Di pulau
Bali, Lontar adalah sebagai salah satu Sastra dari daun-daun
pohon siwalan yang sudah tua. Lontar dengan segala isinya merupakan salah satu
warisan kekayaan rohani
orang Bali yang memiliki arti yang sangat penting dan
strategis. Sastra / Lontar-lontar di Bali, secara kualitatif maupun
kuantitatif memiliki nilai yang sangat berharga.
Pembagian kepustakaan lontar Bali lebih
disistematiskan menjadi :
1.
Weda (weda,
mantra, kalpasastra);
2.
Agama
(palakerta, sasana, niti);
3.
Wariga
(wariga, tutur, kanda, usada);
4.
Itihasa
(parwa, kakawin, kidung, geguritan);
5.
Babad
(Pamancangah, usana, uwug), dan
6.
Tantri
(tantri, satua).
Pada artikel
ini akan sedikit mengungkapkan dari salah satu Lontar yang dalam
kategori Trantra dan saya spesifikan isinya khusus pada bagian
Pangleakan. Sebagai refrensi tentang lontar pengleakan diantaranya; “Lontar
Tantra Bhairawa, Kanda Pat dan Siwa Tantra”.
Istilah Tantrayana berasal dari akar kata Tan =
yang artinya memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada Dewa itu. Di India
penganut Tantrisme lebih banyak terdapat di India Selatan dibandingkan dengan
India Utara.
Kitab kitab
yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali kurang lebih ada 64 macam antara
lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra
Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara, dsb.
Dari Tantrisme munculah suatu faham “BHIRAWA” yang artinya hebat.
Dari Tantrisme munculah suatu faham “BHIRAWA” yang artinya hebat.
Paham Bhirawa
secara khusus memuja kehebatan daripada sakti, dengan cara cara yang
spesifik. Bhairawa inipun sampai berkembang ke Cina Tibet, dan Indonesia.
Di Indonesia masuknya saktiisme, Tantrisma dan Bhairawa, dimulai sejak abad ke VII melalui kerajan Sriwijaya di Sumatra, sebagaimana diberikan pesaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India selatan dan tibet.
Di Indonesia masuknya saktiisme, Tantrisma dan Bhairawa, dimulai sejak abad ke VII melalui kerajan Sriwijaya di Sumatra, sebagaimana diberikan pesaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India selatan dan tibet.
Perkembangan Saktiisme di Bali juga menjurus dua
aliran mistik yaitu “PENGIWE & PENENGEN”
Dari Pengiwa munculah pengetahuan tentang “LEYAK”.
Dari Pengiwa munculah pengetahuan tentang “LEYAK”.
DESTI = Serana, TELUH = cetik TARANJANA = yang
bisa terbang dan WEGIG = bebeki.
Dari Penengen muncullah pengetahuan tentang
“KEWISESAN” dan “PRAGOLAN” = mantra.
Pengiwa berasal dari sistem “Niwerti” dalam
doktrin Bhairawa, sedangkan penengen berasal dari sistem “Prawerti” dalam
doktrin Bhairawa.
Selain itu beberapa formula dalam Atharwa Weda
mengilhami mistik ini. Adapun kitab kitab Tantrayana di Indonesia antara lain:
TANTRA WAJRA DHASUBUTHI CANDARA BHAIRAWA dan SEMARA TANTRA
Pada Jaman
Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada abab ke 16, saat I Gede Basur masih
hidup yaitu pernah menulis buku lontar Pengeleakan dua buah yaitu “Lontar
Durga Bhairawi” dan “Lontar Ratuning Kawisesan”. Lontar ini memuat tentang tehnik-tehnik Ngereh
Leak Desti.
Dalam aksara
Bali tidak ada yang disebut leak, yang ada adalah “liya,
ak” yang artinya
lima aksara(memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui
tata cara tertentu.
Lima aksara
tersebut adalah Si, Wa, Ya, Na, Ma.
·
Si adalah mencerminkan Tuhan.
·
Wa adalah anugerah,
·
Ya adalah jiwa.
·
Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan.
·
Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa.
Kekuatan aksara ini disebut panca gni(lima api).
Manusia mempelajari kerohanian apapun, ketika mencapai puncaknya pasti akan
mengeluarkan cahaya(aura), cahaya ini keluar melalui lima pintu(indria)tubuh
yaitu: telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan namun pada umumnya
cahaya itu keluar melalui mata dan mulut.
Tempat bermain-main leak adalah Kuburan. Apabila ada orang yang baru
meninggal, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar roh
orang yang meninggal mendapatkan tempat sesuai dengan karmanya.
Doa leak
tersebut berbunyi: Ong gni brahma anglebur panca maha bhuta,
anglukat sarining merta. mulihakene kite ring betara guru, tumitis kita dadi
manusia mahotama. ong rang sah, wrete namah.
Di Bali kuburan sering identik dengan keramat, seram karena seling muncul hal-hal aneh. kenapa ? karena disinilah tempatnya roh berkumpul dalam pergolakan spirit. Sensasi yang datang dari orang yang melakukan Pangleakan tersebut adalah bisa keluar dari tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo.
Kata ngelekas artinya kontraksi batin agar badan astral kita bisa keluar. Inilah alasanya orang ngeleak. Roh bisa berjalan keluar dalam bentuk cahaya melesat dengan cepat, inilah yang disebut endih. Bagi yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan.
Di Bali kuburan sering identik dengan keramat, seram karena seling muncul hal-hal aneh. kenapa ? karena disinilah tempatnya roh berkumpul dalam pergolakan spirit. Sensasi yang datang dari orang yang melakukan Pangleakan tersebut adalah bisa keluar dari tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo.
Kata ngelekas artinya kontraksi batin agar badan astral kita bisa keluar. Inilah alasanya orang ngeleak. Roh bisa berjalan keluar dalam bentuk cahaya melesat dengan cepat, inilah yang disebut endih. Bagi yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan.
Endih ini adalah bagian dari badan astral
manusia (badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu). Di sini pelaku bisa
menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain. Dalam dunia
pengeleakan ada kode etiknya.
Leak mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak :
Leak mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak :
1.
Leak barak
(brahma). Leak ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api.
2.
Leak bulan,
3.
leak
pemamoran,
4.
Leak bunga,
5.
leak sari,
6.
leak cemeng
rangdu,
7.
leak siwa
klakah. Leak siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya
mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.
Tingkatan leak paling tinggi menjadi bade (menara pengusung
jenasah), di bawahnya menjadi garuda, dan lebih bawah lagi binatang-binatang
lain, seperti monyet, anjing ayam putih, kambing, babi betina dan lain-lain.
selain itu juga dikenal nama I Pudak Setegal (yang terkenal cantik dan bau
harumnya), I Garuda Bulu Emas, I Jaka Punggul dan I Pitik Bengil (anak ayam
yang dalam keadaan basah kuyup).
Dari sekian macam ilmu Pengleakan, ada beberapa
yang sering disebut seperti
·
Bajra Kalika
yang mempunyai sisya sebanyak seratus orang,
·
Aras Ijomaya
yang mempunyai prasanak atau anak buah sebanyak seribu enam ratus orang. Di
antaranya adalah I Geruda Putih, I Geringsing, I Bintang Sumambang, I Suda
Mala, Pudak Setegal, Belegod Dawa, Jaka Tua, I Pering, Ratna Pajajaran,
Sampaian Emas, Kebo Komala, I Misawedana, Weksirsa, I Capur Tala, I Anggrek, I
Kebo Wangsul, dan I Cambra Berag. Disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya
empat ilmu bebai yakni I Jayasatru, I Ingo, Nyoman Numit, dan Ketut Belog.
Masing-masing bebai mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara keseluruhan
apabila dihitung maka akan ada sebanyak 108 macam bebai.
Macam-macam
ilmu pengLeakan lainnya :
Aji Calon Arang, Ageni Worocana, Brahma Maya
Murti, Cambra Berag, Desti Angker, Kereb Akasa, Geni Sabuana, Gringsing Wayang,
I Tumpang Wredha, Maduri Geges, Pudak Setegal, Pengiwa Swanda, Pangenduh,
Pasinglar, Pengembak Jalan, Pemungkah Pertiwi, Penyusup Bayu, Pasupati
Rencanam, Rambut Sepetik, Rudra Murti , Ratna Geni Sudamala, Ratu Sumedang,
Siwa Wijaya, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang, Weda Sulambang Geni, keputusan
Rejuna, Keputusan Ibangkung buang, Keputusan tungtung tangis, keputusan Kreta
Kunda wijaya, Keputusan Sanghyang Dharma, Sang Hyang Sumedang, Sang Hyang Surya
Siwa, Sang Hyang Geni Sara, Sang Hyang Aji Kretket, Sang Hyang Siwer Mas, Sang
Hyang Sara Sija Maya Hireng, dan lain-lain yang tidak diketahui tingkatannya
yang mana lebih tinggi dan yang mana lebih rendah.
Hanya mereka yang mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.
Hanya mereka yang mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.
Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di
sinilah penganut leak sering kecewa, ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa
membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya
nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya,
kestabilan emosi sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam
memberikan pelajaran.
Selama ini
leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit,
atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial
mempelajari ilmu hitam disebut penestian. Ilmu ini memang dirancang bagaimana
membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam. Ada pun caranya adalah
dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia
bereaksi.
Pengwia
banyak menggunakan rajah-rajah ( tulisan mistik) dan dia juga pintar membuat
sakit dari jarak jauh, dan “dijamin tidak bisa dirontgen dan di lab”. Aliran
ini bertentangan dengan pengeleakan, apabila perang beginilah bunyi mantranya, “ong
siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan
………..”
Sumber : dari berbagai article, maaf numpang copas
jar
meMantra atau meWeda
OM
Swastiastu,

Belajar
meMantra atau meWeda
Dilarang belajar mantra, banyak orang
takut belajar mantrà,
karena belum mengerti apa itu
sesungguhnya mantrà disamping itu, sering mendengar sebuah kalimat; “Aywà Wérà tan sidhi phalanià”, jangan disembarangkan, perilaku yang sembarangan itu sangat tidak
baik manfaatnya. Kemudian lebih lanjut tutur-dituturkan oleh tetua kita di
Bali; Dà melajahin aksarà modré/aksarà suci nyanan buduh nasé. Jangan
mempelajari aksarà Modré/aksarà suci, nanti bisa gila. Dua pernyataan seperti
ini sudah cukup menakutkan bagi orang Bali yang lugu dan hormat kepada tutur,
orang tua dan orang yang disucikan.
Maka kita tidak cukup menerima begitu
saja, tutur tetua kita dan kalimat “Aywà Wérà tan sidhi phalanià”, dan Dà melajahin aksarà
modré/aksarà suci nyanan buduh nasé,
kalimat ini harus ditelusuri lebih mendalam. Dari mana sesungguhnya kalimat
tersebut muncul, dan dari buku mana dan apa tujuannya.
Kalimat tersebut muncul dari Purwa Adhi Gama Sesana, (Ringga Natha, 2003:3) yang menyatakan:
Yan han wwang kengin weruhing Sang
Hyang Aji Aksara,
mewastu mijil saking aksara,
tan pangupadyaya/maupacara mwah tan
ketapak, tanpa guru,
papa ikang wwang yan mangkana.
Bibijat wwang ika ngaranya,
apan embas/lekad tanpa guru,
kweh prabedanya,
papinehnya bawak,
yan benjangan padem wwang mangkana,
atmanya menados entipning kawah
Candra Ghomuka.
Apan lampahnya numpang laku,
kananda de para Kingkara Bala,
yan manresti malih matemahan triyak
yoni,
amangguhaken kesengsaran.
Arti bebasnya,
Jika ada orang yang ingin mempelajari
Sang Hyang Aji Aksara Sastra Suci, hanya dengan mempelajari Sastra buku-buku
tidak dilakukan upacara, tidak anugrahi ketapak melalui nyanjan, tidak memiliki
guru, berdosalah orang yang seperti itu. Tidak memiliki Bapak dan Ibu orang
yang seperti itu, karena kelahirannya tidak memiliki guru, roh-nya akan
mengendap didasar neraka Candra Ghomuka. Karena perjalanannya tidak menentu,
dihukumlah oleh pengikutnya Kingkara bala, kalau dia lahir kembali, dia akan
menjadi kotoran air yang mendidih dan akan menemukan kesengsaraan.
Dibenarkan belajar Mantra, kalimat
yang menyatakan boleh belajar mantra menyatakan sebagai berikut:
Kewala ikang amusti juga kawenangan
wehania ri wwang durung Adiksa Dwijati, ring arep anembah Dewa, amreyogakena
Sang Hyang ri daleming sarira.
Arti bebasnya,
kalau orang berkeinginan dengan
sungguh-sungguh, diperkenankan juga kepada orang yang belum Adiksa Dwijati
(dinobatkan sebagai pemangku atau sulinggih), asalnya disampaikan atau di
buatkan upacara kecil (Canang sari) dihadap para Dewa, sebagai bukti ketulusan
hati yang paling dalam untuk memahami dan mendalami apa yang disebut dengan
Mantra, bagaimana tulisan mantra yang benar, dan bagaimana reng-reng mantra
harus disuarakan agar mampu menyentuh sapta petala, sapta cakra dan sapta Loka.
Widyas ca wa awidyas ca, yac ca-anyad
upadesyam. Sariram brahma prawisad rcah sama-atho-yajuh.
Segala macam zat memasuki tubuh
manusia seperti misalnya kebijaksanaan, pengetahuan praktis, dan setiap
pengetahuan yang harus diajarkan, Tuhan yang Maha Esa Yang Maha Agung (Makhluk
Teragung), Rgweda; Samaweda dan Yajurweda. (Athwaweda XI.8.23).
Kalau diperhatikan kalimat tersebut
inti pokoknya terletak pada, jika mempelajari Aksara Suci atau Modre harus:
- diupacarai,
- memiliki guru, dan
- jika melanggar akan memperoleh hukuman.
Konsep upacara ada tiga, diantara
tiga masing-masing dapat dibagi menjadi tiga, sehingga menjadi sembilan konsep
yang dapat dipakai sebagai pedoman Nistaning Nista, dan inti dari yadnya adalah
ketulusan hati, jadi dengan upakara yang kecil (cukup) Canang Sari satu tanding
disertai kesucian hati, maka konsep upakara dapat diatasi. Harus memiliki guru,
yang disebut guru adalah: Guru Rupaka, Guru Pengajian, Guru Wisesa dan Guru
Swadhiyaya. Dengan menghaturkan satu sesaji canang sari kehadapan Tuhan Yang
Maha Esa, Swadhiyaya maka konsep guru telah kita lalui, maka dari itu seseorang
belajar mantra akan terhindar dari segala kutuk dan hukum, sehingga dapat
dikatakan bahwa untuk belajar mantra cukup dengan matur piuning di Sanggah
Kemulan, yang ditengah sebagai simbolis Tuhan dalam Rumah Tangga yang sering
disebut dengan Siwa Pramesti Guru.
Belajar Mantra berarti sebuah yoga,
dan yoga merupakan bagian dari enam aliran filsafat Hindu (niaya, waisasika,
sangkia, yoga, mimansa, weddanta). Tantra sangat meyakinkan kita akan kekuatan
yoga sebagai bentuk sadhana “kubci” pengendalian zaman ini. Yoga mempersatukan
Jiwa (atma) dengan Tuhan (Paramatma), Astangga Yoga memberi perincian luas dan
mendalam tentang delapan tingkatan yoga:
- yama (pengendalian diri),
- Nyama (penyucian lahir-bhatin),
- Asana (sikap duduk/tubuh),
- pranayama (pengaturan nafas),
- Pratyahara (pengendalian pengindraan),
- Dharana (perhatian memusat),
- Dyana (pemusatan pikiran),
- Samadhi (menyatunya subyek-subyek).
Pada tingkatan nyama terdapat sepuluh
mental yang harus dipenuhi, yaitu:
- Dana (sedekah),
- Ijya (sembahyang),
- Tapa (semadi),
- Dyana (pemusatan pikiran),
- Swadyaya (mempelajari weda-weda/mantra),
- Upastanigraha (mengendalikan sex),
- Brata (mengendalikan panca indria),
- Upanasa (berpuasa),
- Mona (mengendalikan kata-kata),
- Snana (membersihkan badan).
Meskipun sejarah telah banyak memberi
warnanya tetapi konsep astangga Yoga, tetap menjadi landasan pengertian tapa,
brata sebagaimana disebutkan di atas.
Secara alamiah yoga dialami
sewajarnya oleh semua mahluk, karena sebenarnya sekali hanya dengan persatuan
itulah semua yang ada itu ada. Keadaan inilah yang dijadikan landasan bersama
dan pertama, namun keadaan sedemikian ini dalam praktek kehidupan sehari-hari
sering dilupakan. Secara khusus dan teknis yoga adalah pengaktualisasikan
identitas, yang sebenarnya telah ada walaupun tidak disadari.
