Jumat, 20 Februari 2015

Babad lan indik Pura di bali

Pada Purnama Kedasa. Sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.

SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad.

Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.

Zaman Bahari

Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.

''Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing, '' demikian sabda Hyang Pasupati. ''Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman, '' jawab ketiga putranya. ''Nanda jangan khawatir,'' tandas Hyang Pasupati. Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.

Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.

Purana Tatwa Batur

Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur -- Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.
Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru. ''Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?''

''Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda''. ''Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya. ''
Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra. ''Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?''.

''Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda''. ''Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang''.

''Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?''. ''Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci''. ''Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.'' Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ''Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?''. ''Hamba juga minta air suci''. ''Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.''

''Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?''. ''Nanda minta balai agung''. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya ''ah-ah, ah'', sehingga tempat itu disebut Basang Ah.

Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata: ''Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang''.

Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. ''Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak''. Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ''Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin''. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.

Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau berkata, ''Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini''.

Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata -- yang diartikan oleh masyarakat Batur ''gunung yang mendapat sinar matahari secara merata''.

Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.

* Jro Mangku I Ketut Riana

sumber: www.balipost.co.id
POSTED BY KETUT ADI CANDRA AT 15:05 1 COMMENTS
LABELS: ARTIKEL
Tinjauan Babad
Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur
Jumat (26/4) kemarin, bertepatan dengan Paing Dungulan adalah Purnama Kedasa. Sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.
SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad.
Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat
dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.
Zaman Bahari
Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.
''Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing,'' demikian sabda Hyang Pasupati. ''Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,'' jawab ketiga putranya. ''Nanda jangan khawatir,'' tandas Hyang Pasupati. Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara
Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.
Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.
Purana Tatwa Batur
Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur -- Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.
Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru. ''Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?''
''Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda''. ''Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya.''
Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra. ''Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?''.
''Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda''. ''Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang''.
''Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?''. ''Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci''. ''Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.'' Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ''Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?''. ''Hamba juga minta air suci''. ''Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat
ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.''
''Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?''. ''Nanda minta balai agung''. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya ''ah-ah, ah'', sehingga tempat itu disebut Basang Ah.
Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata: ''Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang''.
Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. ''Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak''. Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ''Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin''. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.
Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau berkata, ''Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini''.
Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata -- yang diartikan oleh masyarakat Batur ''gunung yang mendapat sinar matahari secara merata''.
Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.
* Jro Mangku I Ketut Riana
POSTED BY KETUT ADI CANDRA AT 15:00 1 COMMENTS
LABELS: ARTIKEL

Siapa yang dipuja atau distanakan pada suatu pelinggih atau parahyangan, tidak ada yang tahu secara pasti karena ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan pemujanya. Namun setidak-tidaknya awal keberadaan suatu bangunan pelinggih tentu ada maksud dari yang membuat yang bisa merupakan tempat pemujaan Hyang Widhi, Bhatara Kawitan, atau orang suci yang telah berjasa pada jamannya.

Jika kita hadir ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel, Klungkung, maka jika kita masuk ke utama mandala, maka setelah melewati gerbang dan belok kekiri, kita akan menjumpai pelinggih berupa Meru Tumpang Tiga yang merupakan tempat pemujaan Ratu Pasek. Juga jika kita hadir ke Pura Besakih dikomplek Parahyangan Leluhur, maka tepatnya di Pura Catur Lawa kita juga akan menjumpai pelinggih berupa Meru Tumpang Pitu yang juga tempat memuja Ratu Pasek. Lalu siapa Ratu Pasek ini?

Bangunan Meru Tumpang Tiga di Pura Dasar Bhuwana Gelgel adalah tempat memuja Mpu Ghana yang merupakan saudara ketiga dari Panca Tirta (Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah). Mpu Ghana penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari Senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara (Leluhur Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel) dibangun sebuah pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Di samping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu Warga Pasek, Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande.

Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian di Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu pelinggih untuk Danghyang Nirartha dan keturunannya, sehingga pura itu menjadi pusat penyungsungan empat warga.

Bagaimana dengan Ratu Pasek yang di Besakih? Beliau adalah Mpu Semeru, yang kedua dari Panca Tirta. Beliau adalah pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliau mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Di bekas parahyangan Mpu Semeru inilah sekarang berdiri Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih).

Kalau kita sudah ketahui siapa yang dimaksud Ratu Pasek ini, maka seharusnya seluruh pratisantana Sang Panca Tirta seperti: Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Gusti, Kayu Selem, dan lain-lain, wajib melakukan puja bakti di sini. Kenyataannya umat yang datang melakukan puja bakti kebanyakan adalah Semeton Pasek. Kenapa bisa begitu? Apakah karena disebut dengan Ratu Pasek, sehingga kesannya hanya untuk Semeton Pasek? Apakah mungkin diganti saja dengan nama beliau, yaitu Mpu Ghana dan Mpu Semeru?

Ada suatu kejadian terkait dengan hal di atas. Seorang kawan di Bali yang nama depannya “I Gusti” menyampaikan pada saya, bahwa ada larangan dari keluarganya untuk menyembah Pasek atau leluhur Pasek. Dia kemudian tertegun setelah saya katakan, bahwa leluhurnya beberapa tingkat dari garis perempuan (Pradana) bernama Ni Luh Pasek. Ada juga kawan saya yang kalau di Bali masih menyebut keluarga Brahmana mengatakan hal yang sama. Sayangnya saya belum sempat menyampaikan, bahwa salah seorang dari enam istri leluhurnya (Danghyang Nirartha) adalah keturunan Bendesa Mas yang adalah keturunan Pasek Gelgel. Pandangan seperti ini bukan hanya terjadi pada dua teman saya itu, tetapi sudah menjadi pendapat banyak orang khususnya di Bali, karena ketidak-tahuan mereka tentang keadaan yang sebenarnya.

Ini adalah keberhasilan politik masa lalu yang mengkotak-kotakkan manusia. Di samping itu banyak semeton Pasek di masa lalu yang tidak mau mengikuti jejak leluhurnya menjadi pemuka agama, dan mereka memilih menjadi petani bahkan menjadi abdi. Akibatnya cap Pasek dianggap rendah, dan akhirnya parhyangan Ratu Pasek pun seperti “dihindari” oleh sebagian orang.

Semeton Pasek banyak tangkil memuja Ratu Pasek karena secara kuantitas Semeton Pasek terbanyak di Bali. Jika saja orang Bali tetap bhakti kepada leluhurnya yang sejati, Ratu Pasek akan lebih banyak lagi dipuja umat, karena Beliau sejatinya adalah Panca Tirtha. Jadi bukan dihindari. Kini, pada saat bencana alam banyak terjadi di Negara kita seharusnya menyadarkan kita untuk lebih meningkatkan bhakti pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Mintalah petunjuk pada Hyang Widhi, dan minta juga restu dari Ratu Pasek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar