Napak tilas
Batara lelangit ring Bali
MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI
Kembali kepada Mpu Gni Jaya yang menurunkan Sapta Rsi, kawitan (leluhur) langsung dari Maha Gotra Pasek, Tangkas dan Bendesa (MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI), yang juga merupakan kawitan (leluhur) langsung dari “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapretisentananya.
Mpu Gni Jaya mempunyai putra 7 orang atau yang sering disebut Sapta Rsi diantaranya :
MPU KETEK
Kembali kepada Mpu Gni Jaya yang menurunkan Sapta Rsi, kawitan (leluhur) langsung dari Maha Gotra Pasek, Tangkas dan Bendesa (MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI), yang juga merupakan kawitan (leluhur) langsung dari “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapretisentananya.
Mpu Gni Jaya mempunyai putra 7 orang atau yang sering disebut Sapta Rsi diantaranya :
MPU KETEK
Mpu Ketek berputra 2 orang yaitu Sanghyang Pemacekan dan Arya
Kepasekan. Sanghyang Pemacekan juga berputra 2 orang, yang pertama Mpu
Pemacekan kemudian pergi ke Pasuruhan, lalu pindah ke Majapahit. Putra yang
kedua adalah seorang putri bernama Ni Dewi Girinatha. Sedangkan Arya Kepasekan
juga mempunyai 2 orang putra yaitu : Kyayi Agung Pemacekan dan Ni Luh Pasek.
Mpu Pemacekan di Majapahit mempunyai 3 orang putra yakni Ni Ayu Ler, Mpu
Jiwanatha dan Arya Pemacekan. Kemudian Kyayi Agung Pemacekan berputra 2 orang
yaitu Kyayi Pasek Gelgel dan Kyayi Pasek Denpasar. Mpu Jiwanatha mempunyai
putra Kyayi Agung Padang Subadra, lebih lanjut Arya Pemacekan mempunyai putra
Ni Luh Pasek dan Kyayi Agung Pemacekan. Kyayi Agung Pemacekan berputra Kyayi
Agung Pasek Subadra dan Kyayi Pasek Tohjiwa. Kedua putra beliau ini berperan
pada awal jaman Kerajaan Gelgel. Seterusnya Kyayi Agung Pasek Subadra berputra
Pasek Subadra menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Suladri, ia berasrama di
Taman BaliBangli. Dan yang
terkecil adalah Pasek Kuru Badra. Kemudian Kyayi Pasek Tohjiwa berputra; Pasek
Tohjiwa menjadi tabeng wijang Kerajaan Gelgel, adik-adiknya adalah Pasek
Tanggun Titi, Pasek Penataan, Pasek Antasari, Pasek Alas Ukir, Pasek Langlang
Linggah, Pasek Besang, Pasek Duda, Pasek Wanagiri, Pasek Medaan, Pasek
Bantiran, Pasek Pupuan dan Pasek Sanda. Sedangkan Pasek Subrata menurunkan
Pasek Subrata Bale Agung, De Pasek Sadra, De Pasek Tawing dan De Pasek Mubutin.
Dukuh Suladri di pesraman Tamanbali menurunkan I Gde Pasek Sadri, Pasek Sadra
yang menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sakti Pahang, Ni Luh Sadri diperistri oleh
Sri Angga Tirtha Ksatrya Tirtha Arum. Luh Sadra diambil oleh Dalem De Madya.
Sedangkan Pasek Kuru Badra menurunkan Pasek Padangrata di Padang. Pasek Subadra Bale Agung menurunkan De Pasek Subrata menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Sidawa menurunkan Gde Pasek Tulamben di Tulamben. Selanjutnya Dukuh Sidawa menurunkan Wayan Sibetan, Made Desa, Wayan Tubuh, De Pasek Subrata, Ia ikut pembrontakan I Gusti Agung Maruthi. Dukuh Sakti Pahang menurunkan Ni Luh Pasek Sadri dikawini oleh Kyayi Agung Anglurah Pinatih, yang kedua De Pasek Pahang, ia menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Titi Gantung, ia yang memperlihatkan kesaktiannya kepada Anglurah Pinatih Kasiman, sehingga akhirnya Anglurah Pinatih Kesiman mengungsi ke Desa Minggir daerahKarangasem, putra Dukuh Sakti Pahang yang ketiga adalah Pasek Sadri. Dukuh Titi Gantung menurunkan 3 anak yaitu Gurun De Pasek Sadra menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sampaga, putra yang kedua Gurun Made Sadri, sedangkan yang ketiga Gurun Nyoman Sadriya dan yang paling kecil bernama Dukuh Bukit Salulung. Dukuh Sampaga menurunkan dua putra yaitu Made Pacung Mengwi, dan yang kedua Pasek Munggu yang bergelar Dukuh Sampagi.
Sekian banyaknya keturunan Mpu Ketek, mereka masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Tohjiwa, Pasek Tangguntiti, Pasek Padang Subadra, Pasek Wanagiri, Dukuh Sakti Pahang, Dukuh Sampaga, Dukuh Sampagi, Dukuh Bukit Salulung sebagai jati dirinya, sebagai pertanda keturunan Mpu Ketek.
MPU KANANDA
Sedangkan Pasek Kuru Badra menurunkan Pasek Padangrata di Padang. Pasek Subadra Bale Agung menurunkan De Pasek Subrata menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Sidawa menurunkan Gde Pasek Tulamben di Tulamben. Selanjutnya Dukuh Sidawa menurunkan Wayan Sibetan, Made Desa, Wayan Tubuh, De Pasek Subrata, Ia ikut pembrontakan I Gusti Agung Maruthi. Dukuh Sakti Pahang menurunkan Ni Luh Pasek Sadri dikawini oleh Kyayi Agung Anglurah Pinatih, yang kedua De Pasek Pahang, ia menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Titi Gantung, ia yang memperlihatkan kesaktiannya kepada Anglurah Pinatih Kasiman, sehingga akhirnya Anglurah Pinatih Kesiman mengungsi ke Desa Minggir daerahKarangasem, putra Dukuh Sakti Pahang yang ketiga adalah Pasek Sadri. Dukuh Titi Gantung menurunkan 3 anak yaitu Gurun De Pasek Sadra menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sampaga, putra yang kedua Gurun Made Sadri, sedangkan yang ketiga Gurun Nyoman Sadriya dan yang paling kecil bernama Dukuh Bukit Salulung. Dukuh Sampaga menurunkan dua putra yaitu Made Pacung Mengwi, dan yang kedua Pasek Munggu yang bergelar Dukuh Sampagi.
Sekian banyaknya keturunan Mpu Ketek, mereka masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Tohjiwa, Pasek Tangguntiti, Pasek Padang Subadra, Pasek Wanagiri, Dukuh Sakti Pahang, Dukuh Sampaga, Dukuh Sampagi, Dukuh Bukit Salulung sebagai jati dirinya, sebagai pertanda keturunan Mpu Ketek.
MPU KANANDA
Mpu Kananda hanya berputra seorang yaitu Sang Kula Dewa, menjadi
Pandhita dengan gelar Mpu Sweta Wijaya. Mpu Sweta Wijaya berputra 3 orang yaitu
: Sang Kulputih yang tertua bergelar Mpu Dwijaksara. Beliaulah yang menyusun
pegangan “Seha” atau “Anteban” buat para pemangku di Bali. Pustaka suci ini bernama “Sang
Kulputih”, putra yang kedua bernama Mpu Wira Sang Kulputih pergi ke Pasuruhan.
Putranya yang ketiga bernama Ni Arya Swani. Mpu Wira Sang Kulputih berputra Ni
Luh Sorga dan Ki Dukuh Sorga, ia pergi ke Bali.
Inilah yang menurunkan para Pemangku Kulputih di Besakih. Demikianlah keturunan
Mpu Kananda yang mempergunakan pungkusan Pasek Sorga.
MPU WIRADNYANA
Mpu Wiradnyanapun berputra hanya seorang saja, yang bernama Mpu
Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha. Beliau berasrama di hutan Tumapel,
beliau berputra Mpu Purwa dan Ken Dedes. Ken Dedes dipersunting oleh Tunggul
Ametung sebelum akhirnya dikawini oleh Ken Arok setelah dapat mengalahkan
Tunggul Ametung, inilah yang menurunkan Raja-raja Jawa selama 4 Abad. Mpu Purwa
berputra Arya Tatar dan Ni Swaranika. Arya Tatar pindah ke Bali dan
mempunyai putra yang diberi nama Ki Gusti Pasek Lurah Tatar dan Ni Rudani. Ki
Gusti Pasek Lurah Tatar menurunkan De Pasek Tatar yang kemudian menurunkan
Pasek Tatar di Bali. Pungkusan
Pasek Tatar diBali dengan
keturunannya yaitu Pasek Penataran, Pasek Tenganan, De Pasek Mangku Bale Agung,
Pasek Bale Agung Buleleng dan Pasek Pidpid. Sekian banyak keturunan Mpu
Wiradnyana masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Penataran, Pasek Tatar,
Pasek Telengan dan Pasek Pidpid.
MPU WITHADHARMA
MPU WITHADHARMA
Mpu Withadharma mempunyai putra seorang bernama Mpu Wiradharma.
Mpu Wiradharma pergi ke Pasuruhan. Disana beliau berputra 3 orang yaitu: Mpu
Lampita, Mpu Pastika dan Mpu Pananda. Mpu Pastika dan Mpu Pananda nyukla
Brahmacari (tidak menikah seumur hidupnya) lalu pergi ke Bali. Mpu Lampita berputra Mpu
Dwijaksara. Beliau yang diminta oleh Patih Gajah Mada ke Bali untuk
meperbaiki Parhyangan-Parhyangan di Bali agar orang-orang Bali Aga
menjadi senang dan tunduk kepada Kerajaan Majapahit. Beliau keBali diiringi oleh putra dan cucu-cucunya.
Putra satu-satunya beliau yang sudah tua yaitu Ki Patih Ulung. Ki Patih Ulung
beputra 2 orang yaitu Ki Bendesa Manik Mas dan Kyayi Gusti Smaranatha. Ki
Bendesa Manik Mas menurunkan Kyayi Bendesa Mas sedangkan Kyayi Gusti Smaranatha
berputra Ki Gusti Rare Angon yang selanjutnya beliau berputra Kyayi Agung Pasek
Gelgel. Beliau menjabat sebagai Raja diBali antara
tahun 1343-1350 Masehi sebelum Adipati Kresna Kepakisan
datang ke Bali, didampingi oleh
patihnya yaitu Kyayi Padang Subadra.
Kyayi Bendesa Mas hanya mempunyai putri-putri saja, oleh karena itubeliau tidak mempunyai keturunan. Sedangkan yang banyak menurunkan adalah Kyayi Agung Pasek Gelgel dan Bendesa. Sekarang keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel yang berleluhur Mpu Withadharma tersebar di seluruh Bali, termasuk “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapratisentannya merupakan keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Demikianlah banyaknya keturunan Mpu Withadharma, masing-masing memakai nama Pasek Gelgel, Pasek Bandesa, Pasek Tangkas, Pasek Dukuh Bungaya dan Pasek Dukuh Subandi.
MPU RAGARUNTING
Kyayi Bendesa Mas hanya mempunyai putri-putri saja, oleh karena itubeliau tidak mempunyai keturunan. Sedangkan yang banyak menurunkan adalah Kyayi Agung Pasek Gelgel dan Bendesa. Sekarang keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel yang berleluhur Mpu Withadharma tersebar di seluruh Bali, termasuk “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapratisentannya merupakan keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Demikianlah banyaknya keturunan Mpu Withadharma, masing-masing memakai nama Pasek Gelgel, Pasek Bandesa, Pasek Tangkas, Pasek Dukuh Bungaya dan Pasek Dukuh Subandi.
MPU RAGARUNTING
Mpu Ragarunting adalah Mpu yang kelima dari Sanak Sapta Rsi.
Beliau berputra satu orang bergelar Mpu Wira Runting atau nama lainnya Mpu
Paramadaksa. Mpu Paramadaksa pergi ke Pasuruhan, lalu kemudian ke Majapahit. Di
sana beliau berputra Mpu Wira Ragarunting dan Ni Ayu Wira Ragarunting, Ni Ayu
Wira Runting.
Mpu Wira Ragarunting menurunkan De Pasek Lurah Kabayan, De Pasek Lurah Tutuwan, De Pasek Lurah Salahin. Ketiga putra-putri ini pergi ke Bali. De Pasek Lurah Kabayan menurunkan De Pasek Lurah Kabayan Wangaya dan De Pasek Kabayan Penebel. De Pasek Lurah Tutuwan kawin dengan Gunaraksa, putri Arya Timbul. Ia diputusi keluarga oleh saudara-saudaranya karena menyembah Arya Timbul alias Arya Buru, putra Prabhu Airlangga dengan seorang gadis gunung. Pasek Lurah Tutuwan ini berputra I Made Bendesa Banjar Crutcut. De Pasek Lurah Salahin menurunkan De Pasek Salahin Tojan. De Pasek Salahin Tojan menurunkan Bandesa Simpar, selanjutnya De Bandesa Simpar menurunkan I Wayan Kabayan Tulamben.
Demikianlah keturunan Mpu Ragarunting tersebar di Bali dengan pungkusan masing-masing diantaranya Pasek Salahin, Pasek Kubayan dan Pasek Tutuwan.
MPU PRATEKA
Mpu Wira Ragarunting menurunkan De Pasek Lurah Kabayan, De Pasek Lurah Tutuwan, De Pasek Lurah Salahin. Ketiga putra-putri ini pergi ke Bali. De Pasek Lurah Kabayan menurunkan De Pasek Lurah Kabayan Wangaya dan De Pasek Kabayan Penebel. De Pasek Lurah Tutuwan kawin dengan Gunaraksa, putri Arya Timbul. Ia diputusi keluarga oleh saudara-saudaranya karena menyembah Arya Timbul alias Arya Buru, putra Prabhu Airlangga dengan seorang gadis gunung. Pasek Lurah Tutuwan ini berputra I Made Bendesa Banjar Crutcut. De Pasek Lurah Salahin menurunkan De Pasek Salahin Tojan. De Pasek Salahin Tojan menurunkan Bandesa Simpar, selanjutnya De Bandesa Simpar menurunkan I Wayan Kabayan Tulamben.
Demikianlah keturunan Mpu Ragarunting tersebar di Bali dengan pungkusan masing-masing diantaranya Pasek Salahin, Pasek Kubayan dan Pasek Tutuwan.
MPU PRATEKA
Mpu Prateka berputra seorang yaitu Mpu Pratekajnana atau disebut
pula Mpu Pratekayadnya, beliau juga pergi ke Pasuruhan. Disini Beliau berputra
Sang Prateka, Ni Ayu Swaranika dan Ni Ayu Kamareka. Sang Prateka berputra De
Pasek Kubakal, ia kembali keBalidan menurunkan De Pasek Pasaban, De Pasek
Rendang, De Pasek Nongan, De Pasek Prateka Akah, Ki Dukuh Gamongan dan Ki Dukuh
Blatungan. Ki Dukuh Gamongan menurunkan Ki Dukuh Gamongan Sakti dan Ki Dukuh
Prateka Batusesa. Sekianlah keturunan Mpu Preteka masing-masing dengan
pungkusan Pasek Prateka,Pasek Kubakal dengan pusat di Kubakal – Rendang, Pasek
Dukuh Gamongan, Pasek Dukuh Belatung dan Pasek Nongan.
MPU DANGKA
MPU DANGKA
Sama halnya dengan Mpu Prateka, Mpu Dangka juga sedikit
pratisentananya, beliau berputra seorang yaitu Mpu Wira Dangkya, beliaupun
pergi ke Pasuruhan kawin dengan Dewi Sukerthi menurunkan tiga orang putra-putri
yaitu : Sang Wira Dangka, Ni Ayu Dangki dan Ni Ayu Dangka. Sang Wira Dangka
juga kembali ke Bali, lalu
menurunkan Ni Rudani, De Pasek Lurah Kadangkan, De Pasek Lurah Ngukuhin dan De
Pasek Lurah Gaduh. De Pasek Lurah Kadangkan berputra I Pasek Taro, I Pasek
Penida, I Pasek Bangbang dan I Pasek Banjarangkan. Demikian juga De Pasek Lurah
Ngukuhin berputra I Pasek Nyalian, I Pasek Ngukuhin, I Pasek Pucangan, I Pasek
Gaduh Blahbatuh dan I Pasek Gaduh di Banjar Watugiling.
Demikianlah keturunan Mpu Dangka masing-masing membawa pungkusan Pasek Kedonganan, Pasek Kadangkan, Pasek Ngukuhin, Pasek Gaduh, Pasek Dangka, Pasek Penida dan Pasek Taro.
Demikianlah keturunan Mpu Dangka masing-masing membawa pungkusan Pasek Kedonganan, Pasek Kadangkan, Pasek Ngukuhin, Pasek Gaduh, Pasek Dangka, Pasek Penida dan Pasek Taro.
Babad Kebayan utawi Pasek Batukaru, Teges Prasasti Pasek Batukaru,
Besakih Karangasem
Babad Kebayan utawi Pasek Batukaru, Teges Prasasti Pasek Batukaru,
Besakih Karangasem.

ONG Awighnam astu nama siddham. ONG suddha-suddha ya nama, pukulun
pratisuddha ya nama swäha.
Puniki prasasti gagamelan I Gusti Prabali desa, sane mula wenang
nincapang miwah nguasayang tur nitah I Pasek Batukaru, rawuhing saupacaraning
aci, tur dados pangenter jagat, miwah pakandel ida Sang Naga Basukih, sane
kabawosang dados panembahan wong Bali maka sami. Sapunika bawos ida Bhatära
Sang Näga Basukih, sane malinggih ring jagat Bali.
Mangkin kabawosang wenten sang nätha ratu Bali, sane ngamel jagat pinaka
tedung jagat Bali. Ida rawuh ka Bali duk rahina Budha Wage Kulawu, tanggal ping
11 sasih Kadasa. Ida mawit saking tos Brähmana Wangbang, putran Bhatära Hyang
Brahma sadaweg wenten ring Sewambara. Sapunika indik pamijilan ida, sampunang
kirang pangugu. Caritayang mangkin ida sang nätha ratu Bali sane mawit saking
tos Brähmana Wangbang punika, ida nangun tapa ring gunung Andakasa, nemonin
purnamaning sasih Kapat, magenah ring alas Kasa. Irika ida prasiddha nangun
tapa salami pitung rahina.
Wus panika, kasuwen-suwen wenten putran ida lanang adiri, mapaesengan
sira Arya Wangbang, sane dados nätha ratu ring Bali, mabhiseka : Ratu Pandita.
Kasuwen¬suwen Ida Sang Brahmana Wangbang nurunang putra lanang adiri,
mapesengan Sang Mpu Wiranätha. Ida sang Mpu Wiranätha nurunang putra lanang
adiri, mapesengan sang Mpu Wijäksara, sane dados suryan jagat baline.
Ida sang Mpu Wijaksara nurunang putra lanang adiri mapesengan sang Mpu
Jayasemadhi. Sang Mpu Jayasemadhi turunang putra lanang adiri mapesengan Mpu
Pastika. Ida wikan pisan ring untenging samadhi, ida taler maparab sang Mpu
Siddhyajnyana. Ida nangun yoga ring guwa riksa, nemonin purnamaning sasih
Kapat. Kasuwen¬suwen ida nurunang putra lanang adiri, mapesengan Mpu
Jayasemara. Mpu Jayasemara nurunang putra lanang adiri mapesengan Mpu
Jayawiratha. Ida nurunang putra lanang adiri mapesengan Mpu Jayatatha. Ida sang
Mpu Jayakatha prajnyan pisan ring saanggah¬ungguhing upakara sane mamargi ring
Jagat Bali, riantukan ida mula pageh ngamong tatakramaning jagat. Kasuwen-suwen
ida nurunang putra lanang adiri mapesengan Mpu Nawäsika. Ida sang Mpu Nawasika
nurunang putra lanang adiri mapesengan Mpu Wirajaya. Ida sang Mpu Wirajaya
ngambil rabi anak liyan, raris nurunang putra mapesengan arya Banculuk. Sirärya
Banculuk nurunang putra lanang adiri, mapesengan sira Árya Pamacekan. Ida sane
macekin jagate ring Bali, raris kädegang Patih olih Ida Dalem, miwah
ngamargiang upacaran Jagat Baline. Kasuwen-suwen ida nurunang putra lanang
kälih diri
Sane duhuran mapesengan I Gusti Ngurah Padhamaran, sane alitan
mapesengan I Ngusti Ngurah Toya, malinggih ring Gianyar. I Gusti Ngurah
Padhamaran nurunang putra lanang adiri, mapesengan I Gusti Delod Yeh, amacekin
ring Delod Yeh. I Gusti Delod Yeh, nurunang putra lanang adiri mapesengan I
Gusti Kajiwa. I Gusti Kajiwa ngambil rabi kälih diri, saking Gelgel miwah
saking Basukih.
Saking rabine duhuran nurunang putra lanang adiri mapesengan I Gusti
Gede Basukir, amacekin ring Basukih. Saking rabine alitan sane mawit saking
Gelgel, nurunang putra lanang adiri mapesengan I Gusti Gelgel, amacekin ring
Gelgel.
Dane I Gusti Gede Basukir nurunang putra lanang adiri, mapesengan I
Gusti Kabayan Desa. Dane kuwasa munggah tedun ring pura riantukan dane mula
pragusti tosning brahmana, tereh surya Wangbang, pakandel Ida Sang Näga
Basukih, rawuhing sapratisantänan ida. I Gusti Kabayan Desa nepetin pisan
pamargin upakarane, minakädi acine ring Pura Desa, ring gunung Andakäsa, ring
Gelgel miwah ring Basukih, pamargin acine sami manggeh. Yan ring pura-pura
panyungsungan panembahan, ngeninin indik pamargin aci, sami kamargiang antuk
dane I Gusti Kabayan mawastu jagate prasida degdeg landuh.
Kasuwen-suwen I Gusti Kabayan Desa nurunang putra lanang mawasta I Pasek
Batukaru, sane ngamel indik anggah-ungguh upacaraning wali ring Batukaru.
Kasuwen-suwen I Pasek Batukaru nurunang santana lanang tigang diri, mawasta I
Pasek Batukahu, I Pasek Gadingwani, miwah I Pasek Brejo, maka sami pada ngamong
kawibhawan sareng petang diri punika. Dane I Pasek Batukahu nurunang santäna lanang
adiri mawasta I Bandhesa Panuhunan. Kadi punika sane ring munggah prasästi
miwah gagaduhan druwene.
Salanturnya I Pasek Batukaru mamanah nedunang Ida Dalem Batukaru ring
Majapahit, riantukan Jagat Baline sane taler mawasta Jagat Bangsul miwah ring Basukih
tan wenten sane ngamel. Punika ngawinang I Pasek Batukaru kasarengin antuk I
Pasek Batukahu raris pedek tangkil ka Majapahit. Tan kacarita ring margi,
sampun reko napak ring Majapahit. Munggwing daging atur Bane I Pasek Batukaru :
“Inggih Ida Dalem, titiang matur sisip ring palungguh Dalem, ledang ugi
palungguh Dalem ngampurayang atur titiange. Titiang ngaturin palungguh Dalem
mangda ledang tedun ka Bali, mangraris ngamel jagate ring Nusa Bangsul, miwah
ring Basukih, mangda wenten kasungsung antuk kramane ring Bali, mangda wenten
pinaka cundämani, mangda palungguh Dalem ngrahayuang jagate ring Bali,
riantukan putung nenten maderbe pamucuk. Sara ledang kayun palungguh Dalem
manjakang kramane ring Bali, titiang wantah nawegang matur sisip ring palungguh
Dalem, riantukan wantah palungguh Dalem sane patut nruwenang jagate ring Bali,
ledang ugi palungguh Dalem nglinggihin pinunas titiange, titiang misadia
ngiringang palungguh Dalem kasarengin antuk kula warga sami”.
Ngandika Ida Dalem : “Nah yan keto, I Pasek Batukaru bareng I Pasek
Batukahu, apanga ngiringang manira lakar tedun ka Bali”. “Inggih, titiang
misadia ngiringang pakarsan palungguh Dalem, titiang pacang ngiringang pamargin
Palungguh Dalem, sareng itiang maderbe pianak ipun I Pasek Batukahu “.
Tan dumade, Ida Dalem raris mamargi, kairing antuk bhagawanta, watek
panditane sami ngiring, para Arya, tan keni winilang akehnya sang ngiringang,
Prabekel, maka miwah kawula, minakädi mundut keris kawitan, sabusananing tedun
mayudha, maka miwah geringsing wayang, rawuhing räjabrana, samian ka pundut ka
Bali.
Gelising carita, sampun reko rawuh ring Bali, ring Linggärsapura, raris
makarya puri, rawuhing parhyangan, sane kawastanin Parhyangan Pangulun Jagat
Bali. Maka samine punika kakaryanin olih I Pasek Batukaru. Sang kalih nampanin
palungguh Dalem. Dane I Pasek Batukaru mawosin jagate sami ring Bali sareng
dane I Pasek Batukahu, mangda jagate sami rahayu. Yukti rahyu jagate ring Bali
sapanyeneng Ida Dalem. Pantun tahune nados, salwiring tinandur pada mentik tur
nados, salwiring sane patut tumbas mudah, antuk kawisesan palungguh Dalem,
sampun prasida njaya Satru, kabhaktinin miwah ikasayangang olih panjake, tan
pendah Sang Hyang Indra tedun ka jagate, anut ring sadaginging aji, miwah
sästra saroddhrti, nenten wênten bhaya pakewuh, sapanyeneng Ida Dalem. Samaliha
sarwa kewehe kalintang ajrih ring kaaktian Ida Dalem, miwah padanda Siwa
Buddhanê tan mari tampek ring Ida Dalem, sane maka sami sampun prasida
ngasorang indriya, pituwi sampun maraga tatwa miwah weda paraga, mawastu landuh
jagate sapanyeneng Ida Dalem ring Linggarsapura, katampanin antuk I Pasek
Batukaru miwah I Pasek Batukahu, makäwinan rahayu jagate ring Bali rawuh ring
Basukih.
Sapunika indiknyane, mawinan tan ambat-ambat sayang danene sareng kälih,
I Pasek Batukaru miwah I Pasek Batukahu, rehning mula dane ngaturang jagate
ring Bali, riantukan dane mula prajnyan ring daging sastra, duweg ngrawos,
awinan sang kälih kasayangang rawuhing para Aryane sami.
I Pasek Bandhea Pamuhunan, ngedumang linggih para Aryane, Arya Kenceng
kalinggihang ring Tabanan, Arya Batan Jeruk kalinggihang ring Mangwi, Arya
Notor Wandira kalinggihang ring Tambangan, Arya Patandakan kalinggihang ring
Karangasem, Arya Kutawaringin kalinggihang ring Den Bukit utawi Buleleng. Sira
Arya Belog kalinggihang ring Kaba-kaba. Sami pada ngamong kaprabhon, makädinnya
Karangasem sane pinih ajeng. Yadyan Tabanan taler kaarepang antuk Ida Dalem,
sakewanten I Pasek Batukaru nampanin pangrawose sami ring Jagat Bali rawuh ring
Basukih. Yadiastun ring jerowan wantah dane sane ngisiang sarajabranane sami,
okan danene mandhesain ring Bali.
Sapunika sane munggah sajeroning prasasti, mdasar pangonek sastra, sane
patut kasungsung, olih santänan ingsun sami, sane mawarga Pasek mwang Bandhesa,
da rered teken kawangsan, da marasa andapan teken sasamen manusa, rehning
sapratisantänan ingsun mula katurunan Brahmana Wangbang, elingang pisan piteket
ingsune, sampunang pisan lali ring kawitan miwah masameton. Wantah ingsun mula
kawitanta, sane ngawanang kita dumadi dados manusa, ingsun Brahmawangsa,
pandita jäti, sane nurunang I Pasek Batukaru muwah I Pasek Batukahu. Yan kita
tusing rungu teken piteket ingsune, kita tidong I Pasek Bandhesa Pamuhunan,
tidong santanan ingsun, tidong terehan Majapahit, keto piteket ingsun teken
cening ajak makejang. Yan cening pageh ngamong kapasekan, salampah laku muwah
ring dija ugi magenah, cening lakar manggih bagia rahayu, keto panadosannya,
tan kirang bhoga babuktian, panjang yusa, tan pakirang arthabrana, sugih tur
Seger oger. Yan cening tan sutindih ring kawitan, mogawastu cening
mapiyak-piyakan sajeroning tunggalan ceninge makejang. Anak kakaden nyama,
nyama kakaden anak, rehning tusing tindih teken kawitan, keto piteket ingsune
teken cening ajak makejang.
I Pasek Gadingwani nurunang santana lanang mawasta I Pasek Pajengan,
sane patut ngamong gagaduhannya sami. I Pasek Gadingwani sareng okane, kalugra
antuk Dalem, ngamongin purane ring Basukih, sareng kalih ngamongin kärya
pangekadasarudran, pamargin käryane 100 warsa pangrawuh käryane punika, kärya
panca bali krama, 10 warsa pangrawuhnyane, pangodalane ngawarsa. Punika sane
kamongin antuk I Pasek Gadingwani mwang I Pasek Pajengan, rawuhing nguduhang
juru tabuh ngelingang Bhatära Sang Hyang Siyem.
Yan munggwing daging upakära kärya, Ida Dalem sane ngwentenang,
sakewanten I Pasek Gadingwani mwang I Pasek Pajengan sane nguduh sang ngaturang
ayah. Sang kälih kaicen pangayah pada mitungatus, rawuhing juru sapuh ngsasih,
sane mararesik ring sapura-pura ring Basukih, tur kalugra mambil-ambilan miwah
malap¬alapan ring Basukih, rehning mula kawulan Dalem, jumenek ring Basukih,
ngemit Ida Bhatara ring Panataran Agung. Gebogan pakemite 80 diri, sara ledang
kayune malinggih irika, polih bhukti carik uritan atenah, magenah ring Kalianget.
I Pasek Pajengan polih bhukti carik uritan atenah, magenah ring Padengdengan. I
Pasek Batukahu kalugra ngelingang upakara piodalane ring Pura Batukaru miwah
ring Ida Bhatära Ratu Ayu ring Pamuhunan. Pujäwalin Ida Bhatära ring Pura
Batukaru, ring rahina Anggara Kliwon, Medangsia, kasuwen-suwen kakisidang ka
rahina Budha Umanis Dungulan. Pujäwalin Ratu Ayu ring Pamuhunan, ring rahina
Purnamaning sasih Kadasa. I Pasek Batukahu kaicen pangayah pitungatus diri
miwah bhukti carik uritan atenah magenah ring Auman. I Pasek Bandhesa
Pamuhunan, kalugra ngamangkwin ring Puseh, piodalan Idane ring rahina Budha
Wage Kulawu. Punika amongan I Pasek BandheSa Pamuhunan, kaicen pangayah satak
diri, miwah bhukti carik uritan atenah magenah ring Kuwum. I Pasek Batukaru kaicen
pangayah siyu diri, bhukti carik uritan asibak, magenah ring Piyak Bhukti.
Sametonê sami kaicen linggih antuk Ida Dalem, sane ngawinang jagat baline
rahayu, sapanyeneng Ida Dalem ring Basukih, tan wenten janma purun malaksana
corah, antuk kasiddhyan Ida Dalem, katampanin antuk I Pasek Batukahu,
kalaksanayang antuk I Bandhésa, riantukan saking dane ngaturang jagat Baline
ring Dalem, maka panghuluning Jagat Bali, mangda Jagat Baline rahayu,
kawiaktiannya sira I Pasek Batukaru nruwenang Jagat bali, awinan rep sirep
Jagat baline. Sapunika parindikannyane sand munggah ring Piagem puniki, yukti
sapunika, sampunang tuna pangugu, puniki prasätin I Pasek Gadingwani, sane
sandang katohin antuk Ida Bhatara Kawitan, sapratisantanan I Bandhesa muwah I
Pasek, eda meweh ngarepin wong katah, ingsun ngembanang cening. resepang tur
rasayang jeroning kayun ceninge, boya sangkaning ngadu ada, pituwi mula
agem-ageman ceninge. Sapunika panyeken Ida Bhatara Laluhur, sampun sami munggah
jeroning Prasasti miwah Piagem puniki, sane patut tohin saking mangkin rawuh
ring pungkur wekas. Yukti sapunika piteket Ida Bhatara Kawitan sane malinggih
ring jagat Sunya, micayang pawarah-warah ring pratisantänan Ida sami.
Mangkin ngiring lanturang malih caritane, sampun suwe panyenengan Ida
Dalem Bangsul, ngaran : Bali. Ida madruwe putra kakalih, sane duhuran istri,
sane alitan lanang. Sane istri nyeneng agung ring Jagat Lombok. Munggwing
êtangan jagate sane kagamel antuk Ida Dalem wenten pitung pulo, inggih punika :
Selaparang, Sambhawa, Bugis, Makassar, Singapura, Brangbangan miwah Bali. Kadi
punika akeh pulo-pulone sane kagamel antuk Ida Dalem, sakewanten sami masewosan
agama, taler dane I BandheSa sand mawosin jagate sami, sane wenten ring Bali
rawuh ka Jawi. Munggwing gebogan panjake maka sami wenten pitung keti. Sapunika
sane munggah ring Aji Pamancangah, awinan I Pasek mwang I Bandhesa dados
mandhesain, rehning sang kälih mula wenang, apan mula tunggal maraga asiki. Yan
pangangken pasametonane tan dados ngangken maseton ming pat, ming telu.
Pangangken pasametonane wantah mamisan, pinih doh mamindon. I Pasek mwang I
Bandhesa mula wenang mujanggain. Sapratisantanan ingsun, yadiastun sabeloga,
mangda eling ring raga, sampunang lali mujanggain, sampunang lali ring sastra,
rehning punika mula patut karyanin, Sang Hyang Aji kabawosang päwakan bapa.
Yan sang mujanggain seda, wenang nganggen panganggen ingsun, mawasta
wadah padmäsana, patulangane lembu, tatakan apine mabahan siya tebih, undag 5,
panganggène mangda sarwa putih, rikála nyiramang layone patut matatakan daun
pisang kaikik, makala, makajang, sästraning kajang : ANG UNG MANG, SA BA TA A
I, NANG MANG SING WANG YANG, RANG TRI, SAH AKRESYANG, nandhe rèsya, ONG
HRASANG, TRIYA bhujangga ya namah, sah klasa, SANG BANG TANG ANG ING ONG, ONG
MANG ANG, UNG YANG.
Toya pangentase mangda nyucuk nunas ka Tunggang, tan dados kelidin,
saratang pisan makta suci asoroh, maguling bebek 1, daksina 1, sasantun
sageneping sasantun, inah 700, ring ida sang pandita sand ngrayonin yajnyane,
taler nunas tirtha pangentas, kanista, madhyama, uttama, kanista jinah 1700,
madhyama jinah 4000, uttama jinah 8000. Nunas tirtha ka Pura Dalem, masuci
asoroh, sasantun sageneping sasantun, jinah 500.
Yan ya nu mawak walaka, mabeya, yogia mabade tumpang 7, magaruda mungkur,
patulangane sarupaning buron, Sara ledang kayune, makapas turut pitu, mahuncal
kapas turut pitu, maselag palendo magantih, matatakan api undag lima, nunas
toya sampunang ngelenin, sakadi inucap ring ajeng, ka Tunggang, ka Pura Dalem,
sapunika panyekene, sane munggah ring Prasati miwah Piagem puniki, rehning mula
paican Dalem, sapanganggen Dalem mantuk kalugra kanggen, rikálaning mabeya
pati, kanggen antuk I Pasek mwang I Bandhesa, relining mula mawit saking
Brahmanawangsa, tur dane sane ngênterang jagat Baline, Ida Dalem wantah nyeneng
kewanten, maka cundamani panyungsungan Jagat Bali. Pamekasnya I Pasek mwang I
Bandhesa sane mula waged mababwos, sakita arepe midabdabin jagate, tan wenten
sane purun piwal ring dane sang kälih, samaliha däna ring anak lacur, yadiastun
majeng ring ida sang pandita tan tuna ngaturang punia, rawuhing ring para
punggawa tan tuna maturan, awinannya sami nyayangang. Indike punika sane katama
antuk pratisantänane sami, mawastu manggih rahayu, luput tan keni papanjingan,
tan keni tategenan, tan keni ayahan, yan polih ngebug kori agung apisan ping
kälih ping tiga, katundung ka desane sane doh, yan apisan ping kälih,
kaampurayang ugi tan wenten iwang. Malih yan wenten para wesya, ngambil
santanane luh, yan rahayu pangambile sakadi ngambil papadan danene, masangkepan
bareng, yadiastun mabuncing mangda sareng kalih, yan tan sapunika yan wenten
ngalegayang, math alih, ajak nyamane makejang, di tongosne alih, yogia matiang,
takenang dumun lalintih kawitane apang tawang, yan I Bandhesa, pituwi I Pasek,
serepang lalintih kawitane. Yan ya ngaku nyama, yan tusing tawang kawitane,
alih serepang, da sayang tekên jiwa, sawireh yan ada anak tan pakawitan, tan
patereh, tidong mänusa, ngaku-aku terehing Pasek, yan tusing ngisi piagem, tan
pendah wawalungan, ngaku-aku tan pabhukti, kadi punika sane munggah ring Aji
Pamaricangah.
Yan bwat kacuntakan, yening rare durung kepus punsed lampus, cuntakannya
abulan pitung rahina. Yening sampun kepus pungsed lampus, cuntakannya 21
rahina. Yening tuha bajang lampus, cuntakannya 21 rahina. Sapunika tatinasan
piteket ingsune ring kita, ane ngranayang kita manggih bagia ring dija ugi
magenah, salampah laku pada sadia, prasida ngisi gumi, byuhing wadwa, siddhi
ngucap, wak bajra, ONG ANG UNG, UNG AH, nama. siddhi, rehning kita mula
santänan ingsun, I Pasek Bandhesa, ane ngenterang gumi Baline rawuh ka Basukih.
Samaliha mula saking kuna, nibakang tatepasan iwang patut. Kadi punika sane
munggah ring Prasasti Piagem puniki. Mangkin wenten warah-warah ingsun, yan kita
ngwangun kahyangan marupa Paibon, napike marupa Babaturan, palinggih rong tiga,
palinggan Ida Mpu Tri Bhuwana. Wenten gedong manjangan saluwang, palinggan Ida
Mpu Kuturan, wenten gedong rong tiga, palinggan Ida Sang Hyang Tiga, Brahmä,
Wisnu, iswara, wenten bale tegeh saka pat, palinggan Ida Mpu Pangrurah, wenten
gedong jampel, palinggan Ida Mpu Magata Magati, wenten sanggar agung, palinggan
Ida Bhatara Sinuhun ring Gunung Agung, wenten gedong pasimpenan, aturane ring
kahyangan, wenten gedong singhasari, genah sarwa lewih minakadi manik-manik,
sane kakasubang olih ida panembahan.
Puniki Surat kajang panguripan ring kahyangan, hala lawan hayu, hayu
lawan hala : MRONG ONG MANG NANG ONG ANG MANG, ANG MANG ANG.
Kadi punika sane munggah ring pratiti likita Pamaricangah, I Pasek
wenang nyembah Kawitan, ring Ida Mpu Kuturan, Mpu Ragarunting, Mpu Ajnyana, Mpu
Hawan, Mpu Wuluwatu, Mpu Pradah, Mpu Kawitan, Mpu Siwagandu, Mpu Pamanisan, Mpu
Dalem Blangbangan, Mpu Sakti, Mpu Tirthägama, Mpu Wisesa, Mpu Aji Guru Tunggal,
Mpu Padungya, Mpu Mahismara, Mpu Brahmä, Mpu Wisnu, Mpu Brahmä Singhawatu, kadi
punika katatwan panembahan, ägama-ägama, kahyangan ring Bali, wenten kahyangan
ring Paibon, asing-asing nyembah patut mapapegat, nangken purnama tilem, sang
jati tindih ring Kawitan, wenten pralingga ring kahyangan. Pamargin agamane
ring Bali, kapatindihin ring tunggaalannya sowang-sowang. Sajeroning
ngamargiang Agama Tirtha, wenten nunas tirtha ring ida padanda brähmana. Yan I
Pasek mrabekelin, anyaksain, ngelihan Desa, patut nunas titha ring ida padanda
Buddha. Yan ngubayanin, angrurahin, nyedahan desa, majengin, patut nunas tirtha
ring ida padanda Mäs. Yan dados pamangku, panyarikan patut nunas tirtha ring
ida Bhujangga Sakti. Yan magama nukuhin, amacekin, patut nunas tirtha ring ida
Padanda Kamenuh. Kadi punika warah¬-warah I Pasek rikala nunas tirtha ring sang
brähmana sane mungguh ring likita pamaricangah puniki. Kabawos uttama, rehning
ida sang brahmana sane patut kaharepang pisan olih I Pasek, sajeroning
pamargine nangun karya hayu lawan hala, ida sang brahmana sane patut
mrayaScittain I Pasek sajeroning hala hayu, tindihin ugi pamargin
ägama Tirthane, minakädi nunas tirtha ring ida padanda sane sampun
putusing yan ring sang maraga resi, taler patut aturin sajangkepa, manut
tatakramane ring Bali, asing¬asing patut tanggungang antuk mräyascitta hala
hayu, salwir sane wenten ring Bali, ring luhur ring sor, saking pikamkam Ida
Mpu Kuturan, nulad pidabdabê ring Majapahit, tri näma jätining brähmana, saking
titah Ida Bhatära Brahmä, karagayang olih Ida Mpu Tribhuwana, kapisekenang
malih olih Sang Hyang Tiga, rawuh kabenjang pungkur, rawuhing pratisantänane,
mangda sampunang ngawag makaukan. Patut tur wenang ngangge asing sungkemin,
sane paling kelih yogia anggen pamucuk, marep ring I Pasek. Indike ngawe
kapetengan boya tunggal, wasta pada wasta, santäna pada kasantana, kalugra pada
kalugra, ägama pada agama, mukti pada mukti, panjak pada panjak, malantaran
polih paswecan Dalem, miwah brähmana, para ärya, satriya, para ratu, sane
nyeneng ring Bali, mangda sampun jeg ngaku patut tur wenang, sane sudi wantah
sang ngamong gagaduhan panugrahan Ida Dalem, punika maka bhukti pinih kelih,
patut piturut sareng sami, sane nénten ngamel gagaduhan, tan patut
sareng-sareng, ngaku-aku tan pabhukti, tur wenten pamikukuh marupa likita,
gagaduhan paican Dalem, ring I Pasek Bandhesa. Asapunika sane munggah
sajeroning parasasti saha cap Dalem Batukaru, jatining panugrahan ida sang
mahämuni, sampunang tuna pangugu, sampunang tan pärcaya, sampun tan kémad ring
kawitanta, ida puniki sane mapesengan Bhatära Katon, sane ngwentenang cening.
Yan cening tuna pangugu, cawuh, tan sutindih ring piagem puniki, janten
kapastu olih Bhatära Kawitan, ANG UNG MANG, wastu wastu pari wastu, mentik
punggel, macarang empak, tan hana amanggih rahayu, tunggalanya, katonya anak,
kapastu de Bhatära Kawitan, ONG hisep, ANG hisep, MANG hisep, sapunika pamastun
Ida Bhatara Kawitan.
Cening patut eling nyembah ingsun ring Pura Batukaru, apan pamuspan
ingsun ring luhuring Watukaru, saha bhukti tanah ring Belong, apan ingsun polih
paica saking Dalem. Ingsun jatining I Pasek Batukaru, mapangarah ring
pratisantänane sami, ONG suka wreddhi prajnyan santäna wahu awêt ehet, ANG UNG
MANG, suka sriya dirghayusa, ingsun jäti mapangarah ring santänan ingsun sami,
sampunang obah ring tereh kawangsan dane I Pasek Batukaru.
Munggwing Ida Dalem Tarukan, sane mapuri ring Bungha, katurin rabi antuk
dane I Dukuh Bungha, okan dane I Dukuh Bungha, mapesengan jero Sekar, nurunang
putra lanang adiri, mapesêng I Gusti Gede Bandhem. Ida Dalem Tarukan ngamel
rencange ring Tiyanyar, Belong, Presandaya, Lebah, rawuh ring Kubu Poh Tebel.
Sasampunnya suwé malinggih ring Bungha, wênten pakarsan Ida Dalem
Tarukan pacang kesah ka Taruk, raris ngandika ring putrane I Gusti Gede
Bandhem, mangda ngaturin santanan dane Arya Pamacekan, sane mawasta I Pasek
Batukaru, riantukan jagate ring Belong suwung.
Irika raris I Gusti Gede Bandhem digelis lunga ka Basukih. Tan kacarita
ring margi, sasampunnya napak ring Basukih, raris ngandika ring I Pasek
Batukaru : “Uduh Paman Pasek, titiang nyuwun wacanan Ida Dalem, mangda Paman
tangkil ka puri Bungha, rêhning jagate ring Belong suwung”. I Pasek Batukaru
nyawais : “Inggih yan asapunika, titiang ngiring pangandikan I Gusti”. Wus
punika raris mamargi ka Bungha. Tan kacarita ring margi, digelis reko napak
ring Bungha, raris pedek tangkil ring Ida Dalem : ” Pukuhin palunggih Dalem,
titiang pedek tangkil ring buk padan cokor i dewa”. Ida Dalem raris ngandika :
“Uduh Paman Pasek, wireh gumine di Belong suwung, jani ace mapangidihan teken
Paman, nguduh Paman macekin mwah ngisiang guminê ditu teked ka Pura Batukaru”.
Riantukan pangandikan Ida Dalem sampun katampa antuk I Pasek Batukaru, irika
raris I Pasek Batukaru ngamel jagate ring belong rawuh ring Pura Batukaru,
ngamargiang piodalan ring Pura Batukaru rawuh ring piodalan Ida Bhatara Ratu
Ayu ring Pamuhunan. Degdeg reko jagate ring Belong réhning sampun kapacekin
antuk I Pasek Batukaru.
Keto piseken ingsun teken santanan ingsun makejang, teked ka pungkur
maka kayang-kayang, apan mula panugrahan Dalem Tarukan mwah panugrahan Ida
Dalem Baturénggong. Kéto wibhawané I Pasek Batukaru, da obah, da ima, teken
kawitan, kéto piseken ingsun. ONG SA BA TA A I NA MA SI WA YA, ONG ya nama swriha.
Caritayang mangkin Ida Dalem Tarukan malih katuran rabi olih I Dukuh
Dharmaji, mapesengan Jero Dangin, madruwe putra lanang adiri mapesengan I Gusti
Gede Dangin. Ida Dalem Tarukan raris késah ka Tarukan tumuli jenek linggih
irika tur sampun reko lami nyeneng ring Panarukan.
Sapunika piseken Dalem, sampunang tuna pangugu ring katatwan gagaduhan
puniki sane munggah sajeroning surat. Sapunika tatinasannyané, réhning puniki
mula gagaduhan muwah pamaricangah druwéné. ONG ya nama siddham. Iki gagaduhan I
Pasek Batukaru.
OM Shanti, Shanti, Shanti OM
Isi Singkat Prasasti Pasek Batukaru
|
||||||||||||||
|
Rabu,
29 Februari 2012
Keturunan De
Pasek Lurah Kubayan
Adapun De Pasek Lurah Kubayan di Banjar Kubayan, Desa Nyambu, Tabanan, pada hari Senin Umanis, Wara
Sungsang, Sasih Karo, tahun Caka 1257 oleh Raja
Bali Sri Gajah Waktra (Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten) diangkat Amancabhumi (setingkat Gubernur) menguasai wilayah Bayad sampai dengan
Wangaya, dan menduduki jabatan Kubayan
di Batukaru dan Penulisan Selisihan Taro. (terungkap dari sejarah yang
tercantum antara lain pada ‘Purana Pura Besakih’ di mana pada bulan Juli tahun 1335
Masehi Raja Sri Aji Gajah Waktra melantik di Pura Besakih para pembantu Raja
yang disebut ‘Manca’ (setingkat Gubernur sekarang) beragama Siwa-Bodha, dengan
gelar Kiyai. Beliau para Manca
itu, antara lain: Kiyai Agung Pangeran Tohjiwa, Kiyai Agung Smaranatha, Kiyai
Pangeran Bendesa Mas, danKiyai Agung Kubayan) dengan tugas selaku pengempon Pura Batukaru berkedudukan di Banjar Bendul, Desa
Wangayagde, Tabanan.
De Pasek
Lurah Kubayan setelah berada di Banjar Bendul, Desa Wangaya gde menurunkan seorang anak laki-laki bernama Pasek Kubayandan tetap tinggal
di Banjar Bendul, Desa Wangayadge
angkit Bersatu Pasek Batukatu
Maret
22, 2012pasekbatukaruTinggalkan
komentar
Setiap tahun umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi. Tapi sudahkan semeton mengetahui sejarah
lahirnya Hari Raya Nyepi itu sendiri? Ijinkan kali ini moderator berbagi cerita
tentang sejarah Hari Raya Nyepi yang moderator kutip dari beberapa sumber,
berikut uraiannya.
Di awal abad masehi bahkan sebelumnya, Negeri India dan wilayah sekitarnya digambarkan
selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan.
Pertikaian antar suku-suku bangsa, al. (Suku Saka,
Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya) menang dan kalah silih
berganti. Gelombang perebutan kekuasaan antar suku menyebabkan terombang-ambingnya
kehidupan beragama itu. Pola pembinaan kehidupan beragama menjadi beragam, baik
karena kepengikutan umat terhadap kelompok-kelompok suku bangsa, maupun karena
adanya penafsiran yang saling berbeda terhadap ajaran yang diyakini.
Dan pertikaian yang panjang pada akhirnya suku Saka
menjadi pemenang dibawah pimpinan Raja Kaniskha I yang dinobatkan menjadi Raja
dan turunan Saka
tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi.
tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi.
Dari
sini dapat diketahui bahwa peringatan pergantian tarikh saka adalah hari
keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya
bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda.
Sejak tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya
tarikh atau perhitungan tahun Saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki
12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret
tarikh Masehi dan Sasih Kesanga dalam tarikh Jawa dan Bali diIndonesia. Sejak itu pula kehidupan
bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang.
Oleh karena itu peringatan Tahun Baru Saka
bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan
(persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari
kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan keseluruh daratan India
dan Asia lainnya bahkan sampai ke Indonesia.
Kehadiran
Sang Pendeta Saka bergelar Aji Saka tiba di Jawa di Desa Waru Rembang Jawa
Tengah tahun 456 Masehi, dimana pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah
berumur 4,5 abad.
Dinyatakan
Sang Aji Saka disamping telah berhasil mensosialisasikan peringatan pergantian
tahun saka ini, jüga dan peristiwa yang dialami dua orang punakawan! pengiring
atau caraka beliau diriwayatkan lahirnya aksara Jawa onocoroko doto sowolo
mogobongo padojoyonyo. Karena Aji Saka diiringi dua orang punakawan yang
sama-sama setia, samasama sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam
mempertahankan kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.
Rangkaian peringatan Pergantian Tahun Saka
Peringatan tahun Saka di Indonesia dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :
Peringatan tahun Saka di Indonesia dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :
1. Upacara melasti, mekiyis dan melis
Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena.sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan).
Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena.sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan).
2. Menghaturkan bhakti/pemujaan
Di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.
Di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.
3. Tawur Agung/mecaru
Di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit).
Di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit).
Dilanjutkan
pula dengan acara ngerupuk/mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan
lingkungan dari pengaruh bhutakala. Belakangan acara ngerupuk disertai juga
dengan ogoh-ogoh (symbol bhutakala) sebagai kreativitas seni dan gelar budaya
serta simbolisasi bhutakala yang akan disomyakan. (Namun terkadang sifat
bhutanya masih tersisa pada orangnya).
4. Nyepi (Sipeng)
Dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan).
Dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan).
5. Ngembak Geni. Mulai dengan aktivitas baru yang
didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga)
dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi
seperti saat ini.
Yadnya
dilaksanakan karena kita ingin mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30
dinyatakan : Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham
apnoti, sraddhaya satyam apyate.
Artinya
: Melalui pengabdian/yadnya kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita
mendapat kemuliaan. Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan
kehormatan kita memperoleh kebenaran.
Sesungguhnya
seluruh rangkaian Nyepi dalam rangka memperingati pergantian tahun baru saka
itu adalah sebuah dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar
kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Mekiyis
dan nyejer/ngaturang bakti di Balai Agung adalah dialog spiritual manusia
dengan alam dan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifetasi-Nya serta para
leluhur yang telah disucikan. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah
dialog spiritual manusia dengan alam sekitar para bhuta demi keseimbangan
bhuana agung bhuana alit.
Pelaksanaan
catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara diru sejati (Sang Atma)
seseorang umat dengan sang pendipta (Paramatma) Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam diri manusia ada sang diri /atrnan (si Dia) yang bersumber dan sang
Pencipta Paramatma (Beliau Tuhan Yang Maha Esa).
Sima
krama atau dharma Santi adalah dialog antar sesama tentang apa dan bagaimana
yang sudah, dan yang sekarang serta yang akan datang. Bagaimana kita dapat
meningkatkan kehidupan lahir batin kita ke depan dengan berpijak pada
pengalaman selama ini. Maka dengan peringatan pergantian tahun baru saka
(Nyepi) umat telah melakukan dialog spiritual kepada semua pihak dengan Tuhan
yang dipuja, para leluhur, dengan para bhuta, dengan diri sendiri dan sesama
manusia demi keseimbangan, keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian bersama.
Namun patut juga diakui bahwa setiap hari suci keagamaan seperti Nyepi tahun
2009 ini, ada saja godaannya. Baik karena sisa-sisa bhutakalanya, sisa
mabuknya, dijadikan kesempatan memunculkan dendam lama atau tindakan yang lain.
Dunia nyata ini memang dikuasai oleh hukum Rwa Bhineda. Baik-buruk,
menang-kalah, kaya-miskin, sengsara-bahagia dst. Manusia berada di antara itu
dan manusia diuji untuk mengendalikan diri di antara dua hal yang saling
berbeda bahkan saling berlawanan.
Dharma Santi
Adapun Dharma Santi sebagai rangkaian akhir Nyepi merupakan hal yang wajib dilaksanakan, baik di lingkungan keluarga, warga dekat maupun warga bangsa.
Adapun Dharma Santi sebagai rangkaian akhir Nyepi merupakan hal yang wajib dilaksanakan, baik di lingkungan keluarga, warga dekat maupun warga bangsa.
Dengan
Dharma Santi kita dapat saling memaafkan jika ada kesalahan atau kekeliruan
yang pernah terjadi setidak-tidaknya dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya.
Di samping itu juga untuk berbincang-bincang perihal kehidupan bersama kita ke
depan karena kondisi yang dihadapi akan semakin sulit dan semakin komplek,
serba multi; multi etnis, multi dimensi, multi kepentingan, multi karakter dan
multi kultural.
Oleh
karena itu dharma Santi dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja setelah
Nyepi asal tidak lewat dari waktu kurang lebih sebulan sesudah Nyepi. Sangat
baik kalau setiap habis hari raya keagamaan (bukan hanya pada Nyepi saja)
diikuti dengan dharma Santi atau sima krama, atau secara spiritual sering juga
dilakukan jika ada upacara piodalan di Pura dengan “meprani”. Mesima krama,
meprani atau dharma Santi merupakan ajang berdialog antar sesama tentang
berbagai aspek kehidupan.
Karena
Weda menyatakan “Wasudewa kutumbakan” (seluruh dunia adalah bersaudana). Atau sarwa
asa mama mitram bhawantu (Jadikanlah seluruh penjuru dunia sebagai sahabat
kami).
Untuk
skup Bali, hal ini analog dengan konsep menyama braya yang perlu dimantapkan
melalui dharma Santi. Jadi pergantian Tahun Saka adalah peringatan dari
kebangkitan dan pembaharuan. Nyepi adalah renungan kesadaran untuk pengendalian
diri. Dharma santi adalah dialog sesama demi keseimbangan hidup lahir bathin.
Demikian
yang dapat disampaikan, semoga ada manfaatnya. Mohon maaf atas kekuragannya.
“Selamat Hari Raya Nyepi tahun Baru saka 1931, “Semoga Ida Sang Hyang Widhi
Wasa Asung kerta Wara nugraha kepada kita sekalian agar kita Santi, dapat
meningkatkan bhakti sadana menuju Jagadhita yaitu dunia sejahtera. Om Ano
bhadrah kratawo yantu wiswatah
sejarah pura batukaru
Pura
Luhur Batukaru--
Tempat Stana Dewa Mahadewa atau Hyang Tumuwuh
Predikat yang disandang Bali sebagai pulau seribu pura memang tidak terbantahkan lagi. Sepertinya di setiap jengkal tanah di Bali dapat ditemukan sebuah pura yang hanya dibedakan oleh status dan fungsinya. Salah satu pura dari ribuan pura di Bali yakni Pura Luhur Batukaru. Pura ini terletak di kaki Gunung Batukaru, Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan. Bagaimana sejarah pura yang berhawa sejuk itu? Berikut laporan wartawan Bali Post Asmara Putra yang dirangkum dari berbagai sumber.
----------------------------
Letak pura yang berjarak 3 kilometer dari Desa Wongaya Gede dan sekitar 22 kilometer dari Kota Tabanan atau 42 kilometer di sebelah barat laut Kota Denpasar, dapat dijangkau dengan mudah oleh seluruh umat Hindu. Apalagi, sarana transportasi berupa jalan yang menuju pura dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini cukup baik. Pura dengan lingkungan hutan yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 24-32 derajat Celcius (siang hari) dan 18-22 derajat Celsius (malam hari) memiliki curah hujan yang cukup tinggi yakni rata-rata 1.899 mm per tahun.
Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu pura dengan status sebagai tempat pemujaan seluruh umat Hindu atau yang lebih dikenal dengan Kahyangan Jagat. Pura ini juga menjadi bagian dari Pura Sad Kahyangan di Bali dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Selain sebagai tempat pemujaan Hyang Mahadewa, dalam beberapa lontar disebutkan pula Pura Luhur Batukaru sebagai stana Hyang Tumuwuh.
Pada saat upacara piodalan/pujawali yang berlangsung setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari, tepatnya hari Kamis (Whraspati), Umanis, Dungulan -- sehari setelah hari raya Galungan -- selalu dipadati umat Hindu dari berbagai pelosok Bali. Belakangan ini, sejak Galungan, umat sudah banyak yang pedek tangkil ke pura ini. Selama piodalan Ida Bhatara nyejer hingga tiga hari. Pengempon pura ini terdiri atas desa-desa pakraman yang berada di sekitarnya yakni Desa Pakraman Wongaya Gede (empat banjar pakraman -- Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya Kelod, dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Penganggahan dan Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma). Sedangkan pangemong/penanggung jawab pelaksanaan upacara adalah Jro Kebayan.
Sejarah
Kapan berdiri dan siapa yang membangun Pura Luhur Batukaru hingga kini belum diperoleh data secara pasti. Pasalnya, sampai saat ini sumber-sumber tertulis yang mengungkap keberadaan pura yang terletak di kaki Gunung Batukaru ini sangat minim. Akibatnya, untuk memperkirakan kapan didirikannya pura ini harus juga berdasarkan sumber-sumber atau bukti tak tertulis. Beberapa sumber tak tertulis seperti peninggalan purbakala yang diperkirakan berasal dari masa tradisi megalitik terdapat di dalam pura, dijadikan acuan untuk memperkirakan waktu pendirian pura ini.
Dalam buku ''Pura Luhur Batukaru'' terbitan Dinas Kebudayaan Bali, Oktober 1994, disebutkan A.J. Bernet Kempres pernah melaporkan adanya temuan berupa menhir di lereng Gunung Batukaru pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Setelah dilakukan penelitian beberapa waktu lalu, laporan Bernet Kempres tersebut terbukti kebenarannya.
Buktinya? Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan batu. Onggokan batu yang dimaksudkan tersebut, oleh krama pangempon Pura Luhur Batukaru disebut Palinggih Kampuh. Dalam buku setebal 92 halaman tersebut juga ditulis bahwa Palinggih Kampuh itu merupakan medium pemujaan roh suci golongan Kebayan/Kubayan yang telah berjasa bagi masyarakat setempat.
Pada zaman megalitik, segala bidang kehidupan masyarakat berpusat pada penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang atau arwah pemimpin yang disegani. Kepercayaan kepada roh leluhur umum pada saat itu. Masyarakat percaya bahwa arwah roh leluhur itu berdiam di puncak gunung dan bukit yang memiliki kekuatan gaib yang diyakini dapat menolak bahaya dan memberikan kesejahteraan. Agar kesejahteraan tersebut bisa terpelihara dengan baik maka hubungan dengan dunia arwah dijaga dengan baik, salah satunya dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir sebagaimana yang dijumpai di Pura Luhur Batukaru.
Minim
Sementara untuk bukti tertulis -- prasasti dan purana -- mengenai keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat minim. Bahkan, purana yang secara khusus mengupas keberadaan pura yang memiliki hawa sejuk ini sama sekali tidak ditemukan. Namun, ada beberapa sumber tertulis yang memuat secara selintas keberadaan Pura Luhur Batukaru ini, baik berupa lontar maupun sumber kepurbakalaan lainnya.
Ketut Soebandi dalam bukunya "Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali" menyebutkan, lontar-lontar yang memuat secara selintas keberadaan pura ini antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad Pasek Toh Jiwa, serta Babad Buleleng. Sedangkan dalam buku "Pura Luhur Batukaru" menyebutkan beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah Mada, Padma Bhuwana, Kusuma Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem, Widisastra, Empu Kuturan, Dewa Purana Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan pura ini. Dalam hubungannya dengan sejarah pendirian pura ini, pada lontar-lontar disebutkan Pura Luhur Batukaru didirikan oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Bali.
Sementara mengenai data kepurbakalaan, di Pura Luhur Batukaru terdapat peninggalan berupa arca, candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak. Sebuah arca kuno juga ditemukan di pura ini, yakni di Beji. Arca seperti ini juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan, Kintamani.
Melihat coraknya, arca semacam itu diperkirakan merupakan peninggalan periode Bali Kuno sekitar abad X-XII. Melihat hasil-hasil temuan itu, dan dipadu dengan sumber-sumber tertulis lainnya, Pura Luhur Batukaru ini dapat diduga berdiri pada abad XI. ''Jadi berdasarkan data epigrafis tersebut, dapat memberikan petunjuk bahwa Pura Luhur Batukaru dibangun pada zaman pemerintahan Raja Cri Masula-Masuli berkuasa di Bali
Tempat Stana Dewa Mahadewa atau Hyang Tumuwuh
Predikat yang disandang Bali sebagai pulau seribu pura memang tidak terbantahkan lagi. Sepertinya di setiap jengkal tanah di Bali dapat ditemukan sebuah pura yang hanya dibedakan oleh status dan fungsinya. Salah satu pura dari ribuan pura di Bali yakni Pura Luhur Batukaru. Pura ini terletak di kaki Gunung Batukaru, Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan. Bagaimana sejarah pura yang berhawa sejuk itu? Berikut laporan wartawan Bali Post Asmara Putra yang dirangkum dari berbagai sumber.
----------------------------
Letak pura yang berjarak 3 kilometer dari Desa Wongaya Gede dan sekitar 22 kilometer dari Kota Tabanan atau 42 kilometer di sebelah barat laut Kota Denpasar, dapat dijangkau dengan mudah oleh seluruh umat Hindu. Apalagi, sarana transportasi berupa jalan yang menuju pura dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini cukup baik. Pura dengan lingkungan hutan yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 24-32 derajat Celcius (siang hari) dan 18-22 derajat Celsius (malam hari) memiliki curah hujan yang cukup tinggi yakni rata-rata 1.899 mm per tahun.
Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu pura dengan status sebagai tempat pemujaan seluruh umat Hindu atau yang lebih dikenal dengan Kahyangan Jagat. Pura ini juga menjadi bagian dari Pura Sad Kahyangan di Bali dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Selain sebagai tempat pemujaan Hyang Mahadewa, dalam beberapa lontar disebutkan pula Pura Luhur Batukaru sebagai stana Hyang Tumuwuh.
Pada saat upacara piodalan/pujawali yang berlangsung setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari, tepatnya hari Kamis (Whraspati), Umanis, Dungulan -- sehari setelah hari raya Galungan -- selalu dipadati umat Hindu dari berbagai pelosok Bali. Belakangan ini, sejak Galungan, umat sudah banyak yang pedek tangkil ke pura ini. Selama piodalan Ida Bhatara nyejer hingga tiga hari. Pengempon pura ini terdiri atas desa-desa pakraman yang berada di sekitarnya yakni Desa Pakraman Wongaya Gede (empat banjar pakraman -- Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya Kelod, dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Penganggahan dan Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma). Sedangkan pangemong/penanggung jawab pelaksanaan upacara adalah Jro Kebayan.
Sejarah
Kapan berdiri dan siapa yang membangun Pura Luhur Batukaru hingga kini belum diperoleh data secara pasti. Pasalnya, sampai saat ini sumber-sumber tertulis yang mengungkap keberadaan pura yang terletak di kaki Gunung Batukaru ini sangat minim. Akibatnya, untuk memperkirakan kapan didirikannya pura ini harus juga berdasarkan sumber-sumber atau bukti tak tertulis. Beberapa sumber tak tertulis seperti peninggalan purbakala yang diperkirakan berasal dari masa tradisi megalitik terdapat di dalam pura, dijadikan acuan untuk memperkirakan waktu pendirian pura ini.
Dalam buku ''Pura Luhur Batukaru'' terbitan Dinas Kebudayaan Bali, Oktober 1994, disebutkan A.J. Bernet Kempres pernah melaporkan adanya temuan berupa menhir di lereng Gunung Batukaru pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Setelah dilakukan penelitian beberapa waktu lalu, laporan Bernet Kempres tersebut terbukti kebenarannya.
Buktinya? Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan batu. Onggokan batu yang dimaksudkan tersebut, oleh krama pangempon Pura Luhur Batukaru disebut Palinggih Kampuh. Dalam buku setebal 92 halaman tersebut juga ditulis bahwa Palinggih Kampuh itu merupakan medium pemujaan roh suci golongan Kebayan/Kubayan yang telah berjasa bagi masyarakat setempat.
Pada zaman megalitik, segala bidang kehidupan masyarakat berpusat pada penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang atau arwah pemimpin yang disegani. Kepercayaan kepada roh leluhur umum pada saat itu. Masyarakat percaya bahwa arwah roh leluhur itu berdiam di puncak gunung dan bukit yang memiliki kekuatan gaib yang diyakini dapat menolak bahaya dan memberikan kesejahteraan. Agar kesejahteraan tersebut bisa terpelihara dengan baik maka hubungan dengan dunia arwah dijaga dengan baik, salah satunya dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir sebagaimana yang dijumpai di Pura Luhur Batukaru.
Minim
Sementara untuk bukti tertulis -- prasasti dan purana -- mengenai keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat minim. Bahkan, purana yang secara khusus mengupas keberadaan pura yang memiliki hawa sejuk ini sama sekali tidak ditemukan. Namun, ada beberapa sumber tertulis yang memuat secara selintas keberadaan Pura Luhur Batukaru ini, baik berupa lontar maupun sumber kepurbakalaan lainnya.
Ketut Soebandi dalam bukunya "Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali" menyebutkan, lontar-lontar yang memuat secara selintas keberadaan pura ini antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad Pasek Toh Jiwa, serta Babad Buleleng. Sedangkan dalam buku "Pura Luhur Batukaru" menyebutkan beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah Mada, Padma Bhuwana, Kusuma Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem, Widisastra, Empu Kuturan, Dewa Purana Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan pura ini. Dalam hubungannya dengan sejarah pendirian pura ini, pada lontar-lontar disebutkan Pura Luhur Batukaru didirikan oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Bali.
Sementara mengenai data kepurbakalaan, di Pura Luhur Batukaru terdapat peninggalan berupa arca, candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak. Sebuah arca kuno juga ditemukan di pura ini, yakni di Beji. Arca seperti ini juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan, Kintamani.
Melihat coraknya, arca semacam itu diperkirakan merupakan peninggalan periode Bali Kuno sekitar abad X-XII. Melihat hasil-hasil temuan itu, dan dipadu dengan sumber-sumber tertulis lainnya, Pura Luhur Batukaru ini dapat diduga berdiri pada abad XI. ''Jadi berdasarkan data epigrafis tersebut, dapat memberikan petunjuk bahwa Pura Luhur Batukaru dibangun pada zaman pemerintahan Raja Cri Masula-Masuli berkuasa di Bali
sejarah pura rambut siwi
Pura
Luhur Rambut Siwi –
Berawal dari Sehelai Rambut
Pura Luhur Rambut Siwi terletak di Desa Yeh Embang, Mendoyo, di Kabupaten Jembrana. Pada saat piodalan yang jatuh pada Rabu Umanis Perangkabat, umat dari berbagai penjuru memadati pura yang berlokasi di tepi laut ini. Tepatnya, berada sekitar 17 km arah timur Kota Negara. Bagaimana sejarah pura ini?
——————
ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut I Ketut Wiana, keberadaan Pura Rambut Siwi sangat terkait dengan mitologi kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Jawa Timur atau Majapahit ke Bali. Wiana mengutip cerita Mpu Bhaskara Murti dari Geria Madu Sudana, Negara, mengatakan, saat Mpu Dang Hyang Nirartha ke Bali salah satu pura yang beliau kunjungi adalah Pura Rambut Siwi. Saat beliau memasuki pura, penjaga pura mengharuskan agar Mpu Dang Hyang Nirartha sembahyang di pura tersebut. Kalau tidak, beliau akan diterkam oleh harimau.
Karena diharuskan, menyembahlah beliau di pura tersebut. Ternyata pura tersebut menjadi hancur berantakan. Karena demikian, penjaga pura akhirnya mohon maaf kepada Mpu Dang Hyang Nirartha. Di samping itu, penjaga pura mohon agar pura itu dikembalikan pada keadaan semula. Atas kewisesaan Mpu Dang Hyang Nirartha, pura itu pun kembali utuh seperti sedia kala. Mpu Dang Hyang Nirartha mengambil sehelai rambut beliau diletakkan di pura tersebut untuk dijadikan sarana pemujaan di pura tersebut. Sejak itulah pura tersebut bernama Pura Rambut Siwi. Nama Rambut Siwi inilah yang lebih populer sampai saat ini.
Penuturan Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo tidak jauh dari cerita Wiana. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Dang Hyang Nirartha ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.
Sementara itu menurut Ktut Soebandi (alm.) dalam bukunya “Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali” menuliskan kedatangan Dang Hyang Nirartha di Bali pada tahun Caka 1411 atau tahun 1489 masehi yang dikisahkan dalam beberapa pustaka, seperti Dwijendra Tattwa dan Babad Catur Brahmana.
Soebandi menuliskan kisah Dang Hyang Nirartha dalam perjalanannya di Bali sempat tinggal di Desa Gading Wani. Beliau mendengar di desa itu masyarakatnya sedang dilanda sakit keras. Bahkan, tidak sedikit yang meninggal akibat sakit yang dideritanya. Kedatangan Dang Hyang Nirartha di desa itu berhasil menyembuhkan penyakit yang diderita masyarakat. Karena itu pula, masyarakat berharap agar Dang Hyang Nirartha bisa tetap tinggal di desa itu.
Sayang, Dang Hyang Nirartha tidak bisa memenuhi keinginan warga setempat, dan Beliau berkenan “menghadiahkan” seutas rambutnya sebagai jimat untuk menolak wabah penyakit. Rambut inilah yang kemudian dipuja (Siwi) dan dibuatkan tempat suci sebagai tempat penyimpanan. Karena itulah pura tersebut dinamakan Pura Rambut Siwi
Berawal dari Sehelai Rambut
Pura Luhur Rambut Siwi terletak di Desa Yeh Embang, Mendoyo, di Kabupaten Jembrana. Pada saat piodalan yang jatuh pada Rabu Umanis Perangkabat, umat dari berbagai penjuru memadati pura yang berlokasi di tepi laut ini. Tepatnya, berada sekitar 17 km arah timur Kota Negara. Bagaimana sejarah pura ini?
——————
ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut I Ketut Wiana, keberadaan Pura Rambut Siwi sangat terkait dengan mitologi kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Jawa Timur atau Majapahit ke Bali. Wiana mengutip cerita Mpu Bhaskara Murti dari Geria Madu Sudana, Negara, mengatakan, saat Mpu Dang Hyang Nirartha ke Bali salah satu pura yang beliau kunjungi adalah Pura Rambut Siwi. Saat beliau memasuki pura, penjaga pura mengharuskan agar Mpu Dang Hyang Nirartha sembahyang di pura tersebut. Kalau tidak, beliau akan diterkam oleh harimau.
Karena diharuskan, menyembahlah beliau di pura tersebut. Ternyata pura tersebut menjadi hancur berantakan. Karena demikian, penjaga pura akhirnya mohon maaf kepada Mpu Dang Hyang Nirartha. Di samping itu, penjaga pura mohon agar pura itu dikembalikan pada keadaan semula. Atas kewisesaan Mpu Dang Hyang Nirartha, pura itu pun kembali utuh seperti sedia kala. Mpu Dang Hyang Nirartha mengambil sehelai rambut beliau diletakkan di pura tersebut untuk dijadikan sarana pemujaan di pura tersebut. Sejak itulah pura tersebut bernama Pura Rambut Siwi. Nama Rambut Siwi inilah yang lebih populer sampai saat ini.
Penuturan Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo tidak jauh dari cerita Wiana. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Dang Hyang Nirartha ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.
Sementara itu menurut Ktut Soebandi (alm.) dalam bukunya “Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali” menuliskan kedatangan Dang Hyang Nirartha di Bali pada tahun Caka 1411 atau tahun 1489 masehi yang dikisahkan dalam beberapa pustaka, seperti Dwijendra Tattwa dan Babad Catur Brahmana.
Soebandi menuliskan kisah Dang Hyang Nirartha dalam perjalanannya di Bali sempat tinggal di Desa Gading Wani. Beliau mendengar di desa itu masyarakatnya sedang dilanda sakit keras. Bahkan, tidak sedikit yang meninggal akibat sakit yang dideritanya. Kedatangan Dang Hyang Nirartha di desa itu berhasil menyembuhkan penyakit yang diderita masyarakat. Karena itu pula, masyarakat berharap agar Dang Hyang Nirartha bisa tetap tinggal di desa itu.
Sayang, Dang Hyang Nirartha tidak bisa memenuhi keinginan warga setempat, dan Beliau berkenan “menghadiahkan” seutas rambutnya sebagai jimat untuk menolak wabah penyakit. Rambut inilah yang kemudian dipuja (Siwi) dan dibuatkan tempat suci sebagai tempat penyimpanan. Karena itulah pura tersebut dinamakan Pura Rambut Siwi
sejarah pura uluwatu
Pura
Besakih dan Pura Batur di Kintamani adalah pura yang tergolong Pura Rwa
Bhineda. Pura Besakih sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai Pradana. Pura Catur
Loka Pala adalah Pura Lempuhyang Luhur di arah timur Bali, Pura Luhur Batukaru
arah barat, Pura Andakasa arah selatan dan Pura Pucak Mangu arah utara. Pura
yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka ini umumnya disebut Pura Sad
Kahyangan.
Tidak kurang dari sembilan lontar menyatakan adanya Pura Sad Kahyangan. Namun setiap lontar menyatakan pura yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan pada zaman dulu di Bali ada sembilan kerajaan dan sekarang dibagi menjadi 7 kabupaten, 1 kota madya, 1 propinsi. Tiap-tiap kerajaan memiliki Sad Kahyangan-nya masing-masing. Ada yang sama dan ada juga yang tidak sama.
Pura Sad Kahyangan yang dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa itu adalah Sad Kahyangan saat Bali masih satu kerajaan. Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura yang dinyatakan sebagai Pura Sad Kahyangan dalam Lontar Kusuma Dewa dan juga beberapa lontar lainnya. Pura Luhur Uluwatu itu juga dinyatakan sebagai Pura Padma Bhuwana yang berada di arah barat daya Pulau Bali.
Arah barat daya itu dalam sistem pengider-ider Hindu Sekte Siwa Sidhanta adalah Dewa Siwa Rudra. Dalam konsep Siwa Sidhanta, Dewa Tri Murti itu adalah manifestasi Siwa sebagai sebutan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi dalam konsep Waisnawa, Tri Murti itu adalah perwujudan Maha Wisnu.
Dalam Rgveda I, 164. 46 dinyatakan bahwa Tuhan itu mahaesa para Wipra atau orang-orang suci menyebutnya dengan banyak nama. Jadinya Pura Luhur Uluwatu itu adalah Pura Kahyangan Jagat yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan konsepsi Padma Bhuwana. Sebagai Siwa Rudra berkedudukan untuk membumikan purusa wisesa dari Dewa Tri Murti agar umat tertuntun melakukan dinamika hidupnya berdasarkan Tri Kona yaitu kreatif menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan.
Kreatif memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi. Demikian juga melakukan upaya pralina pada sesuatu yang seyogianya dipralina. Siapa pun yang dapat hidup seimbang berbuat berdasarkan konsep Tri Kona itu dialah orang yang hebat karena sukses dalam hidupnya. Karena itulah Tuhan di Pura Luhur Uluwatu dipuja sebagai Dewa Siwa Rudra. Kata Rudra dalam bahasa Sansekerta artinya hebat atau bergairah.
Keberadaan Pura Luhur Uluwatu ini sejak abad XVI Masehi ada terkait dengan tirthayatra Dang Hyang Dwijendra. Setelah itu didirikanlah Meru Tumpang Tiga di Pura Luhur Uluwatu sebagai pemujaan Dewa Siwa Rudra di mana aspek Brahma dan Wisnu juga terkait menjadi energi magis religius dalam pemujaan Siwa Rudra di Meru Tumpang Tiga. Meskipun kedatangan Dang Hyang Dwijendra memperluas tempat pemujaan di Pura Luhur Uluwatu bukan berarti apa yang telah ada harus ditinggalkan begitu saja.
Di sebelah kiri sebelum masuk pintu Candi Bentar tersebut terdapat kompleks pelinggih yang disebut Dalem Jurit. Di Pura Dalem Jurit inilah terdapat tiga patung Tri Murti yang merupakan tempat pemujaan Siwa Rudra ketika Mpu Kuturan mendirikan pura tersebut abad ke-11 Masehi. Dari Dalem Jurit kita terus masuk melalui Candi Bentar.
Di jaba tengah ini kita menoleh ke kiri lagi ada sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering sekalipun. Hal ini dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa Pecatu adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang mengandalkan air hujan. Bak air itu dikeramatkan karena keajaibannya itu. Keperluan air untuk bahan tirtha cukup diambil dari bak air tersebut.
Dari jaba tengah ini kita terus masuk melalui Candi Kurung Padu Raksa bersayap. Candi ini ada yang menduga dibuat pada abad ke-11 Masehi karena dihubungkan dengan Candi Kurung bersayap yang ada di Pura Sakenan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Candi Kurung bersayap seperti ini ada di Jawa Timur peninggalan purbakala di Sendang Duwur dengan Candra Sengkala yaitu tanda tahun Saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuna sbb: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.
Candi Kurung Padu Raksa bersayap di Sendang Duwur sama dengan Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu. Dengan demikian nampaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada zaman Dang Hyang Dwijendra yaitu abad XVI. Karena Dang Hyang Dwijendra-lah yang memperluas Pura Luhur Uluwatu.
Setelah kita masuk ke jeroan (bagian dalam pura) kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Balai Pawedaan tempat pandita memuja memimpin upacara. Upacara piodalan atau sejenis hari besarnya Pura Luhur Uluwatu pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia atau setiap 210 hari berdasarkan perhitungan kalender Wuku.
Pura Luhur Uluwatu memiliki wilayah suci dalam radius kurang lebih lima kilometer. Wilayah ini disebut wilayah Kekeran, artinya wilayah yang suci. Yang patut kita perhatikan adalah melindungi wilayah yang disebut sebagai wilayah kekeran. Hendaknya semua pihak menghormati wilayah kekeran tersebut untuk menjaga agar jangan ada bangunan yang tidak terkait dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu itu.
Wilayah kekeran itu hendaknya dijaga agar tetap hijau dengan tumbuh-tumbuhan yang khas Bali. Boleh dikreasi sepanjang untuk mengembangkan tumbuh-tumbuhan hutan dengan tanem tuwuh-nya, sehingga wilayah kekeran itu benar-benar asri dan juga suci tidak dijadikan pengembangan pasilitas yang lainnya. Lebih-lebih berdasarkan Bhisama Kesucian Pura di Pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Uluwatu ini harus dijaga tidak boleh ada bangunan di luar fasilitas pura dengan radius apeneleng — sekitar lima kilometer — harus steril dari bangunan yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu.
Tidak kurang dari sembilan lontar menyatakan adanya Pura Sad Kahyangan. Namun setiap lontar menyatakan pura yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan pada zaman dulu di Bali ada sembilan kerajaan dan sekarang dibagi menjadi 7 kabupaten, 1 kota madya, 1 propinsi. Tiap-tiap kerajaan memiliki Sad Kahyangan-nya masing-masing. Ada yang sama dan ada juga yang tidak sama.
Pura Sad Kahyangan yang dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa itu adalah Sad Kahyangan saat Bali masih satu kerajaan. Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura yang dinyatakan sebagai Pura Sad Kahyangan dalam Lontar Kusuma Dewa dan juga beberapa lontar lainnya. Pura Luhur Uluwatu itu juga dinyatakan sebagai Pura Padma Bhuwana yang berada di arah barat daya Pulau Bali.
Arah barat daya itu dalam sistem pengider-ider Hindu Sekte Siwa Sidhanta adalah Dewa Siwa Rudra. Dalam konsep Siwa Sidhanta, Dewa Tri Murti itu adalah manifestasi Siwa sebagai sebutan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi dalam konsep Waisnawa, Tri Murti itu adalah perwujudan Maha Wisnu.
Dalam Rgveda I, 164. 46 dinyatakan bahwa Tuhan itu mahaesa para Wipra atau orang-orang suci menyebutnya dengan banyak nama. Jadinya Pura Luhur Uluwatu itu adalah Pura Kahyangan Jagat yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan konsepsi Padma Bhuwana. Sebagai Siwa Rudra berkedudukan untuk membumikan purusa wisesa dari Dewa Tri Murti agar umat tertuntun melakukan dinamika hidupnya berdasarkan Tri Kona yaitu kreatif menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan.
Kreatif memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi. Demikian juga melakukan upaya pralina pada sesuatu yang seyogianya dipralina. Siapa pun yang dapat hidup seimbang berbuat berdasarkan konsep Tri Kona itu dialah orang yang hebat karena sukses dalam hidupnya. Karena itulah Tuhan di Pura Luhur Uluwatu dipuja sebagai Dewa Siwa Rudra. Kata Rudra dalam bahasa Sansekerta artinya hebat atau bergairah.
Keberadaan Pura Luhur Uluwatu ini sejak abad XVI Masehi ada terkait dengan tirthayatra Dang Hyang Dwijendra. Setelah itu didirikanlah Meru Tumpang Tiga di Pura Luhur Uluwatu sebagai pemujaan Dewa Siwa Rudra di mana aspek Brahma dan Wisnu juga terkait menjadi energi magis religius dalam pemujaan Siwa Rudra di Meru Tumpang Tiga. Meskipun kedatangan Dang Hyang Dwijendra memperluas tempat pemujaan di Pura Luhur Uluwatu bukan berarti apa yang telah ada harus ditinggalkan begitu saja.
Di sebelah kiri sebelum masuk pintu Candi Bentar tersebut terdapat kompleks pelinggih yang disebut Dalem Jurit. Di Pura Dalem Jurit inilah terdapat tiga patung Tri Murti yang merupakan tempat pemujaan Siwa Rudra ketika Mpu Kuturan mendirikan pura tersebut abad ke-11 Masehi. Dari Dalem Jurit kita terus masuk melalui Candi Bentar.
Di jaba tengah ini kita menoleh ke kiri lagi ada sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering sekalipun. Hal ini dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa Pecatu adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang mengandalkan air hujan. Bak air itu dikeramatkan karena keajaibannya itu. Keperluan air untuk bahan tirtha cukup diambil dari bak air tersebut.
Dari jaba tengah ini kita terus masuk melalui Candi Kurung Padu Raksa bersayap. Candi ini ada yang menduga dibuat pada abad ke-11 Masehi karena dihubungkan dengan Candi Kurung bersayap yang ada di Pura Sakenan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Candi Kurung bersayap seperti ini ada di Jawa Timur peninggalan purbakala di Sendang Duwur dengan Candra Sengkala yaitu tanda tahun Saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuna sbb: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.
Candi Kurung Padu Raksa bersayap di Sendang Duwur sama dengan Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu. Dengan demikian nampaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada zaman Dang Hyang Dwijendra yaitu abad XVI. Karena Dang Hyang Dwijendra-lah yang memperluas Pura Luhur Uluwatu.
Setelah kita masuk ke jeroan (bagian dalam pura) kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Balai Pawedaan tempat pandita memuja memimpin upacara. Upacara piodalan atau sejenis hari besarnya Pura Luhur Uluwatu pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia atau setiap 210 hari berdasarkan perhitungan kalender Wuku.
Pura Luhur Uluwatu memiliki wilayah suci dalam radius kurang lebih lima kilometer. Wilayah ini disebut wilayah Kekeran, artinya wilayah yang suci. Yang patut kita perhatikan adalah melindungi wilayah yang disebut sebagai wilayah kekeran. Hendaknya semua pihak menghormati wilayah kekeran tersebut untuk menjaga agar jangan ada bangunan yang tidak terkait dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu itu.
Wilayah kekeran itu hendaknya dijaga agar tetap hijau dengan tumbuh-tumbuhan yang khas Bali. Boleh dikreasi sepanjang untuk mengembangkan tumbuh-tumbuhan hutan dengan tanem tuwuh-nya, sehingga wilayah kekeran itu benar-benar asri dan juga suci tidak dijadikan pengembangan pasilitas yang lainnya. Lebih-lebih berdasarkan Bhisama Kesucian Pura di Pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Uluwatu ini harus dijaga tidak boleh ada bangunan di luar fasilitas pura dengan radius apeneleng — sekitar lima kilometer — harus steril dari bangunan yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu.
Label: sejarah purasejarah pura dalem ped
Pura
Penataran Agung Ped
Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa
Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.
Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.
Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.
Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.
Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.
Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.
Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.
Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.
Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.
Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.
Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut.
Purusa-Pradana di Pura Dalem Penataran Peed
OM Svastyastu,
Kiriman: Putra Semarapura
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/17/bd2.htm
Ya atmada balada yasya visva
upasate prasisam yasya devah
yasya chaya-amrtam yasya mrtyuh,
kasmani devaya havisa vidhema.
(Rgveda.X.121.2).
Maksudnya:
Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan spiritual (rohani) dan fisikal (jasmani). Semua sinar sucinya yang disebut Deva berfungsi atas kehendak Tuhan. Kasih-Nya adalah keabadian, krodanya adalah kematian. Kami semuanya mengaturkan sembah kepada-Nya.
PURA Dalem Penataran Peed di Nusa Penida itu adalah pura untuk memuja Tuhan Yang Mahakuasa sebagai pencipta Purusa dan Pradana. Purusa itu adalah kekuatan jiwa atau daya spiritualitas yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya. Pradana adalah kekuatan fisik material atau daya jasmaniah yang mewujudkan secara nyata kekuatan Purusa tersebut.
Karena itu umat Hindu berbondong-bondong rajin bersembahyang ke Pura Dalem Penataran Peed untuk mendapatkan keseimbangan daya hidup, baik daya spiritual maupun daya fisikal. Karena hanya keseimbangan peran dan fungsi rohani dan jasmani itulah hidup yang harmonis di bumi ini dapat dicapai.
Pemujaan Tuhan sebagai pencipta unsur Purusa dan Pradana ini divisualkan dalam wujud pemujaan di Pura Dalem Penataran Peed. Visualisasi itu merupakan perpaduan konsepsi Hindu dengan kearipan lokal Bali. Di Pura Dalem Penataran Peed ini terdapat dua arca Purusa dan Predana dari uang kepeng yang disimpan di gedong penyimpenan sebagai pelinggih utama di Pura Dalem Penataran Peed. Arca Purusa Predana inilah yang memvisualisasikan kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan waranugraha keseimbangan hidup spiritual (Purusa) dengan kehidupan fisik material (Predana).
Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan Batara Siwa menurunkan Dewi Uma dan berstana di Puncak Mundi Nusa Penida diiringi oleh para Bhuta Kala simbol kekuatan fisik material berupa ruang dan waktu. Bhuta itu membentuk ruang dan Kala adalah waktu. Waktu timbul karena ada dinamika ruang. Di Pura Puncak Mundi, Dewi Uma bergelar Dewi Rohini dan berputra Dalem Sahang. Pepatih Dalem Sahang bernama I Renggan dari Jambu Dwipa -- kompyang dari Dukuh Jumpungan.
Dukuh Jumpungan itu lahir dari pertemuan Batara Guru dengan Ni Mrenggi, dayang dari Dewi Uma. Kama dari Batara Guru berupa awan kabut yang disebut limun. Karena itu disebut Hyang Kalimunan. Kama Batara Guru ini di-urip oleh Hyang Tri Murti dan menjadi manusia. Setelah digembleng berbagai ilmu kerohanian dan kesidhian, dan oleh Hyang Tri Murti terus diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai ahli pengobatan. Setelah turun-temurun Dukuh Jumpungan menurunkan I Gotra yang juga dikenal I Mecaling. Inilah yang selanjutnya disebut Ratu Gede Nusa.
Ratu Gede Nusa ini berpenampilan bagaikan Batara Kala. Menurut penafsiran Ida Pedanda Made Sidemen (alm) dari Geria Taman Sanur yang dimuat dalam buku hasil penelitian Sejarah Pura oleh Tim IHD Denpasar (sekarang Unhi) antara lain menyatakan sbb: saat Batara di Gunung Agung, Batukaru dan Batara di Rambut Siwi dari Jambu Dwipa ke Bali diiringi oleh seribu lima ratus (1.500) orang halus (wong samar).
Lima ratus wong samar itu dengan lima orang taksu menjadi pengiring Ratu Gede Nusa atas wara nugraha Batara di Gunung Agung. Batara di Gunung Agung memberi wara nugraha kepada Ratu Gede Nusa atas tapa brata-nya yang keras. Atas tapa brata itulah Batara di Gunung Agung memberi anugrah dan wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang tidak taat melakukan perbuatan baik dan benar sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Di Pura Dalem Penataran Peed ini Ida Batara Dalem Penataran Peed dipuja di Pelinggih Gedong, sedangkan Pelinggih Ratu Gede Nusa berada areal tersendiri di barat areal Pelinggih Dalem Penataran Peed. Pelinggih Dalem Penataran Peed ini berada di bagian timur, sedangkan Pelinggih Padmasana sebagai penyawangan Batara di Gunung Agung berada di bagian utara dalam areal Pura Dalem Penataran Peed. Di Pura Dalem Penataran Peed ini merupakan penyatuan antara pemujaan Batara Siwa di Gunung Agung dengan pemujaan Dewi Durgha atau Dewi Uma di Pura Puncak Mundi.
Dengan demikian Pura Dalem Penataran Peed itu sebagai Pemujaan Siwa Durgha dan Pemujaan Raja disebut Pura Dalem. Sedangkan disebut sebagai Pura Penataran Peed karena pura ini sebagai Penataran dari Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha. Artinya, Pura Penataran Peed ini sebagai pengejawantahan yang aktif dari fungsi Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha.
Di pura inilah bertemunya unsur Purusa dari Batara di Gunung Agung dengan Batari Uma Durgha di Puncak Mundi. Dari pertemuan dua unsur ciptaan Tuhan inilah yang akan melahirkan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya yang disebut Rambut Sedhana. Baik sarana hidup untuk memajukan kesejahteraan maupun sarana untuk mempertahankan kesehatan dan menghilangkan berbagai penyakit.
Upacara pujawali di Pura Dalem Penataran Peed ini dilangsungkan pada setiap Budha Cemeng Klawu. Hari Budha Cemeng Klawu ini adalah hari untuk mengingatkan umat Hindu pada hari keuangan yang disebut Pujawali Batari Rambut Sedhana. Pada hari ini umat Hindu diingatkan agar uang itu digunakan dengan baik dan setepat mungkin. Uang itu sebagai alat untuk mendapatkan berbagai sarana hidup agar digunakan dengan seimbang untuk menciptakan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya. Uang itu sebagai sarana menyukseskan tujuan hidup mewujudkan Dharma, Artha dan Kama sebagai dasar mencapai Moksha.
Berdasarkan adanya Pelinggih Manjangan Saluwang di sebelah barat Tugu Penyimpanan dapat diperkirakan bahwa Pura Dalem Penataran Peed ini sudah ada sejak Mpu Kuturan mendampingi Raja memimpin Bali. Pura ini mendapatkan perhatian saat Dalem Dukut memimpin di Nusa Penida dan dilanjutkan pada zaman kepemimpinan Dalem di Klungkung.
* I Ketut Gobyah
Pura Penataran Agung Ped
Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa
Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.
Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.
Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.
Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.
Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.
Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.
Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.
Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.
Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.
Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.
Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut
Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa
Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.
Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.
Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.
Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.
Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.
Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.
Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.
Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.
Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.
Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.
Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut.
Purusa-Pradana di Pura Dalem Penataran Peed
OM Svastyastu,
Kiriman: Putra Semarapura
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/17/bd2.htm
Ya atmada balada yasya visva
upasate prasisam yasya devah
yasya chaya-amrtam yasya mrtyuh,
kasmani devaya havisa vidhema.
(Rgveda.X.121.2).
Maksudnya:
Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan spiritual (rohani) dan fisikal (jasmani). Semua sinar sucinya yang disebut Deva berfungsi atas kehendak Tuhan. Kasih-Nya adalah keabadian, krodanya adalah kematian. Kami semuanya mengaturkan sembah kepada-Nya.
PURA Dalem Penataran Peed di Nusa Penida itu adalah pura untuk memuja Tuhan Yang Mahakuasa sebagai pencipta Purusa dan Pradana. Purusa itu adalah kekuatan jiwa atau daya spiritualitas yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya. Pradana adalah kekuatan fisik material atau daya jasmaniah yang mewujudkan secara nyata kekuatan Purusa tersebut.
Karena itu umat Hindu berbondong-bondong rajin bersembahyang ke Pura Dalem Penataran Peed untuk mendapatkan keseimbangan daya hidup, baik daya spiritual maupun daya fisikal. Karena hanya keseimbangan peran dan fungsi rohani dan jasmani itulah hidup yang harmonis di bumi ini dapat dicapai.
Pemujaan Tuhan sebagai pencipta unsur Purusa dan Pradana ini divisualkan dalam wujud pemujaan di Pura Dalem Penataran Peed. Visualisasi itu merupakan perpaduan konsepsi Hindu dengan kearipan lokal Bali. Di Pura Dalem Penataran Peed ini terdapat dua arca Purusa dan Predana dari uang kepeng yang disimpan di gedong penyimpenan sebagai pelinggih utama di Pura Dalem Penataran Peed. Arca Purusa Predana inilah yang memvisualisasikan kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan waranugraha keseimbangan hidup spiritual (Purusa) dengan kehidupan fisik material (Predana).
Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan Batara Siwa menurunkan Dewi Uma dan berstana di Puncak Mundi Nusa Penida diiringi oleh para Bhuta Kala simbol kekuatan fisik material berupa ruang dan waktu. Bhuta itu membentuk ruang dan Kala adalah waktu. Waktu timbul karena ada dinamika ruang. Di Pura Puncak Mundi, Dewi Uma bergelar Dewi Rohini dan berputra Dalem Sahang. Pepatih Dalem Sahang bernama I Renggan dari Jambu Dwipa -- kompyang dari Dukuh Jumpungan.
Dukuh Jumpungan itu lahir dari pertemuan Batara Guru dengan Ni Mrenggi, dayang dari Dewi Uma. Kama dari Batara Guru berupa awan kabut yang disebut limun. Karena itu disebut Hyang Kalimunan. Kama Batara Guru ini di-urip oleh Hyang Tri Murti dan menjadi manusia. Setelah digembleng berbagai ilmu kerohanian dan kesidhian, dan oleh Hyang Tri Murti terus diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai ahli pengobatan. Setelah turun-temurun Dukuh Jumpungan menurunkan I Gotra yang juga dikenal I Mecaling. Inilah yang selanjutnya disebut Ratu Gede Nusa.
Ratu Gede Nusa ini berpenampilan bagaikan Batara Kala. Menurut penafsiran Ida Pedanda Made Sidemen (alm) dari Geria Taman Sanur yang dimuat dalam buku hasil penelitian Sejarah Pura oleh Tim IHD Denpasar (sekarang Unhi) antara lain menyatakan sbb: saat Batara di Gunung Agung, Batukaru dan Batara di Rambut Siwi dari Jambu Dwipa ke Bali diiringi oleh seribu lima ratus (1.500) orang halus (wong samar).