Tidak ada pengikat yang lebih kuat
dari maya, dan tidak ada kekuatan yang lain yang mampu menghancurkan ikatan itu
selain Yoga. Tattwajnana atau kesejatian adalah hadiah yang paling berharga
dari semua bentuk laku shadnan yoga.
Zaman kali telah menurunkan kitab
suci tantra, yaitu pengetahuan praktis yang langsung harus dipelajari dalam
praktek. Kitab tersebut menuntut pemahaman hakekat yoga shadhana ritual.
Pemahaman intensif memerlukan tingkat evolusi berpikir melalui
praktek-prakteknya. (Granoka, 2000:15).
Dari uraian di atas menunjukkan suatu
larangan yang bersifat positif, agar didalam mempelajari Mantra mengikuti
sistimatika dan etika bermantra. Bali sudah memahami mantra, agar dipergunakan
sebagai jalan mensejahterakan kehidupan masyarakat untuk mencapai kedamaian
bersama. Paling tidak mantram itu dipergunakan pertama untuk diri sendiri
seperti mantram; Pembersihan Tangan, Pembersihan Dupa, Pembersihan Bunga dan
Mantram Tri sandya. Kedua untuk keluarga, seperti: Otonan anak, otonan istri
dan upacara odalan kecil di sanggah kemulan milik sendiri, artinya hanya
sebatas dikalangan rumah sendiri dan dilakukan upakara secara kecil-kecilan.
Etika yang harus dipegang oleh orang
yang mempelajari mendalami spiritual adalah:
Kitrcah cisyo’dhyapya ityaha: Acarya
putrah cusrusur njadado dharmikah cucuh, aptah caktorthadah sadhu swodhyapya
daca dharmatah.
Menurut hukum suci, kesepuluh
orang-orang berikutnya adalah putra guru (yaitu) ia yang berniat melakukan
pengabdiannya, ia memberikan pengetahuan, yang sepenuh hatinya mentaati UU,
orang yang suci, orang yang berhubungan karena perkawinan atau persaudaraan, orang
memiliki kemampuan rohani, orang yang menghadiahkan uang, orang yang jujur dan
keluarga (mereka) dapat dipejalari Weda atau mantra.
Selanjutnya dinyatakan, seorang tidak
boleh menceriterakan apapun kepada orang lain kecuali kalau ditanyai; demikian
seseorang hendaknya tidak menjawab pertanyaan yang tidak wajar untuk
dinyatakan, hendaknya orang-orang supaya bertingkah laku bijaksana diantara
orang-orang yang memiliki pengetahuan yang sederhana. Diantara kedua jenis
orang itu, yang menjelaskan sesuatu yang tidak wewenangnya dan yang menyatakan
pertanyaan yang bukan wewenangnya salah satu dan keduanya, akan mengalami
kekeliruan atau terkena bencana permusuhan oleh orang yang lain. Sebagai bibit
yang baik tidak boleh ditaburkan pada tanah yang gersang, demikian juga
pengetahuan yang suci tidak seharusnya disebarkan kepada keluarga-keluarga
dimana kemasyurannya dan kekayaannya yang tidak didapat dengan kesucian atau
tanpa penghormatan kepada yang suci. Pengetahuan suci mendekati seorang
Sulinggih (su-berarti baik, linggih berarti tempat, maksudnya orang yang
dipercaya dimasyarakat, telah memiliki sifat-sifat baik) dengan berkata:
Aku adalah kekayaan anda, peliharalah
aku, jangan aku diserahkan kepada mereka yang tak percaya, dengan demikian aku
menjadi amat kuat. Tetapi serahkan saya kepada seorang Sulinggih yang anda
ketahui pasti ia yang sudah suci, yang bisa mengendalikan panca indranya,
berbudi baik dan tekun. (Weda Smerti, 1977/1978:109-115).
Silahkan, belajarlah Mantra dan
Memantra berdasarkan kesucian hati, dan ketika telah memilikinya, manfaatkanlah
sesuai dengan tata dan etika dimana harus diucapkan, dan dimana harus
dipujakan. Kalau orang berkeinginan dengan sungguh-sungguh, diperkenankan juga
memantra kepada orang yang belum Adiksa Dwijati.
Pengertian
Mantram
Mantram atau “mantra” yang biasa juga disebut Pùjà, merupakan suatu doa, berupa kata
atau rangkaian kata-kata yang bersifat magis religius yang ditujukan kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Mantram juga biasanya juga berisi
permohonan dan atau puji-pujian atas kebesaran, kemahakuasaan dan keagungan
Tuhan yang Maha Esa.
Kata “mantra” berhubungan dengan kata
Bahasa Inggris “man”, dan kata Bahasa Inggris “mind” dan “metal”, yang diambil
dari kata latin “ments” (mind), yang berasal dari kata Yunani “menos” (mind).
“Menos”, “mens”, “metal”, “mind”, dan kata mantra diambil dari akar kata kerja
Sanskerta “man”, yang berarti “untuk bermeditasi”. Ia memiliki pikiran yang ia
meditasikan. Ia berkonsentrasi pada kata sebuah “mantra” untuk “meditasi”.
Sumber mantra. Mantra adalah suara
yang berisikan perpaduan suku kata dari sebuah kata. Jagat raya ini tersusun
dari satu energi yang berasal dari dua hal, yaitu dua sinar yaitu suara dan
cahaya. Dimana yang satu tidak akan bisa berfungsi tanpa yang lainnya, terutama
dalam ruang spiritual. Uni suara yang disebut dengan mantra bukanlah mantra
yang didengar dari telinga; semua itu hanyalah manifestasi fisikal. Dalam
keberadaan meditasi yang tertinggi, dari seseorang telah menyatu dengan Tuhan,
yang ada dimana-mana, yang merupakan sumber dari semua pengetahuan dan kata.
Bahasa filsafat India, menyebutkan sabda Brahman, kata-kata Tuhan. Semua
pengetahuan tersedia bagi orang yang spiritual untuk dipakai dan diketahui.
Dari sini kesadaran muncul dan menyentuh permukaan interior pikiran yang
berhadapan dengan sang diri bukan merupakan indra-indra dan bagian dari dunia.
Permukaan interior ini disebut dengan antah karana, pemikiran yang intuitif.
Disini sinar kesadaran mengalir dan dari spiritual menghasilkan getaran mental.
Pikiran bercampur dengan kesadaran yang bagaikan cahaya kilat. Dan pada momen
mikro, yang sangat halus seperti keseluruhan buku weda atau semua ke 330 juta
mantra mungkin akan muncul. Saat pengetahuan muncul dari kedalaman buddhi
kepermukaan luar, pikiran rasional menjadi pemikiran verbal. Kata-kata itu
hanyalah proses manifestasi, getaran dari frekwensi yang lebih rendah dari pada
yang terlebih dahulu ada. Pikiran verbal ini dalam pikiran, disebut sebagai
vaikhari oleh ahli tata bahasa dan ahli filsafat, sebuah kata berbeda. Ini
hanyalah tahap pertama dari vaikhari. Sehingga apa yang disebut dengan
pemunculan kata sebenarnya adalah kata-kata terselubung pada frekwensi Kata
yang paling rendah. Ini diselubungi oleh lapisan pikiran yang individual.
Keterbukaan yang sebenarnya terdapat dalam meditasi yang paling tinggi yang
merupakan dialog tanpa kata-kata atau pertukaran dengan Tuhan dan Jiwa.
(Bharati, 2004: 3,29,30).
Para ahli agama bahkan menyatakan
bahwa mantram dapat menghalau berbagai macam bencana, rintangan maupun penyakit
dan merupakan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan. Mantram juga dikatakan
sebagai ladang energi atau energi illahi (Tuhan) yang sangat dibutuhkan bagi
kelangsungan hidup umat manusia. Dengan mantram, maka akan dihasilkan getaran
energi Tuhan sesuai dengan matram yang diucapkan. Oleh karena itu setiap
bersembahyang umat Hindu sebaiknya mengucapkan matram yang disesuaikan dengan
tempat dan waktunya. Namun jika tidak memahami mantram yang dimaksudkan, mereka
dapat bersembahyang dengan bahasa yang paling dipahami.
Umat Hindu disarankan memahami dan
mampu paling tidak mengucapkan Mantram atau Puja Trisandya dan Kramaning
Sembah, dua jenis mantram yang amat diperlukan pada waktu bersembahyang (Suhardana,
2005:22-23)
Ada bermacam-macam jenis mantra, yang
secara garis besarnya dapat dipisahkan menjadi Vedik Mantra, Tantrika Mantra
dan Puranik Mantra. Lalu setiap bagian ini selanjutnya dibagi mejadi sattwika,
rajasika dan tamasika mantra. Mantra yang diucapkan guna pencerahan, sinar,
kebijaksanaan, kasih sayang Tuhan tertinggi, cinta kasih dan perwujudan Tuhan,
adalah sattwika mantra, dan mantra yang diucapkan guna kemakmuran duniawi serta
anak cucu, merupakan rajasika mantra, sedangkan mantra yang diucapkan guna
mendamaikan roh-roh jahat atau menyerang orang lain ataupun perbuatan-perbuatan
kejam lainnya adalah tamasika mantra, yang penuh dosa dan perbuatan demikian
yang mendalam disebut warna-marga atau ilmu hitam.
Selanjutnya mantra juga dapat dibagi
lagi menjadi tiga bagian yaitu:
- Mantra, yang berupa sebuah daya pemikiran yang diberikan dalam bentuk
beberapa suku kata atau kata, guna keperluan meditasi, dari seorang
guru;
- Stotra, doa pada dewata, yang dapat dibagi lagi menjadi; (a). bersifat umum
dan (b). bersifat khusus. Stotra umum guna kebaikan umum yang harus datang
dari Tuhan sesuai dengan kehendakNya, sedangkan do’a khusus adalah
do’a-do’a dari seorang pribadi kepada Tuhan untuk memenuhi beberapa
keinginan khususnya;
- Kawaca, atau mantra yang dipergunakan sebagai benteng perlindungan.
(Maswinara, 2004:7-8).
Seperti halnya mengucapkan mantram
dalam melaksanakan Tri Sandya, sembahyang atau berdoa, maka dalam pengucapan
mantram japa dibedakan atas empat macam sikap atau cara yakni:
- Waikaram Japa, yaitu melaksanakan japa dengan mengucapkan mantram japa
berulang-ulang, teratur dan ucapan mantram itu terdengar oleh orang
lain.
- Upamasu Japa, yaitu melaksanakan japa dalam hati secara teratur,
berulang-ulang, mulut bergerak, namun tidak terdengar oleh orang lain.
- Manasika Japa, yaitu melaksanakan japa dalam hati, mulut tertutup rapat,
teratur, berulang-ulang, konsentrasi penuh, tidak mengeluarkan suara sama
sekali.
- Likhita Japa, yaitu
melaksanakan japa dengan menulis berulang-ulang mantra japa di atas kertas
atau kitab tulis, secara teratur, berulang-ulang dan khusuk (Titib,
1997:92)
Jadi dari uraian di atas menunjukkan
bahwa Mantram, juga disebut Puja, dan juga disebut Japa, merupakan suatu
kata-kata yang diucapkan bersifat magis religius yang ditujukan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya. Yang berisi puji-pujian dan
permohonan sesuatu, sesuai dengan keinginan. Hal ini disesuaikan dengan situasi
dan tempat dimana, bagaimana dan mantram apa yang harus diucapkan.
Kemudian dalam pengucapan mantram
tersebut dijelaskan, semakin keras kita mengucapkan mantram maka nilainya
semakin kecil dan sebaliknya semakin kecil kita mengucapkan mantram maka
nilainya semakin besar. Dan para penulispun juga dikatakan melaksanakan japa,
maka dari itu karya tulis buku “Mantra dan Belajar Memantra” ini adalah sebagai
Lakhita Japa, yang akan dibahas melalui tahap-demi tahap.
Belajar
Mantram
Secara umum mantram dari jaman dahulu
sangat dilarang oleh tetua kita di Bali, dengan istilah Aywa Wérà, tan sidha
phalanià, jangan disembarangkan/dibicarakan, nanti kemujizatannya akan hilang,
hal seperti itu tidak baik. Tetapi jaman semakin berkembang, maka pernyataan
tersebut perlahan-lahan berubah menjadi Ayu Wérà, sidhi phalanià, sangat baik untuk dibicarakan, dan utama manfaatnya. Dari kedua
pernyataan tersebut menunjukkan, apabila suatu hal dilaksanakan dengan tujuan
baik, maka segala sesuatunya dapat dibicarakan atau di analisa, untuk mencapai
kesempurnaan. Tetapi kalau pembicaraan untuk ke hal-hal yang negative,
sebaiknya jangan dibicarakan karena akan mendatangkan malapetaka.
Kemudian secara teori, memang ada
unsur larangan untuk mengucapkan Mantram, tetapi ada juga unsur yang memberikan
kesempatan untuk belajar mengucapkan mantram kalau hal itu dilakukan dengan
tujuan baik. Larangan yang dimaksud untuk mengucapkan Mantram adalah:
Yan hana wwang kengin weruhing Sang
Hyang Aji Aksara, mewastu mijil saking aksara, tan pangupadyaya/maupacara muang
tan ketapak, tanpa guru, papa ikang wwang yang mangkana.
Apabila ada orang yang ingin belajar
Sastra, dengan tidak memiliki guru, tidak dianugrahi (ketapak) berdosalah orang
seperti itu. Tetapi kalau dilakukan dengan cara yang baik (sesuai situasi dan
hati nurani yang belajar Mantra), hal tersebut diperbolehkan, walaupun belum
memenuhi persyaratan tersebut di atas, yang bertujuan untuk memuja manifestasi
Tuhan, dengan hati yang tulus ihklas untuk mengabdi tanpa pamrih. Kewala ikang
amusti juga kawenangan, amreyogakena Sang Hyang ri daleming sarira. Maka dari
itu marilah kita memantra dan Belajar memantra dengan, sredaning manah.
beberapa
jenis mantra
Mantram
Umum
- Mantram Tri Sandya
- Panca Sembah
Mantram
dalam Yadnya
- Mantram Widhi Yadnya
- Mantram Dewa Yadnya
- Mantram Pitra Yadnya
- Mantram Rsi Yadnya
- Mantram Manusa Yadnya
- Mantram Bhuta Yadnya
Ngayab
Banten
Penghormatan,
Dewa yang Berstana di Gunung- Gunung
Upakara
Ngawit Mekarya Wewangunan
Nganteb
Piodalan Alit
Muput
Piodalan Alit di Merajan/Sanggah
- Byakaonan
- Durmanggala (Pangastawa)
- Pengulapan (Pangastawa)
- Prayascita (Pangastawa)
- Lis (Pangastawa)
- Ngosokan Lis (Pengastawa)
- Ngastawa linggihang dewa di
Palinggih/Sanggah
- Mendak Kepanggung di jaba (Baruna Astra)
- Ngayat segehan ring Natah Umah
- Medatengan ring Sanggah
- Mapiuning Indik Piodalan.
- Nganteb banten di pelinggih sami
- Ngayab Banten Piodalan.
- Ngayab Banten Pangemped lan Soda aturan
- Ngayab Penagi/Sesangi
- Ngayab banten Sambutan durung ketus Gigi
- Tri Sandya
- Muspa (Ngaggem Panca Sembah).
- Margiang Benang Tebus
- Pengaksama ring Dewa Betara
- Nyimpen Bajra.
Dewata
Pawamana Soma
- Resi Kasyapa, asita Atau Dewala: Canda Gayatri
(Sukta 13), Canda Gayatri (Sukta 14), Canda Gayatri (Sukta 15), Canda
Gayatri (Sukta 16)
- Upacara Bajang Colong: Banten Pasuwungan,
Banten Pengelukatan di Dapur, Banten Ring Sumur, Banten Ring Sanggah
Kemulan, Banten Bajang Colong, Upacara Natab Sambutan, Panglukatan Mala,
Lindu Gemana, Penglukatan Panca Geni (Orang Tilas), Pecaru Gering Tempur,
Penglukatan Siwa Geni, Caru Manca Rupa (dagingnya bisa diganti), Salwiring
Pemanes Karang, Pengasih Buta Muang Dewa, Dwijendra Astawa, Surya Sewana
(Bila sakit tidak ada obatnya), Mantram Sebelum belajar Memantra, Pawisik
Dewi Maya Asih, Melapas Wewangunan Utama, Madya dan Nista 113 7.2.20.
Pesimpenan 115 7.2.21. Mantram Arca Muang Mapendem Pedagingan Meru 115
7.2.22. Katiban Durmanggala 116 7.2.23. Puja Mawinten 116 7.2.24. Ananggap
Dana 117 7.2.25. Penenang Jiwa yang Menderita 117 7.2.26. Ilmuwan Mengerjan
Ilmu Untuk Kebaikan Manusia 118 7.2.27. Persembahan Weda Mantra 118
7.2.28. Arti Penting Penguncaran Mantra 119 7.2.29. Makanan
disucikandengan Yadnya 120 7.2.30. Yadnya Menseimbangkan Dunia 120 7.2.31.
Keturunan yang Melakukan Yadnya (bertambah) Baik 121 7.2.32. Tuhan
Pencipta Tata Surya 121 7.2.33. Menyebarkan Sistem Pendidikan dalam Weda
121 7.2.34. Yadnya dengan Mantra Weda dalam Gayatri 123 7.2.35. Yang Jahat
Harus Disingkirkan 123 7.2.36. Mengenal Tuhan Melalui Penglihtan Spiritual
124 7.2.37. Mensucikan Hati dan Jiwa 124 7.2.38. Membersihkan Air Sumur
dalam Weda 125 7.2.39. Yadnya Sejak Jaman Dulu Menurut Weda 125 7.2.40.
Semoga saya tida pernah melanggar-Nya 125 7.2.41. Jagalah Kami dengan
Sinar Pengetahuan Spiritual 126 7.2.42. Negara yang Sejahtera 127 7.2.43.
Susunan Pencernaan (Analisa) Ilmu 127 7.2.44. Sebelum Beryadnya Manusia
Lebih Dulu dilindungi Tuhan 128 7.2.45. Aktif dalam Ilmu Pengetahuan
adalah Yadnya 128 7.2.46. Semoga Kami melenyapkan dosa-dosa Musuh 128
7.2.47. Mengucapkan Mantra Gayatri tiap Hari, menurut Weda 129 7.2.48.
Mencapai kebesaran melalui Tulisan 130 7.2.49. Berilah kami tinggal
dirumah yang menyenangkan 130 7.2.50. Engkau Ajarkan (Weda) kepada Rakyat
130 7.2.51. Yang meninggalkan Yadnya ditinggalkan oleh Tuhan 131 7.2.52.
Karmaphala dalam Weda 131 7.2.53. Persembahan dalam Pitara dalam Weda 132
7.2.54. Dengan pengetahuan untuk mencapai Kedewasan 132 7.2.55. Korban Api
sebagai Yadnya 133 7.2.56. Api pemusnah segala macam Penyakit 133 7.2.57.
Sinarnya api Naik Turun 134 7.2.58. Weda diucapkan untuk memperoleh
Pengetahuan Spiritual 134 7.2.59. Pengetahuan Petir melalui Weda 134
7.2.60. Brahmacari selama 48 Tahun 135 7.2.61. Suami yang bercahaya 135
7.2.62. Engkau Bercahaya laksana Matahari 136 7.2.63. Memberi Kesengan
kepada Pengantin 136 7.2.64. Perkawinan Muda berpegangganglah kepada
Kebenaran 137 7.2.65. kebahagiaan hari nin, esok dan setiap hari 137
7.2.66. Lindungilah Perkawinanmu 137 7.2.67. Suami tersayang dan Pemberani
138 7.2.68. Dosa yang sadar dan Dosa yang Tidak Sadar 138 7.2.69. Guru
Pemberi Rakhmat 139 7.2.70. Ajarkan dengan kata-kata yang manis 139
7.2.71. Memberi Pengetahuan Siang dan Malam 140 7.2.72. Siapa Yajamana
itu? 140 7.2.73. Orang terpelajar yang berpikiran Mulia 141 7.2.74.
Selenggrakan Yadnya dengan Benar 141 7.2.75. Kerjakan Yadnya Rumah Tangga
dengan Weda Mantra 142 7.2.76. Mempelajari Weda dengan setulus hatimu 142
7.2.77. Weda Berkai satu, Dua, Tiga, Empat dan Delapan. 142 7.2.78. Yadnya
Mantra harus di laksnakan oleh Rumah Tangga 143 7.2.79. Jinakan Pikiranmu
dengan ucapan Weda Mantra 143 7.2.80. Enam belas sifat dalam Berumah
Tangga 144 7.2.81. Enam Belas Kala 145 7.2.82. Ceritera Ketuhanan dari
Weda 145 7.2.83. Untuk memperoleh sifat Mulia 145 7.2.84. Weda mengajarkan
Azas Demokrasi 146 7.2.85. Makna dan Fungsi Gayatri dalam Weda 146 7.2.86.
Suami yang tidak Beragama 147 7.2.87. Dhananjaya; memberi makan dan
memelihara Tubuh 148 7.2.88. Tiga puluh empat penyangga Yadnya 148 7.2.89.
Prasana Upanisad 148 7.2.90. Penciptaan dan Penguasa 149 7.2.91. Resi
wasistha, Dewata: Saraswan, Sayair: Gayatri 154 7.2.92. Pemujaan Sawitri
163 7.2.93. Atharwa Weda 181 7.2.94. Sama Weda 191 7.2.95. Samkya Darsana
206 8 Weda dan Mantra 216
Weda
Mantra
- Mantra Upasana dan Mantra Upadesa: Pungsi
Mantram, Nilai Magis Mantram
- Pemujaan setiap hari: Puja, Kidung, Putru,
Majijiwan
Pembelajaran Orang Dewasa
- Orang dewasa dihargai kemandiriannya
- Orang dewasa memiliki banyak pengalaman
- Orang dewasa mempunyai kesediaan belajar
hal-hal relewan
- Sastra sebagai alat komunikasi
Proses
Belajar
Dari uraian di atas, secara teori
ilmu apapun bisa dipelajari asal dimanfaatkan secara dewasa, artinya anak kecil
atau anak muda bisa membahas Mantra apabila penerapakan dilakukan secara
dewasa. Suatu “Moto” di Bali, Aywa
Were tan siddhi phalanya”,
kalau ilmu itu disembarangkan jelas dia tidak bermanfaat, tetapi kalau
dipelajari dengan suatu sistem dengan tujuan baik “Ayu Were Siddhi phalanya” boleh dibicarakan akan sangat baik manfaatnya. Baik bagi diri sendiri
keluarga maupun masyarakat dan negara. Sekaranglah saatnya kita tahu Mantra dan
Belajar Memantra. Seperti bunyi bait Yayur Veda.Bagian I.19
Sarmasyawadhutaduam rakso,wadhuta
aratayo’ditwastwagasi twa’ditirwettu; Dhisana ’si parwati prati twa,ditastwag
wettu diwaskambhanirasi dhisana,si parwateyi prati twa parwati wettu.
Yadnya adalah pemberi kebahagiaan,
menjauhkan yang egois dan sifat-sifat kikir dan melindungi daerah tempat
seperti kulit melindungi tubuh. Semoga yang melakukan yadnya menyadari arti
pentingnya. Penguncaran Weda Mantra yang benar-benar merupakan yandnya sendiri.
Yadnya yang dilakukan pada hari tertentu juga memberi perlindungan seperti
kulit melindungi tubuh. Yadnya adalah penyangga matahari yang cemerlang,
perwujudan dari ceritera Weda. Semoga kami menyadari yadnya sebagai pembawa
hujan dan pemberi pengetahuan spiritual.
DAFTAR BACAAN
Anom, Utara 1994. Kesumadewa.
Denpasar: Percetakan Offset & Toko Buku Ria.
Anda Kusuma Sri Rshi, 1986 “Kamus
Bahasa Bali Indonesia-Indonesia Bali” Penerbit. CV. Kayumas Agung.
Atmanadhi, Satrya I Nyoman. 1972.
Dasar Kepemangkuan (Ke Sulinggihan). Denpasar.
Bangli, IB. 2005. Puja
Walaka-Pinandita. Surabaya: Penerbit. Cetakan Pertama: Paramita
Bharati, Swami Veda, 2002. Mantra
Inisiasi Meditasi & Yoga. Surabaya: Penerbit. Paramita.
Gambar, I Made. 1986. Sodasiwikerama.
Denpasar: Stensilan. (Buku Yang banyak Mengandung Inti-Inti Falsafah Hindu.)
.............., 1987. Sang Kulputih
Kusuma Dewa. Denpasar: Terjemahan.
Kaler, I Gusti Ketut. 1983. Tuntunan
Muspa Bagi Umat Hindu. Denpasar: Penerbit Guna Agung.
Kanca, Jero. I Nyoman Tt.
Persembahyangan Bagi Warga Hindu. Buleleng: Toko Buku Indra Jaya.
Maswinara, I Wayan 2004. Gayatri Sadhana
Maha Mantra Menurut Weda. Surabaya: Penerbit Paramita.
Ringga Natha, Jero gede Pasek 2003.
Agem-Ageman Kepemangkuan. Surabaya: Cetakan Pertama. Penerbit. Paramita
Paulina Panennen dan Purwanto, 2001.
Aplied Approach, Mengajar di Perguruan Tinggi.
Penulisan Bahan Ajar. Jakarta: Buku
2.08. Pusat antar Universitas Untuk peningkatan dan Pengembanngan Aktivitas
Intruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional.
Parisada Hindu Dharma Pusat,
1982-1983. Himpunan Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-IX.
Denpasar: Parisada Hindu Dharma.
Pramadaksa, Sri Empu Nabe, 1984.
Upacara Panca Yadnya. Badung: Gria Agung Bungkasa Abiansemal.
Prasetya, Irawan T.t. Pekerti.
Jakarta: Sampai saat ini ybs. Sebagai Staff Antar Universitas Terbuka.
Pusat Propinsi Bali, 2000. Pedoman
Sembahyang. Denpasar: Milik Pemerintah Propinsi Bali.
Pudja, G. 1976. Weda Parikrama, Satu
Himpunan Naskah Mantra dan Stotra teks asli bahasa Sanskerta dan Penjelasannya.
Jakarta: Penerbit. Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Weda.
..........,1979. Sama Weda “Sama Weda
Samhita”. Jakarta: Pesanan Proyek Pengadaan Kitab suci Hindu. Milik Departemen
agama Republik Indonesia.
..........., 1985. Weda (Pengantar
Agama Hindu). Jakarta: Cetakan ke 3
............,1985. Yajur Weda (Weda
Sruti). Bagian I. Jakarta: Terjemahan. Departemen Agama RI Direktorat Jendral
Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha.
Putra, Tt. Cudami III, Kumpulan
Kuliah Agama Hindu Bhatkti Marga, Cinta Kasih dan Penyerahan Diri kepada Tuhan.
Dosen Institut Hindu Dharma.
Sugiarto, R dan Gede Pudja. 1982.
Sweta Swatara Upanisad. Jakarta: cetakan Pertama. Proyek Pengadan Kitab suci
Hindu. Milik Depatemen agama Republik Indonesia.
............, 1985 Atharwa Wedha
(Weda Sruti) Terjemahan. Jakarta: Copyright. Maya Sari.
Suhardana, KM 2005. Pengantar Menuju
Pedoman Sembahyang Umat Hindu. Surabaya: Penerbit. Paramita
Sutjipta, Nyoman dan A.A. Sagung
Kendran, 2006. Pembelajaran Orang Dewasa. Denpasar: Penerbit. Lembaga
Pengkajian dan Pengembangan Mutu Pendidikan Universitas Udayana.
Tim Penyusun, 1993. Buku Pelajaran
Agama Hindu di Perguruan Tinggi. Jakarta: penerbit Hanuman sakti.
Titib I Made,1986 Weda Walaka.
Jakarta: penerbit. PT. Dharma Nusantara Bahagia.
……….,1997. Tri Sandya Sembahyang dan
Berdoa. Surabaya: Penerbit. Paramita
Wisesa, Ida Pandita Umpu Nabe Daksa
Kertha, 2001. Nganteb Piodalan Alit. Denpasar: Gria Agung Giri Manik. Penerbit.
Kios Muria.
Watra, 2006. Majalah Kebudayaan Bali
Taksu. Denpasar: Edisi 159 Mei-Juni/VII. Penerbit. Mitra Printing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar