dengan apa yang didapatkannya yang akhirnya
kehilangan kemampuan yang dipelajari dari “Sang Guru”. Drona lebih mementingkan
dirinya dan rasa ego untuk menjadikan Arjuna sebagai prajurit utama dan tetap
yang terbaik.
Kematian Ekalawya termuat dalam
Srimad Bhagawatam. Ekalawya bertempur untuk Raja Jarasanda dalam peperangan
melawan Sri Kresna dan Balarama, dan terbunuh dalam pertempuran oleh pasukan
Yadawa.
Versi Jawa Ekalawya
Dalam
pewayangan Jawa, Ekalawya atau Ekalaya atau Ekalya (dalam cerita pedalangan
dikenal pula dengan nama “Palgunadi”) adalah Raja negara Paranggelung. Ekalaya
mempunyai isteri yang sangat cantik dan sangat setia bernama Dewi Anggraini,
puteri hapsari (bidadari) Warsiki.
Ekalaya seorang raja kesatria, yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menekuni ilmu perang. Ia sangat sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya. Ekalaya berwatak jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya.
Ekalaya adalah seseorang yang gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Prabu Ekalaya mendapatkan bisikan ghaib untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang kebetulan hanya dimiliki oleh Resi Drona. Sedangkan Sang Resi sudah berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain melainkan kepada para Pandawa dan Korawa saja. Dengan kegigihannya Prabu Ekalaya belajar sendiri dengan cara membuat patung Sang Resi dan belajar dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut.
Istri Prabu Ekalaya sangat cantik jelita sehingga membuat Arjuna berhasrat padanya, Dewi Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan Arjuna. Prabu Ekalaya mempertahankan haknya sehingga bertarung dengan Arjuna yang menyebabkan Arjuna sempat mati yang kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna
Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh ‘patung’ Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiaanya, Ekalaya berjanji akan membalas kematiannya pada Resi Drona.
Dalam perang Bharatayuddha, kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena, kesatria Panchala, yang memenggal putus kepala Resi Drona hingga menemui ajalnya.
Ekalaya seorang raja kesatria, yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menekuni ilmu perang. Ia sangat sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya. Ekalaya berwatak jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya.
Ekalaya adalah seseorang yang gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Prabu Ekalaya mendapatkan bisikan ghaib untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang kebetulan hanya dimiliki oleh Resi Drona. Sedangkan Sang Resi sudah berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain melainkan kepada para Pandawa dan Korawa saja. Dengan kegigihannya Prabu Ekalaya belajar sendiri dengan cara membuat patung Sang Resi dan belajar dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut.
Istri Prabu Ekalaya sangat cantik jelita sehingga membuat Arjuna berhasrat padanya, Dewi Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan Arjuna. Prabu Ekalaya mempertahankan haknya sehingga bertarung dengan Arjuna yang menyebabkan Arjuna sempat mati yang kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna
Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh ‘patung’ Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiaanya, Ekalaya berjanji akan membalas kematiannya pada Resi Drona.
Dalam perang Bharatayuddha, kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena, kesatria Panchala, yang memenggal putus kepala Resi Drona hingga menemui ajalnya.
===========
Karna yang ingin belajar di bawah
bimbingan Drona juga ditolak dengan alasan bahwa Karna tidak berasal dari kasta
kesatria. Karena merasa terhina, Karna belajar kepada Parasurama dengan
menyamar sebagai brahmana.
Saat para Korawa dan Pandawa
menyelesaikan pendidikannya, Drona menyuruh agar mereka menangkap Raja Drupada
yang memerintah Kerajaan Panchala dalam keadaan hidup-hidup. Duryodana,
Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu mengerahkan tentara Hastinapura untuk
menggempur Kerajaan Panchala, sementara Pandawa pergi ke Kerajaan Panchala
tanpa angkatan perang. Arjuna menangkap Drupada dan membawanya ke hadapan
Drona. Drona mengambil separuh dari wilayah kekuasaan Drupada, dan separuhnya
lagi dikembalikan kepada Drupada. Dengan dendam membara, Drupada melaksanakan
upacara untuk memohon anugerah seorang putera yang akan membunuh Drona dan
seorang puteri yang akan menikahi Arjuna. Maka, lahirlah Drestadyumna, yang
kelak diperang Bharatayuddha akan membunuh Drona dan Dropadi yang menikahi
Pandawa.
Versi Jawa Resi Drona
Resi
Drona berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi
kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat
mahir dalam berperang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah
keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia
mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Keris Cundamanik dan panah
Sangkali (diberikan kepada Arjuna).
Bhagawan
Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana, putera
Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara
seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Beliau adalah guru dari
para Korawa dan Pandawa. Murid kesayangannya adalah Arjuna. Resi Drona menikah
dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh
seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan
Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari
kekuasaan Prabu Drupada.
Dalam
perjalanannya mencari Sucitra, ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong
oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan
itu akan berakhir bila ada seorang satria mencintainya dengan tulus. Karena
pertolongannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda
betina itu. Namun karena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda
Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan
tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu kuda), yang kemudian diberi nama
Bambang Aswatama.
Setelah
bertemu Sucitra yang telah menjadi raja dan bergelar Prabu Drupada, ia tidak
diakui sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian
balik menghina Raja Drupada. Namun Mahapatih Gandamana (dulu adalah Patih di
Hastinapura, saat pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan
yang tidak seimbang. Meskipun Kumbayana sangat sakti ternyata kesaktiannya
masih jauh di bawah Gandamana yang memiliki Aji Bandung Bondowoso (ajian ini
diturunkan pada murid tercintanya, Raden Bratasena) yang memiliki kekuatan
setara dengan seribu gajah.
Kumbayana
menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak. Namun dia tidak mati dan
ditolong oleh Sangkuni yang bernasib sama (baca sempalan MahaBharata yang
berjudul Gandamana Luweng). Akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya
mendidik anak-anak keturunan Bharata (Pandawa dan Korawa).
Dalam
perang Bharatayuddha, Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat
menentukan formasi perang.
Hari
Ke-11, Duryodana mengangkat Drona sebagai
panglima tertinggi pasukan Korawa. Karna dan Duryodana berencana untuk
menangkap Yudistira hidup-hidup. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Drona ingin
menangkap Yudistira hidup-hidup untuk membuat Duryodana senang. Membunuh
Yudistira di medan laga hanya membuat para Pandawa semakin marah, sedangkan
dengan adanya Yudistira para Pandawa mendapatkan strategi perang. Drona
membantu Karna dan Duryodana untuk menaklukkan Yudistira. Ia memanah busur
Yudistira hingga patah. Para Pandawa cemas karena Yudistira akan menjadi
tawanan perang. Melihat hal itu, Arjuna turun tangan dan menghujani Drona
dengan panah dan menggagalkan rencana Duryodana. Usaha tersebut tidak berhasil
karena Arjuna selalu melindungi Yudistira. Pasukan yang dikirim oleh Duryodana
untuk membinasakan Arjuna selalu berhasil ditumpas oleh para ksatria Pandawa
seperti Bima dan Satyaki.
Hari
Ke-12, Setelah menerima kegagalan, Drona
yakin bahwa rencana untuk menaklukkan Yudistira sulit diwujudkan selama Arjuna
masih ada. Raja Trigarta — Susharma — bersama dengan 3 saudaranya dan 35 putera
mereka berada di pihak Korawa dan mencoba untuk membunuh Arjuna atau
sebaliknya, mati di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada hari kedua
belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak berhasil sehingga gugur
satu persatu. Semakin hari kekuatan para Pandawa semakin bertambah dan
memberikan pukulan yang besar kepada pasukan Korawa.
Untuk menghancurkan mereka, Duryodana
mencoba memanggil Bhagadatta, Raja Pragjyotisha. Bhagadatta merupakan putera
dari Narakasura, raja jahat yang dibunuh oleh Kresna beberapa tahun sebelumnya.
Bhagadatta memiliki ribuan mammoth, gajah yang berukuran sangat besar sebagai
kekuatan pasukannya. Bhagadatta merupakan ksatria terkuat di antara seluruh
pasukan penunggang gajah di dunia. Bhagadatta mencoba menyerang Arjuna dengan
ribuan gajahnya. Pertempuran terjadi dengan sangat sengit. Pada hari kedua
belas, setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta dan
Susharma gugur di tangan Arjuna.
Hari
ke-13, pihak Korawa mengeluarkan tantangan
dengan mengeluarkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha.
Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu
bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.
Namun, pada hari itu, Kresna dan
Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah
menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk
menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang
bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara
keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap
dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu
mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda
keluar dari formasi tersebut.
=======
Abimanyu adalah putera Arjuna dari istrinya yang bernama
Subadra. Abimanyu terdiri dari dua kata abhi (berani) dan man’yu (tabiat).
Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman’yu secara harfiah berarti “ia yang
memiliki sifat tak kenal takut” atau “yang bersifat kepahlawanan”.
Saat belum lahir karena berada dalam
rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi
mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. MahaBharata
menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan Kresna yang sedang
membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara mengenai cara
memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang
bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari
formasi itu.
Abimanyu menghabiskan masa kecilnya
di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama
Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan
Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk
mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat
pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan
masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya.
Ditetapkan bahwa Abimanyu-lah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam pertempuran
besar di Kurukshetra Ia baru berusia enam belas tahun dan merupakan kesatria
termuda dari pihak Pandawa.
Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata
ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani
dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu
melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia
dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap
ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.
Pada hari penting itu, Abimanyu
menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara
dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka
dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu
menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal
sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.
Di dalam formasi tersebut, Abimanyu
bertarung sendirian. Ia dikepung oleh para ksatria Korawa dan terdesak,
sementara ksatria-ksatria Pandawa yang ingin menyelamatkan Abimanyu dihadang
oleh Jayadrata.
Abimanyu membunuh dengan bengis
beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana.
Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan
menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal
menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan
busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya
dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk
bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan
perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu
bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai
hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera
Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.
Arjuna terkejut dan pingsan setelah
mendengar kematian Abimanyu. Atas penjelasan para ksatria Pandawa, Abimanyu
dikurung dalam formasi Cakrawyuha dan dibunuh dengan serangan serentak.
Beberapa ksatria ingin membantu dan menyelamatkan Abimanyu, namun dihadang oleh
Jayadrata. Mendengar hal itu,
Berita kematian Abimanyu membuat
Arjuna terkejut dan Pingsan, Ia sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, bahwa
seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi
Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan
membunuh Jayadrata pada keesokan harinya sebelum matahari tenggelam. Apabila
tidak berhasil maka ia akan membakar diri.
Abimanyu adalah inkarnasi dari putera
Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian
puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya
selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya.
Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran.
Putera Abimanyu, yaitu Parikesit dari
ibu bernama Uttara, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-satunya
kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan
garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai kesatria yang
terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan
dalam usia yang masih sangat muda.
Versi Jawa Abimanyu
Dikisahkan
Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang
menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja
Hastina. Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka
Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana.
Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi
Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13
orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa,
Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati,
Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan
makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat “Wahyu Hidayat”,
yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat
“Wahyu Cakraningrat”, suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.
Abimanyu
mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang,
hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan
ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan
mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian
Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua
orang istri, yaitu:
§ Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, Raja Negara
Dwarawati dengan Dewi Pratiwi;
§ Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni
Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputera Parikesit.
Abimanyu
gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya
mendahului gugur, pada saat itu kesatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan
laga dan menguasai strategi perang hanya tiga orang yakni Bima, Arjuna dan
Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata
Kuntawijayandanu. Bima dan Arjuna dipancing oleh kesatria dari pihak Korawa
untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.
Ketika
tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi
perang, dia maju sendiri ketengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi
mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk
bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu
terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya arang
kranjang = banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai
senjata di tubuhnya. Konon tragedi itu merupakan risiko pengucapan sumpah
ketika melamar Dewi Utari, bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah
beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang
Bharatayuddha. Abimanyu berbohong karena ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti
Sundari.
Dengan
senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi
tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putera mahkota
Hastinapura (Laksmanakumara putera Duryodana) dengan melemparkan keris
Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya. Pada saat itu pihak
Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang
ada didadanya, kemudian Abimanyu pun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih
Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.
Kutipan di bawah ini diambil dari
Kakawin Bharatayuddha, yang menceritakan pertempuran terakhir Sang Abimanyu.
Ngkā Sang Dharmasutā təgəg mulati tingkahi gəlarira nātha Korawa, āpan tan hana Sang Wrəkodara Dhanañjaya wənanga rumāmpakang gəlar. Nghing Sang Pārthasutābhimanyu makusāra rumusaka gəlar mahā dwija, manggəh wruh lingirāng rusak mwang umasuk tuhu i wijili rāddha tan tama
Pada saat itu Yudistira tercengang
melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan Arjuna tak ada padahal
merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna, yaitu Abimanyu yang
bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia
yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu
bagaimana cara keluar dari formasi tersebut.
Sāmpun mangkana çighra sāhasa masuk
marawaça ri gəlar mahā dwija. Sang Pārthātmaja çūra
sāra rumusuk sakəkəsika linañcaran panah, çirṇa ngwyuha lilang təkap Sang Abhimanyu təka ri kahanan Suyodhana. Ḍang Hyang Droṇa Krəpāpulih karaṇa Sang
Kurupati malayū marīnusi.
Setelah demikian, mereka segera
membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut dengan dahsyat. Sang
Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan
panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke
pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan,
sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi.
Ṇda tan dwālwang i çatru çakti
mangaran Krətasuta sawatək Wrəhadbala. Mwang Satyaçrawa çūra mānta
kəna tan panguḍili pinanah linañcaran. Lāwan wīra wiçesha putra Kurunātha mati malara
kokalan panah. Kyāti ng Korawa wangça
Lakshmanakumāra ngaranika kaish Suyodhana.
Dengan ini tak
dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan
keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak
sebelum dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera
Raja Korawa yang berani juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut
sangat terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Laksmanakumara, yang disayangi
Suyodhana.
Ngkā ta krodha sakorawālana manah
panahira lawan açwa sarathi. Tan wāktān tang awak tangan suku gigir ḍaḍa wadana linaksha kinrəpan. Mangkin Pārthasutajwalāmurək anyakra makapalaga punggəling laras. Dhīramūk mangusir ỵaçānggətəm atễn pəjaha makiwuling Suyodhana.
Pada waktu itu
seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka
memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki,
punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu
makin semangat. Ia memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan
serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama.
Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Suyodhana.
Ri pati Sang Abhimanyu ring raṇāngga. Tənyuh araras kadi çéwaling tahas mas.
Hanana ngaraga kālaning pajang lèk. Çinaçah alindi
sahantimun ginintən.
Ketika Abimanyu
terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut
dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah
tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.
Hari
ke 14, Jayadrata adalah seorang raja di
Kerajaan Sindhu. Dia menikahi Dursala, adik perempuan Korawa bersaudara. Raja
Sindhu – Jayadrata – memihak Duryodana dalam perang di Kurukshetra. Jayadrata
merupakan tokoh penting di balik pembunuhan Abimanyu.
Jayadrata menghina Dropadi, istri
para Pandawa, karena berusaha menculik dan mengawininya. Setelah Arjuna memburu
dan menangkapnya hidup-hidup, nyawanya diselamatkan oleh Yudistira, dan ia
dijadikan budak. Kemudian Bima mencukur rambutnya sehingga Jayadrata botak.
Karena dendam terhadap perlakuan tersebut, Jayadrata melakukan tapa ke hadapan
Siwa. Ia memohon kekuatan untuk menaklukkan Pandawa, namun Siwa mengatakan
bahwa itu hal yang mustahil – namun ia menganugerahkan Jayadrata agar mampu
mengalahkan seluruh Pandawa bersaudara pada hari pertama – kecuali Arjuna.
Maka, akhirnya Arjuna berhasil mengalahkan Jayadrata.
Atas kematian Abimanyu di hari ke 13,
Arjuna akan berusaha membalas dendam dan menepati sumpahnya untuk membunuh
Jayadrata sebelum matahari terbenam apabila ia tidak berhasil ia akan membakar
diri.
Menanggapi hal itu, pihak Korawa
menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria
mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata,
namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam,
Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan
kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap
seolah-olah matahari sudah tenggelam. Jayadrata menjadi lega. Pihak Korawa
maupun Pandawa mengira hari sudah malam dan sesuai aturan, mereka segera
menghentikan peperangan dan mulai beranjak untuk kembali ke kubu masing-masing
padahal saat itu, kereta Arjuna sudah dekat dengan kereta Jayadrata.
Arjuna tertunduk lemas dan bersiap
menunaikan sumpahnya sementara Jayadrata semakin gembira dan pongahnya melihat
itu semua. Tiba-tiba matahari muncul kembali. Ternyata hari belum malam. Mereka
semua terperanjat dan di saat itulah Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan
kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan
meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari
sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya
untuk membunuh Jayadrata.
Setelah perang berakhir, Arjuna
bertarung dengan pasukan Sindhu ketika mereka menolak untuk mengakui Yudistira
sebagai Maharaja dunia. Ketika Dursala (satu-satunya anak perempuan Korawa),
istri Jayadrata, keluar untuk melindungi puteranya, yaitu raja muda penerus
tahta Sindhu, Arjuna menghentikan pertarungan.
Versi JawaJayadrata
Jayadrata
adalah seorang ksatria yang sangat sakti dari pihak Korawa. Misteri
menyelubungi asal usulnya. Kisahnya bermula ketika Wrekudara lahir, ari-ari
yang membungkusnya dibuang. Pertapa tua, yaitu Bagawan Sapwani, secara
kebetulan memungutnya, mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang bocah
lelaki, yang tumbuh dewasa dengan nama Jayadrata. Dari pandangan sekilas saja
tampak jelas kemiripan kekerabatan dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden
Gatotkaca.
Ketika
Jayadrata beranjak dewasa, ia dibujuk untuk datang ke Hastina oleh Sangkuni
yang cerdik, yang memandang perlu seorang sekutu yang seperti itu untuk melawan
Pandawa. Di sana Jayadrata diberi suatu kedudukan yang tinggi dan dikawinkan
dengan saudara perempuan Duryodana, Dewi Dursilawati. Hal ini mengikatnya
dengan kuat pada pihak Kiri. Dalam Perang Bharatayuddha, dialah yang membunuh
ksatria muda Abimanyu, dan setelah itu pada gilirannya ia dibunuh oleh Arjuna
yang kehilangan anaknya. Karakter Jayadrata adalah jujur, setia, dan terus
terang bagaikan Gatotkaca di antara Korawa. Ia mahir mempergunakan panah dan
sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia diberi pusaka gada bernama Kyai
Glinggang.
Jayadrata
nama sesungguhnya adalah Arya Tirtanata atau Bambang Sagara. Arya Tirtanata
kemudian dinobatkan sebagai raja negara Sindu, dan bergelar Prabu Sinduraja.
Karena ingin memperdalam pengetahuannya dalam bidang tata pemerintahan dan tata
kenegaraan, Prabu Sinduraja pergi ke negara Hastina untuk berguru pada Prabu
Pandu Dewanata. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri, ia menukar namanya
dengan nama patihnya, Jayadrata. Di negara Hastina Jayadrata bertemu dengan
Keluarga Korawa, dan akhirnya diambil menantu Prabu Dretarastra, dikawinkan
dengan Dewi Dursilawati dan diangkat sebagai Adipati Buanakeling. Dari
perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Arya Wirata dan Arya
Surata.
Gatotkaca, arti harfiahnya “memiliki kepala seperti kendi”
putra Bimasena atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Nama ini terdiri dari dua
kata, yaitu ghaṭ(tt)am yang berarti “buli-buli” atau
“kendi”, dan utkacha yang berarti “kepala”. Nama ini diberikan kepadanya karena
sewaktu lahir kepalanya konon mirip dengan
buli-buli atau kendi. Ibunya yang bernama Hidimbi, seorang Gadis Mongol dari
India Timur, ia dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Gatotkaca menikah
dengan seorang wanita bernama Ahilawati. Dari perkawinan ini lahir seorang
putra bernmama Barbarika. Baik Gatotkaca ataupun Barbarika sama-sama gugur
dalam perang besar di Kurukshetra, namun di pihak yang berbeda.
Pada bagian Ghattotkacabadhaparwa.
dikisahkan bagaimana Gatotkaca gugur dalam perang di Kurukshetra atau
Baratayuda pada malam hari ke-14. Perang besar tersebut adalah perang saudara
antara keluarga Pandawa melawan Korawa, di mana Gatotkaca tentu saja berada di
pihak Pandawa.
Gatotkaca dikisahkan sebagai seorang
raksasa memiliki kekuatan luar biasa terutama pada malam hari. Setelah kematian
Jayadrata di tangan Arjuna, pertempuran seharusnya dihentikan untuk sementara
karena senja telah tiba. Namun Gatotkaca menghadang pasukan Korawa kembali ke
perkemahan mereka.
Pertempuran pun berlanjut. Semakin
malam kesaktian Gatotkaca semakin meningkat. Prajurit Korawa semakin berkurang
jumlahnya karena banyak yang mati di tangannya. Seorang sekutu Korawa dari
bangsa rakshasa bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca menghajarnya
dengan kejam karena Alambusa telah membunuh sepupunya, yaitu Irawan putra
Arjuna pada pertempuran hari kedelapan. Tubuh Alambusa ditangkap dan dibawa
terbang tinggi, kemudian dibanting ke tanah sampai hancur berantakan.
Karna tampil dalam perang sebagai
pendamping Drona. Pada hari ke-14 malam, perang tetap terjadi sehingga
melanggar aturan yang telah disepakati. Duryodana menderita luka parah saat
menghadapi Gatotkaca, putera Bimasena. Duryodana pemimpin Korawa merasa ngeri
melihat keganasan Gatotkaca. Ia memaksa Karna menggunakan senjata pusaka
pemberian Dewa Indra. Semula Karna menolak karena pusaka tersebut hanya akan
dipergunakannya untuk membunuh Arjuna saja. Namun karena terus didesak, Karna
terpaksa melemparkan pusakanya menembus dada Gatotkaca. Sesuai perjanjian
dengan Indra, pusaka Konta pun musnah hanya dalam sekali penggunaan.
Para Pandawa, terutama Bimasena
terkejut menyaksikan kekalahan Gatotkaca. Bimasena berteriak menyuruh Gatotkaca
memperbesar ukuran tubuhnya, sebagaimana lazimnya ilmu yang dimiliki kaum
rakshasa. Dalam keadaan sekarat, Gatotkaca melaksanakan perintah ayahnya.
Tubuhnya membesar sampai ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa ribuan
prajurit Korawa.
Dalam barisan Pandawa hanya Kresna
yang tersenyum melihat kematian Gatotkaca. Ia gembira karena Karna telah
kehilangan pusaka andalannya sehingga nyawa Arjuna dapat dikatakan relatif
aman.
Versi Jawa Gatotkaca
Ibu
Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan
sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri
bangsa rakshasa. Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang
di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan “otot kawat
tulang besi”. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu
tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun.
Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi
menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima
Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.
Karena
wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata
Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya,
Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk
merebut senjata Konta.
Pertarungan
pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan
Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung
pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk
memotong tali pusar Tetuka.
Akan
tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka.
Kresna yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba
akan menambah kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka
akan tewas di tangan pemilik senjata Konta.
Tetuka
kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang
diserang musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus
rajanya yang bernama Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba.
Bayi Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya
mati, Tetuka justru semakin kuat.
Karena
malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga.
Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung
Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke
dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang
laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke
dalam dirinya.
Tetuka
kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan
taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan.
Kresna kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan
sifat-sifat kaum raksasa.
Batara
Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping
Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka,
yang sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan
pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan
Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.
Gatotkaca
menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil menikahi
Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya,
bernama Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.
Dari
perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia
menjadi panglima perang Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit,
putra Abimanyu atau cucu Arjuna.
Versi
lain mengisahkan, Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu
Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan
Jayasumpena.
Gatotkaca
versi Jawa adalah manusia setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya
adalah Arimbi putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Tremboko tewas di
tangan Pandu ayah para Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia
kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.
Arimba
sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun
Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah
diperistri Bima. Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka
setelah dewasa.
Arimbi
memiliki lima orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan,
Brajawikalpa, dan Kalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi
tempat tinggal di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang
menghasut Brajadenta bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan
milik Gatotkaca.
Akibat
hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan
Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak
Gatotkaca bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun
tewas bersama. Roh keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak
tangan Gatotkaca kiri dan kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka
tersebut.
Setelah
peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar
Patih Prabakiswa.
Perang
di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan nama Baratayuda. Kisahnya
diadaptasi dan dikembangkan dari naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis
tahun 1157 pada zaman Kerajaan Kadiri.
Versi
pewayangan mengisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama
Abimanyu putra Arjuna. Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari putri Kerajaan
Wirata, di mana ia mengaku masih perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah
menikah dengan Sitisundari putri Kresna.
Sitisundari
yang dititipkan di istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi.
Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk
mengajaknya pulang. Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa
bulat kerdil tapi berhati polos dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa
cemburu. Abimanyu terpaksa bersumpah jika benar dirinya telah beristri selain
Utari, maka kelak ia akan mati dikeroyok musuh.
Kalabendana
kemudian menemui Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun Gatotkaca
justru memarahi Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan rumah
tangga sepupunya itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala
Kalabendana. Mekipun perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya
itu tewas seketika.
Ketika
perang Baratayuda meletus, Abimanyu benar-benar tewas dikeroyok para Korawa
pada hari ke-13. Esoknya pada hari ke-14 Arjuna berhasil membalas kematian
putranya itu dengan cara memenggal kepala Jayadrata.
Duryudana
sangat sedih atas kematian Jayadrata, adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna
menyerang perkemahan Pandawa malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat
meskipun hal itu melanggar peraturan perang.
Mendengar
para Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca
untuk menghadang. Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma yang ia
pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang.
Pertempuran
malam itu berlangsung mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa
yang bernama Lembusa. Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu
Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama Lembusura
dan Lembusana.
Gatotkaca
akhirnya berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun
menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna
merasa kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan
Gatotkaca yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.
Gatotkaca
mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah
Kalabendana tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita
dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.
Gatotkaca
pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa
digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar
Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan
sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.
Gatotkaca
telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah
Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur
berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa.
Akibatnya, pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para
prajurit Korawa yang berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa jumlah
mereka yang mati.
Hari
ke 15, Sebelum perang, Begawan Drona
pernah berkata, “Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata
adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui
kejujurannya”.
Dalam kitab Dronaparwa juga
diceritakan tentang siasat Sri Kresna yang menyuruh agar Bima membunuh gajah
bernama Aswatama. Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak
sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan
tersebut kepada Yudistira, dan Yudistira berkata bahwa Aswatama mati.
Berpedoman kepada petunjuk tersebut,
Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama,
nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah
tersebut lalau berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut
dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira
hanya berkata, “Aswatama mati”. Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia
berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia
(dalam keterangannya ia berkata, “naro va, kunjaro va” — “entah gajah atau
manusia”). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar
Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan
semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha.
Benarlah, setelah mendengar hal
tersebut, Drona kehilangan semangat berperang sehingga meletakkan senjatanya.
Melihat hal itu, ia dipenggal oleh Drestadyumna. Setelah kematian Drona,
Aswatama, putera Bagawan Drona, hendak membalas dendam.
Versi Jawa kematian Resi Drona
Resi
Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumena, putera
Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat
dendam Prabu Ekalaya, raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam
tubuh Drestadyumena. Akan tetapi sebenarnya kejadian itu disebabkan oleh taktik
perang yang dilancarkan oleh pihak Pandawa dengan tipu muslihat karena
kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan sang Resi.
Karnaparwa, kitab ke-8 Mahabharata,
menceritakan sang Salya yang menjadi kusir kereta sang Karna. Akhirnya sang
Karna dibunuh oleh sang Arjuna dalam perang tanding.
Kitab ini tidak didapati dalam bahasa
Jawa Kuna.
Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17.
Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17.
—————
Kitab Karnaparwa merupakan kitab
kedelapan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya
Karna sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Bagawan Drona yang
telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca gugur, Arjuna dan Bima mengamuk.
Mereka banyak membantai pasukan Korawa. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Bima
berhasil membunuh Dursasana dan merobek dadanya untuk meminum darahnya.
Kemudian Bima membawa darah Dursasana kepada Dropadi. Dropadi mengoleskan darah
tersebut pada rambutnya, sebagai tanda bahwa dendamnya terbalas. Kemattian
Dursasana mengguncang perasaan Duryodana. Ia sangat sedih telah kehilangan
saudaranya yang tercinta tersebut. Semenjak itu ia bersumpah akan membunuh
Bima.
Untuk mengimbangi Arjuna yang
mempunyai Krisna sebagai kusir kereta maka Karna meminta Salya bertindak
sebagai kusir keretanya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir kereta Karna.
Kemudian terjadi pertengkaran antara Salya dengan Karna.
Versi Jawa
Menurut
cerita pedalangan Yogyakarta ia tewas dalam kisah Bratayuda babak 5 lakon
Timpalan / Burisrawa Gugur atau lakon Jambakan / Dursasana Gugur. Menurut
tradisi Jawa ia berkediaman di wilayah Banjarjungut, peninggalan mertuanya.
Pertengkaran
yang terjadi karena Salya selaku mertua Karna merasa diperlakukan dengan kurang
sopan. Namun Karna berhasil menghibur kemarahan mertuanya itu dengan mengatakan
bahwa derajat Salya justru disejajarkan dengan Kresna yang menjadi kusir
Arjuna. Adapun Kresna merupakan raja agung, titisan Batara Wisnu.
Hari
ke-16, Karna berhasil mengalahkan
Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun tidak sampai membunuh mereka
sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna kemudian bertanding melawan
Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain.
Ketika panah Karna melesat menuju
kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan
saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna.
Versi
Jawa
Ketika
Karna mengincer leher Arjuna menggunakan panah Badal Tulak, diam-diam Salya
memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah
Badal Tulak meleset hanya mengenai rambut Arjuna.
Pertempuran tersebut akhirnya
tertunda oleh terbenamnya matahari.
Hari
ke-17, perang tanding antara Karna dan
Arjuna dilanjutkan kembali. Setelah bertempur dalam waktu yang cukup lama,
akhirnya kutukan Parasurama menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba lupa terhadap
semua ilmu yang diajarkan gurunya tersebut. Kutukan kedua terjadi pula. Salah
satu roda kereta Karna tiba-tiba terbenam ke dalam lumpur. Ia pun turun ke
tanah untuk mendorong keretanya itu Ia minta Salya membantunya tapi kusir
keretanya itu menolak untuk mendorong dan membantunya. Karna turun tangan
sendiria untuk mengangkat kembali keretanya yang terperosok.
Arjuna membidiknya menggunakan panah
Pasupati. Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna menghentikan penyerangannya
bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Kresna mendesak agar Arjuna segera
membunuh Karna karena ini merupakan satu-satunya kesempatan. Karna meminta
Arjuna menaati peraturan karena saat itu dirinya sedang berada di bawah kereta,
dan dalam keadaan tanpa senjata.
Kresna membantah kata-kata Karna.
Menurutnya, Karna lebih sering berbuat curang daripada Arjuna dalam peperangan,
seperti misalnya saat ia ikut serta mengeroyok Abimanyu, ataupun membunuh
Gatotkaca pada malam hari. Kresna kembali mendesak Arjuna untuk bertindak
dengan cepat. Arjuna pun melepaskan panah Pasupati yang segera melesat
memenggal leher Karna. Kutukan ketiga menjadi kenyataan, Karna tewas dalam
keadaan lengah tanpa memegang senjata.
Versi Jawa
Setelah kematian Karna, keris
pusakanya yang bernama Kaladite melesat sendiri menyerang Arjuna. Arjuna
menangkisnya menggunakan keris Kalanadah. Kedua pusaka itu pun musnah bersamaan.
Arjuna kemudian mendekati mayat Karna untuk memberikan penghormatan terakhir.
Surtikanti datang ke medan perang dengan diantar oleh Adirata. Melihat suaminya
tewas, Surtikanti melakukan bela pati dengan menikam dadanya sendiri
menggunakan keris. Melihat menantunya tewas bunuh diri, Adirata marah dan
berteriak menantang Arjuna. Bimasena muncul menghardik Adirata. Adirata
ketakutan dan melarikan diri, namun ia terjatuh dan meninggal dunia.
seluruh naskah wiracarita Mahabharata
yang terdiri atas 18 parwa. Bagian ini bercerita tentang klimaks perang besar
antara keluarga Pandawa melawan Korawa yang terjadi di Padang Kurukshetra.
Perang ini dalam pewayangan terkenal dengan sebutan Baratayuda.
Kitab Salyaparwa berisi kisah
pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada
hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan
saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian
dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana
terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana
gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.
Salyaparwa terdiri atas 65 bab. Kitab
ini bercerita tentang pertempuran pada hari ke-18 di mana saat itu pihak Korawa
telah kehilangan banyak pasukan. Kisah diawali dengan ratapan Duryodana atas
kematian Karna, panglima andalannya pada hari sebelumnya. Ia kemudian
mengangkat Salya sebagai panglima baru untuk melanjutkan peperangan.
Dalam pertempuran hari itu, Salya
akhirnya gugur di tangan Yudistira, pemimpin para Pandawa. Namun kisah
Salyaparwa tidak berakhir sampai di sini. Selanjutnya diceritakan bagaimana
penasihat pihak Korawa yang licik, yaitu Sangkuni tewas di tangan Sahadewa,
adik bungsu Yudistira.
Bagian akhir Salyaparwa mulai bab
ke-32 diberi judul Gadayuddhaparwa, yang berkisah tentang perang tanding antara
Duryodana melawan Bimasena. Perang ini merupakan klimaks dari seluruh rangkaian
Baratayuda. Dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, Duryodana akhirnya
roboh terkena hantaman gada milik Bima.
==========
Sesudah Karna gugur dalam perang Duryodhana
dirundung kesedihan, Bhagavan Krpta memberi saran agar perang dihentikan untuk
menghindari kehancuran lebih lanjut. Tapi duryodhana mengatakan itu semua sudah
terlambat dan ingin melanjutkan pertemburan. Kemudian ia mengusulkan Salya
menjadi seorang senopati, Salya menasehati Duryodhana agar berhenti berperang
dan ia menyanggupi akan menjadi penengah dan penghubung antara Kurawa dan
Pandawa. Aswatama yang memang dari awal tak suka dengan Salya sangat marah dan
menghina Salya hingga terjadi perkelahian dikeduanya. Dan delerai oleh
Duryodhana, karena merasa berhutang budi kepada Duryodhana Salyapun bersedia
menjadi senopati.
Keesokan harinya yaitu pada perang
yang ke delapan belas, Prabu Salya berhadapan dengan Arjuna dan Bima berhadapan
dengan adik-adik Duryhodana yang hanya tinggal lima orang. Sebelum tengah hari
Bima telah berhasil membunuh kelimanya. Bima sangat merasa puas karena
dendamnya terhadap Korawa hampir dapat terlampiaskan hanya tinggal Duryodhana
saja yang belum. Tetapi sebelum mencari Duryodhana ada seorang lagi yang
diincarnya yaitu Sakuni. Saat dilihatnya Sakuni sedang berhadapan dengan
Sahadewa. Dengan Teriakan yang nyaring Ia menyuruh Sahadewa untuk Mundur.
Melihat Bima datang, sakuni mulai
takut. Ia berusaha melarikan diri, tetapi Bima berhasil mengejarnyadan
menjambak rambutnya serta membantingnya. Sakuni berusaha bangun, entah untuk
melawan atau larti lagi. Bima lalu mengeluarkan unek-uneknya, “Hai Sakuni,
peperangan ini terjadi akibat mulutmu yang busuk. Aku telah bersumpah untuk
merobek mulutmu yang busuk.”
Sakuni merasa bahwa tidak ada gunanya
lagi Ia melarikan diri. Ia-pun langsung menyerang Bima. Namun dalam beberapa
gerakan saja Ia telah jatuh tertunduk, serangannya mampu ditahan Bima. Bima
kembali mencacinya, “Terlalu enak bagimu jika kau kubunuh dengan sekali pukul.
Karena kaulah yang menjadi sumber segala bencana ini. Dengan akal busukmukau
selalu berusaha mmelenyapkan Pandawa. Sekarang rasakan penderitaanmu.” Bima
kembali menjambak rambut Sakuni sambil memakinya sepuas hati. Setelah itu
tangannya dipatahkan, matanya dibutakan, dan akhirnya mulutnya dirobek sampai
Ia menjerit melepas nyawa.
Sementara itu, pertempuran antara
Salya dengan Arjuna berlangsung sengit. Lama kelamaan Salya makin terdesak,
Salyapun langsung mengeluarkan Aji Candra Bhairawa. Tubuh Salya mengeluarkan
raksasa yang langsung menyerang Arjuna. Raksasa itu langsung dipanah oleh
Arjuna tepat mengenai perutnya. Raksasa itu tidak mati, bahkan Raksasa itu
mengeluarkan darah dan darahnya berubah menjadi Raksasa lagi. Sehingga Arjuna
diserang oleh dua Raksasa. Arjuna hendak memanahnya lagi namun dilarang oleh
Krisna dan Ia meminta Arjuna untuk mundur.
Bima yang melihat adiknya didesak
oleh dua Raksasa mulai menghadang raksasa tersebut. Dengan Gadanya ia memukuli Raksasa-raksasa
tadi. Tetapi Raksasa yang dipukul tadi menjadi banyak Raksasa karena tiap darah
yang keluar berubah menjadi raksasa baru. Dengan demikian Bima direbut oleh
banyak raksasa. Dan raksasa itu pula menyerang seluruh prajurit Pandawa.
Pada saat itu, hari telah menjelang
tengah hari, Krisnha lalu mendekati Yudhistira dan menyuruh Yudhistirauntuk
melawan Salya. Yudhistirapun maju dengan senjata Kalimasada. Tepat tengah hari
Kalimasada dilemparkan dan tepat mengenai kepala Salya. Dan akhirnya Salya gugur,
dengan itu raksasa-raksasa Candra Bairawapun lenyap dengan seketika. Gugurnya
Salya dan lenyapnya para raksasa disambut dengan gembira oleh pasukan Pandawa,
sebaliknya prajurit Korawa menjadi putus asa. Mereka kehilangan semangat untuk
bertempur, mengingat para pemimpin mereka sudah gugur. Mereka berlari
menyelamatkan diri. Sedangkan Duryodhana melarikan diri setelah mengetahui
gugurnya Salya dan kehancuran prajurutnya serta tak seorangpun yang bisa
diandalkannya lagi. Duryodhana bersembunyi di sebuah telaga. Sementara itu para
Pandawa mencari Duryodhana di medan perang, namun tidak ditemukan.
Setelah mengetahui Prabu Salya gugur,
salah seorang prajuritnya meninggalkan medan pertempuran dan melapor pada Dewi
Setyawati. Mendapatkan laporan tentang suaminya yang gugur Ia kemudian pingsan.
Setelah siuman Ia kemudian berpesan kepada dayang-dayangnya bahwa Ia akan
mencari jenazah suaminya tersebut serta akan melakukan satya. Sugandika yang
menjadi dayangnya ikut dengan Setyawati, setelah membersihkan diri dan
berpakain serba putih mereka berjalan menuju bekas arena pertempuran. Disana Ia
menemukan banyak jenazah dan belum menemukan jenazah suaminya, hingga Ia hampir
putus asa, akhirnya ada petunjuk dari lagit tentang keberadaan jenazah Salya.
Akhirnya Setyawati dan Sugandika melakukan satya.
Atas petunjuk Krisna, Pandawa
menemukan keberadaan Duryodhana bersembunyi. Duryodhana pada saat itu sedang
berendam disebuah telaga. Bima lalu berkata “Hai Duryodhana, ternyata kamu
sudah tidak ksatriya lagi. Kamu meninggalkan medan perang karena takut mati.
Kamu melarikan diri dan bersembunyi disini. Kamu kira aku tak akan bisa
menemukanmu. Kemanapun kamu bersembunyi akan tetap aku kejar. Sekarang
tunjukkanlah sikap kesatryamu. Ayolah kita bertempur sebagai kesatrya.”
Mendengar tantangan Bima seperti itu akhirnya Duryodhana berkata, “Hai Bima dan
kamu Pandawa semua, aku berendam disini bukan karena takut, tapi badanku terasa
panas. Sekarang majulah kalian berlima serta seluruh prajuritmu rebutlah aku.
Aku tidak takut menghadapi kalian semua seorang diri.” Mendengar kata-kata
Duryodhana yang demikian congkak, Krisnapun berkata, “Hai Duryodhana, Pandawa
tetap menjunjung tinggi sifat-sifat kesatrya. Pandawa menjadi tidak kesatrya
bila mengeroyokmu. Oleh karena itu kamu boleh memilih salah satu dari mereka
untuk bertempur denganmu.” Mendengar penjelasan Krisna, Duryodhana menjawab, “
Kalau begitu baiklah, aku akan memilih salah satu. Aku tidak memilih Nakula
atau Sahadewa karena bagiku mereka masih terlalu kanak-kanak. Aku juga tidak
memilih Arjuna karena Ia bersifat banci. Aku juga tidak mau bertempur dengan
Yudhistira yang seperti pendeta. Satu-satunya yang cocok berhadapan denganku
adalah Bima. Disamping antara aku dan Bima cukup seimbang, kebetulan sekali
kami sama-sama bersenjatakan gada.
Setelah dialog tersebut disiapkan
arena untuk perang tanding antara Bima dan Duryodhana. Sebelum perang dimulai,
kebetulan Baladewa datang ke tempat itu. Semua yang ada disana memberi hormat
atas kedatangannya. Duryodhana sangat senang atas kedatangan Baladewa begitu
juga dengan Bima. Baladewa merupakan guru mereka dalam penggunaan senjata gada,
kemudian mereka meminta restu untuk memulai pertempuran. Dan juga Baladewa
diminta untuk menjadi saksi.
Perang antara Duryodhana dan Bima
sangat seru. Setelah beberapa lama Krisna berteriak-teriak memberi semangat.
Bima yang sedang bertempur tertarik mendengar teriakan Krisna lalu menoleh ke
arah Krisna. Saat Bima menoleh Krisna menepuk pahanya dan mematahkan sepotong
ranting. Melihat hal itu Bima lalu teringat akan sumpahnya bahwa Ia akan
mematahkan paha Duryodhana. Oleh karena itu Ia mengusahaakan untuk hal itu,
seketika Duryodhana melompat Ia memukil pahanya. Seketika itu Duryodhana roboh
ke tanah dengan paha yang remuk. Bima lalu menginjak-injak kepalanya dan
memakinya, “Hai Duryodhana, rasakan sekarang hasil perbuatanmu. Inilah
balasanku atas segala kejahatanmu terhadap Pandawa.”
Baladewa yang meihat hai itu jadi
sangat marah. Ia lalu menegur Bima, “hai Bima mengapa kamu menyalahi aturan
perang gada. Bukankah kamu tahu, dalam perang gada tidak boleh memukul dibawah
perut. Kenapa kamu memukul paha, disamping itru perbuatanmu mencaci musuh dan
menginjak kepala musuh yang tek berdaya sudah bukan merupakan sifat kesatrya.
Atas dosamu aku akan menghukummu, bersiaplah menerima pukulan gadaku.”
Krisna segera berlari menghalangi
maksud Baladewa dengan memberikan penjelasan. “Kanda Baladewa, jangan dulu
marah. Bima sengaja memukul paha Duryodhana karena ada alasannya. Pertama,
Duryodhana telah banyak sekali berbuat dosa dan menyebabkan pihak Pandawa
menderita. Kedua, karena Bima telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodhana
atas perlakuannya yang tidak senonoh terhadap Drupadi. Ketiga, Duryodhana telah
terkena kutuk dari Maharsi Metrya, agar pahanya dipatahkan oleh nusuh karena
penghinaannya terhadap Rsi tersebut. Atas tiga hal tersebut harap Kanda menjadi
Maklum.” Setelah mendengar penjelasan tersebut, Baladewapun menjadi maklum dan
meninggalkan tempat tersebut.
Setelah Baladewa pergi, Krisnapun
mengajak para pendawa untuk meninggalkan tempat tersebut. Tetapi sebelum mereka
pergi jauh Duryodhana yang tak berdaya masih bisa mengomeli Krisna yang telah
memberi syarat pada Bima untuk menghantap pahanya, Ia juga menuduh Krisna telah
menyebabkan kematian Bhisma dengan menyuruh Srikandi menghadapi Bhisma. Begitu
pula kematiasn Drona, dengan menyuruh Yudhistira untuk berbohong. Jiga kematian
Karna yang menyuruh Arjuna memanah Karna yang sedang memperbaiki kereta. Juga
kematian Raja Sindu dengan membuat Kurusetra menjadi gelap
Terhadap omelan Duryodhana tersebut
Krisna menjawab bahwa itu adalah akibat dari dosa-dosa Duryodhana sendiri,
seperti meracuni Bima, membakar Pandawa dirumah Gala-gala, permainan judi yang
curang serta mempermalukan Drupadi. Setelah memberi penjelasan tersebut Krisna
dan Pandawa beranjak dari tempat itu, para prajurit langsung disuruh ke kemah
sementara para Pandawa diajak bertirtayatra untuk penyucian diri lahir batin.
Yaitu di telaga Pancaka Tirta, letaknya di tengah hutan dekat dengan medan Kuru
Setra. Telaga ini dibuat oleh Bhagawan Parasu Rama pada zaman dahulu.
Di Hastinapura, Dhrstaarastha
menanyakan bagaimana kematian Duryodhana yang pahanya remuk dipukul dan apa
kata terakhir yang muncul dari mulutnya. Sanjaya menceritakan rintihan-rintihan
Duryodhana kepada Dhrstarastha, juga pesannya kepada krpa, Krtavarma dan
Asvatama serta menginformasikan perintahnya kepada Carvaka tentang saat
terakhir yang sangat menyakitkan. Utusan Duryodhana tiba di perkemahan Asvatama
dan menyampaikan pesan dari Duryodhana. Krpa, Krttavarma dan Aswathama tiba di
medan pertempuran dan melihat pertempuran sudah selesai. Asvathama sangat sedih
hatinya melihat runtuhnya kerajaan besar dibawah pimpinan Duryodhana dan akan
memenuhi janji yang diminta Duryodhana. Sumpah Asvatama dan permintaan
Duryodhana untuk menjadikan Krpa sebagai panglima perang, selanjutnya
perpisahan perpisahan ketiga pahlawan itu dan berakhir dengan kematian
Duryodhana.
==========
Kitab
Salyaparwa merupakan kitab kesembilan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah diangkatnya Salya sebagai panglima perang pasukan Korawa,
menggantikan Karna yang telah gugur. di tangan Arjuna pada hari ke-17, Salya
pun diangkat sebagai panglima baru pihak Korawa. Salya hanya memimpin selama
setengah hari, karena pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Salya
adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka.
Pada
hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun tewas
terkena tombak Yudistira.
Naskah
Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai senjata
bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama
Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan
tiba-tiba berubah menjadi tombak menembus dada Salya.
Kematian
Salya diuraikan pula dalam Kakawin Bharatayuddha. Ketika ia diangkat sebagai
panglima, Aswatama yang menjadi saksi kematian Karna mengajukan keberatan
karena Salya telah berkhianat, yaitu diam-diam membantu Arjuna. Namun, Duryodana
justru menuduh Aswatama bersikap lancang dan segera mengusirnya.
Salya
maju perang menggunakan senjata Rudrarohastra. Muncul raksasa-raksasa kerdil
namun sangat ganas yang jika dilukai justru bertambah banyak. Kresna mengutus
Nakula supaya meminta dibunuh Salya saat itu juga. Nakula pun berangkat dan
akhirnya tiba di hadapan Salya. Tentu saja Salya tidak tega membunuh
keponakannya tersebut. Ia sadar kalau itu semua hanyalah siasat Kresna. Salya
pun dengan jujur mengatakan, Rudrarohastra hanya bisa ditaklukkan dengan jiwa
yang suci.
Kresna
pun meminta Yudistira yang terkenal berhati suci untuk maju menghadapi Salya.
Rudrarohastra berhasil dilumpuhkannya. Ia kemudian melepaskan pusaka
Kalimahosaddha ke arah Salya. Pusaka berupa kitab itu kemudian berubah menjadi
tombak yang melesat menembus dada Salya.
Sementara
itu menurut versi pewayangan Jawa, Rudrarohastra disebut dengan nama
Candabirawa. Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil
mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju
mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah
dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Bahkan, sejak
itu Candabirawa justru berbalik mengabdi kepada Yudistira. Selanjutnya, Puntadewa
melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun tewas
seketika.
Baik
versi Bharatayuddha ataupun versi pewayangan Jawa mengisahkan setelah Salya
tewas, istrinya yaitu Setyawati datang menyusul ke medan pertempuran untuk
melakukan bela pati. Setyawati dan pembantunya yang bernama Sugandika kemudian
bunuh diri menggunakan keris.
Pada
hari ke-18 ini juga Sangkuni bertempur melawan Sahadewa. Dengan mengandalkan
ilmu sihirnya, Sangkuni menciptakan banjir besar melanda dataran Kurukshetra.
Sadewa dengan susah payah akhirnya berhasil mangalahkan Sangkuni. Tokoh licik
itu tewas terkena pedang Sadewa. Menurut versi MahaBharata bagian kedelapan
atau Salyaparwa, Sangkuni tewas di tangan Sahadewa, yaitu Pandawa nomor lima.
Pertempuran habis-habisan antara keduanya terjadi pada hari ke-18. Sangkuni
mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta banjir besar yang menyapu daratan
Kurukshetra, tempat perang berlangsung. Dengan penuh perjuangan, Sahadewa
akhirnya berhasil memenggal kepala Sangkuni. Riwayat tokoh licik itu pun
berakhir.
Versi Jawa
Menurut
Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun 1157,
Sangkuni bukan mati di tangan Sahadewa, melainkan di tangan Bimasena, Pandawa
nomor dua. Sangkuni dikisahkan mati remuk oleh pukulan gada Bima. Tidak hanya
itu, Bima kemudian memotong-motong tubuh Sangkuni menjadi beberapa bagian.
Pada
hari terakhir Baratayuda, Sangkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal
karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima merasa putus asa.
Penasihat
Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan
Sangkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak
terkena Minyak Tala. Bima pun maju kembali. Sangkuni ditangkap dan disobek
duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima.
Ilmu
kebal Sangkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti
Sangkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sangkuni hanya sekarat tetapi tidak
mati.
Pada
sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para Korawa. Dalam
keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani
pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Banowati. Atas nasihat Kresna,
Bima pun mengambil Sangkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada
Duryudana. Duryudana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah
segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya Banowati.
Akibat
gigitan itu, Sangkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana. Ini
membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya bukan istrinya,
melainkan pamannya yaitu Sangkuni yang senantiasa berjuang dengan berbagai cara
untuk membahagiakan para Korawa.
Diceritakan Duryodana yang ditinggal
mati saudara dan sekutunya dan kini hanya ia sendirian sebagai Korawa yang
menyerang Pandawa. Semenjak seluruh saudaranya gugur demi memihak dirinya,
Duryodana menyesali segala perbuatannya dan berencana untuk menghentikan
peperangan.
Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana
bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa didampingi Kresna berhasil
menemukan tempat itu. Ia pun bersedia untuk menyerahkan kerajaannya kepada para
Pandawa agar mampu meninggalkan dunia fana dengan tenang. Sikap Duryodana
tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa. Duryodana pun naik ke darat siap
menghadapi kelima Pandawa sekaligus, sikap itu ditunjukan karena Ia tahu bahwa
Pandawa tidak akan mungkin secara bersama-sama mengeroyoknya.
Yudistira menolak tantangan Duryodhana
karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana
para Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13. Yudistira mengajukan
tawaran, bahwa ia harus bertarung dengan salah satu Pandawa, dan jika Pandawa
itu dikalahkan, maka Yudistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana.
Bima terkejut mendengar keputusan
Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi,
padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira
justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana malu
mendengarkan pembicaraan kakak dan adik ini. Ia menyadari nasi sudah menjadi
bubur dan sekarang saatnya untuk mengakhriri. Meskipun bersifat angkara murka
namun ia juga seorang pemberani.
Duryodana memilih bertarung dengan
senjata gada melawan Bima. Kedua-duanya memiliki kemampuan yang setara dalam
memainkan senjata gada karena mereka berdua menuntut ilmu kepada guru yang
sama, yaitu Baladewa. Pertarungan terjadi dengan sengit, keduanya sama-sama kuat
dan sama-sama ahli bergulat dan bertarung dengan senjata gada. Khasiat mata
sang Ibunda Gandari memanglah hebat tidak ada satupun badan dari Duryodana
dapat dilukai Bima. Bima walaupun bertenaga sangat kuat namun ia tidak kunjung
dapat melukai Duryodana, Bima mulai kehilangan kepercayaan diri dan kelelahan
sementara Duryodana justu semakin meningkat kepercayaan dirinya dan mulai
berusaha untuk membunuh Bima. Bima mulai mengalami banyak luka di sekujur
tubuhnya, Ia semakin melemah sedangkan hari mendekati senja. Kontras dengan
Bima, justru Duryodana semakin bersemangat.
Baladewa hadir juga menyaksikan
pertempuran itu sehingga tidak leluasa bagi Krisna untuk memberikan petunjuk
secara langsung kepada Bima. Satu kesalahan saja, akan membuat Baladewa memihak
Duryodana. Akhirnya Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya (bahwa ia akan
mematahkan paha Duryodana karena perbuatannya yang melecehkan Dropadi). Atas
petunjuk Kresna, Bima menjadi ingat perbuatan keji Duryodana terhadap Droupadi
dan mengingat sumpahnya kembali. Kemarahannya meningkat walaupun ia tidak yakin
mampu melukai Duryodana Ia langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryodana.
Setelah pahanya dipukul dengan keras, Duryodana tersungkur dan roboh. Ia mulai
mengerang kesakitan, sebab itulah bagian tubuhnya yang tidak kebal telah
dipukul oleh Bima. Keadaan itu terjadi ketika Gandari meminta Duryodana
telanjang dihadapannya, namun krisna waktu itu mengejeknya tidak tahu tahu
sopan santun karena menghadap ibunda dengan posisi telanjang. Ia kemudian memakai
penutup pinggang hingga ke paha.
Saat Bima ingin mengakhiri riwayat
Duryodana, Baladewa datang untuk mencegahnya dan mengancam bahwa ia akan
membunuh Bima. Baladewa juga memarahi Bima yang telah memukul paha Duryodana,
karena sangat dilarang untuk memukul bagian itu dalam pertempuran dengan
senjata gada.
Kresna kemudian menyadarkan Baladewa,
bahwa sudah menjadi kewajiban bagi Bima untuk menunaikan sumpahnya. Kresna juga
membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Duryodana. Duryodana
lebih banyak melanggar aturan-aturan perang daripada Bima. Ia melakukan
penyerangan secara curang untuk membunuh Abimanyu. Ia juga telah melakukan
berbagai perbuatan curang agar Indraprastha jatuh ke tangannya.
Duryodana gugur dengan perlahan-lahan
pada pertempuran di hari kedelapan belas. Hanya tiga ksatria yang bertahan
hidup dan masih berada di pihaknya, yaitu Aswatama, Krepa, dan Kretawarma.
Sebelum ia meninggal, Aswatama yang masih hidup diangkat menjadi panglima
perang.
Sauptikaparwa adalah kitab ke-10
Mahabharata. Kitab yang tidak didapati dalam bahasa Jawa Kuna ini, menceritakan
sang Aswatama yang menyelinap masuk ke istana Hastina dan membunuh para putra
Pandawa, Srikandi dan lain-lainnya. Ia akhirnya dibunuh oleh sang Arjuna.
Dalam
khazanah budaya Jawa baru, cerita ini dikenal sebagai lakon wayang “Aswatama
Gugat”.
Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
=======
Kitab Sauptikaparwa merupakan kitab
kesepuluh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah tiga ksatria
dari pihak Korawa yang melakukan serangan membabi buta pada di malam hari, saat
tentara Pandawa sedang tertidur pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah Aswatama,
Krepa, dan Kritawarma.
Aswatama atau Ashwatthaman adalah
putera Drona dengan Kripi, adik Krepa dari Hastinapura. Sebagai putera tunggal,
Drona sangat menyayanginya. Saat kecil keluarganya hidup misikin, namun
mengalami perubahan setelah Drona diterima sebagai guru di istana Hastinapura.
Ia mengenyam ilmu militer bersama dengan para pangeran Kuru, yaitu Korawa dan
Pandawa. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah.
Saat perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia bersama Kertawarma dan Krepa yang
bertahan hidup. Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu
kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta terhadap
lima putera Pandawa namun lima putera Pandawa tidak terselamatkan nyawanya.
Saat perang di antara Pandawa dan
Korawa meletus, ia memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya, dan berteman
dengan Duryodana. Untuk membangkitkan semangat pasukan Korawa setelah dipukul
mundur, ia memanggil senjata Narayanastra yang dahsyat. Mengetahui hal
tersebut, Kresna membuat sebuah taktik dan karenanya senjata itu berhasil
diatasi. Ia juga memanggil senjata Agneyastra untuk menyerang Arjuna, namun
berhasil ditumpas dengan senjata Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima dalam
Bharatayuddha berakhir secara “skakmat”.
Kabar angin yang salah mengenai
kematiannya dalam perang di Kurukshetra membuat ayahnya meninggal di tangan
pangeran Drestadyumna dari kerajaan Panchala. Aswatama yang menaruh dendam
mendapat izin dari Duryodana untuk membunuh Drestadyumna secara brutal setelah
perang berakhir secara resmi. Saat akhir peperangan, Aswatama yang didasari
motif balas dendam berjanji kepada Duryodana bahwa ia akan membunuh Pandawa,
Ia menyerang kemah Pandawa saat
tengah malam, Aswatama membunuh seluruh pasukan Panchala, Drestadyumna yang
membunuh Drona, Srikandi serta kelima putera Pandawa atau Pancawala (anak
Pandawa dari Dropadi). Kemudian Aswatama sejenak menyesali perbuatannya lalu
pergi ke tengah hutan, berlindung di pertapaan Rsi Byasa.
Pandawa yang marah dengan perbuatan
tersebut memburu Aswatama dan akhirnya ia bertarung dengan Arjuna. Saat
pertarungan, Aswatama memanggil senjata ‘Brahmastra’ yang sangat dahsyat, yang
dulu ingin ditukar dengan cakra milik Kresna namun tidak berhasil. Dengan
senjata itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan
senjata yang sama. Takut akan kehancuran dunia, Bhagawan Byasa menyuruh agar
kedua kesatria tersebut menarik senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil
melakukannya, Aswatama tidak bisa melakukannya dan diberi pilihan agar senjata
menyerang target lain untuk dihancurkan. Dengan rasa dendam, Aswatama mengarahkan
senjata menuju rahim para wanita di keluarga Pandawa. Di antara mereka adalah
Utara, menantu Arjuna.
Setelah Aswatama mengarahkan
Brahmastra menuju perut Utara yang sedang mengandung, senjata itu berhasil
membakar janin Utara, namun Kresna menghidupkannya lagi dan mengutuk Aswatama
agar menderita kusta dan mengembara di bumi selama 6.000 tahun sebagai orang
buangan tanpa rasa kasih sayang. Dalam versi lain, dipercaya bahwa ia dikutuk
agar terus hidup sampai akhir zaman Kaliyuga. Karena dikutuk untuk hidup
selamanya tanpa memiliki rasa cinta ini menjadikan ia sebagai satu di antara
tujuh Chiranjiwin.
Legenda mengatakan bahwa Aswatama
pergi mengembara ke daerah yang sekarang dikenal sebagai semenanjung Arab. Ada
juga legenda yang mengatakan bahwa Aswatama masih mengembara di dunia dalam
wujud badai dan angin topan. Sebuah benteng kuno di dekat Burhanpur, India,
yang dikenal dengan Asirgarh memiliki kuil Siwa di puncaknya. Konon setiap
subuh, Aswatama mengunjungi kuil tersebut untuk mempersembahkan bunga mawar
merah. Masyarakat yang tinggal di sekitar benteng mencoba untuk menyaksikannya
namun tidak pernah berhasil. Konon orang yang bisa menyaksikannya akan menjadi
buta atau kehilangan suaranya. Di Gujarat, India, ada Taman Nasional Hutan Gir
yang dipercaya sebagai tempat Aswatama mengembara dan ia masih hidup.
Menurut legenda, Aswatama menyerahkan
batu permata berharga (Mani) yang terletak di dahinya, yaitu permata yang
membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan
membuatnya tak takut terhadap para Dewa, danawa, dan naga.
Versi
Jawa
Aswatama adalah putra Bhagawan Drona
alias Resi Drona dengan Dewi Kripi, puteri Prabu Purungaji dari negara Tempuru.
Ia berambut dan bertelapak kaki kuda karena ketika awal mengandung dirinya,
Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi kuda sembrani, dalam upaya menolong
Bambang Kumbayana (Resi Drona) terbang menyeberangi lautan. Aswatama berasal
dari padepokan Sokalima dan seperti ayahnya, ia memihak para Korawa saat perang
Bharatayuddha. Ketika ayahnya menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di
Hastinapura, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah
keprajuritan. Ia memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan
segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti
berupa panah bernama Panah Cundamanik.
Pada perang Bharatayuddha, Drona
gugur karena terkena siasat oleh para Pandawa. Mereka berbohong bahwa Aswatama
telah gugur, tetapi yang dimaksud bukan Aswatama manusia, melainkan seekor
gajah yang bernama Hestitama (Hesti berarti “Gajah”) namun terdengar seperti
Aswatama. Lalu Drona menjadi putus asa setelah ia menanyakan kebenaran kabar
tersebut kepada Yudistira yang dikenal tak pernah berbohong. Aswatama merasa
kecewa dengan sikap Duryodana yang terlalu membela Salya yang dituduhnya
sebagai penyebab gugurnya Karna. Aswatama memutuskan untuk mundur dari perang
Bharatayudha. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah
dari Amarta ke Hastinapura, secara bersembunyi Aswatama masuk menyelundup ke
dalam istana Hastinapura. Ia berhasil membunuh Drestadyumna (pembunuh ayahnya),
Pancawala (putera Puntadewa alias Yudistira), Banowati (Janda Duryodana) dan
Srikandi. Diceritakan bahwa akhirnya ia mati oleh Bima, karena badannya hancur
dipukul Gada Rujakpala.
Kritavarma adalah salah seorang kepala suku dari wangsa
Yadawa, Ia disebut dalam MahaBharata, Vishnu Purana, Bhagavata and the
Harivamsa. Ia lahir di wangsa Andhaka yang masih keluarga besar Wangsa Yadawa.
Ia yang juga melakukan konspirasi terbunuhnya Mertua Khrisna saat di episode
Permata Syamantaka. Diperang ini ia memimpin pasukan Yadawa disisi Kourawa dan
membantu Aswathama membantai Prajurit Pancala dan lainnya. Seteah perang besar
Ia kembali ke kerajaannya dan kelak terbunuh oleh Satyaki ketika musnahnya
wangsa Yadawa di Mausala Parva.
___________________
Striparwa adalah buku ke-11
Mahabharata. Kitab ini tidak terdapat versi Jawa Kunanya. Kisah yang singkat
ini menceritakan ratapan para istri-istri ksatriya yang telah tewas dalam
peperangan Bharatayuddha. Mereka melaksanakan ritual sraddha.
Kitab Striparwa berisi kisah ratap
tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran.
Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur
dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti
menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
Upacara sraddha adalah upacara umat
Hindu di pulau Jawa zaman dahulu kala untuk mengenang arwah seseorang yang
meninggal. Bentuk reminisensi upacara ini, masih ada sekarang dan disebut
sadran dengan bentuk verba aktif nyadran.
12/Santiparwa adalah kitab ke-12
Mahabharata. Kitab ini tidak didapatkan dalam bahasa Jawa kuna.
Dalam kitab ini diceritakan tentang
nasehat-nasehat bagawan Bisma ketika berada di atas saratalpa atau “ranjang
panah” ketika sudah dikalahkan pada perang Bharatayuddha. Ia terutama
memberikan nasehat-nasehat penting kepada Raja Yudistira.
Kitab Santiparwa berisi kisah
pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan
pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna.
Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat
melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.
—–
Usai perang Bharatayuda, ketika
dilangsungkan upacara pembakaran mayat para kurawa yang telah tewas, semua anak
menantu Gandari (Ibu para Kurawa) telah menjadi janda dan menangis sedih di
hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu.
Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi
oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka.
krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia
Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’.
Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua
anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang
untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya
suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka
menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan
pertempuran’.
Biarlah seluruh dunia melihat dan
menarik pelajaran.
Selanjutnya Gandari mengucapkan
sumpah, ‘Seperti halnya anggauta keluargaku mengalami kehancuran dihadapan
mataku sendiri demikianlah hendaknya anggauta keluarga paduka mengalami kehancuran
dihadapan mata paduka sendiri’

mempunyai nilai dalam kehidupan dan
kekuatan itu harus diakui adanya
Anusasanaparwa adalah kitab ke-13 Mahabharata dan
merupakan terusan Santiparwa, tentang percakapan antara Yudistira dan Bisma.
Kitab ini tidak terdapatkan dalam bahasa Jawa kuna.Dalam kitab ini diceritakan pula meninggalnya Bisma dan berpulangnya
beliau ke surga.
Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
Aswamedikaparwa adalah kitab ke 14
Mahabharata. Kitab ini tidak didapatkan dalam bahasa Jawa kuna.
Kitab ini terutama menceritakan
penobatan Parikesit, putra Abimanyu, cucu Arjuna untuk menjadi Raja Hastina
sampai ke akhir hayatnya, tewas digigit si naga Taksaka.
Cerita tentang digigitnya Parikesit
oleh Taksaka terdapat pula pada kitab pertama Adiparwa, yang terdapati dalam
bahasa Jawa kuna.
Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.
Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.
Asramawasikaparwa atau dalam versi
Jawa Kuna disebut Asramawasanaparwa adalah buku ke 15 Mahabharata. Adapun kisah
ceritanya adalah sebagai berikut: Sehabis perang Bharatayuddha, sang
Drestarastra diangkat menjadi raja selama limabelas tahun di Astina. Ini
bermaksud untuk menolongnya sebab putra-putra dan keluarganya sudah meninggal
semua. Para Pandawa taat dan berbakti kepadanya dan menyanjung-nyanjungkannya
supaya ia tidak teringat akan putra-putranya. Tetapi sang Wrekodara selalu
merasa jengkel dan mangkel terhadapnya karena teringat akan perbuatan sang
Duryodana yang selalu berbuat jahat.
Maka kalau tidak ada orang sang
Drestarastra dicaci maki olehnya dan ditunjukkan atas kesalah-salahannya.
Akhirnya sang Drestarastra tidak tahan lagi karena merasa segan dan meminta
diri kepada raja Yudistira akan pergi dan tinggal di dalam hutan. Lalu ia
berangkat diantarkan oleh orang tua-tua: Arya Widura, dewi Gandari dan dewi
Kunti. Selama dalam pertapaan para Pandawa pernah mengunjunginya namun tak lama
kemudian sang Drestarastara meninggal, disusul oleh para pengiringnya.
Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.
Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.
Mosalaparwa
atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab Mahabharata. Adapun
ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di
Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga
menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Kitab
Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan
kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan
mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan
Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia
fana.
Ringkasan isi Kitab Mosalaparwa
Diceritakan
bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau
zaman kegelapan. Ia telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang
seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang
sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir,
sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi
sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.
Kutukan
para brahmana

Kutukan
tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam
perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai
menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan
sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan,
serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna
melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut
kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput
namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar
dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh
nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan
potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu
lalu ditempa menjadi anak panah.
Musnahnya
Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa
Perkelahian
antara Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa di Prabhasatirtha.

Setelah
saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang
lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para
Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian
membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas
di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan
menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di
sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi
senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni,
Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan
ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk
meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna menyadari bahwa
rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan,
ia mencabut segenggam rumput eruka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat
meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan
senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata
tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya
para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan
disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih
hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna tahu bahwa ia mampu
menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia
tidak mau mengubah kutukan Gandari dan jalannya takdir. Setelah menyaksikan
kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri,
Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam hutan. Babhru disuruh
untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk
memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di
Hastinapura.
Di
dalam hutan, Baladewa meninggal dunia. Kemudian keluar naga dari mulutnya dan
naga ini masuk ke laut untuk bergabung dengan naga-naga lainnya. Setelah
menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna mengenang segala peristiwa yang menimpa
bangsanya. Pada saat ia berbaring di bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara
(secara tidak sengaja) membunuhnya dengan anak panah dari sepotong besi yang
berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan. Ketika sadar bahwa yang ia
panah bukanlah seekor rusa, Jara meminta ma’af kepada Kresna. Kresna tersenyum
dan berkata, “Apapun yang akan terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan
hidupku”. Sebelum Kresna wafat, teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk
pergi ke Hastinapura, untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni,
Andhaka, dan Yadawa telah hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka mulai
ditinggalkan penduduknya.
Hancurnya
Kerajaan Dwaraka
Ketika
Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa
keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa
di antaranya masih bertahan hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar
kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk paman dari pihak
ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya
di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa
dengan janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, yang meratap dan
memohon agar Arjuna melindungi mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa
yang sedang lunglai. Setelah menceritakan kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa
mangkat. Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para
wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut
pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang
samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam
perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan
perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan
perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya
beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang.
Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah
menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi
Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk
melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Wresni
atau Wrishni (Sanskerta: वृषणि ;Vṛṣṇi)
adalah seorang bangsawan Wangsa Yadawa. Wresni lahir sebagai putra sulung Maharaja Madhu dari generasi ke-19 keturunan Yadu
(leluhur Yadawa). Para keturunan Wresni disebut Warsneya. Kresna masuk ke dalam
percabangan Candrawangsa keturunan Wresni dan dari sanalah ia mendapat nama
Warshneya.[1] Rakyat Dwaraka dikenal sebagai Wangsa Wresni.
Migrasi
Wangsa Wresni ke Dwaraka
Jarasanda,
ayah mertua Kamsa, menyerang Mathura dengan pasukan besar; dan walaupun Kresna
menghancurkan pasukan raksasa tersebut, asura yang lain, Kalayawan namanya,
juga mengepung Mathura dengan pasukan lain yang berjumlah tiga juta setan
ganas. Kemudian Kresna berpikir bahwa lebih baik mereka mengungsi ke
DwarakaHancurnya Wangsa Wresni

Setelah
gugurnya Duryodana dalam Mahabharata, Kresna menerima kutukan dari ibu
Duryodana (Gandari). Ia sedih meratapi kematian putera-puteranya, kawannya, dan
musuhnya; lalu ia sadar bahwa Hari (Kresna) adalah biang keladi semuanya, yang
bersembunyi di belakang layar. Kemudian ia mengutuk Kresna agar malapetaka
terjadi. Kutukannya adalah: bahwa 36 tahun kemudian Kresna sendiri akan
mendapat celaka dan rakyatnya, yaitu Wangsa Wresni, akan hancur. Hal ini
akhirnya menjadi kenyataan. Kegilaan menyelimuti rakyat Dwaraka sehingga mereka
saling menyerang satu sama lain dan terbunuh, bersama dengan seluruh anak dan cucu
Kresna. Hanya para wanita, Kresna, Balarama, dan beberapa ksatria yang masih
hidup. Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke
kota para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan
Pandawa; sesudah itu ia sendiri pergi ke hutan, dimana Balarama menunggunya.
Kresna menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk
seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut
kakaknya, yaitu naga berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju
lautan. Lautan, sungai suci, dan naga para Dewa datang berkumpul untuk bertemu
dengannya. Maka Kresna melihat bahwa kakaknya telah meninggalkan alam manusia,
dan sekarang ia mengembara sendirian di hutan. Ia memikirkan kutukan Gandari
dan merasa segalanya telah terjadi, dan ia tahu bahwa sudah saatnya ia
meninggal. Lalu ia menahan panca indria untuk melakukan yoga dan berbaring di
bawah. Kemudian datanglah seorang pemburu dan mengira bahwa Kresna seekor rusa,
sehingga ia menembakkan panah dan menembus kaki Kresna. Namun ketika si pemburu
mendekat, ia melihat seseorang mengenakan jubah kuning sedang melakukan yoga.
Ia merasa dirinya bersalah, kemudian menyentuh kaki Kresna. Kemudian Kresna
bangkit dan memberi kebahagiaan kepada si pemburu, kemudian Kresna naik ke
surga.
Arjuna
pergi ke Dwaraka dan membawa pergi para wanita dan anak-anak Wangsa Wresni,
untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra. Di perjalanan, segerombolan
ksatria menyerang rombongan pengungsi tersebut dan membawa kabur sebagian besar
wanita. Arjuna menetapkan yang lainnya bersama dengan sisa keturunan Kresna di
kota yang baru; namun Rukmini dan istri Kresna yang lainnya menjadi Sati,
membakar dirinya sendiri ke dalam api, dan yang lainnya menjadi pertapa atau pendeta.
Kemudian air lautan menyerbu dan membanjiri Dwaraka sehingga tidak ada lagi
jejak-jejak yang ditinggalkan
=========
Mosalaparwa
atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab MahaBharata. Adapun
ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di
Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga
menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira
naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau
telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu
bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh
Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat
bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong,
takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.
Pada suatu hari, Narada beserta
beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan
sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna
dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan
kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka
berkata, “Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan
kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan
tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki
atau perempuan?”. Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan
berkata, “Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan
melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan
memusnahkan kamu semua!” (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan.
Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja
Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa
bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong
besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya
dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak.
Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari
serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat
tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan
oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada
seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil
dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi
anak panah.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh
Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah
pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan
perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di
pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa
menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam
keadaan mabuk, Satyaki berkata, “Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam
Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk
Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau
lakukan?”. Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang
artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, “Kau
juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan
medan laga untuk memulihkan tenaga”.
Setelah saling melontarkan ejekan,
mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala
Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang
Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah
beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna.
Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun
sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut.
Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang.
Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu
saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak
saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat
itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna memperhatikan dan menyaksikan
rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan,
ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat
meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan
senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi.
Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni,
Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna.
Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya
Babhru dan Bajra. Kresna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang
mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia
mengetahui bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan
Andhaka kecuali diri mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan
sehingga berpotensi besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh.
Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata
kepalanya sendiri. Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim
utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah
perlindungan Pandawa; Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih
hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa
Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di
Hastinapura.
Sri
Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya. Kresna
menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti
seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya,
yaitu naga berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di
mana naga dan para Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya.
Dalam Bhagawatapurana dikisahkan
setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran
Dinasti Yadu Setelah itu Ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan
dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut
oleh ular tersebut, yaitu Sesa.
Setelah menyaksikan kepergian
kakaknya, Kresna kemudian duduk disebuah batu dibawah pohon di Prabhasa Tirta,
mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian
ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra.
Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.
Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu)
bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna
kerah-merahan, Ia pikir, ‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia memanahnya
dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala
yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah
itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari
ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri Krisna yang berjubah
kuning sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat
menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian meminta ma’af atas kesalahannya itu.
Sri Kresna tersenyum dan berkata,
‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini
jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan
kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu
tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara
hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’.
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia
segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka
telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup.
Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk
Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna
mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan Orang-orang
tua, anak-anak, janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di dalam
peperangan, Arjuna bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi
para Brahmana, Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni,
untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra.
Kemudian Arjuna bertemu dengan
Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan beberapa pesan kepada
Arjuna, Basudewa mangkat.
Sesuai dengan amanat yang diberikan
kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke
Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan
disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Yang menarik dari catatan kematian
Krisna adalah:
§ Bangsa Yadawa terkenal tidak terkalahkan sehingga
menjadi sombong, arogan kasar dan gemar mabuk2an di menjelang akhir kehidupan
sehingga cukup aneh bila ada pemburu yang tidak terusik dan santai di sekitar
tempat pertemuan bangsa Yadawa tersebut
§ Disekitar hutan tersebut, saat itu justru sendang
terjadi perang dashyat yang berujung musnahnya bangsa Yadawa, maka bagaimana
mungkin ada seorang Pemburu yang begitu santainya berburu?
§ Sebagai seorang pemburu rusa, tentunya ia mengerti
prilaku rusa yang sangat waspada dan gampang terkejut, jadi bagaimana mungkin
ada rusa disekitar perang besar bangsa Yadawa tersebut.
§ Satu kebetulan menarik lainnya adalah arti nama
Jara adalah Usia Tua, Sehingga ada pendapat bahwa kematian Krisna di panah
Pemburu bernama Jara, merupakan sebuah metaphora? yaitu wafat dikarenakan usia
tua [125 tahun]
Dengan
catatan di atas, maka terdapat dua pesan terakhir Krishna yaitu:
§ Kematian Krisna adalah benar karena usia tua,
sehingga percakapan antara Krishna dan Jara merupakan tambahan dan bukan yang
sebenarnya, maka pesan terakhir dari Krisna hanyalah kepada Arjuna untuk
menyelamatkan sisa-sisa penduduk bangsa Yadawa yang tidak mati akibat perang
saudara dan tenggelamnya Drawaka
§ Apabila Pemburu itu ada maka pesan terakhir krisna
ada dua yaitu menenangkan Jara dari perasaan bersalah dan kepada Arjuna untuk
menyelamatkan sisa2 penduduk Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan
tenggelamnya Drawaka.
§ Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah
perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta
kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya,
Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku Mahabharata yang ketujuh belas. Dalam buku ini diceritakan bagaimana Sang Pandawa Lima dan Dewi Dropadi mengundurkan diri dari Hastinapura dan pergi bertapa ke hutan. Mereka melakukan ini karena ajal sudah dekat. Akhirnya satu persatu para Pandawa dan Dropadi meninggal kecuali prabu Yudistira.
Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku Mahabharata yang ketujuh belas. Dalam buku ini diceritakan bagaimana Sang Pandawa Lima dan Dewi Dropadi mengundurkan diri dari Hastinapura dan pergi bertapa ke hutan. Mereka melakukan ini karena ajal sudah dekat. Akhirnya satu persatu para Pandawa dan Dropadi meninggal kecuali prabu Yudistira.
§ Ringkasan isi Kitab Prasthanikaparwa
§ Parikesit diangkat menjadi Raja Hastinapura
§ Perjalanan terakhir bagi Pandawa dan Dropadi
§ Akhirnya prabu Yudistira ditemani seekor anjing dan
mendengar suara dari angkasa yang berkata akan mengangkatnya ke surga tanpa
harus meninggal dulu. Ia hanya mau jika anjingnya juga diperbolehkan ikut. Hal
ini pertama-tama ditolak, tetapi prabu Yudistira bersikeras dan akhirnya
dituruti. Ternyata si anjing jelmaan Dewa Dharma yang ingin mengetesnya.
§ Setelah naik di sorga, Yudistira tidak melihat
saudara-saudaranya dan dewi Dropadi, ternyata mereka berada di neraka. Lalu
beliau menuntut supaya ditaruh di neraka saja sebab kenikmatan sorga adalah
sia-sia tanpa saudara-saudaranya dan Dropadi. Lalu kisah ini dilanjutkan di
buku ke 18 Swargarohanaparwa
§ Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah
Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai
surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang
sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya
sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.
§ Buku Swargarohanaparwa adalah buku terakhir Mahabharata.
Di dalam buku ini dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke
surga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada tinggal di sorga dengan para
Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya, para Pandawa dan dewi
Dropadi.
§ Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan
sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya sengsara dan iapun merasa sedih.
Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka tempat mereka berada
berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah berdosa sedikit
sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit,
tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.
§ Kitab Swargarohanaparwa didapati pula dalam
khazanah Sastra Jawa
JADWAL PERANG KELUARGA BARATA :KORAWA vs PANDAWA.
PERANG BARATAYUDA HARI KE 1-18 DI KURUSETRA INDIA
KURAWA ANGKATAN DARAT & SEKUTU MEREKA :
§ Bhagdatta, Kerajaan Pragjyotisha – 1 Akshauhini
§ Salya, Kerajaan Madra – 1 Akshauhini
§ Bhorisrawa, Kerajaan Bahlika – 1 Akshauhini
§ Kritawarma (Bhoja, Dwaraka tentara Kresna Klan
Wresni & Andaka) – 1 Akshauhini
§ Jayadrata (Saindhava) – 1 Akshauhini
§ Sudakshina, raja Kambhoja – 1 Akshauhini (memiliki
Yavanas & Sakas dalam pasukannya)
§ Winda dan Anuwinda (dari Awanti) – 1 Akshauhini
§ Nila, dari Mahishmati – 1 Akshauhini (dari selatan)
§ Lima Kekaya bersaudara – 1 Akshauhini
§ Bhisma, Resi Drona, Duryudana Kurawa Brothers – 2
Akshauhini Hastinapura, Indraprasta dan kerajaan lain
§
PANDAWA ANGKATAN DARAT & SEKUTU MEREKA :
§ Satyaki dari klan Wresni & Yadu, Kerajaan
Youdheya – 1 Akshauhini
§ Kuntibhoja, Surasena – 1 Akshauhini (Kerajaan
Kunti, Mathura dan Surasena jadi satu)
§ Dhrishtaketu, raja Chedi – 1 Akshauhini – anak dari
Sisupala sepupu Kresna dan Pandawa ketika Rajasuya di indraprasta
di penggal kepalanya oleh Kresna.
§ Jayatsena, anak Jarasanda – 1 Akshauhini (dari
Magadha) – Jarasanda, yang dibunuh oleh Bima sebelumnya, tapi anak itu memihak
pembunuh ayahnya!
§ Drupada dengan anak-anaknya, Kerajaan Panchala – 1
Akshauhini
§ Wirata raja Matsya dengan anak-anaknya – 1
Akshauhini
§ Arjuna, Bima Pandawa Brother dan kerajaan lain – 1
Akshauhini (dijadikan satu Pandya, Malawa, Anarta, Chola, Kerala)
KERAJAAN PIHAK KURAWA
11 Aksauhini (11 divisi) atau
2.405.700 tentara.
Kerajaan Hastinapura ; Kerajaan Indraprasta (Milik
Pandawa di kuasai Kurawa)
Kerajaan Dwaraka (Pinjaman tentara & Ksatria dari Kresna) ; Kerajaan Bhoja
Kerajaan Bahlika ; Kerajaan Madra ; Kerajaan Pandya ; Kerajaan Kekaya
Kerajaan Angga ; Kerajaan Pragjyotisha ; Kerajaan Awanti
Kerajaan Madhyadesa ; Kerajaan Gandhara ; Kerajaan Kamboja
Kerajaan Kalingga ; Kerajaan Saurashtra ; Kerajaan Gurjara
Kerajaan Karusha ; Kerajaan Dasarna ; Kerajaan Sindhudesa
Kerajaan Mahishmati ; Kerajaan Trigarta ; Pasukan Raksasa (Knight Alambusa)
Kerajaan Dwaraka (Pinjaman tentara & Ksatria dari Kresna) ; Kerajaan Bhoja
Kerajaan Bahlika ; Kerajaan Madra ; Kerajaan Pandya ; Kerajaan Kekaya
Kerajaan Angga ; Kerajaan Pragjyotisha ; Kerajaan Awanti
Kerajaan Madhyadesa ; Kerajaan Gandhara ; Kerajaan Kamboja
Kerajaan Kalingga ; Kerajaan Saurashtra ; Kerajaan Gurjara
Kerajaan Karusha ; Kerajaan Dasarna ; Kerajaan Sindhudesa
Kerajaan Mahishmati ; Kerajaan Trigarta ; Pasukan Raksasa (Knight Alambusa)
KERAJAAN PIHAK PANDAWA
7 Aksauhini (7 divisi) atau
1.530.900 tentara,
Kerajaan Matsyah ; Kerajaan Panchala ; Kerajaan
Kuntibhoja
Kerajaan Kerala ; Kerajaan Chedi ; Kerajaan Mathura
Kerajaan Pandya ; Kerajaan Chola ; Kerajaan Magadha
Kerajaan Youdheya ; Kerajaan Surasena ; Kerajaan Kasi
Kerajaan Malawa ; Kerajaan Anarta ; Pasukan Naga (Knight Irawan)
Pasukan Raksasa (Knight Gatotkaca) ; Kerajaan Salwa
Kerajaan Kerala ; Kerajaan Chedi ; Kerajaan Mathura
Kerajaan Pandya ; Kerajaan Chola ; Kerajaan Magadha
Kerajaan Youdheya ; Kerajaan Surasena ; Kerajaan Kasi
Kerajaan Malawa ; Kerajaan Anarta ; Pasukan Naga (Knight Irawan)
Pasukan Raksasa (Knight Gatotkaca) ; Kerajaan Salwa
Netral (Tidak Ikut dalam Perang)
- 1 Ksatria Dari Kerajaan Mathura (Baladewa Kakak
Kresna)
- Kerajaan Widharba (Rukmi Kakak Ikpar Kresna,
Kakak Rukmini)
Perhitungan lengkap untuk Akshauhini :
Sr.
|
Unit
|
Composition
|
Foot soldiers
|
Horses
|
Chariots
|
Elephants
|
||
1
|
Patti
|
3
|
——
|
——-
|
5
|
3
|
1
|
1
|
2
|
Sena-mukha
|
3
|
Patti
|
——-
|
15
|
9
|
3
|
3
|
3
|
Gulma
|
3
|
Sena-mukha
|
——-
|
45
|
27
|
9
|
9
|
4
|
Gana
|
3
|
Gulma
|
——-
|
135
|
81
|
27
|
27
|
5
|
Vahini
|
3
|
Vahini
|
Gana
|
405
|
243
|
81
|
81
|
6
|
Pritana
|
3
|
Pritana
|
Vahini
|
1,215
|
729
|
243
|
243
|
7
|
Chamu
|
3
|
Chamu
|
Pritana
|
3,645
|
2,187
|
729
|
729
|
8
|
Anikini
|
3
|
Anikini
|
Chamu
|
109,350
|
65,610
|
21,870
|
21,870
|
9
|
Akshauhini
|
10
|
Akshauhini
|
Pasukan tersebut dibagi ke dalam aksohini (divisi).
Setiap aksohini berjumlah 218.700 prajurit yang terdiri dari:
§ 21.870 pasukan berkereta kuda
§ 21.870 pasukan penunggang gajah
§ 65.610 pasukan penunggang kuda
§ 109.350 tentara darat (infantri)
Perbandingan jumlah mereka adalah 1:1:3:5. Pasukan
Pandawa memiliki 7 divisi, dengan total pasukan 1.530.900 prajurit. Pasukan
Korawa memiliki 11 divisi, total 18 Akshauhinis dengan total pasukan 2.405.700
prajurit. Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang adalah 3.936.600
orang
FORMASI PERANG :
§ KrauncaWyuha (formasi Bangau)
§ CakraWyuha (formasi Cakram / Melingkar)
§ KurmaWyuha (formasi kura-kura)
§ MakaraWyuha (formasi Buaya)
§ TrisulaWyuha (formasi trisula)
§ SarpaWyuha (formasi ular)
§ KamalaWyuha (formasi Bunga)
§ PadmaWyuha (formasi Teratai)
§ CandraWyuha (Formasi Bulan Sabit)
§ GarudaWyuha (formasi Garuda)
§ PalemWyuha (formasi Pohon Palem)
§ MandalaWyuha (formasi Perisai)
PANJI PERANG :
§ Bhisma (Pohon Palem & Lima Bintang),
§ Resi Drona (Mangkuk Pendeta & Busur Kuning).
§ Aswatama (Singa),
§ Duryudana (Ular cobra),
§ Resi Kripa (Banteng),
§ Jayadrata (Babi Hutan),
§ Abimanyu (Pohon Karnikara Emas),
§ Arjuna (Kera Putih).
§ And ALL ?????
PERANG HARI PERTAMA:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (Dursasana) ; Pandawa (Bima)
FORMASI PERANG : Kurawa (KurmaWyuha) ; Pandawa
(SarpaWyuha)
JALANNYA PERANG :
(Arjuna meminta kresna menjalankan Kereta ke tengah
medan perang
untuk melihat kedua kubu, Arjuna ragu untuk perang, kresna menasehati
arjuna dalam Bhagafat Gita, Kresna menunjukkan wujud ketuhanannya
sebagai Wisnu pada arjuna )
untuk melihat kedua kubu, Arjuna ragu untuk perang, kresna menasehati
arjuna dalam Bhagafat Gita, Kresna menunjukkan wujud ketuhanannya
sebagai Wisnu pada arjuna )
(Yudistira melepaskan jubah perang dan pergi ke
klan kurawa memohon restu pada Bhisma, Resi Drona, Resi Kripa & Raja Salya)
(Yudistira mengumumkan siapa ksatria dan pasukan yg
mau berpindah baik dari klan pandawa atau klan Kurawa, Yuyutsu saudara Tiri
Duryudana berpindah dan memihak Pandawa)
-
Kritawarma (lost) VS Abimanyu (win)
-
Raja Salya (lost) VS Abimanyu (win)
-
Durmaka (lost) VS Abimanyu (win)
-
Bhisma (win) VS Abimanyu (lost)
-
Duryudana (lost) VS Abimanyu (win)
-
Bhisma (win) VS Bima & Drestadyumna (lost)
-
Bhisma VS Arjuna = Draw
-
Raja salya (win) VS Uttara (Anak Raja Wirata) dead
-
Raja salya (win) VS Gajah wahana Uttara (dead)
-
7 Kaurava brothers (lost) VS Sweta (win)
-
Bhisma (win) VS Sweta (Kakak Uttara) dead
-
Duryudana (win) VS Bima (lost)
HASIL PERANG :
Kurawa (win) ; Pandawa (lost)
PERANG HARI KE 2:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (??????) ; Pandawa
(???????)
FORMASI PERANG : Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
-
Bhisma (draw), Pasukan Hastinapura (lost) VS Arjuna (Draw)
-
Resi Drona (win) VS Drestadyumna (lost) saved Bima
-
Resi Drona (win) VS Bima (lost)
-
Pasukan Kalinga (dead) VS Bima (win)
-
Bhisma (lost) VS Abimanyu & Setyaki (win)
-
Resi Kripa, Aswatama, Wikarna (win) VS Pasukan matsyah (lost)
-
Duryudana VS Bima (Draw)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 3:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (depan=Bhisma, belakang=Duryudana)
Pandawa (kiri=Bima, kanan=Drestadyumna)
FORMASI PERANG :
Kurawa (Garuda Wyuha) ;
Pandawa (Candra wyuha)
JALANNYA PERANG :
- 40 Kaurava brothers
(lost) VS Arjuna (win)
- Pasukan dwaraka (win) VS
Drestadyumna (lost)
- Pasukan dwaraka (lost) VS
Setyaki, Srikandi (win)
- Sangkuni (win) VS Setyaki
(lost)
- Sangkuni, Pasukan Gandara
(lost) VS Setyaki & Abimanyu (win)
- Resi Drona, Bhisma VS 3
Pandava brothers (Yudistira, Nakula, Sadewa) (draw)
- Duryudana, pasukan
hastinapura (lost) VS Bima, Gatotkaca (win)
- Bhisma VS Arjuna (draw)
- (Kresna marah
mengeluarkan Cakra untuk membunuh Bhisma dan di cegah Arjuna)
- Bhisma VS Arjuna
(Survive)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 4:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (???????) ; Pandawa
(???????)
FORMASI PERANG : Kurawa (???????) ; Pandawa
(???????)
JALANNYA PERANG :
- Pasukan Hastinapura (lost) VS
Abimanyu (win)
- 5 knights (Aswatama, Burisrawa,
Raja salya, Citrasena, Putracala) (lost) VS Arjuna & Abimanyu (win)
- Putracala (dead) VS
Drestadyumna (win)
- Cala, Raja Salya, Pasukan
Madrah (win) VS Drestadyumna (lost)
- Raja salya (win) VS Abimanyu
(lost)
- Raja Salya (lost) VS Irawan
(win)
- Kaurava brothers, Pasukan Gajah
(lost) VS Bima (win)
- 8 Kaurava brothers (dead) VS
Bima (win)
- Duryudana (win) VS Bima (lost)
- Resi Drona (lost) VS Gatotkaca
(win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 5:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Wikarna, Burisrawa, Resi drona) ; Pandawa
(Cekitana, Raja wirata)
FORMASI PERANG :
Kurawa (TrisulaWyuha) ; Pandawa (MakaraWyuha)
JALANNYA PERANG :
- Resi Drona (win) VS
Setyaki (lost)
- 3 knights (Resi Drona,
Raja salya, Sudaksin) VS Bima, Srikandi, Drestadyumna (Survive)
- Bhisma (lost) VS Srikandi
(win)
- Resi Drona (win) VS
Srikandi (lost)
- Duryudana (lost) VS
Setyaki, Pasukan Youdheya (win)
- Burisrawa (win) VS 10 Anak
of Setyaki (dead)
- Burisrawa (win) VS
Setyaki (lost) Saved Bima
- Duryudana, Pasukan
Hastinapura (lost) VS Arjuna (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 6:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Bhisma & Duryudana) ; Pandawa (Bima & Arjuna)
Kurawa (Bhisma & Duryudana) ; Pandawa (Bima & Arjuna)
FORMASI PERANG :
Kurawa (KraunchaWyuha) ; Pandawa (MakaraWyuha)
Kurawa (KraunchaWyuha) ; Pandawa (MakaraWyuha)
JALANNYA PERANG :
- 12 Kaurava brothers
(Dursasana, Durwisaha, Durmata, Dursaha, Jaya, Jayasina, Wikarna, Citrasena,
Sudarsana, Curucitra, Suwarma, Duskarna) (win) VS Bima (Lost) Saved
Drestadyumna
- 11 Kaurava brothers
(lost) VS Drestadyumna (win)
- Duryudana (win) VS Bima
& Drestadyumna (lost)
- Duryudana (lost) VS
Abimanyu & Kekaya (win)
- Resi Drona (win) VS
Drestadyumna, pasukan Panchala (lost)
- Resi Drona (win) VS Bima,
Pasukan Matsyah (lost)
- Duryudana (lost) VS Bima
(win)
- Bhisma (win) VS Bima
(lost)
- Duryudana VS 5 Panchawala
Brothers (Pratiwindya, Sutasoma, Srutakarma, Satanika, & Srutakirti.)
(Survive)
HASIL PERANG :
Kurawa (win) ; Pandawa (lost)
PERANG HARI KE 7:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Aswatama, Kritawarma, Resi Drona) ; Pandawa
(Arjuna, Setyaki)
FORMASI PERANG :
Kurawa (MandalaWyuha) ; Pandawa (BajraWyuha)
JALANNYA PERANG :
- Bhisma VS Arjuna (draw)
- Resi Drona (win) VS Raja
Wirata (lost) saved Sanga
- Resi Drona (win) VS Raya
Wirata & Sanga (lost)
- Aswatama (win) VS
Srikandi (lost)
- Raja Salya (win) VS
Nakula (lost)
- Raja Salya (lost) VS
Sadewa (win)
- 2 Prince Awanti (Winda
& Anuwinda) (lost) VS Yudhamanyu (win)
- Kritawarma, 3 Kurava
(Citrasena, wikarna, Durmasha) (lost) VS Bima (win)
- Raja Bhogadetta (win) VS
Gatotkaca (lost)
- Raksasa Alambusa (lost)
VS Setyaki (win)
- Burisrawa (win) VS
Dristaketu (lost)
- Srutayu (lost) VS
Yudistira (win)
- Resi Kripa (fainting)
saved sakuni VS Chekitana (fainting) saved bima
- Resi Drona (win) VS Sanga
Anak Raja Wirata (dead)
- Duryudana (lost) saved
Sangkuni VS Drestadyumna (win)
- 3 Kourava brothers (lost)
VS Abimanyu (win)
- Bhisma (lost) VS Srikandi
(win)
- Bhisma (win) VS Pasukan
Srinjaya (lost)
- Bhisma (win) VS Abimanyu
(lost)
- Bhisma VS 5 Pandawa
Brothers (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) (Draw)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 8:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Bhisma, Aswatama ,Dursasana, Curucitra)
Pandawa (Kanan=Bima, Tengah=Yudistira,
Kiri=Setyaki)
FORMASI PERANG : Kurawa (KurmaWyuha / Kura-kura) ;
Pandawa (TrisulaWyuha)
JALANNYA PERANG :
- 8 Kourava brothers
(Sunaba, Adityaketu, Wahwasin, Kundadara, Mahodara, Aparajita, Panditaka dan
Wisalaksa) (dead) VS Bima (win)
- (Duryodana perintahkan
para saudaranya yang masih hidup untuk membunuh Bima. Namun tak satu yang
berani maju menghadapi Bima setelah mereka menyaksikan kematian 8 saudaranya.)
- Wrisna (adik sangkuni)
(dead), Raja Hredika, Wresaba, Pasukan Kamboja, Pasukan Mahi, Pasukan Aratha
(lost) VS Irawan, Pasukan Berkuda, Pasukan Naga (win)
- 6 Knight (Shatrunjaya,
Chandraketu, Mahawegha, Suwarcha , Suryabhasa, Kalikeya) (anak Subala) (dead)
VS Abimanyu & Irawan (win)
- Raksasa Alambusa (win) VS
Irawan (putra Arjuna) (dead)
- Raksasa Alambusa (win) VS
Pasukan Naga (lost)
- Raksasa Alambusa (win) VS
Abimanyu (lost)
- Raksasa Alambusa (lost)
saved Duryudana VS Gatotkaca (win)
- Duryudana (win) VS
tentara Raksasa (lost)
- Duryudana & Raja
Wanga (win) VS Gatotkaca (lost)
- Bhisma VS Bima &
Gatotkaca (draw)
- 16 Kourava brothers
(dead) VS Bhima (win)
- Buri & Sala (adik
Burisrawa) (dead) VS Setyaki (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 9:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Dursasana, Duryudana, Aswatama) ; Pandawa
(Bima, Irawan)
FORMASI PERANG :
Kurawa (SarpaWyuha) ; Pandawa (KurmaWyuha)
JALANNYA PERANG :
- Pasukan Hastinapura
(lost) VS Abimanyu (win)
- Raksasa Alambusa (win) VS
5 Pancawala Brothers (lost)
- Raksasa Alambusa (lost)
VS Abimanyu (win)
- Bhisma VS Abimanyu (draw)
- Drigalochana (dead) VS
Abimanyu (win)
- Wasatiya (dead) VS
Abimanyu (win)
- Resi Kripa VS Arjuna
& Setyaki (draw)
- Aswatama VS Setyaki
(draw)
- Aswatama & Resi Drona
VS Setyaki (lost)
- Aswatama & Resi Drona
VS Setyaki & Arjuna (draw)
- Resi Drona (lost) VS
Arjuna (win)
- Bhisma & Dursasana
(win) VS 4 Pandava brothers (Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa) (lost)
- (Kresna menjadi marah.
turun dari keretanya sambil membawa cemeti dengan tujuan membunuh Bisma. Arjuna
sekalilagi mencegahnya)
- Dursasana (lost) VS
Arjuna (win)
- Bhisma (win) VS Arjuna (lost)
- Raja Somadatta (Ayah Burisrawa) dead
VS Setyaki (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 10:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (Bhisma) ; Pandawa
(Arjuna, Srikandi)
FORMASI PERANG :
Kurawa (Bhisma), (Dursasana=Kanan), (Sangkuni=Kiri), (Duryudana=Belakang)
Pandawa (Arjuna, Srikandi 1 Kereta), (Drestadyumna=Kanan, Setyaki=Kiri), (Yudhamanyu, Uttamaujas=Belakang)
Kurawa (Bhisma), (Dursasana=Kanan), (Sangkuni=Kiri), (Duryudana=Belakang)
Pandawa (Arjuna, Srikandi 1 Kereta), (Drestadyumna=Kanan, Setyaki=Kiri), (Yudhamanyu, Uttamaujas=Belakang)
JALANNYA PERANG :
- 3 Knight (Resi Drona,
Anggada, Kritavarman) VS Uttamaujas & Yudhamanyu (draw)
- Duryodana (win) VS
Uttamaujas (lost) saved Yudhamanyu
- Sushena (putra Karna)
dead VS Uttamaujas (win)
- Bhisma (Lost Forever) VS
Srikandi (defense) & Arjuna (Attack) = (win)
- (Meskipun tubuhnya
ditancapi ratusan panah, Bisma masih mampu bertahan hidup Sampai Akhir Perang
sebab ia diberi anugrah untuk bisa menentukan waktu kematiannya sendiri.)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 11:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Resi Drona) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (?????) ; Pandawa
(??????)
FORMASI PERANG : Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
- (Karna pertama kalinya
melibatkan diri dalam perang dalam pihak Kurawa)
- Sengkuni VS Sadewa (draw)
- Wiwimsanti VS Bima (draw)
- Raja Salya (lost)
VS Nakula (win)
- Resi Kripa (win) VS
Dristaketu (lost)
- Kritawarma VS Setyaki
(draw)
- Karna (win) VS Raja
Wirata (lost)
- Paurawa (lost) VS Abimanyu
(win)
- 6 Mentri Karna (dead) VS
Abimanyu (win)
- Jayadrata (lost) VS
Abimanyu (win)
- Resi Drona (win) VS 3
Knight (Wrika, Pancala, Setyajit) (dead)
- Resi Drona (win) VS
Kasiraja (lost)
- Resi Drona (win) VS
Satanika putra Raja wirata (dead)
- Resi Drona (win) VS
Ketama (dead)
- Resi Drona (win) VS
Washudana (dead)
- Resi Drona (win) VS 4
knight (Yudhamanyu, Uttamaujas, Setyaki, Srikandi) (lost)
- Somadatti Adik Burisrawa
(dead), Anak Burisrawa (dead) VS 2 Pancawala (Pratiwindya, Srutasena) (win)
- Resi Drona (win) VS
Yudistira (lost) saved Arjuna
- Resi Drona (lost) VS
Arjuna (win)
- Resi Kripa (lost) VS
Arjuna (win)
- Karna & Resi Krepa
(lost) VS Uttamaujas (win)
- Pangeran Asmaka, Susena
(anak dari Karna) (dead) VS Abimanyu (win)
- Kundhawedhin (dead) VS
Abimanyu (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 12:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Resi Drona) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Duryudana, Bhogadetta) ; Pandawa (Arjuna, Bima, Setyaki)
Kurawa (Duryudana, Bhogadetta) ; Pandawa (Arjuna, Bima, Setyaki)
FORMASI PERANG :
Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
- Duryudana, Pasukan Gajah
(lost) VS Bima (win)
- Raja Bhogadetta &
Gajah Supratika VS Bima (draw)
- Raja Bhogadetta &
Gajah Supratika (win) VS Raja Dasarna & Pasukan Gajah (lost)
- Raja Bhogadetta &
Gajah Supratika (win) VS Setyaki (lost)
- Pasukan Trigarta (lost)
& 35 Anak Susarma (dead) VS Arjuna (win)
- Susarma (lost) VS Arjuna
(win)
- Raja Bhogadetta &
Gajah Supratika (win) VS Bima (lost)
- Gajah Supratika (dead) VS
Arjuna (win)
- Raja Bhagadetta (dead) VS
Arjuna (win)
- Wrisna (dead), Achala
(dead) VS Arjuna (win)
- Sengkuni (lost) VS Arjuna
(win)
- Duryodana & Resi
Drona VS Yudhamanyu (draw)
- Kritawarman (lost) VS
Yudhamanyu (win)
- Karna & Resi Krepa
(win) VS Yudhamanyu (lost)
- Chitrasena (kakak ikpar
Karna) dead VS Yudhamanyu (lost)
- Rukmarata (putra Salya)
(dead) VS Abimanyu (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 13:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Resi Drona) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Resi Drona, Susarma, Jayadrata) ; Pandawa
(Arjuna & Abimanyu)
FORMASI PERANG :
Kurawa (CakraByuha) ; Pandawa (???????)
JALANNYA PERANG :
– Susarma & Pasukan Trigarta VS Arjuna (draw)
– Susarma & Pasukan Trigarta VS Arjuna (draw)
- Resi Drona (win) VS
Yudistira (lost) saved Bima
- Resi Drona (win) VS Bima
(lost)
- Resi Drona (win) VS 3
knight (Chekitana, Drestadyumna, Raja Kuntibhoja) lost
- Resi Drona (win) VS 8
Knight (Raja Drupada, Gatotkaca, Yudhamanyu, Srikandi, Uttamaujas, Raja Wirata,
Raja Kekaya, Srinjayas) lost
- Resi Drona (lost) VS
Setyaki (win)
- (Resi Drona & Pasukan
Kurawa menggelar Formasi CakraByuha).
- (Abimanyu menerobos masuk
di ikuti pasukan Pandawa di blakangnya).
- (Abimanyu berhasil masuk
formasi, jayadrata menutup puntu formasi, pandawa tertahan di luar formasi oleh
Jayadrata dan Pasukannya).
- Jayadrata (Anugrah Siwa)
VS 15 Knight (Nakula, sadewa, bima, Yudistira, Setyaki, Srikandi, Raja
Kuntibhoja. Raja wirata, Raja Drupada, drestadyumna, Uttamaujas, Yudhamanyu,
chekitana, Srinjayas, Yuyutsu) Draw
- Duryudana (lost) VS
Abimanyu (win)
- Asmaka (lost) VS Abimanyu
(win)
- Dursasana (lost) VS
Abimanyu (win)
- Karna VS Abimanyu (draw)
- Laksmana putra Duryudana
(dead) VS Abimanyu (win)
- 9 Knight (Resi Durna,
Resi Kripa, Raja salya, Brihatbala, Burisrawa, Kritawarma, Wikarna, Srutayuda,
Srutayu) VS Abimanyu (draw)
- 7 Knight (Duryudana,
Dursasana, Anak Dursasana, Aswatama, Sengkuni, Karna, Chitraksa) win VS
Abimanyu (dead)
- Jayadrata (Anugrah Siwa)
win VS 15 Knight (Nakula, Sadewa, bima, Yudistira, Setyaki, Srikandi, Raja
Kuntibhoja. Raja wirata, Raja Drupada, Drestadyumna, Uttamaujas, Yudhamanyu,
Chekitana, Srinjayas, Yuyutsu) lost
- Susarma (dead) VS Arjuna
(win)
HASIL PERANG :
Kurawa (win) ; Pandawa (lost)
PERANG HARI KE 14
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Resi Drona) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN :
Kurawa (Resi Drona, Duryudana, Jayadrata) ; Pandawa
(Arjuna, Bima, Syaki)
FORMASI PERANG :
Kurawa (PadmaWyuha) ; Pandawa (PalemWyuha)
JALANNYA PERANG :
-
Resi Drona (lost) VS Arjuna (win)
-
(Arjuna Berhasil menembus Formasi PadmaByuha)
-
Kritawarma, Pasukan Bhoja, Sudaksina (lost) VS Arjuna (win)
-
Duryudana (lost) VS Arjuna (win)
-
Srutayuda (dead) VS Arjuna (win)
-
Raja Kamboja (dead) VS Arjuna (win)
-
Srutayu (dead), Asrutayu (dead) VS Arjuna (win)
-
2 Anak Srutayu (dead) VS Arjuna (win)
-
Winda, Anuwinda (lost) VS Arjuna (win)
-
Duryudana (magic armor giving Drona) lost VS Arjuna (win)
-
Resi Drona (lost) VS Setyaki (win)
-
(Setyaki berhasil menembus Formasi PadmaByuha)
-
Resi Drona (win) VS Pasukan Panchala (lost)
-
Resi Drona (win) VS Drestadyumna (lost)
-
Resi Drona (lost) VS Bima (win)
-
(Bima berhasil menembus Formasi PadmaByuha)
-
11 Kurawa Brothers (dead) VS Bima (win)
-
Pasukan Dasarna (lost) VS Bima (win)
-
Resi Drona (win) VS Pasukan Matsyah, Pasukan Panchala (lost)
-
Duryudana, Pasukan Hastina (lost) VS Arjuna (win)
-
Karna VS Bima (survive)
- Durjaya adik Duryudana
(dead) VS Bima (win)
- Durmaka adik Duryudana
(dead) VS Bima (win)
- 5 Kurawa Brothers
(Durmasa, Dussaha, Durmata, Durdara, Jaya) dead VS Bima (win)
- 7 Kurawa Brothers
(Chitra, Upachitra, Chitraksa, Curucitra, Surasena, Citrayuda, Citrawarma) dead
VS Bima (win)
- 9 Kurawa Brothers (dead)
VS Bima (win)
- Wikarna Adik Duryudana
(dead) VS Bima (win)
- Karna (win) VS Bima
(lost)
- Karna (lost) VS Arjuna
(win)
- Resi Drona VS 3 Knight
(Yudistira, Drestadyumna, Yuyutsu) (draw)
- Burisrawa (lost) VS
Setyaki (lost) (Setyaki Pingsan)
- (Arjuna memotong tangan
kanan Burisrawa)
- (Burisrawa memarahi
Arjuna tapi segera di disadarkan Ajuna mengenai kesalahan pengeroyokan
Abimanyu)
- (Burisrawa tersadar dan
melakukan Yoga)
- Burisrawa (dead)
terpenggal pedangnya sendiri yang di ambil Setyaki.
- (Kresna Memanggil
Kusirnya Daruka dengan Terompet Pancajahnya)
- Pasukan Satu aksauhini
(109.350 tentara) dead VS Arjuna (win)
- Karna (lost) VS Setyaki
(win) & Kusir Daruka
- Aswatama (lost) VS Arjuna
(win)
- (Keajaiban Kresna
matahari tertutup banyak awan sehingga tampak matahari sudah tenggelam)
- Jayadrata (dead) VS
Arjuna (win)
- Resi Drona VS Yudhamanyu
& Uttamaujas (draw)
– 4 Knight (Resi Kripa, Aswatama, Karna, Duryudana) lost VS Gatotkaca (win)
– 4 Knight (Resi Kripa, Aswatama, Karna, Duryudana) lost VS Gatotkaca (win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 15
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Resi Drona) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (Karna) ; Pandawa
(Gatotkaca)
FORMASI PERANG : Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
- Pasukan Hastinapura,
Pasukan Bhalika, Pasukan Dwaraka (lost) VS Gatotkaca, Pasukan Raksasa (win)
- Duryudana (lost) VS
Gatotkaca (win)
- Karna (win) VS Pasukan
Raksasa (lost)
- Karna (win) VS Gatotkaca
(dead)
- Resi Drona (win) VS Raja
Drupada (dead), Pasukan Panchala (lost)
- Resi Drona (win) VS Raja
Wirata (dead), Pasukan Matsah (lost)
- Resi Drona (win) VS
Drestadyumna & Bima (lost)
- Dursasana (lost) VS
Nakula (win)
- (Strategi Kresna, Bima
membunuh Gajah bernama Aswatama)
- (Bima mengumumkan dirinya
membunuh Aswatama di pasukan Resi Drona)
- (Resi Drona menanyakan
kebenarannya pada Yudistira)
- (Yudistira berbohong,
Resi Drona sedih dan melakukan Yoga)
- Resi Drona (dead)
terpenggal pedang Drestadyumna
- (Roda Kereta Yudistira
yang melayang 3 inci dari tanah. Setelah peristiwa tersebut, keretanya
menyentuh tanah.)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 16:
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Karna) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (Dursasana) ; Pandawa
(Bima)
FORMASI PERANG : Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
- Resi Krepa (win) VS Drestadyumna (lost)
- Resi Krepa (lost) VS Arjuna (win)
- Dursasana adik Duryudana (dead) VS Bima
(win)
- Karna (win) Kusir Raja Salya VS Arjuna
(lost) Kusir Kresna
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
17) PERANG HARI KE 17
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Karna) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (dursasana) ; Pandawa
(Bima)
FORMASI PERANG : Kurawa (??????) ; Pandawa (??????)
JALANNYA PERANG :
- Karna (win) VS Nakula
(lost)
- Karna (win) VS Sadewa
(lost)
- Karna (win) VS Bima
(lost)
- Duryudana (lost) VS
Yudistira (win)
- Karna (win) VS Yudistira
(lost)
- Karna, Kusir Raja Salya
VS Arjuna, Kusir Kresna (survive)
– (Kereta perang karna terperosok rodanya dalam lumpur, dan karna lupa mantra memanggil senjata Bramastra)
– Karna (dead) Kusir Raja Salya VS Arjuna (win) Kusir Kresna
– (Kereta perang karna terperosok rodanya dalam lumpur, dan karna lupa mantra memanggil senjata Bramastra)
– Karna (dead) Kusir Raja Salya VS Arjuna (win) Kusir Kresna
- 10 Kurawa Brothers (dead) VS 3 knight
(Drestadyumna, Yudhamanyu, Uttamaujas) (win)
- 18 Kurawa Brothers (dead) VS Bima
(win)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
PERANG HARI KE 18
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Raja Salya) ; Pandawa
(Drestadyumna)
PEMIMPIN PASUKAN : Kurawa (Duryudana) ; Pandawa
(Bima)
FORMASI PERANG : Kurawa (???????) ; Pandawa
(???????)
JALANNYA PERANG :
- Raja Salya (dead) VS
Yudistira (win)
- Sakuni (dead) VS Sadewa
(win)
- Duryudana (win) VS Cekitana
(dead)
- (Duryudana meninggalkan
medan perang dan melakukan Yoga Di dalam Danau Dwaipayana)
- (5 Pandawa Brothes,
Kresna, Yuyutsu, Setyaki, Drestadyumna, Srikandi, Yudhamanyu, Uttamaujas
mendatangi danau dan memanggil Duryudana)
- (Duryudana memilih Bima
sebagai lawan tanding Perang Gada)
- (Nakula mendatangi kamp
Kurawa mengambilkan Gada Duryudana yang terbaik)
- (Kritawarma, Resi Kripa
& Aswatama menunggu di sebrang danau yang bersiap menyerang Ksatria Pandawa
jika berlaku curang)
- (Baladewa Kakak Kresna
sekaligus Guru dari Duryudana dan Bima datang serta memberi restu)
– (Siasat Kresna. mengingatkan Bima akan sumpahnya mematahkan paha Duryudana)
– (Siasat Kresna. mengingatkan Bima akan sumpahnya mematahkan paha Duryudana)
- Duryudana (dead) VS Bima
(win) (Perang Gada)
- (Baladewa marah dan mau
membunuh Bima yang berlaku curang memukul paha saat perang Gada namun di cegah
dan di tenangkan Kresna)
- (Ksatria Pandawa
meniggalkan Duryudana dan kembali ke Kamp)
- (Kritawarma, Resi Kripa
& Aswatama mendatangi Duryudana sekaligus member restu pada Aswatama untuk
melanjutkan perang)
HASIL PERANG :
Kurawa (lost) ; Pandawa (win)
KESATRIA YANG TERSISA :
Kurawa :
- 3 Knight (Aswatama,
Kritawarma, ResiKripa)
Pandawa : 5 Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna,
Nakula, Sadewa)5 Panchawala (Pratiwindya putra Yudistira, Sutasoma putra Bima,
Srutasena putra Arjuna, Satanika putra Nakula, Srutakerti putra Sahadewa)
- 7 Knight (Kresna,
Drestadyumna, Setyaki, Srikandi, Uthamaujas, Yudhamanyu, Yuyutsu)
MALAM PEMBANTAIAN Hari ke19
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Aswatama) ; Pandawa
(Drestadyumna)
- Kritawarma & Resi
Kripa membakar semua kamp pasukan pandawa, dan menjaga di luargerbang membunuh
siapasaja prajurit dan ksatria yang mencoba untuk keluar.
- Aswatama membunuh dengan
panah dan menyembelih Drestadyumna, Srikandi, Uthamaujas, Yudhamanyu dan 5
Panchawala (Pratiwindya putra Yudistira, Sutasoma putra Bima, Srutasena putra
Arjuna, Satanika putra Nakula, Srutakerti putra Sahadewa)
KESATRIA PANDAWA YANG TERSISA :
5 Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa)
4 Knight (Kresna, Setyaki, Yuyutsu adik Tiri
Duryudana)
20) HARI PEMBALASAN
KOMANDAN TERTINGGI : Kurawa (Aswatama)
- Aswatama VS Arjuna
(survive)
– (Resi Wiyasa menahan senjata Bramastra dari Arjuna dan Aswatama, dan meminta keduanya menarik kembali senjatanya)
– (Arjuna mencabut kembali Bramastra, sedangkan Aswatama tidak tau mantra mencabut Bramastra, Wiyasa memintanya memilih target lainnya)
– (Resi Wiyasa menahan senjata Bramastra dari Arjuna dan Aswatama, dan meminta keduanya menarik kembali senjatanya)
– (Arjuna mencabut kembali Bramastra, sedangkan Aswatama tidak tau mantra mencabut Bramastra, Wiyasa memintanya memilih target lainnya)
- (Aswatama mengarahkan
senjata Brahmastra pada janin yang di kandung Uttari istri Abimanyu putra
Arjuna)
- (Krisna mengutuk Aswatama
agar menderita kusta dan mengembara di bumi sampai akhir zaman Kaliyuga.
sebagai orang buangan tanpa rasa kasih sayang dan dicintai)
- (Krisna menghidupkan
kembali anak yang telah mati dari rahim Uttari)
- (Pandawa dan kresna
menemui Barbarika sebagai penghakiman)
– (setelah penghakiman Barbarika memohon kematian pada Kresna, Cakra kresna menghancurkan kepala Barbarika)
– (setelah penghakiman Barbarika memohon kematian pada Kresna, Cakra kresna menghancurkan kepala Barbarika)
MANAKAH YANG LEBIH DI TAKUTI
DALAM PERANG KURUSETRA???
Dalam INDIA yang paling di takuti oleh kurawa bersaudara adalah = ARJUNA putra pandu
Dalam INDIA yang paling di takuti oleh kurawa bersaudara adalah = ARJUNA putra pandu
Dalam JAWA yang paling di takuti oleh kurawa
bersaudara adalah = BIMA putra pandu
Lalu bagaimanakah kerangka berpikirnya secara logika???
Lalu bagaimanakah kerangka berpikirnya secara logika???
1. Kurawa bersaudara dan Pandawa
bersaudara adalah sama2 murid Resi Drona selain Aswatama, Jayadrata dan
Drestadyumna yang juga adlah muridnya dari sekian banyak muridnya hanya Arjuna
yang paling pandai dan cekatan menggunakan senjata jarak jauh yaitu panah,
hanya arjunalah yang paling pandai mengunakan senjata dewa seperti Bramastra,
Astra, dan Agnastra. Itulah sebabnya para kurawa bersaudara takut pada arjuna
karena diantara mereka hanya pandai menggunakan senjata pedang, kapak, gada dan
tombak. Walaupun panah adalah senjata yang wajib di kuasai para ksatria tapi
tidak ada yang seterampil dan sehebat arjuna.
2. Bima salah satu dari 5 pandawa
dan Kurawa bersaudara seperti Duryudana, dursasana, wikarna DLL adlah murid
dari Baladewa kakak dari Kresna, dalam olah ilmu menggunakan senjata gada. Dari
sekian banyaknya muridnya hanya Duryudanalah yang paling pandai menggunakan
senjata gada. Sehingga walaupun baladewa dan Bima adalah saudara sepupu tapi
murid yang paling pandai dan paling di sayangi adalah Duryudana, jadi tidak ada
alasan apapun bagi para kurawa termasuk duryudana untuk takut pada Bima.
3. Ksatria bersenjata Panah paling
hebat di india ada 10 orang mereka adlah Arjuna, Bhisma, Resi Drona,
Parasurama, Aswatama, Karna, Kresna, Pradyumna, Abimanyu, Setyaki, Srikandi.
Jika di telita lebih lanjut sebagai berikut
– Ayah dan anak, Kresna dan pradyumna tidak melibatkan diri dalam peperangan jadi Kurawa bersaudara aman dalam hal lawan tanding senjata panah. Begitu juga dengan Parasurama tidak ikut dalam perang.
– Abimanyu, satyaki dan srikandi di pihak padawa itu setara dengan kekuatan aswatama yang juga ahli panah dari pihak kurawa di tambah lagi ia tidak bisa mati. kurawa juga memiliki 3 senjata terhebat yaitu Bhisma, Resi Drona dan karna yang tidak mungkin di kalahkan kesatria dari pihak pandawa termasuk arjuna. Mereka baru di kalahkan oleh siasat kresna yang sebagai penasehat dan kusir arjuna,,, jika kurawa mengandalkan aswatama yang takbisa mati itu percuma karena walaupun takbisa mati tapi ia bisa di kalahkan arjuna… untuk itulah kurawa pantas takut kepada arjuna di karenakan 3 ksatria terhebatnya terkalahkan
– Ayah dan anak, Kresna dan pradyumna tidak melibatkan diri dalam peperangan jadi Kurawa bersaudara aman dalam hal lawan tanding senjata panah. Begitu juga dengan Parasurama tidak ikut dalam perang.
– Abimanyu, satyaki dan srikandi di pihak padawa itu setara dengan kekuatan aswatama yang juga ahli panah dari pihak kurawa di tambah lagi ia tidak bisa mati. kurawa juga memiliki 3 senjata terhebat yaitu Bhisma, Resi Drona dan karna yang tidak mungkin di kalahkan kesatria dari pihak pandawa termasuk arjuna. Mereka baru di kalahkan oleh siasat kresna yang sebagai penasehat dan kusir arjuna,,, jika kurawa mengandalkan aswatama yang takbisa mati itu percuma karena walaupun takbisa mati tapi ia bisa di kalahkan arjuna… untuk itulah kurawa pantas takut kepada arjuna di karenakan 3 ksatria terhebatnya terkalahkan
4.
Ksatria bersenjata gada paling hebat di india ada 13 orang mereka adalah,
Baladewa, Jarasanda, Kicaka, Kamsa, parasurama, Bhisma, resi drona, Karna,
Duryudana, Dursasana, Bima, Jayadrata dan Drestadyumna. Jika di telita lebih
lanjut sebagai berikut.
– Jarasanda dan Kicaka telah tewas di bunuh bima sebelum perang baratayuda, Kamsa telah tewas di bunuh kresna sebelum baratayuda. Begitu juga dengan Parasurama tidak ikut dalam perang.
– Drestadyumna yang mahir segala jenis senjata setara kekuatannya dengan Jayadrata dan Dursasana. Jadi kurawa bersaudara aman.
– Kurawa bersaudara mempunya 4 senjata terhebat yaitu Bhisma, Resi Drona dan karna yang pandai segala jenis senjata dan takbisa di kalahkan Bima dan Arjuna. Yang ke 4 adalah duryudana kakak tertua kurawa yang paling ahli bermain senjata gada melebihi bima. Andai saja duryudana tidak terkena kutukan resi narada dengan kutukan paha hancur, dan sumpah maut dari bima untuk duryudana dan dursasana, taktik kresna dalam mengingatkan sumpah bima….. tentu duryudana takterkalahkan tentu bima sudah di hajar babak belur oleh duryudana,,,, kemenangan bima atas duryudana adalah suatu kecurangan, karena dalam perang gada tidah boleh memukul anggota badan di bagian pusar ke bawah, tapi bima memukul paha duryudana atas petunjuk kresna…
– Jarasanda dan Kicaka telah tewas di bunuh bima sebelum perang baratayuda, Kamsa telah tewas di bunuh kresna sebelum baratayuda. Begitu juga dengan Parasurama tidak ikut dalam perang.
– Drestadyumna yang mahir segala jenis senjata setara kekuatannya dengan Jayadrata dan Dursasana. Jadi kurawa bersaudara aman.
– Kurawa bersaudara mempunya 4 senjata terhebat yaitu Bhisma, Resi Drona dan karna yang pandai segala jenis senjata dan takbisa di kalahkan Bima dan Arjuna. Yang ke 4 adalah duryudana kakak tertua kurawa yang paling ahli bermain senjata gada melebihi bima. Andai saja duryudana tidak terkena kutukan resi narada dengan kutukan paha hancur, dan sumpah maut dari bima untuk duryudana dan dursasana, taktik kresna dalam mengingatkan sumpah bima….. tentu duryudana takterkalahkan tentu bima sudah di hajar babak belur oleh duryudana,,,, kemenangan bima atas duryudana adalah suatu kecurangan, karena dalam perang gada tidah boleh memukul anggota badan di bagian pusar ke bawah, tapi bima memukul paha duryudana atas petunjuk kresna…
Langganan:
Postingan (Atom)