Lima ratus wong samar itu dengan lima orang taksu menjadi pengiring Ratu Gede Nusa atas wara nugraha Batara di Gunung Agung. Batara di Gunung Agung memberi wara nugraha kepada Ratu Gede Nusa atas tapa brata-nya yang keras. Atas tapa brata itulah Batara di Gunung Agung memberi anugrah dan wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang tidak taat melakukan perbuatan baik dan benar sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Di Pura Dalem Penataran Peed ini Ida Batara Dalem Penataran Peed dipuja di Pelinggih Gedong, sedangkan Pelinggih Ratu Gede Nusa berada areal tersendiri di barat areal Pelinggih Dalem Penataran Peed. Pelinggih Dalem Penataran Peed ini berada di bagian timur, sedangkan Pelinggih Padmasana sebagai penyawangan Batara di Gunung Agung berada di bagian utara dalam areal Pura Dalem Penataran Peed. Di Pura Dalem Penataran Peed ini merupakan penyatuan antara pemujaan Batara Siwa di Gunung Agung dengan pemujaan Dewi Durgha atau Dewi Uma di Pura Puncak Mundi.
Dengan demikian Pura Dalem Penataran Peed itu sebagai Pemujaan Siwa Durgha dan Pemujaan Raja disebut Pura Dalem. Sedangkan disebut sebagai Pura Penataran Peed karena pura ini sebagai Penataran dari Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha. Artinya, Pura Penataran Peed ini sebagai pengejawantahan yang aktif dari fungsi Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha.
Di pura inilah bertemunya unsur Purusa dari Batara di Gunung Agung dengan Batari Uma Durgha di Puncak Mundi. Dari pertemuan dua unsur ciptaan Tuhan inilah yang akan melahirkan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya yang disebut Rambut Sedhana. Baik sarana hidup untuk memajukan kesejahteraan maupun sarana untuk mempertahankan kesehatan dan menghilangkan berbagai penyakit.
Upacara pujawali di Pura Dalem Penataran Peed ini dilangsungkan pada setiap Budha Cemeng Klawu. Hari Budha Cemeng Klawu ini adalah hari untuk mengingatkan umat Hindu pada hari keuangan yang disebut Pujawali Batari Rambut Sedhana. Pada hari ini umat Hindu diingatkan agar uang itu digunakan dengan baik dan setepat mungkin. Uang itu sebagai alat untuk mendapatkan berbagai sarana hidup agar digunakan dengan seimbang untuk menciptakan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya. Uang itu sebagai sarana menyukseskan tujuan hidup mewujudkan Dharma, Artha dan Kama sebagai dasar mencapai Moksha.
Berdasarkan adanya Pelinggih Manjangan Saluwang di sebelah barat Tugu Penyimpanan dapat diperkirakan bahwa Pura Dalem Penataran Peed ini sudah ada sejak Mpu Kuturan mendampingi Raja memimpin Bali. Pura ini mendapatkan perhatian saat Dalem Dukut memimpin di Nusa Penida dan dilanjutkan pada zaman kepemimpinan Dalem di Klungkung.
* I Ketut Gobyah
Pura Penataran Agung Ped
Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa
Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.
Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.
Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.
Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.
Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.
Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.
Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.
Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.
Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.
Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.
Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut
sejarah pura lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di Bukit Gamongan, pada puncak puncak bukit Bisbis atau Gunung Kembar di desa Purahayu, kecamatan Abang, kabupaten Karangasem. Jaraknya dari kota AmlaPura lebih kurang 22 km, arah keutara melalui Tirtagangga menuju desa Ngis di kecamatan Abang kemudian membelok ketimur langsung ke desa Purahayu. Kendaraan bermotor maupun dengan sepeda hanya bisa sampai di desa Ngis, kemudian berjalan kaki menuju desa Purahayu dan selanjutnya berjalan diatas bukit menuju Pura yang berada di puncak bukit Bisbis.
Perjalanan yang memakan waktu lebih kurang 3 jam itu cukup berat dan memayahkan, karena kadang-kadang menemui jalan yang sempit dan berjurang terjal, serta meanjak terus. Namun kepayahan itu dapat diimbali dengan indahnya panorama yang dapat dinikmati dari atas bukit selama pendakian itu. Lebih-lebih dari puncak Lempuyang pemandangan ke arah utara sangat indah, kelihatan pantai Amed dan desa Culik, ke Timur Gunung Seraya, ke Selatan kota AmlaPura, Candi Dasa, Padangbai dengan lautnya yang membiru dan ke Barat kelihatan desa-desa yang berada di bawah seperti Desa Ngis, Basang alas, Megatiga serta Gunung Agung yang nampak indah. Pura Lempuyang Luhur termasuk Pura Sad Kahyangan di Bali (Menurut Lontar Widisastra) yang juga merupakan kahyangan jagat yang termasuk salah satu dari "Pura-Pura" delapan penjuru angin di Pulau Bali.
Sejarah
Sangat Sulit untuk mengungkapkan sejarah Pura Lempuyang Luhur yang terletak di Bukit Gamongan Karangasem itu secara jelas, oleh karena data-data yang kuat sukar di dapatkan. Kesulitan lain lagi ialah sampai kini belum dijumpai "Purana" tentang Pura itu yang diharapkan dapat memberikan keterangan secara jelas.
Sementara itu baru diperoleh data-data mengenai Pura Lempuyang Luhur yang sifatnya tidak langsung, ialah keterangan dalam prasasti Sading C type :Tinulad" dan keterangan yang terdapat dalam lontar Kutarakandha Dewa Purana Bangsul.
1. Prasasti Sading C
Naskah turunan prasasti Sading C yang disimpan di Geria Mandhara Munggu, yang isinya menyebutkan sebagai berikut " Pada tahun 1072 Caka (1150) bulan ke-9 hari tanggal 12 bulan paroh terang, wuku julungpujut, ketika hari itu beliau Paduka Çri Maharaja Jayaçakti, merapatkan seluruh pemimpin perang. Karena beliau akan pergi ke bali karena disuruh oleh ayahnya yaitu Sang Hyang Guru yang bertujuan untuk membuat Pura (dharma) disana di Gunung Lempuyang, terutama sebagai penyelamat bumi bali, diikuti oleh pendeta Çiwa dan Budha serta mentri besar. Beliau juga disebut Maharaja Bima, yaitu Çri Bayu atau Çri Jaya atau Çri Gnijayaçakti."
2. Prasasti Kutarakanda DewaPurana Bangsul
Didalam Lontar Kutarakanda DewaPurana Bangsul lembar ke 3-5 koleksi Ida Pedande Gde Pemaron di Gria Mandhara Munggu Badung ada di singgung mengenai Lempuyang yang kutipannya kira-kira sebagai berikut " Demikianlah perkataan Sang Hyang Parameçwara kepada putra beliau para dewa sekalian, terutama sekali Sang Hyang Gnijayaçakti wahai anaknda, anda-anda para dewa sekalian, dengarkanlah perkataanku kepdada anda sekalian, hendaknya anda turun (datang) ke Pulau Bali menjaga pulau Bali, seraya anda menjadi dewa disana"
Dari kedua sumber tersebut diatas ada dua hal yang penting dapat diambil yaitu : Gunung Lempuyang dan Sang Hyang Gnijaya. Di dalam bahsa Jawa kata Lempuyang berarti "Gamongan" gunung Lempuyang berarti gunung gamongan atau bukit gamongan sebagaimana disebutkan dalam lontar Kusuma Dewa dan sampai sekarang masyarakat sekitar tempat itu menyebutkan bahwa Pura Lempuyang terletak di Bukit Gamongan disebelah timur kota Amlapura.
Fungsinya
Menurut Upadeca, bila dihubungkan dengan "Pura-Pura" Sad Kahyangan di Bali, maka Pura Lempuyang Luhur adalah termasuk salah satu diantaranya disamping lima Pura lainnya. Pura Lempuyang Luhur adalah kedudukan Dewa Içwara dan terletak di ufuk Timur penjuru mata angin di Bali. Hal ini dapat dihubungkan dengan Dewa Nawa Sanga beserta tempatnya dan senjatanya masing-masing. Jadi jelaslah bahwa Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai penjaga/pemelihara arah sebelah timur dengan dewa Içwara sebagai manefestasi Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun dewa yang dipuja adalah Bethara Agnijaya (Hyang Gnijaya) sebagai manefestasinya Hyang Widhi, oleh karena Bhtara Agnijaya disejajarkan fungsi serta peranannya dengan Brahma, Wisnu, Indara dan Shambu maka dapatlah dimengerti bahwa Bhatara Agnijaya adalah identik dengan Içwara yaitu Dewa Asthadhipalaka yang berada di penjuru Timur. Nama Sang Hyang Agnijaya yaitu putra dari Sang Hyang Parameçwara (maksudnya sebagai manefestasi dari Hyang Widhi) juga ada disebutkan di dalam Lontar DewaPurana Bangsul. Pura-Pura yang berada di Bukit Gamongan yang ada hubungannya dengan Pura Lempuyang Luhur adalah Pura Desa Purahayu, Pura Telaga Mas dan Pura Pasar Agung.
Pengemong
Pengemong Pura Lempuyang Luhur adalah seluruh anggota"krama Desa" dari desa Purahayu, sedangkan penyungsungnya adalah segenap masyarakat Bali yang beragama Hindu dan Masyarakat Hindu di pulau Lombok termasuk umat hindu di seluruh Indonesia serta masyarakat Tionghoa di Bali.
Piodalan
Upacara Piodalan Pura Lempuyang Luhur jatuh pada hari kemis Umanis wuku dungulan yakni setiap enam bulan bali sekali (210 hari). Adapun urutan upacara piodalan pada Pura Lempuyang Luhur adalah sama dengan upacara pada Pura Sad Khayangan lainnya.
Pemangku
Pura Lempuyang luhur mempunyai pemangku tersendiri dan bersifat turun temurun dari keluarga pemangku menurut garis keturunan patrilinial dannyatanya.
Suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan adalah didalam Pura Lempuyang luhur terdapat serumpun bambu jenis kecil. Setelah selesai menghaturkan bhakti batang pohon bambu itu dipotong oleh pemangku untuk mendapatkan tirta (disebut tirtha pingit) bagi setiap orang yang pedek tangkil ngaturang bhakti kesana. Tirta tersebut juga berfungsi sebagai Tritha Pengenteg-enteg yakni tirtha yang diapaki untuk Ngenteg Linggih baik di Pura-Pura, mrajan ataupun sanggah. Tetapi anehnya tidak selalu didalam batang bambu tersebut diketemukan air
sejarah pura watu klotok
============
Pura Watu Klotok letaknya tidak jauh dari pura terkenal lainnya yang ada di bumi serombotan. Salah satunya Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Sehingga keberadaannya sangat mudah dijangkau bagi umat yang gemar bertirtayatra. Apalagi saat ini, jalur By-pass Tohpati-Kusamba (By-pass IB Mantra) sudah hampir tuntas dikerjakan. Tentu akses bagi umat menuju pura yang berada di Banjar Celepik, Tojan, Klungkung itu semakin mudah.
Pura Watu Klotok memiliki panorama pantai selatan Klungkung yang mempesona. Dari pura itu, sembari bersembahyang umat pun dapat menyaksikan keindahan kawasan Kepulauan Nusa Penida dan HOTEL BALI
Beach di pantai Sanur. Hampir setiap
bulan, persisnya ketika bulan purnama, Pura Watu Klotok benar-benar menjadi
tempat yang paling dicari oleh umat yang haus akan pendalaman spiritual. Karena
Pura Watu Klotok dipercaya sangat baik dijadikan objek matirtayatra yang
belakangan ini makin diminati umat Hindu.
”Bisa dikatakan Pura Watu Klotok merupakan tempat yang mampu menghilangkan dahaga bagi umat yang kehausan pendalaman spiritual,” ungkap Bendesa Adat Satra Dewa Ketut Soma yang kerap ditunjuk sebagai panitia karya. Tak jarang, umat bahkan sampai makemit (begadang) sembari bersemedi di Pura Watu Klotok guna menemui kedamaian batin.
Selain itu, umat Hindu yang berprofesi sebagai petani, juga mempercayakan keberhasilannya di bidang pertanian di pura ini. Umat selalu memohon petunjuk dan perlindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar senantiasa memberi kesuburan atas tanah pertanian mereka serta mencegah datangnya serangan hama tanaman. Atas hal itu, krama subak secara rutin, turun-temurun melaksanakan upacara mohon pekuluh jika sawah mereka terserang wabah tanaman sekaligus memohon keselamatan dan kesuburan tanam-tanaman yang dikenal dengan upacara neduh lan pangusaban. Umat yakin, dengan permohonan yang tulus, kesuburan tanah akan terwujud. ”Memang, para petani tidak cukup hanya berharap berkah dari doa semata, akan tetapi mesti dilengkapi dengan berusaha dan bekerja keras,” tambahnya.
Penekun spiritual yang juga pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung ini pun pernah menyusun buku tentang ”Selayang Pandang Pura Watu Klotok”. Dalam buku itu, Dewa Soma menceritakan permohonan keselamatan dan penyucian serta anugerah kesuburan, itu berlangsung ketika piodalan yang jatuh setiap enam bulan sekali. Persisnya pada Anggara Kasih Julungwangi. Ada juga yang diselenggarakan setiap tahun sekali, yakni upacara Ngusaba. Piodalan itu diselenggarakan oleh pengempon dari warga Banjar Celepik, Gelgel dengan pendanaan bersumber dari hasil pelaba pura seluas 125 are.
Upacara lain yang kerap digelar di pantai Watu Klotok seperti upacara mulang pakelem dalam rangkaian upacara-upacara besar yang digelar di Pura Besakih seperti Eka Dasa Rudra, Tri Bhuana, Eka Bhuana, Candi Narmada, Panca Bali Krama dan lainnya. Bahkan, di pantai Watu Klotok juga sering dilakukan upacara nangkid, malukat, neduh dan lainnya. Terlepas dari itu semua, pantai Klotok memendam misteri yang sulit dianalisis akal sehat. Bentangan pantai dari Ketapang Kembar sampai pantai Sidayu merupakan kawasan misteri pasukan ”Kopassus” Ratu Gde Nusa. Siapa pun yang berani berbuat onar dan kurang ajar di pantai itu, jangan harap untuk pulang kembali dengan selamat.
Salah satu peninggalan yang dikeramatkan di Pura Watu Klotok adalah sebuah batu mekocok (makocel). Batu mekocok itu merupakan cikal bakal pendirian pura dengan kekeramatannya yang kini malinggih di utama mandala Pura Watu Klotok. Bukan hanya itu, ada juga unen-unen (rencang) Ida Batara berupa bikul (tikus) putih, lelipi poleng (ular belang) dan penyu macolek pamor. Penyu macolek pamor itu diyakini muncul seratus tahun sekali. Itu dibuktikan dengan terdamparnya seekor penyu raksasa beberapa tahun silam.
Arca Penjaga Kesucian
Sebagaimana Pura-pura lain di Bali, struktur Pura Watu Klotok juga terdiri atas tiga bagian. Utama mandala, madya mandala dan nista mandala. Bagian nista mandala (paling luar) Pura Watu Klotok berupa Candi Bentar dan Arca Dwapara Pala lengkap dengan senjata gada. Dwapara berarti pintu, sedangkan pala berarti penjaga. Jadi, begitu memasuki wilayah Pura Watu Klotok diyakini sudah ada suatu kekuatan yang menjaga kesucian pura. ”Sehingga ketika pemedek baru menginjakkan kaki di gerbang pura, sudah diarahkan untuk mengarahkan pikiran dan perilaku ke arah kesucian,” kata Dewa soma.
Setelah memasuki candi bentar menuju madya mandala, di sebelah selatan terdapat Pelinggih Sang Kala Sunya. Pelinggih itu merupakan aspek sakti dari Batara Baruna yang menguasai daerah kutub. Di sebelah timur Pelinggih Sang Kala Sunya, juga dibangun pelingih penghayatan Ratu Gde Penataran Ped yang tak lain berupa pohon ketapang berukuran besar serta sebuah tugu seperti pelingih taksu atau ngerurah.
Di utama mandala terdapat Pelinggih Ida Batara Watu Makocok (Makocel). Sesuai namanya, pelinggih ini disebut batu makocel yang berarti batu berbunyi yang diyakini memiliki sinar vibrasi spiritual tinggi. Juga diyakini sebagai tempat memohon kekuatan alam agar dianugerahi keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan karena batu ini adalah cikal-bakal lahirnya Pura Watu Klotok. Karena pertama kali ada, makanya umat menyebut Pelinggih Batu Makocel itu dengan sebutan Pelinggih Ida Batara Lingsir.
Di samping Pelinggih Batara Lingsir, ada Meru Tumpang Lima, Gedong Alit Pule, Padmasana, Pengaruman, Linggih Sri Sedana dan beberapa pelinggih lainnya. Singkatnya, di utama mandala terdapat 16 bangunan/pelingih termasuk Candi Bale dan sumur, di madya mandala lima bangunan/pelinggih yaitu bale pemedek, bale gong, bale kulkul, candi bentar dan apit lawang kiwa tengen.
Sementara pada nista mandala terdapat 6 bangunan/pelingih yaitu Pelinggih Sanghyang Kala Sunia, Pelinggih Ida Batara Dalem Ped, Bale Pawedaan, Panggungan, candi bentar dan patung Dwarapala. Di samping terdapat piranti pelengkap lainnya seperti lumbung, bale petandingan, perantenan, Bale sekepat, Pelinggih Sri Sedana dan bale paebatan yang terletak disekitar areal pura.
Pura Watu Klotok letaknya tidak jauh dari pura terkenal lainnya yang ada di bumi serombotan. Salah satunya Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Sehingga keberadaannya sangat mudah dijangkau bagi umat yang gemar bertirtayatra. Apalagi saat ini, jalur By-pass Tohpati-Kusamba (By-pass IB Mantra) sudah hampir tuntas dikerjakan. Tentu akses bagi umat menuju pura yang berada di Banjar Celepik, Tojan, Klungkung itu semakin mudah.
Pura Watu Klotok memiliki panorama pantai selatan Klungkung yang mempesona. Dari pura itu, sembari bersembahyang umat pun dapat menyaksikan keindahan kawasan Kepulauan Nusa Penida dan HOTEL BALI

”Bisa dikatakan Pura Watu Klotok merupakan tempat yang mampu menghilangkan dahaga bagi umat yang kehausan pendalaman spiritual,” ungkap Bendesa Adat Satra Dewa Ketut Soma yang kerap ditunjuk sebagai panitia karya. Tak jarang, umat bahkan sampai makemit (begadang) sembari bersemedi di Pura Watu Klotok guna menemui kedamaian batin.
Selain itu, umat Hindu yang berprofesi sebagai petani, juga mempercayakan keberhasilannya di bidang pertanian di pura ini. Umat selalu memohon petunjuk dan perlindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar senantiasa memberi kesuburan atas tanah pertanian mereka serta mencegah datangnya serangan hama tanaman. Atas hal itu, krama subak secara rutin, turun-temurun melaksanakan upacara mohon pekuluh jika sawah mereka terserang wabah tanaman sekaligus memohon keselamatan dan kesuburan tanam-tanaman yang dikenal dengan upacara neduh lan pangusaban. Umat yakin, dengan permohonan yang tulus, kesuburan tanah akan terwujud. ”Memang, para petani tidak cukup hanya berharap berkah dari doa semata, akan tetapi mesti dilengkapi dengan berusaha dan bekerja keras,” tambahnya.
Penekun spiritual yang juga pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung ini pun pernah menyusun buku tentang ”Selayang Pandang Pura Watu Klotok”. Dalam buku itu, Dewa Soma menceritakan permohonan keselamatan dan penyucian serta anugerah kesuburan, itu berlangsung ketika piodalan yang jatuh setiap enam bulan sekali. Persisnya pada Anggara Kasih Julungwangi. Ada juga yang diselenggarakan setiap tahun sekali, yakni upacara Ngusaba. Piodalan itu diselenggarakan oleh pengempon dari warga Banjar Celepik, Gelgel dengan pendanaan bersumber dari hasil pelaba pura seluas 125 are.
Upacara lain yang kerap digelar di pantai Watu Klotok seperti upacara mulang pakelem dalam rangkaian upacara-upacara besar yang digelar di Pura Besakih seperti Eka Dasa Rudra, Tri Bhuana, Eka Bhuana, Candi Narmada, Panca Bali Krama dan lainnya. Bahkan, di pantai Watu Klotok juga sering dilakukan upacara nangkid, malukat, neduh dan lainnya. Terlepas dari itu semua, pantai Klotok memendam misteri yang sulit dianalisis akal sehat. Bentangan pantai dari Ketapang Kembar sampai pantai Sidayu merupakan kawasan misteri pasukan ”Kopassus” Ratu Gde Nusa. Siapa pun yang berani berbuat onar dan kurang ajar di pantai itu, jangan harap untuk pulang kembali dengan selamat.
Salah satu peninggalan yang dikeramatkan di Pura Watu Klotok adalah sebuah batu mekocok (makocel). Batu mekocok itu merupakan cikal bakal pendirian pura dengan kekeramatannya yang kini malinggih di utama mandala Pura Watu Klotok. Bukan hanya itu, ada juga unen-unen (rencang) Ida Batara berupa bikul (tikus) putih, lelipi poleng (ular belang) dan penyu macolek pamor. Penyu macolek pamor itu diyakini muncul seratus tahun sekali. Itu dibuktikan dengan terdamparnya seekor penyu raksasa beberapa tahun silam.
Arca Penjaga Kesucian
Sebagaimana Pura-pura lain di Bali, struktur Pura Watu Klotok juga terdiri atas tiga bagian. Utama mandala, madya mandala dan nista mandala. Bagian nista mandala (paling luar) Pura Watu Klotok berupa Candi Bentar dan Arca Dwapara Pala lengkap dengan senjata gada. Dwapara berarti pintu, sedangkan pala berarti penjaga. Jadi, begitu memasuki wilayah Pura Watu Klotok diyakini sudah ada suatu kekuatan yang menjaga kesucian pura. ”Sehingga ketika pemedek baru menginjakkan kaki di gerbang pura, sudah diarahkan untuk mengarahkan pikiran dan perilaku ke arah kesucian,” kata Dewa soma.
Setelah memasuki candi bentar menuju madya mandala, di sebelah selatan terdapat Pelinggih Sang Kala Sunya. Pelinggih itu merupakan aspek sakti dari Batara Baruna yang menguasai daerah kutub. Di sebelah timur Pelinggih Sang Kala Sunya, juga dibangun pelingih penghayatan Ratu Gde Penataran Ped yang tak lain berupa pohon ketapang berukuran besar serta sebuah tugu seperti pelingih taksu atau ngerurah.
Di utama mandala terdapat Pelinggih Ida Batara Watu Makocok (Makocel). Sesuai namanya, pelinggih ini disebut batu makocel yang berarti batu berbunyi yang diyakini memiliki sinar vibrasi spiritual tinggi. Juga diyakini sebagai tempat memohon kekuatan alam agar dianugerahi keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan karena batu ini adalah cikal-bakal lahirnya Pura Watu Klotok. Karena pertama kali ada, makanya umat menyebut Pelinggih Batu Makocel itu dengan sebutan Pelinggih Ida Batara Lingsir.
Di samping Pelinggih Batara Lingsir, ada Meru Tumpang Lima, Gedong Alit Pule, Padmasana, Pengaruman, Linggih Sri Sedana dan beberapa pelinggih lainnya. Singkatnya, di utama mandala terdapat 16 bangunan/pelingih termasuk Candi Bale dan sumur, di madya mandala lima bangunan/pelinggih yaitu bale pemedek, bale gong, bale kulkul, candi bentar dan apit lawang kiwa tengen.
Sementara pada nista mandala terdapat 6 bangunan/pelingih yaitu Pelinggih Sanghyang Kala Sunia, Pelinggih Ida Batara Dalem Ped, Bale Pawedaan, Panggungan, candi bentar dan patung Dwarapala. Di samping terdapat piranti pelengkap lainnya seperti lumbung, bale petandingan, perantenan, Bale sekepat, Pelinggih Sri Sedana dan bale paebatan yang terletak disekitar areal pura.
sejarah pura pulaki
Pura
Pulaki, Tempat Suci Peninggalan Prasejarah
Sulit ditampik, lingkungan Pura Pulaki adalah sebuah kawasan suci yang bisa disebut sangat sempurna. Selain memiliki pemandangan alam menakjubkan, aura religius dan kesucian yang berpendar di kawasan pura dan sekitarnya akan terasa jelas, seakan masuk di sela pori-pori kulit. Sebagian umat yang sempat sembahyang ke pura itu bahkan kerap mengaku bulu tipis di lehernya sesekali akan tegak. Mungkin karena takjub yang berlebihan pada keindahan alamnya atau amat terkesan pada aura religius yang dirasakannya.
PURA Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yang hanya sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat sulit. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya tarik tersendiri.
Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah.
Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.
Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya'' susunan Ketut Ginarsa. Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."
Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
Dipugar
Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.
Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. "Karena tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalaman," katanya.
Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.
Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.
Sulit ditampik, lingkungan Pura Pulaki adalah sebuah kawasan suci yang bisa disebut sangat sempurna. Selain memiliki pemandangan alam menakjubkan, aura religius dan kesucian yang berpendar di kawasan pura dan sekitarnya akan terasa jelas, seakan masuk di sela pori-pori kulit. Sebagian umat yang sempat sembahyang ke pura itu bahkan kerap mengaku bulu tipis di lehernya sesekali akan tegak. Mungkin karena takjub yang berlebihan pada keindahan alamnya atau amat terkesan pada aura religius yang dirasakannya.
PURA Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yang hanya sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat sulit. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya tarik tersendiri.
Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah.
Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.
Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya'' susunan Ketut Ginarsa. Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."
Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
Dipugar
Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.
Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. "Karena tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalaman," katanya.
Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.
Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.
sejarah pura puncak mangu
PURA
Pucak Mangu mungkin sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali
dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat
inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata
mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding.
I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang.
Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.
Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran.
Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Ulun Danu Beratan didirikan oleh I Gusti Agung Putu yang berada di sebelah barat Gunung Mangu dan Pura Penataran Agung Tinggan di sebelah timur Gunung Mangu didirikan oleh keturunannya yaitu Cokorda Nyoman Mayun.
Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X - XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya.
Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran.
Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 - 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.
I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang.
Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.
Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran.
Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Ulun Danu Beratan didirikan oleh I Gusti Agung Putu yang berada di sebelah barat Gunung Mangu dan Pura Penataran Agung Tinggan di sebelah timur Gunung Mangu didirikan oleh keturunannya yaitu Cokorda Nyoman Mayun.
Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X - XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya.
Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran.
Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 - 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.
sejarah pura besakih
PURA
BESAKIH (THE MOTHER TEMPLE) , TERBESAR DI BALI...
Pura Besakih terletak di Barat Daya Gunung Agung, desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Kira-kira 90 km arah Timur Laut kota Denpasar. Di ketinggian 1000 m dari permukaan air laut, dengan 298 buah bangunan dalam 18 buah komplek pura, merupakan pura terbesar di Bali, bahkan di Indonesia. Terhampar di kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali yang tingginya mencapai 3142 m.
Kata "Besakih" berasal dari kata "Basuki" yang berarti 'selamat' berkembang menjadi Basukir dan Basukih, trus menjadi Besakih. Nama tersebut terdapat dalam 2 prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan sebuah lagi di Pura Gaduh Sakti di desa Selat. Sejarah Pura Besakih berhubungan dengan perjalanan Sri Markandeya (seorang Brahmana Siwa) dari Gunung Raung, daerah Basuki, Jawa Timur. Rombongan beliau terpaksa kembali ke Jawa karena banyak yang meninggal terserang penyakit. Setelah mendapat petunjuk di Gunung Raung, beliau kembali ke Bali dan mengadakan penanaman Panca Datu (5 jenis logam yaitu emas, perak, besi, tembaga dan permata) di lereng Gunung Agung yang kemudian dikenal dengan Pura Basukian.
Pada zaman dahulu, Pura Besakih langsung ditangani oleh penguasa daerah Bali. Disebutkan Sri Wira Dalem Kesari yang membuat Merajan Selonding (sekitar tahun 250 M), kemungkinan beliau adalah Raja Kesari Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917. Prasastinya terdapat di Malet Gede, di Pura Puseh Panempahan dan di Belanjong. Pada zaman pemerintahan Sri Udayana Warmadewa, pura ini mendapat perhatian besar, seperti terdapat dalam prasasti Bradah, dan prasasti Gaduh Sakti. Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar raja Purana Besakih tentang upacara, nama pelinggih, tanah wakaf (pelaba), susunan pengurus, tingkatan upacara diatur dengan baik.
Fungsi umum pura ini adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan (sesuai dengan nama pura). Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap Bulan Purnama sasih kedasa (bulan Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali, dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan tahun 1973, sayangnya saya belum lahir dan mungkin seumur hidup saya tak akan bisa menyaksikan upacara ini secara langsung. Terdapat 18 komplek pura yaitu :
Pura Pesimpangan
Pura Dalem Puri
Pura Manik Mas
Pura Bangun Sakti
Pura Ulun Kulkul
Pura Merajan Selonding
Pura Gua
Pura Banua
Pura Merajan Kanginan
Pura Hyang Haluh
Pura Basukian
Pura Kiduling Kreteg
Pura Batu Madeg
Pura Gelap
Pura Penataran Agung
Pura Pengubengan
Pura Tirtha
Pura Peninjoan
Selain ke-18 komplek pura tersebut, juga ada komplek Pura Padharman untuk pemujaan kelompok keturunan tertentu di Besakih. Komplek Pura Besakih sangat luas, dengan pemandangan Gunung Agung yang hijau, sangat indah. Kita benar-benar kagum dengan warisan leluhur kita serta semua anugerah Tuhan. Tempat ini benar-benar bagus untuk mencari ketenangan serta mendekatkan diri dengan Tuhan.
Pura Besakih terletak di Barat Daya Gunung Agung, desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Kira-kira 90 km arah Timur Laut kota Denpasar. Di ketinggian 1000 m dari permukaan air laut, dengan 298 buah bangunan dalam 18 buah komplek pura, merupakan pura terbesar di Bali, bahkan di Indonesia. Terhampar di kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali yang tingginya mencapai 3142 m.
Kata "Besakih" berasal dari kata "Basuki" yang berarti 'selamat' berkembang menjadi Basukir dan Basukih, trus menjadi Besakih. Nama tersebut terdapat dalam 2 prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan sebuah lagi di Pura Gaduh Sakti di desa Selat. Sejarah Pura Besakih berhubungan dengan perjalanan Sri Markandeya (seorang Brahmana Siwa) dari Gunung Raung, daerah Basuki, Jawa Timur. Rombongan beliau terpaksa kembali ke Jawa karena banyak yang meninggal terserang penyakit. Setelah mendapat petunjuk di Gunung Raung, beliau kembali ke Bali dan mengadakan penanaman Panca Datu (5 jenis logam yaitu emas, perak, besi, tembaga dan permata) di lereng Gunung Agung yang kemudian dikenal dengan Pura Basukian.
Pada zaman dahulu, Pura Besakih langsung ditangani oleh penguasa daerah Bali. Disebutkan Sri Wira Dalem Kesari yang membuat Merajan Selonding (sekitar tahun 250 M), kemungkinan beliau adalah Raja Kesari Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917. Prasastinya terdapat di Malet Gede, di Pura Puseh Panempahan dan di Belanjong. Pada zaman pemerintahan Sri Udayana Warmadewa, pura ini mendapat perhatian besar, seperti terdapat dalam prasasti Bradah, dan prasasti Gaduh Sakti. Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar raja Purana Besakih tentang upacara, nama pelinggih, tanah wakaf (pelaba), susunan pengurus, tingkatan upacara diatur dengan baik.
Fungsi umum pura ini adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan (sesuai dengan nama pura). Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap Bulan Purnama sasih kedasa (bulan Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali, dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan tahun 1973, sayangnya saya belum lahir dan mungkin seumur hidup saya tak akan bisa menyaksikan upacara ini secara langsung. Terdapat 18 komplek pura yaitu :
Pura Pesimpangan
Pura Dalem Puri
Pura Manik Mas
Pura Bangun Sakti
Pura Ulun Kulkul
Pura Merajan Selonding
Pura Gua
Pura Banua
Pura Merajan Kanginan
Pura Hyang Haluh
Pura Basukian
Pura Kiduling Kreteg
Pura Batu Madeg
Pura Gelap
Pura Penataran Agung
Pura Pengubengan
Pura Tirtha
Pura Peninjoan
Selain ke-18 komplek pura tersebut, juga ada komplek Pura Padharman untuk pemujaan kelompok keturunan tertentu di Besakih. Komplek Pura Besakih sangat luas, dengan pemandangan Gunung Agung yang hijau, sangat indah. Kita benar-benar kagum dengan warisan leluhur kita serta semua anugerah Tuhan. Tempat ini benar-benar bagus untuk mencari ketenangan serta mendekatkan diri dengan Tuhan.
PURA DI BALI
Berbeda
dengan candi-candi di Jawa, candi, atau yang di Bali disebut pura, merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Pura di
Bali merupakan tempat pemujaan umat Hindu. Setiap keluarga Hindu memiliki pura
keluarga untuk memuja Hyang Widhi dan leluhur keluarga, sehingga pura di Pulau
Bali jumlahnya mencapai ribuan.
Pura Kahyangan Desa. Setiap desa umumnya memiliki tiga pura utama yang disebut Pura Tiga Kahyangan atau Pura Tri Kahyangan (tri = tiga), yaitu pura-pura tempat pemujaan Sang Hyang Widi Wasa dalam tiga perwujudan kekuasaan-Nya: Pura Desa untuk memuja Dewa Brahma (Sang Pencipta), Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu (Sang Pemelihara), dan Pura Dalem untuk memuja Dewa Syiwa (Sang Pemusnah). Pura Desa disebut juga Bale Agung, karena pura yang umumnya terletak di pusat desa ini juga digunakan sebagai tempat melaksanakan musyawarah desa.
Pura Kahyangan Jagat. Pura Kahyangan merupakan tempat masyarakat umum memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam berbagai perwujudan-Nya dan juga tempat memuja roh para leluhur. Yang termasuk dalam kaetgori Pura Kahyangan Jagat, di antaranya, ialah Pura Sad Kahyangan (sad = enam), yaitu pura yang berada di enam lokasi Kahyangan besar di P. Bali. Pura Sad Khayangan terdiri atas: Pura Luhur Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Goa Lawah, Pura Watukaru, Pura Bukit Pengalengan dan Pura Besakih. Pura Sad Kahyangan diyakini sebagai sendi spiritual Pulau Bali dan merupakan pusat kegiatan keagamaan.
Selain Pura Sad Kahyangan, yang termasuk dalam kategori Pura Kahyangan Jagat adalah Pura Dhang Kahyangan, yaitu pura yang dibangun oleh pemimpin spiritual pada masa lalu. Sebagian besar Pura Dhang Kahyangan mempunyai kaitan erat dengan Dhang Hyang Nirartha, seorang pedanda (pendeta Hindu) dari Kerajaan Majapahit. Pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong, sekitar tahun 1411 Saka (1489 M), Dhang Hyang Nirartha yang juga dikenal dengan sebutan Dhang Hyang Dwijendra, mengadakan yatra (perjalanan spiritual) keliling Bali, Nusa Penida dan Lombok. Di beberapa tempat yang disinggahi Dhang Hyang Nirartha dibangunlah beberapa pura, seperti Pura Uluwatu, Pura Rambut Siwi, dsb.
Pura Luhur. Hampir setiap kabupaten di Bali memiliki Pura Luhur (luhur = tinggi), yaitu pura yang hari ulang tahunnya diperingati oleh umat dengan cara menyelenggarakan piodalan yang melibatkan ribuan orang. Pura Tanah Lot, Goa Lawah, dan Pura Uluwatu juga termasuk dalam kategori pura luhur.
Pura Kawitan. Pura ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok keluarga atau keturunan tokoh tertentu. Termasuk ke dalam kategori ini adalah: Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon, Panti, Dadia atau Dalem Dadia, Penataran Dadia, dan Pedharman. Sejarah pura kawitan Tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kerajaan-kerajaan di Bali.
Berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, dapat dikatakan bahwa sejarah Bali yang tercatat diawali pada abad ke-8 Masehi. Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam Prasasti Blanjong ( 913 M) yang dibuat pada masa pemerintahan Sri Kesari Warmadewa digunakan kata 'Walidwipa' yang mengacu pada suatu wilayah pemerintahan di Bali.
Pada tahun 1343, Kerajaan Majapahit mengadakan ekspedisi ke Bali, dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan Panglima Arya Damar. Pada masa itu Bali dikuasai oleh Kerajaan Bedahulu dengan rajanya Astasura Ratna Bumi Banten dan patihnya Kebo Iwa. Bali berhasil ditaklukkan oleh Majapahit dan sejak itu Bali merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Sebagai kepala pemerintahan di P. Bali, Majapahit mengangkat Raja Sri Kresna Kepakisan (1350-1380 M) yang berkedudukan di Desa Samprangan dekat kota Gianyar. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke istana Suwecapura di Gelgel, Klungkung.
Selama masa kejayaan Majapahit, Kerajaan Gelgel diperintah oleh raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan. Ketika Majapahit mengalami keruntuhan, Kerajaan Gelgel yang tidak lagi menjadi negara jajahan tetap diperintah oleh keturunan Sri Kresna Kepakisan. Salah satu Raja Gelgel, Dalem Waturenggong (1460-1550 M), sangat termasyhur karena pada masa pemerintahannya P. Bali mengalami masa keemasan. Dalem Waturenggong memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel sampai ke sebagian wilayah Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa.
Masa keemasan Gelgel mulai memudar pada masa pemerintahan Dalem Bekung (1550--1580 M), putra sulung Dalem Waturenggong. Pada masa pemerintahan Dalem Di Made (1605-1651 M), Gelgel bahkan kehilangan wilayah Blambangan dan Bima (tahun 1633 M) dan Lombok ( tahun 1640 M). Pada tahun 1651, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Gusti Agung Maruti. Selama pemerintahan dipegang oleh Gusti Agung Maruti, wilayah bawahan Gelgel, seperti Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangsem, Mengwi dan Tabanan melepaskan diri dari kekuasaan Gelgel dan membentuk pemerintahan sendiri.
Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang bernama Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan dari tangan pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap mempertahankan kemerdekaannya. Raja Klungkung, Dewa Agung, diposisikan sebagai pimpinan spiritual dengan gelar Susuhunan Bali dan Lombok.
Pada tahun 1808 Jembrana ditaklukkan oleh Raja Buleleng. Pada tahun 1818, Jembrana berhasil direbut kembali oleh mantan Raja Jembrana, namun pada tahun 1821 kerajaan tersebut kembali ditaklukkan oleh Raja Buleleng. Sampai akhir abad ke-18, Bali terpecah menjadi 8 kerajaan, yaitu : Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangsem, Klungkung, Mengwi dan Tabanan. Kerajaan-kerajaan kecil ini yang mendasari pembagian wilayah pemerintahan sebagai kabupaten-kabupaten di Bali sekarang.
Pura Swagina. Pura ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok masyarakat dengan profesi atau mata pencarian tertentu. Sebagai contoh, Pura Melanting adalah pura untuk para pedagang, Pura Subak untuk kelompok petani, dsb.
Pura Kahyangan Desa. Setiap desa umumnya memiliki tiga pura utama yang disebut Pura Tiga Kahyangan atau Pura Tri Kahyangan (tri = tiga), yaitu pura-pura tempat pemujaan Sang Hyang Widi Wasa dalam tiga perwujudan kekuasaan-Nya: Pura Desa untuk memuja Dewa Brahma (Sang Pencipta), Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu (Sang Pemelihara), dan Pura Dalem untuk memuja Dewa Syiwa (Sang Pemusnah). Pura Desa disebut juga Bale Agung, karena pura yang umumnya terletak di pusat desa ini juga digunakan sebagai tempat melaksanakan musyawarah desa.
Pura Kahyangan Jagat. Pura Kahyangan merupakan tempat masyarakat umum memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam berbagai perwujudan-Nya dan juga tempat memuja roh para leluhur. Yang termasuk dalam kaetgori Pura Kahyangan Jagat, di antaranya, ialah Pura Sad Kahyangan (sad = enam), yaitu pura yang berada di enam lokasi Kahyangan besar di P. Bali. Pura Sad Khayangan terdiri atas: Pura Luhur Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Goa Lawah, Pura Watukaru, Pura Bukit Pengalengan dan Pura Besakih. Pura Sad Kahyangan diyakini sebagai sendi spiritual Pulau Bali dan merupakan pusat kegiatan keagamaan.
Selain Pura Sad Kahyangan, yang termasuk dalam kategori Pura Kahyangan Jagat adalah Pura Dhang Kahyangan, yaitu pura yang dibangun oleh pemimpin spiritual pada masa lalu. Sebagian besar Pura Dhang Kahyangan mempunyai kaitan erat dengan Dhang Hyang Nirartha, seorang pedanda (pendeta Hindu) dari Kerajaan Majapahit. Pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong, sekitar tahun 1411 Saka (1489 M), Dhang Hyang Nirartha yang juga dikenal dengan sebutan Dhang Hyang Dwijendra, mengadakan yatra (perjalanan spiritual) keliling Bali, Nusa Penida dan Lombok. Di beberapa tempat yang disinggahi Dhang Hyang Nirartha dibangunlah beberapa pura, seperti Pura Uluwatu, Pura Rambut Siwi, dsb.
Pura Luhur. Hampir setiap kabupaten di Bali memiliki Pura Luhur (luhur = tinggi), yaitu pura yang hari ulang tahunnya diperingati oleh umat dengan cara menyelenggarakan piodalan yang melibatkan ribuan orang. Pura Tanah Lot, Goa Lawah, dan Pura Uluwatu juga termasuk dalam kategori pura luhur.
Pura Kawitan. Pura ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok keluarga atau keturunan tokoh tertentu. Termasuk ke dalam kategori ini adalah: Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon, Panti, Dadia atau Dalem Dadia, Penataran Dadia, dan Pedharman. Sejarah pura kawitan Tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kerajaan-kerajaan di Bali.
Berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, dapat dikatakan bahwa sejarah Bali yang tercatat diawali pada abad ke-8 Masehi. Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam Prasasti Blanjong ( 913 M) yang dibuat pada masa pemerintahan Sri Kesari Warmadewa digunakan kata 'Walidwipa' yang mengacu pada suatu wilayah pemerintahan di Bali.
Pada tahun 1343, Kerajaan Majapahit mengadakan ekspedisi ke Bali, dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan Panglima Arya Damar. Pada masa itu Bali dikuasai oleh Kerajaan Bedahulu dengan rajanya Astasura Ratna Bumi Banten dan patihnya Kebo Iwa. Bali berhasil ditaklukkan oleh Majapahit dan sejak itu Bali merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Sebagai kepala pemerintahan di P. Bali, Majapahit mengangkat Raja Sri Kresna Kepakisan (1350-1380 M) yang berkedudukan di Desa Samprangan dekat kota Gianyar. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke istana Suwecapura di Gelgel, Klungkung.
Selama masa kejayaan Majapahit, Kerajaan Gelgel diperintah oleh raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan. Ketika Majapahit mengalami keruntuhan, Kerajaan Gelgel yang tidak lagi menjadi negara jajahan tetap diperintah oleh keturunan Sri Kresna Kepakisan. Salah satu Raja Gelgel, Dalem Waturenggong (1460-1550 M), sangat termasyhur karena pada masa pemerintahannya P. Bali mengalami masa keemasan. Dalem Waturenggong memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel sampai ke sebagian wilayah Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa.
Masa keemasan Gelgel mulai memudar pada masa pemerintahan Dalem Bekung (1550--1580 M), putra sulung Dalem Waturenggong. Pada masa pemerintahan Dalem Di Made (1605-1651 M), Gelgel bahkan kehilangan wilayah Blambangan dan Bima (tahun 1633 M) dan Lombok ( tahun 1640 M). Pada tahun 1651, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Gusti Agung Maruti. Selama pemerintahan dipegang oleh Gusti Agung Maruti, wilayah bawahan Gelgel, seperti Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangsem, Mengwi dan Tabanan melepaskan diri dari kekuasaan Gelgel dan membentuk pemerintahan sendiri.
Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang bernama Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan dari tangan pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap mempertahankan kemerdekaannya. Raja Klungkung, Dewa Agung, diposisikan sebagai pimpinan spiritual dengan gelar Susuhunan Bali dan Lombok.
Pada tahun 1808 Jembrana ditaklukkan oleh Raja Buleleng. Pada tahun 1818, Jembrana berhasil direbut kembali oleh mantan Raja Jembrana, namun pada tahun 1821 kerajaan tersebut kembali ditaklukkan oleh Raja Buleleng. Sampai akhir abad ke-18, Bali terpecah menjadi 8 kerajaan, yaitu : Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangsem, Klungkung, Mengwi dan Tabanan. Kerajaan-kerajaan kecil ini yang mendasari pembagian wilayah pemerintahan sebagai kabupaten-kabupaten di Bali sekarang.
Pura Swagina. Pura ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok masyarakat dengan profesi atau mata pencarian tertentu. Sebagai contoh, Pura Melanting adalah pura untuk para pedagang, Pura Subak untuk kelompok petani, dsb.
sejarah pura rambut siwi
Pura
Luhur Rambut Siwi –
Berawal dari Sehelai Rambut
Pura Luhur Rambut Siwi terletak di Desa Yeh Embang, Mendoyo, di Kabupaten Jembrana. Pada saat piodalan yang jatuh pada Rabu Umanis Perangkabat, umat dari berbagai penjuru memadati pura yang berlokasi di tepi laut ini. Tepatnya, berada sekitar 17 km arah timur Kota Negara. Bagaimana sejarah pura ini?
——————
ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut I Ketut Wiana, keberadaan Pura Rambut Siwi sangat terkait dengan mitologi kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Jawa Timur atau Majapahit ke Bali. Wiana mengutip cerita Mpu Bhaskara Murti dari Geria Madu Sudana, Negara, mengatakan, saat Mpu Dang Hyang Nirartha ke Bali salah satu pura yang beliau kunjungi adalah Pura Rambut Siwi. Saat beliau memasuki pura, penjaga pura mengharuskan agar Mpu Dang Hyang Nirartha sembahyang di pura tersebut. Kalau tidak, beliau akan diterkam oleh harimau.
Karena diharuskan, menyembahlah beliau di pura tersebut. Ternyata pura tersebut menjadi hancur berantakan. Karena demikian, penjaga pura akhirnya mohon maaf kepada Mpu Dang Hyang Nirartha. Di samping itu, penjaga pura mohon agar pura itu dikembalikan pada keadaan semula. Atas kewisesaan Mpu Dang Hyang Nirartha, pura itu pun kembali utuh seperti sedia kala. Mpu Dang Hyang Nirartha mengambil sehelai rambut beliau diletakkan di pura tersebut untuk dijadikan sarana pemujaan di pura tersebut. Sejak itulah pura tersebut bernama Pura Rambut Siwi. Nama Rambut Siwi inilah yang lebih populer sampai saat ini.
Penuturan Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo tidak jauh dari cerita Wiana. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Dang Hyang Nirartha ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.
Sementara itu menurut Ktut Soebandi (alm.) dalam bukunya “Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali” menuliskan kedatangan Dang Hyang Nirartha di Bali pada tahun Caka 1411 atau tahun 1489 masehi yang dikisahkan dalam beberapa pustaka, seperti Dwijendra Tattwa dan Babad Catur Brahmana.
Soebandi menuliskan kisah Dang Hyang Nirartha dalam perjalanannya di Bali sempat tinggal di Desa Gading Wani. Beliau mendengar di desa itu masyarakatnya sedang dilanda sakit keras. Bahkan, tidak sedikit yang meninggal akibat sakit yang dideritanya. Kedatangan Dang Hyang Nirartha di desa itu berhasil menyembuhkan penyakit yang diderita masyarakat. Karena itu pula, masyarakat berharap agar Dang Hyang Nirartha bisa tetap tinggal di desa itu.
Sayang, Dang Hyang Nirartha tidak bisa memenuhi keinginan warga setempat, dan Beliau berkenan “menghadiahkan” seutas rambutnya sebagai jimat untuk menolak wabah penyakit. Rambut inilah yang kemudian dipuja (Siwi) dan dibuatkan tempat suci sebagai tempat penyimpanan. Karena itulah pura tersebut dinamakan Pura Rambut Siwi
Berawal dari Sehelai Rambut
Pura Luhur Rambut Siwi terletak di Desa Yeh Embang, Mendoyo, di Kabupaten Jembrana. Pada saat piodalan yang jatuh pada Rabu Umanis Perangkabat, umat dari berbagai penjuru memadati pura yang berlokasi di tepi laut ini. Tepatnya, berada sekitar 17 km arah timur Kota Negara. Bagaimana sejarah pura ini?
——————
ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut I Ketut Wiana, keberadaan Pura Rambut Siwi sangat terkait dengan mitologi kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Jawa Timur atau Majapahit ke Bali. Wiana mengutip cerita Mpu Bhaskara Murti dari Geria Madu Sudana, Negara, mengatakan, saat Mpu Dang Hyang Nirartha ke Bali salah satu pura yang beliau kunjungi adalah Pura Rambut Siwi. Saat beliau memasuki pura, penjaga pura mengharuskan agar Mpu Dang Hyang Nirartha sembahyang di pura tersebut. Kalau tidak, beliau akan diterkam oleh harimau.
Karena diharuskan, menyembahlah beliau di pura tersebut. Ternyata pura tersebut menjadi hancur berantakan. Karena demikian, penjaga pura akhirnya mohon maaf kepada Mpu Dang Hyang Nirartha. Di samping itu, penjaga pura mohon agar pura itu dikembalikan pada keadaan semula. Atas kewisesaan Mpu Dang Hyang Nirartha, pura itu pun kembali utuh seperti sedia kala. Mpu Dang Hyang Nirartha mengambil sehelai rambut beliau diletakkan di pura tersebut untuk dijadikan sarana pemujaan di pura tersebut. Sejak itulah pura tersebut bernama Pura Rambut Siwi. Nama Rambut Siwi inilah yang lebih populer sampai saat ini.
Penuturan Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo tidak jauh dari cerita Wiana. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Dang Hyang Nirartha ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.
Sementara itu menurut Ktut Soebandi (alm.) dalam bukunya “Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali” menuliskan kedatangan Dang Hyang Nirartha di Bali pada tahun Caka 1411 atau tahun 1489 masehi yang dikisahkan dalam beberapa pustaka, seperti Dwijendra Tattwa dan Babad Catur Brahmana.
Soebandi menuliskan kisah Dang Hyang Nirartha dalam perjalanannya di Bali sempat tinggal di Desa Gading Wani. Beliau mendengar di desa itu masyarakatnya sedang dilanda sakit keras. Bahkan, tidak sedikit yang meninggal akibat sakit yang dideritanya. Kedatangan Dang Hyang Nirartha di desa itu berhasil menyembuhkan penyakit yang diderita masyarakat. Karena itu pula, masyarakat berharap agar Dang Hyang Nirartha bisa tetap tinggal di desa itu.
Sayang, Dang Hyang Nirartha tidak bisa memenuhi keinginan warga setempat, dan Beliau berkenan “menghadiahkan” seutas rambutnya sebagai jimat untuk menolak wabah penyakit. Rambut inilah yang kemudian dipuja (Siwi) dan dibuatkan tempat suci sebagai tempat penyimpanan. Karena itulah pura tersebut dinamakan Pura Rambut Siwi
sejarah pura dalem ped
Pura
Penataran Agung Ped
Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa
Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.
Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.
Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.
Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.
Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.
Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.
Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.
Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.
Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.
Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.
Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut.
Purusa-Pradana di Pura Dalem Penataran Peed
OM Svastyastu,
Kiriman: Putra Semarapura
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/17/bd2.htm
Ya atmada balada yasya visva
upasate prasisam yasya devah
yasya chaya-amrtam yasya mrtyuh,
kasmani devaya havisa vidhema.
(Rgveda.X.121.2).
Maksudnya:
Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan spiritual (rohani) dan fisikal (jasmani). Semua sinar sucinya yang disebut Deva berfungsi atas kehendak Tuhan. Kasih-Nya adalah keabadian, krodanya adalah kematian. Kami semuanya mengaturkan sembah kepada-Nya.
PURA Dalem Penataran Peed di Nusa Penida itu adalah pura untuk memuja Tuhan Yang Mahakuasa sebagai pencipta Purusa dan Pradana. Purusa itu adalah kekuatan jiwa atau daya spiritualitas yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya. Pradana adalah kekuatan fisik material atau daya jasmaniah yang mewujudkan secara nyata kekuatan Purusa tersebut.
Karena itu umat Hindu berbondong-bondong rajin bersembahyang ke Pura Dalem Penataran Peed untuk mendapatkan keseimbangan daya hidup, baik daya spiritual maupun daya fisikal. Karena hanya keseimbangan peran dan fungsi rohani dan jasmani itulah hidup yang harmonis di bumi ini dapat dicapai.
Pemujaan Tuhan sebagai pencipta unsur Purusa dan Pradana ini divisualkan dalam wujud pemujaan di Pura Dalem Penataran Peed. Visualisasi itu merupakan perpaduan konsepsi Hindu dengan kearipan lokal Bali. Di Pura Dalem Penataran Peed ini terdapat dua arca Purusa dan Predana dari uang kepeng yang disimpan di gedong penyimpenan sebagai pelinggih utama di Pura Dalem Penataran Peed. Arca Purusa Predana inilah yang memvisualisasikan kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan waranugraha keseimbangan hidup spiritual (Purusa) dengan kehidupan fisik material (Predana).
Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan Batara Siwa menurunkan Dewi Uma dan berstana di Puncak Mundi Nusa Penida diiringi oleh para Bhuta Kala simbol kekuatan fisik material berupa ruang dan waktu. Bhuta itu membentuk ruang dan Kala adalah waktu. Waktu timbul karena ada dinamika ruang. Di Pura Puncak Mundi, Dewi Uma bergelar Dewi Rohini dan berputra Dalem Sahang. Pepatih Dalem Sahang bernama I Renggan dari Jambu Dwipa -- kompyang dari Dukuh Jumpungan.
Dukuh Jumpungan itu lahir dari pertemuan Batara Guru dengan Ni Mrenggi, dayang dari Dewi Uma. Kama dari Batara Guru berupa awan kabut yang disebut limun. Karena itu disebut Hyang Kalimunan. Kama Batara Guru ini di-urip oleh Hyang Tri Murti dan menjadi manusia. Setelah digembleng berbagai ilmu kerohanian dan kesidhian, dan oleh Hyang Tri Murti terus diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai ahli pengobatan. Setelah turun-temurun Dukuh Jumpungan menurunkan I Gotra yang juga dikenal I Mecaling. Inilah yang selanjutnya disebut Ratu Gede Nusa.
Ratu Gede Nusa ini berpenampilan bagaikan Batara Kala. Menurut penafsiran Ida Pedanda Made Sidemen (alm) dari Geria Taman Sanur yang dimuat dalam buku hasil penelitian Sejarah Pura oleh Tim IHD Denpasar (sekarang Unhi) antara lain menyatakan sbb: saat Batara di Gunung Agung, Batukaru dan Batara di Rambut Siwi dari Jambu Dwipa ke Bali diiringi oleh seribu lima ratus (1.500) orang halus (wong samar).
Lima ratus wong samar itu dengan lima orang taksu menjadi pengiring Ratu Gede Nusa atas wara nugraha Batara di Gunung Agung. Batara di Gunung Agung memberi wara nugraha kepada Ratu Gede Nusa atas tapa brata-nya yang keras. Atas tapa brata itulah Batara di Gunung Agung memberi anugrah dan wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang tidak taat melakukan perbuatan baik dan benar sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Di Pura Dalem Penataran Peed ini Ida Batara Dalem Penataran Peed dipuja di Pelinggih Gedong, sedangkan Pelinggih Ratu Gede Nusa berada areal tersendiri di barat areal Pelinggih Dalem Penataran Peed. Pelinggih Dalem Penataran Peed ini berada di bagian timur, sedangkan Pelinggih Padmasana sebagai penyawangan Batara di Gunung Agung berada di bagian utara dalam areal Pura Dalem Penataran Peed. Di Pura Dalem Penataran Peed ini merupakan penyatuan antara pemujaan Batara Siwa di Gunung Agung dengan pemujaan Dewi Durgha atau Dewi Uma di Pura Puncak Mundi.
Dengan demikian Pura Dalem Penataran Peed itu sebagai Pemujaan Siwa Durgha dan Pemujaan Raja disebut Pura Dalem. Sedangkan disebut sebagai Pura Penataran Peed karena pura ini sebagai Penataran dari Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha. Artinya, Pura Penataran Peed ini sebagai pengejawantahan yang aktif dari fungsi Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha.
Di pura inilah bertemunya unsur Purusa dari Batara di Gunung Agung dengan Batari Uma Durgha di Puncak Mundi. Dari pertemuan dua unsur ciptaan Tuhan inilah yang akan melahirkan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya yang disebut Rambut Sedhana. Baik sarana hidup untuk memajukan kesejahteraan maupun sarana untuk mempertahankan kesehatan dan menghilangkan berbagai penyakit.
Upacara pujawali di Pura Dalem Penataran Peed ini dilangsungkan pada setiap Budha Cemeng Klawu. Hari Budha Cemeng Klawu ini adalah hari untuk mengingatkan umat Hindu pada hari keuangan yang disebut Pujawali Batari Rambut Sedhana. Pada hari ini umat Hindu diingatkan agar uang itu digunakan dengan baik dan setepat mungkin. Uang itu sebagai alat untuk mendapatkan berbagai sarana hidup agar digunakan dengan seimbang untuk menciptakan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya. Uang itu sebagai sarana menyukseskan tujuan hidup mewujudkan Dharma, Artha dan Kama sebagai dasar mencapai Moksha.
Berdasarkan adanya Pelinggih Manjangan Saluwang di sebelah barat Tugu Penyimpanan dapat diperkirakan bahwa Pura Dalem Penataran Peed ini sudah ada sejak Mpu Kuturan mendampingi Raja memimpin Bali. Pura ini mendapatkan perhatian saat Dalem Dukut memimpin di Nusa Penida dan dilanjutkan pada zaman kepemimpinan Dalem di Klungkung.
* I Ketut Gobyah
Pura Penataran Agung Ped
Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa
Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.
Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.
Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.
Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.
Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.
Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.
Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.
Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.
Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.
Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.
Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut
Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa
Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.
Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.
Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.
Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.
Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.
Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.
Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.
Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.
Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.
Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.
Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut.
Purusa-Pradana di Pura Dalem Penataran Peed
OM Svastyastu,
Kiriman: Putra Semarapura
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/17/bd2.htm
Ya atmada balada yasya visva
upasate prasisam yasya devah
yasya chaya-amrtam yasya mrtyuh,
kasmani devaya havisa vidhema.
(Rgveda.X.121.2).
Maksudnya:
Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan spiritual (rohani) dan fisikal (jasmani). Semua sinar sucinya yang disebut Deva berfungsi atas kehendak Tuhan. Kasih-Nya adalah keabadian, krodanya adalah kematian. Kami semuanya mengaturkan sembah kepada-Nya.
PURA Dalem Penataran Peed di Nusa Penida itu adalah pura untuk memuja Tuhan Yang Mahakuasa sebagai pencipta Purusa dan Pradana. Purusa itu adalah kekuatan jiwa atau daya spiritualitas yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya. Pradana adalah kekuatan fisik material atau daya jasmaniah yang mewujudkan secara nyata kekuatan Purusa tersebut.
Karena itu umat Hindu berbondong-bondong rajin bersembahyang ke Pura Dalem Penataran Peed untuk mendapatkan keseimbangan daya hidup, baik daya spiritual maupun daya fisikal. Karena hanya keseimbangan peran dan fungsi rohani dan jasmani itulah hidup yang harmonis di bumi ini dapat dicapai.
Pemujaan Tuhan sebagai pencipta unsur Purusa dan Pradana ini divisualkan dalam wujud pemujaan di Pura Dalem Penataran Peed. Visualisasi itu merupakan perpaduan konsepsi Hindu dengan kearipan lokal Bali. Di Pura Dalem Penataran Peed ini terdapat dua arca Purusa dan Predana dari uang kepeng yang disimpan di gedong penyimpenan sebagai pelinggih utama di Pura Dalem Penataran Peed. Arca Purusa Predana inilah yang memvisualisasikan kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan waranugraha keseimbangan hidup spiritual (Purusa) dengan kehidupan fisik material (Predana).
Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan Batara Siwa menurunkan Dewi Uma dan berstana di Puncak Mundi Nusa Penida diiringi oleh para Bhuta Kala simbol kekuatan fisik material berupa ruang dan waktu. Bhuta itu membentuk ruang dan Kala adalah waktu. Waktu timbul karena ada dinamika ruang. Di Pura Puncak Mundi, Dewi Uma bergelar Dewi Rohini dan berputra Dalem Sahang. Pepatih Dalem Sahang bernama I Renggan dari Jambu Dwipa -- kompyang dari Dukuh Jumpungan.
Dukuh Jumpungan itu lahir dari pertemuan Batara Guru dengan Ni Mrenggi, dayang dari Dewi Uma. Kama dari Batara Guru berupa awan kabut yang disebut limun. Karena itu disebut Hyang Kalimunan. Kama Batara Guru ini di-urip oleh Hyang Tri Murti dan menjadi manusia. Setelah digembleng berbagai ilmu kerohanian dan kesidhian, dan oleh Hyang Tri Murti terus diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai ahli pengobatan. Setelah turun-temurun Dukuh Jumpungan menurunkan I Gotra yang juga dikenal I Mecaling. Inilah yang selanjutnya disebut Ratu Gede Nusa.
Ratu Gede Nusa ini berpenampilan bagaikan Batara Kala. Menurut penafsiran Ida Pedanda Made Sidemen (alm) dari Geria Taman Sanur yang dimuat dalam buku hasil penelitian Sejarah Pura oleh Tim IHD Denpasar (sekarang Unhi) antara lain menyatakan sbb: saat Batara di Gunung Agung, Batukaru dan Batara di Rambut Siwi dari Jambu Dwipa ke Bali diiringi oleh seribu lima ratus (1.500) orang halus (wong samar).
Lima ratus wong samar itu dengan lima orang taksu menjadi pengiring Ratu Gede Nusa atas wara nugraha Batara di Gunung Agung. Batara di Gunung Agung memberi wara nugraha kepada Ratu Gede Nusa atas tapa brata-nya yang keras. Atas tapa brata itulah Batara di Gunung Agung memberi anugrah dan wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang tidak taat melakukan perbuatan baik dan benar sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Di Pura Dalem Penataran Peed ini Ida Batara Dalem Penataran Peed dipuja di Pelinggih Gedong, sedangkan Pelinggih Ratu Gede Nusa berada areal tersendiri di barat areal Pelinggih Dalem Penataran Peed. Pelinggih Dalem Penataran Peed ini berada di bagian timur, sedangkan Pelinggih Padmasana sebagai penyawangan Batara di Gunung Agung berada di bagian utara dalam areal Pura Dalem Penataran Peed. Di Pura Dalem Penataran Peed ini merupakan penyatuan antara pemujaan Batara Siwa di Gunung Agung dengan pemujaan Dewi Durgha atau Dewi Uma di Pura Puncak Mundi.
Dengan demikian Pura Dalem Penataran Peed itu sebagai Pemujaan Siwa Durgha dan Pemujaan Raja disebut Pura Dalem. Sedangkan disebut sebagai Pura Penataran Peed karena pura ini sebagai Penataran dari Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha. Artinya, Pura Penataran Peed ini sebagai pengejawantahan yang aktif dari fungsi Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha.
Di pura inilah bertemunya unsur Purusa dari Batara di Gunung Agung dengan Batari Uma Durgha di Puncak Mundi. Dari pertemuan dua unsur ciptaan Tuhan inilah yang akan melahirkan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya yang disebut Rambut Sedhana. Baik sarana hidup untuk memajukan kesejahteraan maupun sarana untuk mempertahankan kesehatan dan menghilangkan berbagai penyakit.
Upacara pujawali di Pura Dalem Penataran Peed ini dilangsungkan pada setiap Budha Cemeng Klawu. Hari Budha Cemeng Klawu ini adalah hari untuk mengingatkan umat Hindu pada hari keuangan yang disebut Pujawali Batari Rambut Sedhana. Pada hari ini umat Hindu diingatkan agar uang itu digunakan dengan baik dan setepat mungkin. Uang itu sebagai alat untuk mendapatkan berbagai sarana hidup agar digunakan dengan seimbang untuk menciptakan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya. Uang itu sebagai sarana menyukseskan tujuan hidup mewujudkan Dharma, Artha dan Kama sebagai dasar mencapai Moksha.
Berdasarkan adanya Pelinggih Manjangan Saluwang di sebelah barat Tugu Penyimpanan dapat diperkirakan bahwa Pura Dalem Penataran Peed ini sudah ada sejak Mpu Kuturan mendampingi Raja memimpin Bali. Pura ini mendapatkan perhatian saat Dalem Dukut memimpin di Nusa Penida dan dilanjutkan pada zaman kepemimpinan Dalem di Klungkung.
* I Ketut Gobyah
Pura Penataran Agung Ped
Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa
Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.
Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.
Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.
Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.
Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.
Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.
Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.
Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.
Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.
Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.
Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut
sejarah pura uluwatu
Pura
Besakih dan Pura Batur di Kintamani adalah pura yang tergolong Pura Rwa
Bhineda. Pura Besakih sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai Pradana. Pura Catur
Loka Pala adalah Pura Lempuhyang Luhur di arah timur Bali, Pura Luhur Batukaru
arah barat, Pura Andakasa arah selatan dan Pura Pucak Mangu arah utara. Pura yang
didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka ini umumnya disebut Pura Sad
Kahyangan.
Tidak kurang dari sembilan lontar menyatakan adanya Pura Sad Kahyangan. Namun setiap lontar menyatakan pura yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan pada zaman dulu di Bali ada sembilan kerajaan dan sekarang dibagi menjadi 7 kabupaten, 1 kota madya, 1 propinsi. Tiap-tiap kerajaan memiliki Sad Kahyangan-nya masing-masing. Ada yang sama dan ada juga yang tidak sama.
Pura Sad Kahyangan yang dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa itu adalah Sad Kahyangan saat Bali masih satu kerajaan. Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura yang dinyatakan sebagai Pura Sad Kahyangan dalam Lontar Kusuma Dewa dan juga beberapa lontar lainnya. Pura Luhur Uluwatu itu juga dinyatakan sebagai Pura Padma Bhuwana yang berada di arah barat daya Pulau Bali.
Arah barat daya itu dalam sistem pengider-ider Hindu Sekte Siwa Sidhanta adalah Dewa Siwa Rudra. Dalam konsep Siwa Sidhanta, Dewa Tri Murti itu adalah manifestasi Siwa sebagai sebutan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi dalam konsep Waisnawa, Tri Murti itu adalah perwujudan Maha Wisnu.
Dalam Rgveda I, 164. 46 dinyatakan bahwa Tuhan itu mahaesa para Wipra atau orang-orang suci menyebutnya dengan banyak nama. Jadinya Pura Luhur Uluwatu itu adalah Pura Kahyangan Jagat yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan konsepsi Padma Bhuwana. Sebagai Siwa Rudra berkedudukan untuk membumikan purusa wisesa dari Dewa Tri Murti agar umat tertuntun melakukan dinamika hidupnya berdasarkan Tri Kona yaitu kreatif menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan.
Kreatif memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi. Demikian juga melakukan upaya pralina pada sesuatu yang seyogianya dipralina. Siapa pun yang dapat hidup seimbang berbuat berdasarkan konsep Tri Kona itu dialah orang yang hebat karena sukses dalam hidupnya. Karena itulah Tuhan di Pura Luhur Uluwatu dipuja sebagai Dewa Siwa Rudra. Kata Rudra dalam bahasa Sansekerta artinya hebat atau bergairah.
Keberadaan Pura Luhur Uluwatu ini sejak abad XVI Masehi ada terkait dengan tirthayatra Dang Hyang Dwijendra. Setelah itu didirikanlah Meru Tumpang Tiga di Pura Luhur Uluwatu sebagai pemujaan Dewa Siwa Rudra di mana aspek Brahma dan Wisnu juga terkait menjadi energi magis religius dalam pemujaan Siwa Rudra di Meru Tumpang Tiga. Meskipun kedatangan Dang Hyang Dwijendra memperluas tempat pemujaan di Pura Luhur Uluwatu bukan berarti apa yang telah ada harus ditinggalkan begitu saja.
Di sebelah kiri sebelum masuk pintu Candi Bentar tersebut terdapat kompleks pelinggih yang disebut Dalem Jurit. Di Pura Dalem Jurit inilah terdapat tiga patung Tri Murti yang merupakan tempat pemujaan Siwa Rudra ketika Mpu Kuturan mendirikan pura tersebut abad ke-11 Masehi. Dari Dalem Jurit kita terus masuk melalui Candi Bentar.
Di jaba tengah ini kita menoleh ke kiri lagi ada sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering sekalipun. Hal ini dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa Pecatu adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang mengandalkan air hujan. Bak air itu dikeramatkan karena keajaibannya itu. Keperluan air untuk bahan tirtha cukup diambil dari bak air tersebut.
Dari jaba tengah ini kita terus masuk melalui Candi Kurung Padu Raksa bersayap. Candi ini ada yang menduga dibuat pada abad ke-11 Masehi karena dihubungkan dengan Candi Kurung bersayap yang ada di Pura Sakenan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Candi Kurung bersayap seperti ini ada di Jawa Timur peninggalan purbakala di Sendang Duwur dengan Candra Sengkala yaitu tanda tahun Saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuna sbb: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.
Candi Kurung Padu Raksa bersayap di Sendang Duwur sama dengan Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu. Dengan demikian nampaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada zaman Dang Hyang Dwijendra yaitu abad XVI. Karena Dang Hyang Dwijendra-lah yang memperluas Pura Luhur Uluwatu.
Setelah kita masuk ke jeroan (bagian dalam pura) kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Balai Pawedaan tempat pandita memuja memimpin upacara. Upacara piodalan atau sejenis hari besarnya Pura Luhur Uluwatu pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia atau setiap 210 hari berdasarkan perhitungan kalender Wuku.
Pura Luhur Uluwatu memiliki wilayah suci dalam radius kurang lebih lima kilometer. Wilayah ini disebut wilayah Kekeran, artinya wilayah yang suci. Yang patut kita perhatikan adalah melindungi wilayah yang disebut sebagai wilayah kekeran. Hendaknya semua pihak menghormati wilayah kekeran tersebut untuk menjaga agar jangan ada bangunan yang tidak terkait dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu itu.
Wilayah kekeran itu hendaknya dijaga agar tetap hijau dengan tumbuh-tumbuhan yang khas Bali. Boleh dikreasi sepanjang untuk mengembangkan tumbuh-tumbuhan hutan dengan tanem tuwuh-nya, sehingga wilayah kekeran itu benar-benar asri dan juga suci tidak dijadikan pengembangan pasilitas yang lainnya. Lebih-lebih berdasarkan Bhisama Kesucian Pura di Pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Uluwatu ini harus dijaga tidak boleh ada bangunan di luar fasilitas pura dengan radius apeneleng — sekitar lima kilometer — harus steril dari bangunan yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu.
Tidak kurang dari sembilan lontar menyatakan adanya Pura Sad Kahyangan. Namun setiap lontar menyatakan pura yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan pada zaman dulu di Bali ada sembilan kerajaan dan sekarang dibagi menjadi 7 kabupaten, 1 kota madya, 1 propinsi. Tiap-tiap kerajaan memiliki Sad Kahyangan-nya masing-masing. Ada yang sama dan ada juga yang tidak sama.
Pura Sad Kahyangan yang dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa itu adalah Sad Kahyangan saat Bali masih satu kerajaan. Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura yang dinyatakan sebagai Pura Sad Kahyangan dalam Lontar Kusuma Dewa dan juga beberapa lontar lainnya. Pura Luhur Uluwatu itu juga dinyatakan sebagai Pura Padma Bhuwana yang berada di arah barat daya Pulau Bali.
Arah barat daya itu dalam sistem pengider-ider Hindu Sekte Siwa Sidhanta adalah Dewa Siwa Rudra. Dalam konsep Siwa Sidhanta, Dewa Tri Murti itu adalah manifestasi Siwa sebagai sebutan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi dalam konsep Waisnawa, Tri Murti itu adalah perwujudan Maha Wisnu.
Dalam Rgveda I, 164. 46 dinyatakan bahwa Tuhan itu mahaesa para Wipra atau orang-orang suci menyebutnya dengan banyak nama. Jadinya Pura Luhur Uluwatu itu adalah Pura Kahyangan Jagat yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan konsepsi Padma Bhuwana. Sebagai Siwa Rudra berkedudukan untuk membumikan purusa wisesa dari Dewa Tri Murti agar umat tertuntun melakukan dinamika hidupnya berdasarkan Tri Kona yaitu kreatif menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan.
Kreatif memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi. Demikian juga melakukan upaya pralina pada sesuatu yang seyogianya dipralina. Siapa pun yang dapat hidup seimbang berbuat berdasarkan konsep Tri Kona itu dialah orang yang hebat karena sukses dalam hidupnya. Karena itulah Tuhan di Pura Luhur Uluwatu dipuja sebagai Dewa Siwa Rudra. Kata Rudra dalam bahasa Sansekerta artinya hebat atau bergairah.
Keberadaan Pura Luhur Uluwatu ini sejak abad XVI Masehi ada terkait dengan tirthayatra Dang Hyang Dwijendra. Setelah itu didirikanlah Meru Tumpang Tiga di Pura Luhur Uluwatu sebagai pemujaan Dewa Siwa Rudra di mana aspek Brahma dan Wisnu juga terkait menjadi energi magis religius dalam pemujaan Siwa Rudra di Meru Tumpang Tiga. Meskipun kedatangan Dang Hyang Dwijendra memperluas tempat pemujaan di Pura Luhur Uluwatu bukan berarti apa yang telah ada harus ditinggalkan begitu saja.
Di sebelah kiri sebelum masuk pintu Candi Bentar tersebut terdapat kompleks pelinggih yang disebut Dalem Jurit. Di Pura Dalem Jurit inilah terdapat tiga patung Tri Murti yang merupakan tempat pemujaan Siwa Rudra ketika Mpu Kuturan mendirikan pura tersebut abad ke-11 Masehi. Dari Dalem Jurit kita terus masuk melalui Candi Bentar.
Di jaba tengah ini kita menoleh ke kiri lagi ada sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering sekalipun. Hal ini dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa Pecatu adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang mengandalkan air hujan. Bak air itu dikeramatkan karena keajaibannya itu. Keperluan air untuk bahan tirtha cukup diambil dari bak air tersebut.
Dari jaba tengah ini kita terus masuk melalui Candi Kurung Padu Raksa bersayap. Candi ini ada yang menduga dibuat pada abad ke-11 Masehi karena dihubungkan dengan Candi Kurung bersayap yang ada di Pura Sakenan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Candi Kurung bersayap seperti ini ada di Jawa Timur peninggalan purbakala di Sendang Duwur dengan Candra Sengkala yaitu tanda tahun Saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuna sbb: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.
Candi Kurung Padu Raksa bersayap di Sendang Duwur sama dengan Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu. Dengan demikian nampaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada zaman Dang Hyang Dwijendra yaitu abad XVI. Karena Dang Hyang Dwijendra-lah yang memperluas Pura Luhur Uluwatu.
Setelah kita masuk ke jeroan (bagian dalam pura) kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Balai Pawedaan tempat pandita memuja memimpin upacara. Upacara piodalan atau sejenis hari besarnya Pura Luhur Uluwatu pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia atau setiap 210 hari berdasarkan perhitungan kalender Wuku.
Pura Luhur Uluwatu memiliki wilayah suci dalam radius kurang lebih lima kilometer. Wilayah ini disebut wilayah Kekeran, artinya wilayah yang suci. Yang patut kita perhatikan adalah melindungi wilayah yang disebut sebagai wilayah kekeran. Hendaknya semua pihak menghormati wilayah kekeran tersebut untuk menjaga agar jangan ada bangunan yang tidak terkait dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu itu.
Wilayah kekeran itu hendaknya dijaga agar tetap hijau dengan tumbuh-tumbuhan yang khas Bali. Boleh dikreasi sepanjang untuk mengembangkan tumbuh-tumbuhan hutan dengan tanem tuwuh-nya, sehingga wilayah kekeran itu benar-benar asri dan juga suci tidak dijadikan pengembangan pasilitas yang lainnya. Lebih-lebih berdasarkan Bhisama Kesucian Pura di Pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Uluwatu ini harus dijaga tidak boleh ada bangunan di luar fasilitas pura dengan radius apeneleng — sekitar lima kilometer — harus steril dari bangunan yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu.
sejarah pura watu klotok
============
Pura Watu Klotok letaknya tidak jauh dari pura terkenal lainnya yang ada di bumi serombotan. Salah satunya Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Sehingga keberadaannya sangat mudah dijangkau bagi umat yang gemar bertirtayatra. Apalagi saat ini, jalur By-pass Tohpati-Kusamba (By-pass IB Mantra) sudah hampir tuntas dikerjakan. Tentu akses bagi umat menuju pura yang berada di Banjar Celepik, Tojan, Klungkung itu semakin mudah.
Pura Watu Klotok memiliki panorama pantai selatan Klungkung yang mempesona. Dari pura itu, sembari bersembahyang umat pun dapat menyaksikan keindahan kawasan Kepulauan Nusa Penida dan Hotel Bali Beach di pantai Sanur. Hampir setiap bulan, persisnya ketika bulan purnama, Pura Watu Klotok benar-benar menjadi tempat yang paling dicari oleh umat yang haus akan pendalaman spiritual. Karena Pura Watu Klotok dipercaya sangat baik dijadikan objek matirtayatra yang belakangan ini makin diminati umat Hindu.
”Bisa dikatakan Pura Watu Klotok merupakan tempat yang mampu menghilangkan dahaga bagi umat yang kehausan pendalaman spiritual,” ungkap Bendesa Adat Satra Dewa Ketut Soma yang kerap ditunjuk sebagai panitia karya. Tak jarang, umat bahkan sampai makemit (begadang) sembari bersemedi di Pura Watu Klotok guna menemui kedamaian batin.
Selain itu, umat Hindu yang berprofesi sebagai petani, juga mempercayakan keberhasilannya di bidang pertanian di pura ini. Umat selalu memohon petunjuk dan perlindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar senantiasa memberi kesuburan atas tanah pertanian mereka serta mencegah datangnya serangan hama tanaman. Atas hal itu, krama subak secara rutin, turun-temurun melaksanakan upacara mohon pekuluh jika sawah mereka terserang wabah tanaman sekaligus memohon keselamatan dan kesuburan tanam-tanaman yang dikenal dengan upacara neduh lan pangusaban. Umat yakin, dengan permohonan yang tulus, kesuburan tanah akan terwujud. ”Memang, para petani tidak cukup hanya berharap berkah dari doa semata, akan tetapi mesti dilengkapi dengan berusaha dan bekerja keras,” tambahnya.
Penekun spiritual yang juga pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung ini pun pernah menyusun buku tentang ”Selayang Pandang Pura Watu Klotok”. Dalam buku itu, Dewa Soma menceritakan permohonan keselamatan dan penyucian serta anugerah kesuburan, itu berlangsung ketika piodalan yang jatuh setiap enam bulan sekali. Persisnya pada Anggara Kasih Julungwangi. Ada juga yang diselenggarakan setiap tahun sekali, yakni upacara Ngusaba. Piodalan itu diselenggarakan oleh pengempon dari warga Banjar Celepik, Gelgel dengan pendanaan bersumber dari hasil pelaba pura seluas 125 are.
Upacara lain yang kerap digelar di pantai Watu Klotok seperti upacara mulang pakelem dalam rangkaian upacara-upacara besar yang digelar di Pura Besakih seperti Eka Dasa Rudra, Tri Bhuana, Eka Bhuana, Candi Narmada, Panca Bali Krama dan lainnya. Bahkan, di pantai Watu Klotok juga sering dilakukan upacara nangkid, malukat, neduh dan lainnya. Terlepas dari itu semua, pantai Klotok memendam misteri yang sulit dianalisis akal sehat. Bentangan pantai dari Ketapang Kembar sampai pantai Sidayu merupakan kawasan misteri pasukan ”Kopassus” Ratu Gde Nusa. Siapa pun yang berani berbuat onar dan kurang ajar di pantai itu, jangan harap untuk pulang kembali dengan selamat.
Salah satu peninggalan yang dikeramatkan di Pura Watu Klotok adalah sebuah batu mekocok (makocel). Batu mekocok itu merupakan cikal bakal pendirian pura dengan kekeramatannya yang kini malinggih di utama mandala Pura Watu Klotok. Bukan hanya itu, ada juga unen-unen (rencang) Ida Batara berupa bikul (tikus) putih, lelipi poleng (ular belang) dan penyu macolek pamor. Penyu macolek pamor itu diyakini muncul seratus tahun sekali. Itu dibuktikan dengan terdamparnya seekor penyu raksasa beberapa tahun silam.
Arca Penjaga Kesucian
Sebagaimana Pura-pura lain di Bali, struktur Pura Watu Klotok juga terdiri atas tiga bagian. Utama mandala, madya mandala dan nista mandala. Bagian nista mandala (paling luar) Pura Watu Klotok berupa Candi Bentar dan Arca Dwapara Pala lengkap dengan senjata gada. Dwapara berarti pintu, sedangkan pala berarti penjaga. Jadi, begitu memasuki wilayah Pura Watu Klotok diyakini sudah ada suatu kekuatan yang menjaga kesucian pura. ”Sehingga ketika pemedek baru menginjakkan kaki di gerbang pura, sudah diarahkan untuk mengarahkan pikiran dan perilaku ke arah kesucian,” kata Dewa soma.
Setelah memasuki candi bentar menuju madya mandala, di sebelah selatan terdapat Pelinggih Sang Kala Sunya. Pelinggih itu merupakan aspek sakti dari Batara Baruna yang menguasai daerah kutub. Di sebelah timur Pelinggih Sang Kala Sunya, juga dibangun pelingih penghayatan Ratu Gde Penataran Ped yang tak lain berupa pohon ketapang berukuran besar serta sebuah tugu seperti pelingih taksu atau ngerurah.
Di utama mandala terdapat Pelinggih Ida Batara Watu Makocok (Makocel). Sesuai namanya, pelinggih ini disebut batu makocel yang berarti batu berbunyi yang diyakini memiliki sinar vibrasi spiritual tinggi. Juga diyakini sebagai tempat memohon kekuatan alam agar dianugerahi keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan karena batu ini adalah cikal-bakal lahirnya Pura Watu Klotok. Karena pertama kali ada, makanya umat menyebut Pelinggih Batu Makocel itu dengan sebutan Pelinggih Ida Batara Lingsir.
Di samping Pelinggih Batara Lingsir, ada Meru Tumpang Lima, Gedong Alit Pule, Padmasana, Pengaruman, Linggih Sri Sedana dan beberapa pelinggih lainnya. Singkatnya, di utama mandala terdapat 16 bangunan/pelingih termasuk Candi Bale dan sumur, di madya mandala lima bangunan/pelinggih yaitu bale pemedek, bale gong, bale kulkul, candi bentar dan apit lawang kiwa tengen.
Sementara pada nista mandala terdapat 6 bangunan/pelingih yaitu Pelinggih Sanghyang Kala Sunia, Pelinggih Ida Batara Dalem Ped, Bale Pawedaan, Panggungan, candi bentar dan patung Dwarapala. Di samping terdapat piranti pelengkap lainnya seperti lumbung, bale petandingan, perantenan, Bale sekepat, Pelinggih Sri Sedana dan bale paebatan yang terletak disekitar areal pura.
Pura Watu Klotok letaknya tidak jauh dari pura terkenal lainnya yang ada di bumi serombotan. Salah satunya Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Sehingga keberadaannya sangat mudah dijangkau bagi umat yang gemar bertirtayatra. Apalagi saat ini, jalur By-pass Tohpati-Kusamba (By-pass IB Mantra) sudah hampir tuntas dikerjakan. Tentu akses bagi umat menuju pura yang berada di Banjar Celepik, Tojan, Klungkung itu semakin mudah.
Pura Watu Klotok memiliki panorama pantai selatan Klungkung yang mempesona. Dari pura itu, sembari bersembahyang umat pun dapat menyaksikan keindahan kawasan Kepulauan Nusa Penida dan Hotel Bali Beach di pantai Sanur. Hampir setiap bulan, persisnya ketika bulan purnama, Pura Watu Klotok benar-benar menjadi tempat yang paling dicari oleh umat yang haus akan pendalaman spiritual. Karena Pura Watu Klotok dipercaya sangat baik dijadikan objek matirtayatra yang belakangan ini makin diminati umat Hindu.
”Bisa dikatakan Pura Watu Klotok merupakan tempat yang mampu menghilangkan dahaga bagi umat yang kehausan pendalaman spiritual,” ungkap Bendesa Adat Satra Dewa Ketut Soma yang kerap ditunjuk sebagai panitia karya. Tak jarang, umat bahkan sampai makemit (begadang) sembari bersemedi di Pura Watu Klotok guna menemui kedamaian batin.
Selain itu, umat Hindu yang berprofesi sebagai petani, juga mempercayakan keberhasilannya di bidang pertanian di pura ini. Umat selalu memohon petunjuk dan perlindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar senantiasa memberi kesuburan atas tanah pertanian mereka serta mencegah datangnya serangan hama tanaman. Atas hal itu, krama subak secara rutin, turun-temurun melaksanakan upacara mohon pekuluh jika sawah mereka terserang wabah tanaman sekaligus memohon keselamatan dan kesuburan tanam-tanaman yang dikenal dengan upacara neduh lan pangusaban. Umat yakin, dengan permohonan yang tulus, kesuburan tanah akan terwujud. ”Memang, para petani tidak cukup hanya berharap berkah dari doa semata, akan tetapi mesti dilengkapi dengan berusaha dan bekerja keras,” tambahnya.
Penekun spiritual yang juga pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung ini pun pernah menyusun buku tentang ”Selayang Pandang Pura Watu Klotok”. Dalam buku itu, Dewa Soma menceritakan permohonan keselamatan dan penyucian serta anugerah kesuburan, itu berlangsung ketika piodalan yang jatuh setiap enam bulan sekali. Persisnya pada Anggara Kasih Julungwangi. Ada juga yang diselenggarakan setiap tahun sekali, yakni upacara Ngusaba. Piodalan itu diselenggarakan oleh pengempon dari warga Banjar Celepik, Gelgel dengan pendanaan bersumber dari hasil pelaba pura seluas 125 are.
Upacara lain yang kerap digelar di pantai Watu Klotok seperti upacara mulang pakelem dalam rangkaian upacara-upacara besar yang digelar di Pura Besakih seperti Eka Dasa Rudra, Tri Bhuana, Eka Bhuana, Candi Narmada, Panca Bali Krama dan lainnya. Bahkan, di pantai Watu Klotok juga sering dilakukan upacara nangkid, malukat, neduh dan lainnya. Terlepas dari itu semua, pantai Klotok memendam misteri yang sulit dianalisis akal sehat. Bentangan pantai dari Ketapang Kembar sampai pantai Sidayu merupakan kawasan misteri pasukan ”Kopassus” Ratu Gde Nusa. Siapa pun yang berani berbuat onar dan kurang ajar di pantai itu, jangan harap untuk pulang kembali dengan selamat.
Salah satu peninggalan yang dikeramatkan di Pura Watu Klotok adalah sebuah batu mekocok (makocel). Batu mekocok itu merupakan cikal bakal pendirian pura dengan kekeramatannya yang kini malinggih di utama mandala Pura Watu Klotok. Bukan hanya itu, ada juga unen-unen (rencang) Ida Batara berupa bikul (tikus) putih, lelipi poleng (ular belang) dan penyu macolek pamor. Penyu macolek pamor itu diyakini muncul seratus tahun sekali. Itu dibuktikan dengan terdamparnya seekor penyu raksasa beberapa tahun silam.
Arca Penjaga Kesucian
Sebagaimana Pura-pura lain di Bali, struktur Pura Watu Klotok juga terdiri atas tiga bagian. Utama mandala, madya mandala dan nista mandala. Bagian nista mandala (paling luar) Pura Watu Klotok berupa Candi Bentar dan Arca Dwapara Pala lengkap dengan senjata gada. Dwapara berarti pintu, sedangkan pala berarti penjaga. Jadi, begitu memasuki wilayah Pura Watu Klotok diyakini sudah ada suatu kekuatan yang menjaga kesucian pura. ”Sehingga ketika pemedek baru menginjakkan kaki di gerbang pura, sudah diarahkan untuk mengarahkan pikiran dan perilaku ke arah kesucian,” kata Dewa soma.
Setelah memasuki candi bentar menuju madya mandala, di sebelah selatan terdapat Pelinggih Sang Kala Sunya. Pelinggih itu merupakan aspek sakti dari Batara Baruna yang menguasai daerah kutub. Di sebelah timur Pelinggih Sang Kala Sunya, juga dibangun pelingih penghayatan Ratu Gde Penataran Ped yang tak lain berupa pohon ketapang berukuran besar serta sebuah tugu seperti pelingih taksu atau ngerurah.
Di utama mandala terdapat Pelinggih Ida Batara Watu Makocok (Makocel). Sesuai namanya, pelinggih ini disebut batu makocel yang berarti batu berbunyi yang diyakini memiliki sinar vibrasi spiritual tinggi. Juga diyakini sebagai tempat memohon kekuatan alam agar dianugerahi keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan karena batu ini adalah cikal-bakal lahirnya Pura Watu Klotok. Karena pertama kali ada, makanya umat menyebut Pelinggih Batu Makocel itu dengan sebutan Pelinggih Ida Batara Lingsir.
Di samping Pelinggih Batara Lingsir, ada Meru Tumpang Lima, Gedong Alit Pule, Padmasana, Pengaruman, Linggih Sri Sedana dan beberapa pelinggih lainnya. Singkatnya, di utama mandala terdapat 16 bangunan/pelingih termasuk Candi Bale dan sumur, di madya mandala lima bangunan/pelinggih yaitu bale pemedek, bale gong, bale kulkul, candi bentar dan apit lawang kiwa tengen.
Sementara pada nista mandala terdapat 6 bangunan/pelingih yaitu Pelinggih Sanghyang Kala Sunia, Pelinggih Ida Batara Dalem Ped, Bale Pawedaan, Panggungan, candi bentar dan patung Dwarapala. Di samping terdapat piranti pelengkap lainnya seperti lumbung, bale petandingan, perantenan, Bale sekepat, Pelinggih Sri Sedana dan bale paebatan yang terletak disekitar areal pura.
sejarah pura pulaki
Pura
Pulaki, Tempat Suci Peninggalan Prasejarah
Sulit ditampik, lingkungan Pura Pulaki adalah sebuah kawasan suci yang bisa disebut sangat sempurna. Selain memiliki pemandangan alam menakjubkan, aura religius dan kesucian yang berpendar di kawasan pura dan sekitarnya akan terasa jelas, seakan masuk di sela pori-pori kulit. Sebagian umat yang sempat sembahyang ke pura itu bahkan kerap mengaku bulu tipis di lehernya sesekali akan tegak. Mungkin karena takjub yang berlebihan pada keindahan alamnya atau amat terkesan pada aura religius yang dirasakannya.
PURA Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yang hanya sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat sulit. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya tarik tersendiri.
Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah.
Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.
Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya'' susunan Ketut Ginarsa. Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."
Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
Dipugar
Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.
Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. "Karena tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalaman," katanya.
Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.
Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.
Sulit ditampik, lingkungan Pura Pulaki adalah sebuah kawasan suci yang bisa disebut sangat sempurna. Selain memiliki pemandangan alam menakjubkan, aura religius dan kesucian yang berpendar di kawasan pura dan sekitarnya akan terasa jelas, seakan masuk di sela pori-pori kulit. Sebagian umat yang sempat sembahyang ke pura itu bahkan kerap mengaku bulu tipis di lehernya sesekali akan tegak. Mungkin karena takjub yang berlebihan pada keindahan alamnya atau amat terkesan pada aura religius yang dirasakannya.
PURA Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yang hanya sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat sulit. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya tarik tersendiri.
Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah.
Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.
Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya'' susunan Ketut Ginarsa. Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."
Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
Dipugar
Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.
Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. "Karena tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalaman," katanya.
Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.
Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.
sejarah pura puncak mangu
PURA
Pucak Mangu mungkin sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali
dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat
inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata
mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding.
I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang.
Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.
Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran.
Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Ulun Danu Beratan didirikan oleh I Gusti Agung Putu yang berada di sebelah barat Gunung Mangu dan Pura Penataran Agung Tinggan di sebelah timur Gunung Mangu didirikan oleh keturunannya yaitu Cokorda Nyoman Mayun.
Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X - XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya.
Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran.
Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 - 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.
I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang.
Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.
Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran.
Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Ulun Danu Beratan didirikan oleh I Gusti Agung Putu yang berada di sebelah barat Gunung Mangu dan Pura Penataran Agung Tinggan di sebelah timur Gunung Mangu didirikan oleh keturunannya yaitu Cokorda Nyoman Mayun.
Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X - XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya.
Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran.
Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 - 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.
sejarah pura besakih
PURA
BESAKIH (THE MOTHER TEMPLE) , TERBESAR DI BALI...
Pura Besakih terletak di Barat Daya Gunung Agung, desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Kira-kira 90 km arah Timur Laut kota Denpasar. Di ketinggian 1000 m dari permukaan air laut, dengan 298 buah bangunan dalam 18 buah komplek pura, merupakan pura terbesar di Bali, bahkan di Indonesia. Terhampar di kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali yang tingginya mencapai 3142 m.
Kata "Besakih" berasal dari kata "Basuki" yang berarti 'selamat' berkembang menjadi Basukir dan Basukih, trus menjadi Besakih. Nama tersebut terdapat dalam 2 prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan sebuah lagi di Pura Gaduh Sakti di desa Selat. Sejarah Pura Besakih berhubungan dengan perjalanan Sri Markandeya (seorang Brahmana Siwa) dari Gunung Raung, daerah Basuki, Jawa Timur. Rombongan beliau terpaksa kembali ke Jawa karena banyak yang meninggal terserang penyakit. Setelah mendapat petunjuk di Gunung Raung, beliau kembali ke Bali dan mengadakan penanaman Panca Datu (5 jenis logam yaitu emas, perak, besi, tembaga dan permata) di lereng Gunung Agung yang kemudian dikenal dengan Pura Basukian.
Pada zaman dahulu, Pura Besakih langsung ditangani oleh penguasa daerah Bali. Disebutkan Sri Wira Dalem Kesari yang membuat Merajan Selonding (sekitar tahun 250 M), kemungkinan beliau adalah Raja Kesari Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917. Prasastinya terdapat di Malet Gede, di Pura Puseh Panempahan dan di Belanjong. Pada zaman pemerintahan Sri Udayana Warmadewa, pura ini mendapat perhatian besar, seperti terdapat dalam prasasti Bradah, dan prasasti Gaduh Sakti. Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar raja Purana Besakih tentang upacara, nama pelinggih, tanah wakaf (pelaba), susunan pengurus, tingkatan upacara diatur dengan baik.
Fungsi umum pura ini adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan (sesuai dengan nama pura). Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap Bulan Purnama sasih kedasa (bulan Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali, dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan tahun 1973, sayangnya saya belum lahir dan mungkin seumur hidup saya tak akan bisa menyaksikan upacara ini secara langsung. Terdapat 18 komplek pura yaitu :
Pura Pesimpangan
Pura Dalem Puri
Pura Manik Mas
Pura Bangun Sakti
Pura Ulun Kulkul
Pura Merajan Selonding
Pura Gua
Pura Banua
Pura Merajan Kanginan
Pura Hyang Haluh
Pura Basukian
Pura Kiduling Kreteg
Pura Batu Madeg
Pura Gelap
Pura Penataran Agung
Pura Pengubengan
Pura Tirtha
Pura Peninjoan
Selain ke-18 komplek pura tersebut, juga ada komplek Pura Padharman untuk pemujaan kelompok keturunan tertentu di Besakih. Komplek Pura Besakih sangat luas, dengan pemandangan Gunung Agung yang hijau, sangat indah. Kita benar-benar kagum dengan warisan leluhur kita serta semua anugerah Tuhan. Tempat ini benar-benar bagus untuk mencari ketenangan serta mendekatkan diri dengan Tuhan.
Pura Besakih terletak di Barat Daya Gunung Agung, desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Kira-kira 90 km arah Timur Laut kota Denpasar. Di ketinggian 1000 m dari permukaan air laut, dengan 298 buah bangunan dalam 18 buah komplek pura, merupakan pura terbesar di Bali, bahkan di Indonesia. Terhampar di kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali yang tingginya mencapai 3142 m.
Kata "Besakih" berasal dari kata "Basuki" yang berarti 'selamat' berkembang menjadi Basukir dan Basukih, trus menjadi Besakih. Nama tersebut terdapat dalam 2 prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan sebuah lagi di Pura Gaduh Sakti di desa Selat. Sejarah Pura Besakih berhubungan dengan perjalanan Sri Markandeya (seorang Brahmana Siwa) dari Gunung Raung, daerah Basuki, Jawa Timur. Rombongan beliau terpaksa kembali ke Jawa karena banyak yang meninggal terserang penyakit. Setelah mendapat petunjuk di Gunung Raung, beliau kembali ke Bali dan mengadakan penanaman Panca Datu (5 jenis logam yaitu emas, perak, besi, tembaga dan permata) di lereng Gunung Agung yang kemudian dikenal dengan Pura Basukian.
Pada zaman dahulu, Pura Besakih langsung ditangani oleh penguasa daerah Bali. Disebutkan Sri Wira Dalem Kesari yang membuat Merajan Selonding (sekitar tahun 250 M), kemungkinan beliau adalah Raja Kesari Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917. Prasastinya terdapat di Malet Gede, di Pura Puseh Panempahan dan di Belanjong. Pada zaman pemerintahan Sri Udayana Warmadewa, pura ini mendapat perhatian besar, seperti terdapat dalam prasasti Bradah, dan prasasti Gaduh Sakti. Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar raja Purana Besakih tentang upacara, nama pelinggih, tanah wakaf (pelaba), susunan pengurus, tingkatan upacara diatur dengan baik.
Fungsi umum pura ini adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan (sesuai dengan nama pura). Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap Bulan Purnama sasih kedasa (bulan Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali, dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan tahun 1973, sayangnya saya belum lahir dan mungkin seumur hidup saya tak akan bisa menyaksikan upacara ini secara langsung. Terdapat 18 komplek pura yaitu :
Pura Pesimpangan
Pura Dalem Puri
Pura Manik Mas
Pura Bangun Sakti
Pura Ulun Kulkul
Pura Merajan Selonding
Pura Gua
Pura Banua
Pura Merajan Kanginan
Pura Hyang Haluh
Pura Basukian
Pura Kiduling Kreteg
Pura Batu Madeg
Pura Gelap
Pura Penataran Agung
Pura Pengubengan
Pura Tirtha
Pura Peninjoan
Selain ke-18 komplek pura tersebut, juga ada komplek Pura Padharman untuk pemujaan kelompok keturunan tertentu di Besakih. Komplek Pura Besakih sangat luas, dengan pemandangan Gunung Agung yang hijau, sangat indah. Kita benar-benar kagum dengan warisan leluhur kita serta semua anugerah Tuhan. Tempat ini benar-benar bagus untuk mencari ketenangan serta mendekatkan diri dengan Tuhan.
sejarah pura batukaru
Pura
Luhur Batukaru--
Tempat Stana Dewa Mahadewa atau Hyang Tumuwuh
Predikat yang disandang Bali sebagai pulau seribu pura memang tidak terbantahkan lagi. Sepertinya di setiap jengkal tanah di Bali dapat ditemukan sebuah pura yang hanya dibedakan oleh status dan fungsinya. Salah satu pura dari ribuan pura di Bali yakni Pura Luhur Batukaru. Pura ini terletak di kaki Gunung Batukaru, Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan. Bagaimana sejarah pura yang berhawa sejuk itu? Berikut laporan wartawan Bali Post Asmara Putra yang dirangkum dari berbagai sumber.
----------------------------
Letak pura yang berjarak 3 kilometer dari Desa Wongaya Gede dan sekitar 22 kilometer dari Kota Tabanan atau 42 kilometer di sebelah barat laut Kota Denpasar, dapat dijangkau dengan mudah oleh seluruh umat Hindu. Apalagi, sarana transportasi berupa jalan yang menuju pura dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini cukup baik. Pura dengan lingkungan hutan yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 24-32 derajat Celcius (siang hari) dan 18-22 derajat Celsius (malam hari) memiliki curah hujan yang cukup tinggi yakni rata-rata 1.899 mm per tahun.
Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu pura dengan status sebagai tempat pemujaan seluruh umat Hindu atau yang lebih dikenal dengan Kahyangan Jagat. Pura ini juga menjadi bagian dari Pura Sad Kahyangan di Bali dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Selain sebagai tempat pemujaan Hyang Mahadewa, dalam beberapa lontar disebutkan pula Pura Luhur Batukaru sebagai stana Hyang Tumuwuh.
Pada saat upacara piodalan/pujawali yang berlangsung setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari, tepatnya hari Kamis (Whraspati), Umanis, Dungulan -- sehari setelah hari raya Galungan -- selalu dipadati umat Hindu dari berbagai pelosok Bali. Belakangan ini, sejak Galungan, umat sudah banyak yang pedek tangkil ke pura ini. Selama piodalan Ida Bhatara nyejer hingga tiga hari. Pengempon pura ini terdiri atas desa-desa pakraman yang berada di sekitarnya yakni Desa Pakraman Wongaya Gede (empat banjar pakraman -- Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya Kelod, dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Penganggahan dan Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma). Sedangkan pangemong/penanggung jawab pelaksanaan upacara adalah Jro Kebayan.
Sejarah
Kapan berdiri dan siapa yang membangun Pura Luhur Batukaru hingga kini belum diperoleh data secara pasti. Pasalnya, sampai saat ini sumber-sumber tertulis yang mengungkap keberadaan pura yang terletak di kaki Gunung Batukaru ini sangat minim. Akibatnya, untuk memperkirakan kapan didirikannya pura ini harus juga berdasarkan sumber-sumber atau bukti tak tertulis. Beberapa sumber tak tertulis seperti peninggalan purbakala yang diperkirakan berasal dari masa tradisi megalitik terdapat di dalam pura, dijadikan acuan untuk memperkirakan waktu pendirian pura ini.
Dalam buku ''Pura Luhur Batukaru'' terbitan Dinas Kebudayaan Bali, Oktober 1994, disebutkan A.J. Bernet Kempres pernah melaporkan adanya temuan berupa menhir di lereng Gunung Batukaru pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Setelah dilakukan penelitian beberapa waktu lalu, laporan Bernet Kempres tersebut terbukti kebenarannya.
Buktinya? Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan batu. Onggokan batu yang dimaksudkan tersebut, oleh krama pangempon Pura Luhur Batukaru disebut Palinggih Kampuh. Dalam buku setebal 92 halaman tersebut juga ditulis bahwa Palinggih Kampuh itu merupakan medium pemujaan roh suci golongan Kebayan/Kubayan yang telah berjasa bagi masyarakat setempat.
Pada zaman megalitik, segala bidang kehidupan masyarakat berpusat pada penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang atau arwah pemimpin yang disegani. Kepercayaan kepada roh leluhur umum pada saat itu. Masyarakat percaya bahwa arwah roh leluhur itu berdiam di puncak gunung dan bukit yang memiliki kekuatan gaib yang diyakini dapat menolak bahaya dan memberikan kesejahteraan. Agar kesejahteraan tersebut bisa terpelihara dengan baik maka hubungan dengan dunia arwah dijaga dengan baik, salah satunya dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir sebagaimana yang dijumpai di Pura Luhur Batukaru.
Minim
Sementara untuk bukti tertulis -- prasasti dan purana -- mengenai keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat minim. Bahkan, purana yang secara khusus mengupas keberadaan pura yang memiliki hawa sejuk ini sama sekali tidak ditemukan. Namun, ada beberapa sumber tertulis yang memuat secara selintas keberadaan Pura Luhur Batukaru ini, baik berupa lontar maupun sumber kepurbakalaan lainnya.
Ketut Soebandi dalam bukunya "Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali" menyebutkan, lontar-lontar yang memuat secara selintas keberadaan pura ini antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad Pasek Toh Jiwa, serta Babad Buleleng. Sedangkan dalam buku "Pura Luhur Batukaru" menyebutkan beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah Mada, Padma Bhuwana, Kusuma Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem, Widisastra, Empu Kuturan, Dewa Purana Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan pura ini. Dalam hubungannya dengan sejarah pendirian pura ini, pada lontar-lontar disebutkan Pura Luhur Batukaru didirikan oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Bali.
Sementara mengenai data kepurbakalaan, di Pura Luhur Batukaru terdapat peninggalan berupa arca, candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak. Sebuah arca kuno juga ditemukan di pura ini, yakni di Beji. Arca seperti ini juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan, Kintamani.
Melihat coraknya, arca semacam itu diperkirakan merupakan peninggalan periode Bali Kuno sekitar abad X-XII. Melihat hasil-hasil temuan itu, dan dipadu dengan sumber-sumber tertulis lainnya, Pura Luhur Batukaru ini dapat diduga berdiri pada abad XI. ''Jadi berdasarkan data epigrafis tersebut, dapat memberikan petunjuk bahwa Pura Luhur Batukaru dibangun pada zaman pemerintahan Raja Cri Masula-Masuli berkuasa di Bali
Tempat Stana Dewa Mahadewa atau Hyang Tumuwuh
Predikat yang disandang Bali sebagai pulau seribu pura memang tidak terbantahkan lagi. Sepertinya di setiap jengkal tanah di Bali dapat ditemukan sebuah pura yang hanya dibedakan oleh status dan fungsinya. Salah satu pura dari ribuan pura di Bali yakni Pura Luhur Batukaru. Pura ini terletak di kaki Gunung Batukaru, Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan. Bagaimana sejarah pura yang berhawa sejuk itu? Berikut laporan wartawan Bali Post Asmara Putra yang dirangkum dari berbagai sumber.
----------------------------
Letak pura yang berjarak 3 kilometer dari Desa Wongaya Gede dan sekitar 22 kilometer dari Kota Tabanan atau 42 kilometer di sebelah barat laut Kota Denpasar, dapat dijangkau dengan mudah oleh seluruh umat Hindu. Apalagi, sarana transportasi berupa jalan yang menuju pura dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini cukup baik. Pura dengan lingkungan hutan yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 24-32 derajat Celcius (siang hari) dan 18-22 derajat Celsius (malam hari) memiliki curah hujan yang cukup tinggi yakni rata-rata 1.899 mm per tahun.
Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu pura dengan status sebagai tempat pemujaan seluruh umat Hindu atau yang lebih dikenal dengan Kahyangan Jagat. Pura ini juga menjadi bagian dari Pura Sad Kahyangan di Bali dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Selain sebagai tempat pemujaan Hyang Mahadewa, dalam beberapa lontar disebutkan pula Pura Luhur Batukaru sebagai stana Hyang Tumuwuh.
Pada saat upacara piodalan/pujawali yang berlangsung setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari, tepatnya hari Kamis (Whraspati), Umanis, Dungulan -- sehari setelah hari raya Galungan -- selalu dipadati umat Hindu dari berbagai pelosok Bali. Belakangan ini, sejak Galungan, umat sudah banyak yang pedek tangkil ke pura ini. Selama piodalan Ida Bhatara nyejer hingga tiga hari. Pengempon pura ini terdiri atas desa-desa pakraman yang berada di sekitarnya yakni Desa Pakraman Wongaya Gede (empat banjar pakraman -- Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya Kelod, dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Penganggahan dan Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma). Sedangkan pangemong/penanggung jawab pelaksanaan upacara adalah Jro Kebayan.
Sejarah
Kapan berdiri dan siapa yang membangun Pura Luhur Batukaru hingga kini belum diperoleh data secara pasti. Pasalnya, sampai saat ini sumber-sumber tertulis yang mengungkap keberadaan pura yang terletak di kaki Gunung Batukaru ini sangat minim. Akibatnya, untuk memperkirakan kapan didirikannya pura ini harus juga berdasarkan sumber-sumber atau bukti tak tertulis. Beberapa sumber tak tertulis seperti peninggalan purbakala yang diperkirakan berasal dari masa tradisi megalitik terdapat di dalam pura, dijadikan acuan untuk memperkirakan waktu pendirian pura ini.
Dalam buku ''Pura Luhur Batukaru'' terbitan Dinas Kebudayaan Bali, Oktober 1994, disebutkan A.J. Bernet Kempres pernah melaporkan adanya temuan berupa menhir di lereng Gunung Batukaru pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Setelah dilakukan penelitian beberapa waktu lalu, laporan Bernet Kempres tersebut terbukti kebenarannya.
Buktinya? Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan batu. Onggokan batu yang dimaksudkan tersebut, oleh krama pangempon Pura Luhur Batukaru disebut Palinggih Kampuh. Dalam buku setebal 92 halaman tersebut juga ditulis bahwa Palinggih Kampuh itu merupakan medium pemujaan roh suci golongan Kebayan/Kubayan yang telah berjasa bagi masyarakat setempat.
Pada zaman megalitik, segala bidang kehidupan masyarakat berpusat pada penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang atau arwah pemimpin yang disegani. Kepercayaan kepada roh leluhur umum pada saat itu. Masyarakat percaya bahwa arwah roh leluhur itu berdiam di puncak gunung dan bukit yang memiliki kekuatan gaib yang diyakini dapat menolak bahaya dan memberikan kesejahteraan. Agar kesejahteraan tersebut bisa terpelihara dengan baik maka hubungan dengan dunia arwah dijaga dengan baik, salah satunya dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir sebagaimana yang dijumpai di Pura Luhur Batukaru.
Minim
Sementara untuk bukti tertulis -- prasasti dan purana -- mengenai keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat minim. Bahkan, purana yang secara khusus mengupas keberadaan pura yang memiliki hawa sejuk ini sama sekali tidak ditemukan. Namun, ada beberapa sumber tertulis yang memuat secara selintas keberadaan Pura Luhur Batukaru ini, baik berupa lontar maupun sumber kepurbakalaan lainnya.
Ketut Soebandi dalam bukunya "Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali" menyebutkan, lontar-lontar yang memuat secara selintas keberadaan pura ini antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad Pasek Toh Jiwa, serta Babad Buleleng. Sedangkan dalam buku "Pura Luhur Batukaru" menyebutkan beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah Mada, Padma Bhuwana, Kusuma Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem, Widisastra, Empu Kuturan, Dewa Purana Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan pura ini. Dalam hubungannya dengan sejarah pendirian pura ini, pada lontar-lontar disebutkan Pura Luhur Batukaru didirikan oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Bali.
Sementara mengenai data kepurbakalaan, di Pura Luhur Batukaru terdapat peninggalan berupa arca, candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak. Sebuah arca kuno juga ditemukan di pura ini, yakni di Beji. Arca seperti ini juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan, Kintamani.
Melihat coraknya, arca semacam itu diperkirakan merupakan peninggalan periode Bali Kuno sekitar abad X-XII. Melihat hasil-hasil temuan itu, dan dipadu dengan sumber-sumber tertulis lainnya, Pura Luhur Batukaru ini dapat diduga berdiri pada abad XI. ''Jadi berdasarkan data epigrafis tersebut, dapat memberikan petunjuk bahwa Pura Luhur Batukaru dibangun pada zaman pemerintahan Raja Cri Masula-Masuli berkuasa di Bali
sejarah pura lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di Bukit Gamongan, pada puncak puncak bukit Bisbis atau Gunung Kembar di desa Purahayu, kecamatan Abang, kabupaten Karangasem. Jaraknya dari kota AmlaPura lebih kurang 22 km, arah keutara melalui Tirtagangga menuju desa Ngis di kecamatan Abang kemudian membelok ketimur langsung ke desa Purahayu. Kendaraan bermotor maupun dengan sepeda hanya bisa sampai di desa Ngis, kemudian berjalan kaki menuju desa Purahayu dan selanjutnya berjalan diatas bukit menuju Pura yang berada di puncak bukit Bisbis.
Perjalanan yang memakan waktu lebih kurang 3 jam itu cukup berat dan memayahkan, karena kadang-kadang menemui jalan yang sempit dan berjurang terjal, serta meanjak terus. Namun kepayahan itu dapat diimbali dengan indahnya panorama yang dapat dinikmati dari atas bukit selama pendakian itu. Lebih-lebih dari puncak Lempuyang pemandangan ke arah utara sangat indah, kelihatan pantai Amed dan desa Culik, ke Timur Gunung Seraya, ke Selatan kota AmlaPura, Candi Dasa, Padangbai dengan lautnya yang membiru dan ke Barat kelihatan desa-desa yang berada di bawah seperti Desa Ngis, Basang alas, Megatiga serta Gunung Agung yang nampak indah. Pura Lempuyang Luhur termasuk Pura Sad Kahyangan di Bali (Menurut Lontar Widisastra) yang juga merupakan kahyangan jagat yang termasuk salah satu dari "Pura-Pura" delapan penjuru angin di Pulau Bali.
Sejarah
Sangat Sulit untuk mengungkapkan sejarah Pura Lempuyang Luhur yang terletak di Bukit Gamongan Karangasem itu secara jelas, oleh karena data-data yang kuat sukar di dapatkan. Kesulitan lain lagi ialah sampai kini belum dijumpai "Purana" tentang Pura itu yang diharapkan dapat memberikan keterangan secara jelas.
Sementara itu baru diperoleh data-data mengenai Pura Lempuyang Luhur yang sifatnya tidak langsung, ialah keterangan dalam prasasti Sading C type :Tinulad" dan keterangan yang terdapat dalam lontar Kutarakandha Dewa Purana Bangsul.
1. Prasasti Sading C
Naskah turunan prasasti Sading C yang disimpan di Geria Mandhara Munggu, yang isinya menyebutkan sebagai berikut " Pada tahun 1072 Caka (1150) bulan ke-9 hari tanggal 12 bulan paroh terang, wuku julungpujut, ketika hari itu beliau Paduka Çri Maharaja Jayaçakti, merapatkan seluruh pemimpin perang. Karena beliau akan pergi ke bali karena disuruh oleh ayahnya yaitu Sang Hyang Guru yang bertujuan untuk membuat Pura (dharma) disana di Gunung Lempuyang, terutama sebagai penyelamat bumi bali, diikuti oleh pendeta Çiwa dan Budha serta mentri besar. Beliau juga disebut Maharaja Bima, yaitu Çri Bayu atau Çri Jaya atau Çri Gnijayaçakti."
2. Prasasti Kutarakanda DewaPurana Bangsul
Didalam Lontar Kutarakanda DewaPurana Bangsul lembar ke 3-5 koleksi Ida Pedande Gde Pemaron di Gria Mandhara Munggu Badung ada di singgung mengenai Lempuyang yang kutipannya kira-kira sebagai berikut " Demikianlah perkataan Sang Hyang Parameçwara kepada putra beliau para dewa sekalian, terutama sekali Sang Hyang Gnijayaçakti wahai anaknda, anda-anda para dewa sekalian, dengarkanlah perkataanku kepdada anda sekalian, hendaknya anda turun (datang) ke Pulau Bali menjaga pulau Bali, seraya anda menjadi dewa disana"
Dari kedua sumber tersebut diatas ada dua hal yang penting dapat diambil yaitu : Gunung Lempuyang dan Sang Hyang Gnijaya. Di dalam bahsa Jawa kata Lempuyang berarti "Gamongan" gunung Lempuyang berarti gunung gamongan atau bukit gamongan sebagaimana disebutkan dalam lontar Kusuma Dewa dan sampai sekarang masyarakat sekitar tempat itu menyebutkan bahwa Pura Lempuyang terletak di Bukit Gamongan disebelah timur kota Amlapura.
Fungsinya
Menurut Upadeca, bila dihubungkan dengan "Pura-Pura" Sad Kahyangan di Bali, maka Pura Lempuyang Luhur adalah termasuk salah satu diantaranya disamping lima Pura lainnya. Pura Lempuyang Luhur adalah kedudukan Dewa Içwara dan terletak di ufuk Timur penjuru mata angin di Bali. Hal ini dapat dihubungkan dengan Dewa Nawa Sanga beserta tempatnya dan senjatanya masing-masing. Jadi jelaslah bahwa Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai penjaga/pemelihara arah sebelah timur dengan dewa Içwara sebagai manefestasi Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun dewa yang dipuja adalah Bethara Agnijaya (Hyang Gnijaya) sebagai manefestasinya Hyang Widhi, oleh karena Bhtara Agnijaya disejajarkan fungsi serta peranannya dengan Brahma, Wisnu, Indara dan Shambu maka dapatlah dimengerti bahwa Bhatara Agnijaya adalah identik dengan Içwara yaitu Dewa Asthadhipalaka yang berada di penjuru Timur. Nama Sang Hyang Agnijaya yaitu putra dari Sang Hyang Parameçwara (maksudnya sebagai manefestasi dari Hyang Widhi) juga ada disebutkan di dalam Lontar DewaPurana Bangsul. Pura-Pura yang berada di Bukit Gamongan yang ada hubungannya dengan Pura Lempuyang Luhur adalah Pura Desa Purahayu, Pura Telaga Mas dan Pura Pasar Agung.
Pengemong
Pengemong Pura Lempuyang Luhur adalah seluruh anggota"krama Desa" dari desa Purahayu, sedangkan penyungsungnya adalah segenap masyarakat Bali yang beragama Hindu dan Masyarakat Hindu di pulau Lombok termasuk umat hindu di seluruh Indonesia serta masyarakat Tionghoa di Bali.
Piodalan
Upacara Piodalan Pura Lempuyang Luhur jatuh pada hari kemis Umanis wuku dungulan yakni setiap enam bulan bali sekali (210 hari). Adapun urutan upacara piodalan pada Pura Lempuyang Luhur adalah sama dengan upacara pada Pura Sad Khayangan lainnya.
Pemangku
Pura Lempuyang luhur mempunyai pemangku tersendiri dan bersifat turun temurun dari keluarga pemangku menurut garis keturunan patrilinial dannyatanya.
Suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan adalah didalam Pura Lempuyang luhur terdapat serumpun bambu jenis kecil. Setelah selesai menghaturkan bhakti batang pohon bambu itu dipotong oleh pemangku untuk mendapatkan tirta (disebut tirtha pingit) bagi setiap orang yang pedek tangkil ngaturang bhakti kesana. Tirta tersebut juga berfungsi sebagai Tritha Pengenteg-enteg yakni tirtha yang diapaki untuk Ngenteg Linggih baik di Pura-Pura, mrajan ataupun sanggah. Tetapi anehnya tidak selalu didalam batang bambu tersebut diketemukan air
Keturunan
De Pasek Lurah Kubayan
Adapun De Pasek Lurah Kubayan di Banjar Kubayan, Desa Nyambu, Tabanan, pada hari Senin Umanis, Wara
Sungsang, Sasih Karo, tahun Caka 1257 oleh Raja
Bali Sri Gajah Waktra (Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten) diangkat Amancabhumi (setingkat Gubernur) menguasai wilayah Bayad sampai dengan
Wangaya, dan menduduki jabatanKubayan di Batukaru dan Penulisan Selisihan Taro.
(terungkap dari sejarah yang tercantum antara lain pada ‘Purana Pura Besakih’ di mana pada bulan Juli tahun 1335
Masehi Raja Sri Aji Gajah Waktra melantik di Pura Besakih para pembantu Raja
yang disebut ‘Manca’ (setingkat Gubernur sekarang) beragama Siwa-Bodha, dengan
gelar Kiyai. Beliau para Manca itu, antara lain: Kiyai Agung Pangeran Tohjiwa,
Kiyai Agung Smaranatha, Kiyai Pangeran Bendesa Mas, danKiyai Agung Kubayan) dengan tugas selaku pengempon Pura Batukaru berkedudukan di Banjar Bendul, Desa
Wangayagde, Tabanan.
De Pasek Lurah Kubayan setelah berada di Banjar
Bendul, Desa Wangaya Gede menurunkan seorang anak laki-laki bernama Pasek Kubayan dan tetap tinggal di Banjar Bendul,
Desa Wangaya Gede.
Setiap jengkal tanah Bali
memiliki Nuansa relegius yang bernafaskan Hindu . Tak heran di setiap sudut
pulau bali dihiasi dengan parahyangan yang merupakan benteng
spiritual bagi umat Hindu di Bali. Dari sekian Benteng-benteng pura yang
menjaga kesucian pulau Bali , Pura Besakih sebagai Madyanikang Bhuana, kemudian
dikelilingi oleh sad kahyangan dan dang kahyangan yang berdiri di tempat
strategis dan terpilih. Pura di Bali mempunyai arti dan makna yang dalam,
adanya beberapa macam karakteristik pura dibali memiliki makna menyatukan umat
sesuai dengan pengelompokan sosialnya. Pura kawitan merukunkan dan
menyatukan umat menurut keluarganya, pura kahyangan desa menyatukan umat dalam
satu desa pakraman, pura swagina menyatukan umat dalam kesamaan profesi,
sedangkan pura kahyangan jagat menyatukan umat secara universal tanpa batasan
tertentu.
Secara administrative, Pura pasek
kubayan terletak di banjar Bendul, Desa Pakraman Wangaya Gede, Kecamatan
Penebel, Tabupaten Tabanan. Pura ini terletak tepat 2 km sebelum pura batukaru.
Untuk sampai di lokasi pura ini, kita dapat mengikuti jalur batukaru melalui
Wangaya Gede, kemudian sampai di Banjar Bendul, belok ke timur kurang lebih 200
meter melalui jalan jurusan Jatiluwih. Dari Kota Tabanan pura ini
berjarak kurang lebih 20 km, sedangkan dari Kota Denpasar kurang lebih 40 km.
Pada awal dibangun tahun 1257 caka, dulunya Pura Pasek Kubayan merupakan pura
dengan areal yang cukup sempit dengan pelinggih yang sederhana, setelah
beberapa kali mengalami perluasan dan pemugaran, diantaranya pada tahun 1957,
1981, dan terakhir tahun 2003, pura ini telah berubah total dengan tata
pelinggih yang ada seperti sekarang.
Selama ini masih banyak warga Pasek Kubayan yang rancu, bahkan belum mengetahui, di mana letak pura ini sebenarnya. Beberapa kalangan beranggapan bahwa Pura Pasek Kubayan terletak di Pura Batukaru. Menurut mangku pura, anggapan ini tentu sangatlah salah, karena tidak ada kawitan yang terletak di Pura Batukaru. Dengan luas sekitar 10 are, Pura Pasek Kubayan tampak asri dengan pelinggih pelinggih yang ada di dalamnya, ditunjang dengan alam sekitarnya yang tenang dan sejuk .
Sebagai simbul Bhuana, pura ini dikelilingi tembok batas pura yang membedakan areal suci pura dengan areal luar yang profan.Di Nista Mandala berdiri sebuah Bale Kulkul dan dua buah Bale terbuka yaitu Bale Gong dan Bale Dana Punia. Di depan Candi Bentar berdiri dua buah pelinggih yang merupakan pengapit lawang. Masuk ke Madya Mandala, kita akan melihat beberapa buah pelinggih yang berada di sisi timur. Jajaran pelinggih yang ada di halaman kedua ini disebut dengan Pamerajan Gede semeton pengarep. Beberapa buah pelinggih yang ada di mandala ini diantaranya adalah Pelinggih Dalem Kemimitan, Kemulan, Taksu , Dukuh Sakti, Ida Niang Penglurah dan Pelinggih Menjangan Seluang. Jajaran pelinggih pelinggih juga dilengkapi dengan bale pelengkap seperti Bale Tegak Gede dan Pesandekan di sisi barat.
Madya dan Utama Mandala dibatasi sebuah Candi Kurung sebagai pintu keluar masuk. Di Utama Mandala berdiri beberapa pelinggih yang tersusun, kental dengan nilai kesucian.Di sisi barat berdiri pelinggih Ratu Wayan kemudian pelinggih pokok linggih Ida Hyang Tumuwuh dan pelinggih Ratu De Made. Dua buah pengayatan juga menghiasi jeroan yaitu Pengayatan Pucak Kedaton dan Pengayatan Ratu Gede Batuaya. Di sisi selatan, berdiri pelinggih Manik Galih Rambut Sedana, Meru Tumpang Telu linggih Ida Bhatara Kawitan, dan sebuah Piyasan. Disamping pelinggih pokok, Utama juga dilengkapi dengan Piyasan, Bale Pelapah dan Bale Akit yang terletak di sisi barat.Penyiwi Pura Pasek Kubayan adalah umat Hindu, khususnya warga Pasek Kubayan yang berasal dari seluruh daerah di Bali. Sesuai dengan lokasinya, Penyiwi terbesar dari Pura Pasek Kubayan adalah dari daerah Wangaya Gede dan sekitarnya.
Pura Pasek Kubayan memiliki pengempon pengarep sebanyak 27 Kepala Keluarga yang berasal dari Banjar Bendul, dan kurang lebih 300 Kepala Keluarga pengabih yang ada di Wangaya Gede. Tatwa atau falsafah yang mendorong adanya upacara piodalan bersumber pada ajaran Tri Marga, yaitu Bhakti Marga dan Karma Marga dan Jnana Marga. Piodalan adalah upacara pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasiNya lewat sarana Pamerajan, Pura Kahyangan dengan ngelinggihang atau ngerekayang dalam hari hari tertentu. Hari piodalan suatu pura terkait dengan upacara peresmian pertama kali atau pemelaspas dan ngenteg linggih.
Perhitungan piodalan di Pura Pasek Kubayan dilaksanakan berdasarkan pawukon dan wewaran, sehingga piodalannya jatuh pada setiap 210 hari sekali. Tepatnya hari piodalan di Pura Pasek Kubayan jatuh pada hari Sukra Kliwon Watugunung, atau sehari sebelum Hari Saraswati.Biaya yang digunakan untuk melaksanakan piodalan , merupakan punia dari Penyiwi Bhakti Krama Pura Pasek Kubayan. Pura Pasek Kubayan yang terletak di kawasan suci Batukaru, merupakan Pura yang diyakini sebagai pemersatu dan sentral spritual warga Pasek Kubayan yang sampai saat ini masih tersebar di seluruh Bali. Suasana Pura yang tertata rapi dan asri, membuat kita merasakan nuansa keharmonisan, kental dengan aroma kesucian. Bila kita meluangkan waktu bersembahyang di Pura Pasek Kubayan kedamaian dan kesejukan rohani akan terasa hingga lubuk hati yang terdalam.,
Selama ini masih banyak warga Pasek Kubayan yang rancu, bahkan belum mengetahui, di mana letak pura ini sebenarnya. Beberapa kalangan beranggapan bahwa Pura Pasek Kubayan terletak di Pura Batukaru. Menurut mangku pura, anggapan ini tentu sangatlah salah, karena tidak ada kawitan yang terletak di Pura Batukaru. Dengan luas sekitar 10 are, Pura Pasek Kubayan tampak asri dengan pelinggih pelinggih yang ada di dalamnya, ditunjang dengan alam sekitarnya yang tenang dan sejuk .
Sebagai simbul Bhuana, pura ini dikelilingi tembok batas pura yang membedakan areal suci pura dengan areal luar yang profan.Di Nista Mandala berdiri sebuah Bale Kulkul dan dua buah Bale terbuka yaitu Bale Gong dan Bale Dana Punia. Di depan Candi Bentar berdiri dua buah pelinggih yang merupakan pengapit lawang. Masuk ke Madya Mandala, kita akan melihat beberapa buah pelinggih yang berada di sisi timur. Jajaran pelinggih yang ada di halaman kedua ini disebut dengan Pamerajan Gede semeton pengarep. Beberapa buah pelinggih yang ada di mandala ini diantaranya adalah Pelinggih Dalem Kemimitan, Kemulan, Taksu , Dukuh Sakti, Ida Niang Penglurah dan Pelinggih Menjangan Seluang. Jajaran pelinggih pelinggih juga dilengkapi dengan bale pelengkap seperti Bale Tegak Gede dan Pesandekan di sisi barat.
Madya dan Utama Mandala dibatasi sebuah Candi Kurung sebagai pintu keluar masuk. Di Utama Mandala berdiri beberapa pelinggih yang tersusun, kental dengan nilai kesucian.Di sisi barat berdiri pelinggih Ratu Wayan kemudian pelinggih pokok linggih Ida Hyang Tumuwuh dan pelinggih Ratu De Made. Dua buah pengayatan juga menghiasi jeroan yaitu Pengayatan Pucak Kedaton dan Pengayatan Ratu Gede Batuaya. Di sisi selatan, berdiri pelinggih Manik Galih Rambut Sedana, Meru Tumpang Telu linggih Ida Bhatara Kawitan, dan sebuah Piyasan. Disamping pelinggih pokok, Utama juga dilengkapi dengan Piyasan, Bale Pelapah dan Bale Akit yang terletak di sisi barat.Penyiwi Pura Pasek Kubayan adalah umat Hindu, khususnya warga Pasek Kubayan yang berasal dari seluruh daerah di Bali. Sesuai dengan lokasinya, Penyiwi terbesar dari Pura Pasek Kubayan adalah dari daerah Wangaya Gede dan sekitarnya.
Pura Pasek Kubayan memiliki pengempon pengarep sebanyak 27 Kepala Keluarga yang berasal dari Banjar Bendul, dan kurang lebih 300 Kepala Keluarga pengabih yang ada di Wangaya Gede. Tatwa atau falsafah yang mendorong adanya upacara piodalan bersumber pada ajaran Tri Marga, yaitu Bhakti Marga dan Karma Marga dan Jnana Marga. Piodalan adalah upacara pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasiNya lewat sarana Pamerajan, Pura Kahyangan dengan ngelinggihang atau ngerekayang dalam hari hari tertentu. Hari piodalan suatu pura terkait dengan upacara peresmian pertama kali atau pemelaspas dan ngenteg linggih.
Perhitungan piodalan di Pura Pasek Kubayan dilaksanakan berdasarkan pawukon dan wewaran, sehingga piodalannya jatuh pada setiap 210 hari sekali. Tepatnya hari piodalan di Pura Pasek Kubayan jatuh pada hari Sukra Kliwon Watugunung, atau sehari sebelum Hari Saraswati.Biaya yang digunakan untuk melaksanakan piodalan , merupakan punia dari Penyiwi Bhakti Krama Pura Pasek Kubayan. Pura Pasek Kubayan yang terletak di kawasan suci Batukaru, merupakan Pura yang diyakini sebagai pemersatu dan sentral spritual warga Pasek Kubayan yang sampai saat ini masih tersebar di seluruh Bali. Suasana Pura yang tertata rapi dan asri, membuat kita merasakan nuansa keharmonisan, kental dengan aroma kesucian. Bila kita meluangkan waktu bersembahyang di Pura Pasek Kubayan kedamaian dan kesejukan rohani akan terasa hingga lubuk hati yang terdalam.,
Sejarah Kawitan Di Bali
BINGUNG
MENCARI KAWITAN
·
Om Swatyastu ....
·
|
ung oleh Brahmana Mas, Brahmana Manuaba, Brahmana Kemenuh dan Brahmana Keniten. Dari segi historis Ratu Mas Magelung dan Pura Taman Limut dapat dibaca di Lontar Tamancangah Dalem Kraman, druwen Ida Pedanda Ketut , dari Geria Mas Taman Sari Sanur.
Ada hal unik di pura yang kini disungsung oleh pretisentana-nya
yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain mengucur tiga pancuran ditebing
dekat sungai, juga terdapat Lingga dan Shiva Karana (perlengkapan puja
ida peranda) . Sewaktu-waktu ada keanehan, bunyi genta terdengar tanpa ada
secasra sekala membunyikannya, jelas Wayan Warsa.
Kenapa pura ini disebut “Limut” ada hubungannya Ratu Mas
Megelung, beliau mampu mengubah dirinya menjadi “limun” atau “kabut asap”. Hal
itu dapat dilakukan karena ilmu yoganya yang sudah nasak alias mencapai tahap
tinggi. Demo itu diperlihatkan Ratu Mas Magelung ketika beliau kewalahan
meladeni serangan besar-besaran I Gusti Ngurah Mambal. Sejak peristiwa itu
kemudian dibangun Pura Hyang Limun atau yang terkenal sekarang dengn Pura Tama
Limut jelas Warsa menimpali.
Piodalan di pura yang diempon 80 kk Desa Pekraman Pengosekan ini
setiap enam bulan pada Buda Cemeng Menial. Biasanya ida betara nyejer selama
tiga hari.
Diyakini keberadaan pura ini makin memasyarakat sama halnya
dengan Pura Taman Pule dan Pura Buk Cabe di Mas. Sesungguhnya ketiga pura ini
memiliki keterkaitan, relasi spiritual yang erat. Kalau di pura-pura yang
lainnya merupakan gerianya, di Taman Limut adalah pesramannya.
BUMI MAS DISERANG SUKAWATI (1750)
Kira-kira dalam tahun 1750 Bumi Mas diserang oleh Kerajaan Sukawati, oleh karena Pangeran Bendesa Manik Mas tidak mau menyerahkan pusaka-pusakanya kepada Dalem Sukawati. Barang-barang pusaka dimaksud adalah pusaka leluhur Mojopahit yang dahulu diberikan oleh Ratu Mojopahit dan Patih Gajah Mada kepada Ki Patih Wulung sebagai penguasa Bali Aga Mojopahit. Pusaka itu terdiri dari keris, mahkota dan sebuah permata yang sangat dimuliakan bernama Menawa Ratna.
Penolakan Pangeran Bendesa Mas tersebut berdasarkan sebuah prasasti yang dahulu di keluarkan oleh Dalem Kresna Kepakisan (leluhur Dalem Sukawati) kepada Ki Patih Wulung, sewaktu patih ini diusir dari Gelgel ke Bumi Mas. Dalam prasasti ini antara lain di muat: "Kekayaan, harta benda, pusaka-pusaka dan lain-lain yang menjadi milik Bendesa Mas tidak boleh diambil atau dijarah/dikuasi untuk kerajan".
Dalem Sukawati tidak mengindahkan atau tidak memahami isi wisama ini, lalu Bumi Mas diserang dengan pasukan besar yang mengakibatkan terbunuhnya Sang Pangeran Bendesa Mas dan keluarganya menghilang dari Bumi Mas termasuk keluarga Brahmana Mas. Keluarga Bendesa Mas menjadi cerai berai dan mengungsi kesegala plosok pulau Bali, juga ke Gading Wani.
Kira-kira dalam tahun 1750 Bumi Mas diserang oleh Kerajaan Sukawati, oleh karena Pangeran Bendesa Manik Mas tidak mau menyerahkan pusaka-pusakanya kepada Dalem Sukawati. Barang-barang pusaka dimaksud adalah pusaka leluhur Mojopahit yang dahulu diberikan oleh Ratu Mojopahit dan Patih Gajah Mada kepada Ki Patih Wulung sebagai penguasa Bali Aga Mojopahit. Pusaka itu terdiri dari keris, mahkota dan sebuah permata yang sangat dimuliakan bernama Menawa Ratna.
Penolakan Pangeran Bendesa Mas tersebut berdasarkan sebuah prasasti yang dahulu di keluarkan oleh Dalem Kresna Kepakisan (leluhur Dalem Sukawati) kepada Ki Patih Wulung, sewaktu patih ini diusir dari Gelgel ke Bumi Mas. Dalam prasasti ini antara lain di muat: "Kekayaan, harta benda, pusaka-pusaka dan lain-lain yang menjadi milik Bendesa Mas tidak boleh diambil atau dijarah/dikuasi untuk kerajan".
Dalem Sukawati tidak mengindahkan atau tidak memahami isi wisama ini, lalu Bumi Mas diserang dengan pasukan besar yang mengakibatkan terbunuhnya Sang Pangeran Bendesa Mas dan keluarganya menghilang dari Bumi Mas termasuk keluarga Brahmana Mas. Keluarga Bendesa Mas menjadi cerai berai dan mengungsi kesegala plosok pulau Bali, juga ke Gading Wani.
Berpatokan pada sejarah di atas dan Gria Delod Peken Intaran Sanur
sebagai tempat pokok tersebarnya pretisentana Brahmana Mas, maka dapat diuraikan
sebagai berikut:
Keluarga Brahmana Mas yang mengungsi setelah serangan kerajaan
sukawati ke daerah Mas Ubud adalah Ida Ratu Mas Magelung yang pernah
berpesraman di Pengosekan yang sekarang dikenal dengan nama Pura Taman Limut.
Dan kemungkinan besar Ida Mas Ratu Magelung pulalah yang pernah
membuat gria di Beluangan yang sekarang dikenal dengan nama Pura Pemerajan
Brahmana Mas. Dimana saat itu Desa Beluangan merupakan wilayah kekuasaan Raja
Perean yang keturunan dari Arya Sentong. Dan atas permohonan I Gusti Ngurah
Kepandean yang menguasai Desa Intaran Sanur dan dibantu I Gusti
Pengumpian yang keturunan Arya Sentong Ida Mas Magelung dipendak dan dimohon
sudi membuat Gria di Intaran Sanur, sebab disana belum ada keluarga brahmana.
6 ADANYA KETURUNAN ARYA SENTONG DI DESA ADAT BELUANGAN
Lama kelamaan beliau berpuri didesa Parariyan sudah mempunyai rakyat 5000 lalu beliau
dinobatkan (mabiseka) dengan gelar I Gusti
Ngurah Pacung Gede beristana di Peryan.
Disebutkan I Gusti Ngurah Made Pacung dan I Gusti Ngurah Nyoman Pacung keduanya adalah saudara dari I Gusti Ngurah Pacung Gede masing-masing mendapat kawibawaan (jabatan).
Bahwa I Gusti Ngurah Pacung Gede mempunyai seorang raka, kemudian setelah I Gusti Ngurah Pacung Gede wafat, maka putranya ( I Gusti Ngurah Raka ) dinobatkan untuk menggantikan ayahnya bergelar I Gusti Ngurah Raka Pacung.
I Gusti Ngurah Gede Raka Pacung berputra seorang laki-laki bernama I Gusti Ngurah Putu Pacung, mengantikan ayahnya yang telah wafat.
I Gusti Putu Pacung berputra 2 orang nama, I Guti Ngurah Pacung Rai. Kemudian setelah I Gusti Ngurah Putu Pacung wafat di gantikan oleh putranya yang Tertua( I Gustu Ngurah Pacung Gede).
Bahwa I Gusti Ngurah Pacung Gede berputra 4 orang laki-laki
1. I Gusti Ngurah Pacung Sakti
2. I Gusti Ngurah Made Beleleng berdiam di Sembung dengan rakyat 800.
3. I Gusti Ngurah Nyoman Bayan berdiam di Bayan memegang rakyat 600
4. I Gusti Ngurah Ketut Babahan memegang rakyat 200.
Setelah I Gusti Ngurah Pacung Gede wafat dig anti oleh putranya bernama I Gusti Ngurah Pacung Sakti menduduki istana Peryan, beliau memperistrikan seseorang bernama I Gusti Luh Penatih mempuyai 7 orang putra, 6 laki-laki 1 perempuan, namanya:
1. I Guti Ngurah Pacung Gede
2. I Gusti Ngurah Rai
3. I Gusti Ngurah Abianbatuh
4. I Gusti Ngurah Nengah Abianbatuh
5. I Gustu Luh Abiantubuh
6. I Gusti Ngurah Tahunan dan
7. I Gusti Ngurah Bukian.
Bahwa I Gusti Ngurah Rai kedana oleh I Ngurah Pacung Gede oleh karma beliau tidak mempunyai keturunan dan I Gusti Ngurah Abiantubuh di dudukan selaku Manca memegang rakyat 200, I Gusti Ngurah Nengah Abiantubuh ditempatkandi Beluangan dengan rakyat 20 lantaran beliau sangat bodoh dan kesukaanya memelihara itik. I Gusti Ngurah Tahunan diberi kedudukan di Peryan menggurus rakyat 200. I Gusti Ngurah Bukian diberi kedudukan Manca di Peryan memegang rakyat 100. I Gusti Luh Abiantubuh diambil dipakai istri oleh I Gusti Ngurah Agung Gede Blambangan di Mengwi dan diganti namanya nenjadi I Gusti Luh Pacung mempunyai 2 orang anak:
1. I Gusti Ayu Pacung
2. I Gusti Agung Gede Pacung
Diceritakan selanjutnya, timbul murkanya I Gusti Ngurah Pacung Sakti terhadap saudaranya I Gusti Ngurah Babahan, semua rakyat di ambil oleh I Gusti Ngurah Pacung Sakti, dan I Gusti Ngurah Nyoman Bayan juga menggalami nasib yang sama, yang menyebabkan I Gusti Ngurah Nyoman Bayan pergi menggungsi ke Den Bukit dengan penggikut rakyat 400. lalu menggusi lagi ke Desa Patemon( daerah Buleleng). Dikatakan bahwa menurut cerita bahwa I Gusti Ngurah Pacung Sakti mempuyai seekor anjing bernama I Balang Uyang, sebab warna belangnya slalu berobah-obah menurut matahari, maka oleh karnanya I Belang Uyang sangat disayang pengaruhnya dan diandel setiap I Gusti Ngurah Pacung Sakti berburu.
Pada suatu hari bahwa I Gusti Ngurah Pacung Sakti sedang bersantap, bahwa I Belang Huyang yang selalu berada disampig beliau, melihat seekor binatng kelasih di atas tembok gedong lalu diterjangnya I Gusti Ngurah Pacung Sakti yang masih sedang santap, hal mana yang menimbulkan amarah I Gusti Ngurah Pacung Sakti , segera menembak I Belang Huyng dan seketka itu mati.
Setelah itu I Belang Huyang mati, barulah dilihat oleh I Gusti Ngurah Pacung sakti dad seekor kelesih diatas tembok gedong amatlah sedih hati beliau sambil memukul paha tentang tertembak matinya I Belang Huyang, dimana lantas beliau menyuruh hambanya menggubur bangkai anjing itu disebelah Barat daya Puri Peryan disertai dengan bebanten depungan upacara lengkap, pakaian satu rangsuk, satu barong gong Tirta penglepas dan sarwa prani, Demikianlah kuburan I Belang Huyang menjadi kramat(angker) hingga sekarang. Yang sekarang bernama MARGA LANGU.
Sesudah sekian lama di ceritakan bahwa I Gusti Ngurah Pacung Sakti marah kepada saudaranya bernama I Gusti Ngurah Buleleng di Sembung, sehingga masing masing dijaga oleh rakyatnya. Sesudah lebih dari tiga hari lamanya penjagaan dilakukan redalah amarahnya I Gusti Ngurah Pacung Sakti terhadap I Gusti Ngurah Buleleng, yang menyebabkan reda amarahnya I Gusti Ngurah Pacung Sakti karena tidak mampu menyerbu I Gusti Ngurah Buleleng, sebab I Gusti Ngurah Buleleng satu satunya yudha tertunggal di Peryan yang sangat diandalkan oleh I Gusti Ngurah Pacung Sakti, itulah rakyat penabengnya(tamengnya) diperintahkan pulang. Oleh karena demikian bahwa penjagaan di Bencingah Perian kosong,sedangkan penjagaan di Sembung masih tetap aktip atau siap tempur.
Diketahui penjagaan dibencingah Peryan sudah kosong, lalu pasukan I Gusti Buleleng memasuki Peryan. Teryata bahwa bencingah Peryan sudah di kosongkan, disitu lalu I Gusti Ngurah Buleleng mengerahkan pasukannya atau rakyatnya meyerbu ke puri, ditemui I Gusti Ngurah Pacung Sakti sedang berada di puri jaba tengah dapat ditewaskan dan mayat beliau ditimbuni dengan runtuh-runtuhan tembok, seketika itu meledaklah timbunan itu dan dilihat oleh rakyat banyak bahwa I Gusti Ngurah Pacung Sakti terbang menunggangi Nag Kaung kearah timur laut, memakai lancingan( kancut) geringsing wayang, lancingnya (kacutnya) engsut (tertinggal) diatas pohon bringgin didesa Tuka.
Demikian dapat dikatakan bahwa beliau memperoleh surga. Keesokan harinya, diceritakan bawa putra-putra dari I Gusti Ngrah Pacung Sakti yang berada di Peryan, tiada angan tinggal di Peryan lalu sama-sama meningalkan desa Peryan meninggalkan Kraton dan sebuah pemerajan yang ada disana yang kini disebut Pura Sari. Mereka menggungsi ke :
1. I Gusti Ngurah Pacung Gede menuju ke Payangan, diiringi oleh rakyat 400 kepala keluarga.
2. I Gusti Ngurah Rai ikut ke Payangan.
3. I Gusti Ngurah Bukian menuju ke Subamia-Tabanan dengan rakyat 100 kepala keluarga.
4. I Gusti Ngurah Tahunan menuju ke Bukian (Payangan) dengan rakyat 200 kepala keluarga dan berganti nama dengan nama I Gusti Ngurah Bukian.
5. I Gusti Ngurah Abianbatuh menuju ke Ubud dengan rakyat 200 kepala keluarga mohon perlindungan diri kepada I Gusti Sampalan.
6. I Gusti Ngurah Nengah Abiantubuh masih tinggal di Beluangan menghamba kepada pamannya I Gusti Ngurah Buleleng
Disebutkan I Gusti Ngurah Made Pacung dan I Gusti Ngurah Nyoman Pacung keduanya adalah saudara dari I Gusti Ngurah Pacung Gede masing-masing mendapat kawibawaan (jabatan).
Bahwa I Gusti Ngurah Pacung Gede mempunyai seorang raka, kemudian setelah I Gusti Ngurah Pacung Gede wafat, maka putranya ( I Gusti Ngurah Raka ) dinobatkan untuk menggantikan ayahnya bergelar I Gusti Ngurah Raka Pacung.
I Gusti Ngurah Gede Raka Pacung berputra seorang laki-laki bernama I Gusti Ngurah Putu Pacung, mengantikan ayahnya yang telah wafat.
I Gusti Putu Pacung berputra 2 orang nama, I Guti Ngurah Pacung Rai. Kemudian setelah I Gusti Ngurah Putu Pacung wafat di gantikan oleh putranya yang Tertua( I Gustu Ngurah Pacung Gede).
Bahwa I Gusti Ngurah Pacung Gede berputra 4 orang laki-laki
1. I Gusti Ngurah Pacung Sakti
2. I Gusti Ngurah Made Beleleng berdiam di Sembung dengan rakyat 800.
3. I Gusti Ngurah Nyoman Bayan berdiam di Bayan memegang rakyat 600
4. I Gusti Ngurah Ketut Babahan memegang rakyat 200.
Setelah I Gusti Ngurah Pacung Gede wafat dig anti oleh putranya bernama I Gusti Ngurah Pacung Sakti menduduki istana Peryan, beliau memperistrikan seseorang bernama I Gusti Luh Penatih mempuyai 7 orang putra, 6 laki-laki 1 perempuan, namanya:
1. I Guti Ngurah Pacung Gede
2. I Gusti Ngurah Rai
3. I Gusti Ngurah Abianbatuh
4. I Gusti Ngurah Nengah Abianbatuh
5. I Gustu Luh Abiantubuh
6. I Gusti Ngurah Tahunan dan
7. I Gusti Ngurah Bukian.
Bahwa I Gusti Ngurah Rai kedana oleh I Ngurah Pacung Gede oleh karma beliau tidak mempunyai keturunan dan I Gusti Ngurah Abiantubuh di dudukan selaku Manca memegang rakyat 200, I Gusti Ngurah Nengah Abiantubuh ditempatkandi Beluangan dengan rakyat 20 lantaran beliau sangat bodoh dan kesukaanya memelihara itik. I Gusti Ngurah Tahunan diberi kedudukan di Peryan menggurus rakyat 200. I Gusti Ngurah Bukian diberi kedudukan Manca di Peryan memegang rakyat 100. I Gusti Luh Abiantubuh diambil dipakai istri oleh I Gusti Ngurah Agung Gede Blambangan di Mengwi dan diganti namanya nenjadi I Gusti Luh Pacung mempunyai 2 orang anak:
1. I Gusti Ayu Pacung
2. I Gusti Agung Gede Pacung
Diceritakan selanjutnya, timbul murkanya I Gusti Ngurah Pacung Sakti terhadap saudaranya I Gusti Ngurah Babahan, semua rakyat di ambil oleh I Gusti Ngurah Pacung Sakti, dan I Gusti Ngurah Nyoman Bayan juga menggalami nasib yang sama, yang menyebabkan I Gusti Ngurah Nyoman Bayan pergi menggungsi ke Den Bukit dengan penggikut rakyat 400. lalu menggusi lagi ke Desa Patemon( daerah Buleleng). Dikatakan bahwa menurut cerita bahwa I Gusti Ngurah Pacung Sakti mempuyai seekor anjing bernama I Balang Uyang, sebab warna belangnya slalu berobah-obah menurut matahari, maka oleh karnanya I Belang Uyang sangat disayang pengaruhnya dan diandel setiap I Gusti Ngurah Pacung Sakti berburu.
Pada suatu hari bahwa I Gusti Ngurah Pacung Sakti sedang bersantap, bahwa I Belang Huyang yang selalu berada disampig beliau, melihat seekor binatng kelasih di atas tembok gedong lalu diterjangnya I Gusti Ngurah Pacung Sakti yang masih sedang santap, hal mana yang menimbulkan amarah I Gusti Ngurah Pacung Sakti , segera menembak I Belang Huyng dan seketka itu mati.
Setelah itu I Belang Huyang mati, barulah dilihat oleh I Gusti Ngurah Pacung sakti dad seekor kelesih diatas tembok gedong amatlah sedih hati beliau sambil memukul paha tentang tertembak matinya I Belang Huyang, dimana lantas beliau menyuruh hambanya menggubur bangkai anjing itu disebelah Barat daya Puri Peryan disertai dengan bebanten depungan upacara lengkap, pakaian satu rangsuk, satu barong gong Tirta penglepas dan sarwa prani, Demikianlah kuburan I Belang Huyang menjadi kramat(angker) hingga sekarang. Yang sekarang bernama MARGA LANGU.
Sesudah sekian lama di ceritakan bahwa I Gusti Ngurah Pacung Sakti marah kepada saudaranya bernama I Gusti Ngurah Buleleng di Sembung, sehingga masing masing dijaga oleh rakyatnya. Sesudah lebih dari tiga hari lamanya penjagaan dilakukan redalah amarahnya I Gusti Ngurah Pacung Sakti terhadap I Gusti Ngurah Buleleng, yang menyebabkan reda amarahnya I Gusti Ngurah Pacung Sakti karena tidak mampu menyerbu I Gusti Ngurah Buleleng, sebab I Gusti Ngurah Buleleng satu satunya yudha tertunggal di Peryan yang sangat diandalkan oleh I Gusti Ngurah Pacung Sakti, itulah rakyat penabengnya(tamengnya) diperintahkan pulang. Oleh karena demikian bahwa penjagaan di Bencingah Perian kosong,sedangkan penjagaan di Sembung masih tetap aktip atau siap tempur.
Diketahui penjagaan dibencingah Peryan sudah kosong, lalu pasukan I Gusti Buleleng memasuki Peryan. Teryata bahwa bencingah Peryan sudah di kosongkan, disitu lalu I Gusti Ngurah Buleleng mengerahkan pasukannya atau rakyatnya meyerbu ke puri, ditemui I Gusti Ngurah Pacung Sakti sedang berada di puri jaba tengah dapat ditewaskan dan mayat beliau ditimbuni dengan runtuh-runtuhan tembok, seketika itu meledaklah timbunan itu dan dilihat oleh rakyat banyak bahwa I Gusti Ngurah Pacung Sakti terbang menunggangi Nag Kaung kearah timur laut, memakai lancingan( kancut) geringsing wayang, lancingnya (kacutnya) engsut (tertinggal) diatas pohon bringgin didesa Tuka.
Demikian dapat dikatakan bahwa beliau memperoleh surga. Keesokan harinya, diceritakan bawa putra-putra dari I Gusti Ngrah Pacung Sakti yang berada di Peryan, tiada angan tinggal di Peryan lalu sama-sama meningalkan desa Peryan meninggalkan Kraton dan sebuah pemerajan yang ada disana yang kini disebut Pura Sari. Mereka menggungsi ke :
1. I Gusti Ngurah Pacung Gede menuju ke Payangan, diiringi oleh rakyat 400 kepala keluarga.
2. I Gusti Ngurah Rai ikut ke Payangan.
3. I Gusti Ngurah Bukian menuju ke Subamia-Tabanan dengan rakyat 100 kepala keluarga.
4. I Gusti Ngurah Tahunan menuju ke Bukian (Payangan) dengan rakyat 200 kepala keluarga dan berganti nama dengan nama I Gusti Ngurah Bukian.
5. I Gusti Ngurah Abianbatuh menuju ke Ubud dengan rakyat 200 kepala keluarga mohon perlindungan diri kepada I Gusti Sampalan.
6. I Gusti Ngurah Nengah Abiantubuh masih tinggal di Beluangan menghamba kepada pamannya I Gusti Ngurah Buleleng
DENGAN BERPATOKAN PADA PEMBAGIAN TEMPAT PARA ARYA YANG MEMBANTU
GAJAH MADA TERJADI PADA TAHUN 1343 MASEHI, KEMUNGKINAN BESAR KEBERADAAN IGUSTI
NGURAH NENGAH ABIANTUBUH DI BELUANGAN TERJADI SEKITAR TAHUN 1400 MASEHI
DARI SEJARAH DI ATAS DAPAT DITARIK KESIMPULAN BAHWA ORANG YANG
PERTAMA-TAMA MENEMPATI DESA ADAT BELUANGAN, DESA PEREAN KANGIN, KECAMATAN
BATURITI TABANAN ADALAH WARGA DARI PANJAK I GUSTI NGURAH NENGAH ABIANTUBUH
KETURUNAN ARYA SENTONG.
MENGENAI SOROH PASEK YANG ADA DI DESA ADAT BELUANGAN BERKAITAN
ERAT DENGAN 20 ORANG PANJAK YANG MENGIRINGI I GUSTI NENGAH ABIANTUBUH DI
BELUANGAN
DAPAT DISIMPULKAN PULA BAHWA WARGA YANG MENEMPATI DESA ADAT
BELUANGAN BUKANLAH “ TETATADAN/IRINGAN IDA BRAHMANA MAS”
Label: artikel
Sejarah dan Silsilah Raja-Raja Warga Prebali
Pada abad
ke-10 terjadi migrasi penduduk dari Thailand ke Indonesia. Mereka berasal dari
Kerajaan Champa, dengan Rajanya dari Dinasti Warman. Di Indonesia mulanya
mereka menetap di Kutai Kartanegara (Tenggarong), Kalimantan Timur. Sebagian
berpindah ke Palembang (Sumatra Selatan) dan ke Bali (Buleleng). Yang di
Buleleng mendirikan Kerajaan Singhadwala dengan istananya di Penyusuan
(sekarang berdiri Pura Penegil Dharma, Kubutambahan). Raja pertama adalah Sri
Kesari Warmadewa (913M – 955M).
Ketika
beliau digantikan oleh putra-putrinya bernama Sri Hari Tabanendra Warmadewa dan Sri Subadrika Warmadewa (955M
– 967M) istana
dipindahkan ke Serai (Kintamani), karena istana di Penyusuan sering diganggu
perompak/bajak laut.
Pemukiman
di Serai juga tidak lama, karena mereka menemukan daerah yang sangat subur di
selatan. Maka pada pemerintahan putranya bernama Sri
Candrabhayasingha Warmadewa (967M – 968M) istana dipindahkan ke Tampaksiring
(Gianyar)
Dari
Tampaksiring berpindah ke Bedahulu ketika Raja Sri
Janasadhu Warmadewa (968M – 983M) bertahta.
Istana
Bedahulu sebagai pusat pemerintahan terus dipertahankan oleh Raja Wijaya
Mahadewi (983M – 988M) sampai
ke anaknya yang bernama Sri Dharmodayana Warmadewa (Udayana). Beliau memerintah
bersama-sama permaisurinya: Sri Mahendradatta (Sri Gunapria
Dharmapatni (983M – 1011M)
Beliau
berputra dua orang; yang tua bernama Airlangga, dan adiknya: Anak
Wungsu. Pada tahun 1019 Airlangga peri ke Jawa Timur, sedangkan
adiknya tetap di Bali, namun istananya dipindahkan ke Tampaksiring. Beliau
bergelar Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja
Sthana Uttunggadewa (1072 M – 1098).
Antara
tahun 1011M – 1072M Bedahulu dikuasai oleh Raja lain yang bukan dari Dinasti
Warmadewa, bernama Sri Suradhipa.
Anak
Wungsu digantikan putranya bernama Sakala Indukirana Isanagunadharma
Laksmi Dharawijaya Uttunggadewi (1098M – 1133M)yang istananya
tetap di Tampaksiring.
Tahun
1133M sampai 1325M terjadi pergolakan dan peperangan yang menyebabkan istana
Bedahulu diduduki oleh Raja-Raja lain. Tahun 1325M keturunan Dinasti Warmadewa
bernama Dharma Uttungga Warmadewa berhasil merebut Bedahulu. Beliau
bertahta sampai tahun 1328M.
Raja-Raja
selanjutnya adalah Bhatara Sri Wala Jaya Kertaning Rat
(1328M – 1337M), dan Bhatara
Sri Asta Asura Ratnabumibanten (Sri Tapolung)bertahta sampai tahun 1343.
Inilah
Raja terakhir dari Singhadwala, yang dikalahkan oleh Majapahit. Sejak tahun
1343 Bali dikendalikan oleh penguasa sementara dari Majapahit bernama: Kiyai
Patih Wulung berkedudukan di Gelgel (Klungkung). Nama kerajaan adalah Bali
Dwipa.
Di zaman
pemerintahan Dalem Waturenggong (1460M – 1550M) Purohita (Pendeta Kerajaan)
bernama Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh (Ida Danghyang Nirartha). Atas nasihatnya
kepada Raja, administrasi kependudukan ditertibkan; lelintih (soroh) dan kasta
di tata kembali, dengan pembagian tugas/wewenang serta hak/kewajiban yang
jelas. Bagi penduduk yang masih ada hubungan kekeluargaan atau keturunan
langsung dari bekas Raja-Raja penguasa sebelum era penjajahan Majapahit, diberi
gelar/kasta “Prebali”
Penugrahan
Dalem Waturenggong kepada Warga Prebali antara lain:
- Upacara
atiwa-tiwa menggunakan tataning para ratu dengan bade tumpang 7, mekapas 9
warna, mabedawang nala, magaruda mungkur, maboma, magender salonding.
- Rerajahan Surat
Kajang jangkep seperti gambar terlampir.
- Menjadi Manca
dengan wewenang memungut pajak di wilayah tertentu.
Memimpin
upacara Panca Yadnya di lingkungan keluarga sendiri.
Silsilah Sri Kesari Warmadewa
Berdasarkan
Lontar Babad Arya di Gedong Kirtya Singaraja, Silsilah Sri Kesari Warmadewa
adalah sebagai berikut: Pada abad ke-4 di Campa, Muangthai bertahta Raja
Bhadawarman.
Beliau
diganti oleh anaknya bernama Manorathawarman, selanjutnya Rudrawarman. Anak
Rudrawarman bernama Mulawarman merantau, mendirikan kerajaan Kutai.
Mulawarman
diganti Aswawarman. Anaknya bernama Purnawarman mendirikan kerajaan Taruma
Negara. Anak Purnawarman bernama Mauli Warmadewa mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Anak
Mauli Warmadewa bernama Sri Kesari Warmadewa pergi ke Bali, pertama-tama
mendirikan Pura Merajan Salonding dan Dalem Puri di Besakih. Sri Kesari
Warmadewa diganti Cabdrabhaya Singha Warmadewa, diganti Wijaya Mahadewi,
diganti Udayana Warmadewa, menurunkan dua putra:
- Airlangga
- Anak Wungsu
Airlangga
pergi ke Jawa kemudian menurunkan:
- Sridewi Kili
Endang Suci
- Sri Jayabaya
- Sri Jayasabha
- Sira Arya Buru
Sri
Jayabhaya bertahta di Kediri, menurunkan:
- Sri Aji Dangdang
Gendis
- Sri Siwa Wandira
- Sri Jaya Kesuma
Sri
Jayasabha bertahta di Jenggala, berputra: Sira Aryeng Kediri
Sri Aji
Dangdang Gendis menurunkan: Sri Aji Jaya Katong, menjadi leluhur warga Arya
Gajah Para, Arya Getas, Arya Kanuruhan, dll.
Sri Siwa
Wandira menurunkan Sri Jaya Waringin, menjadi leluhur warga Arya Kubon Tubuh,
Arya Parembu, dll.
Sri Jaya
Kesuma menurunkan Sri Wira Kusuma, kemudian masuk Islam bergelar Raden Patah.
Sira
Aryeng Kediri menurunkan Sira Aryeng Kepakisan selanjutnya menurunkan Pangeran
Nyuh Aya dan Pangeran Asak. Kedua beliau menjadi leluhur warga Arya Kepakisan,
Arya Dauh Bale Agung, Kiyai nginte, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar