Napak tilas Batara
lelangit ring Bali
MAHA GOTRA
PASEK SANAK SAPTA RSI
Kembali kepada Mpu Gni Jaya yang menurunkan Sapta Rsi, kawitan (leluhur) langsung dari Maha Gotra Pasek, Tangkas dan Bendesa (MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI), yang juga merupakan kawitan (leluhur) langsung dari “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapretisentananya.
Mpu Gni Jaya mempunyai putra 7 orang atau yang sering disebut Sapta Rsi diantaranya :
MPU KETEK
Kembali kepada Mpu Gni Jaya yang menurunkan Sapta Rsi, kawitan (leluhur) langsung dari Maha Gotra Pasek, Tangkas dan Bendesa (MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI), yang juga merupakan kawitan (leluhur) langsung dari “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapretisentananya.
Mpu Gni Jaya mempunyai putra 7 orang atau yang sering disebut Sapta Rsi diantaranya :
MPU KETEK
Mpu
Ketek berputra 2 orang yaitu Sanghyang Pemacekan dan Arya Kepasekan. Sanghyang
Pemacekan juga berputra 2 orang, yang pertama Mpu Pemacekan kemudian pergi ke
Pasuruhan, lalu pindah ke Majapahit. Putra yang kedua adalah seorang putri
bernama Ni Dewi Girinatha. Sedangkan Arya Kepasekan juga mempunyai 2 orang
putra yaitu : Kyayi Agung Pemacekan dan Ni Luh Pasek. Mpu Pemacekan di
Majapahit mempunyai 3 orang putra yakni Ni Ayu Ler, Mpu Jiwanatha dan Arya
Pemacekan. Kemudian Kyayi Agung Pemacekan berputra 2 orang yaitu Kyayi Pasek
Gelgel dan Kyayi Pasek Denpasar. Mpu Jiwanatha mempunyai putra Kyayi Agung
Padang Subadra, lebih lanjut Arya Pemacekan mempunyai putra Ni Luh Pasek dan
Kyayi Agung Pemacekan. Kyayi Agung Pemacekan berputra Kyayi Agung Pasek Subadra
dan Kyayi Pasek Tohjiwa. Kedua putra beliau ini berperan pada awal jaman
Kerajaan Gelgel. Seterusnya Kyayi Agung Pasek Subadra berputra Pasek Subadra
menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Suladri, ia berasrama di Taman BaliBangli. Dan yang terkecil adalah
Pasek Kuru Badra. Kemudian Kyayi Pasek Tohjiwa berputra; Pasek Tohjiwa menjadi
tabeng wijang Kerajaan Gelgel, adik-adiknya adalah Pasek Tanggun Titi, Pasek
Penataan, Pasek Antasari, Pasek Alas Ukir, Pasek Langlang Linggah, Pasek
Besang, Pasek Duda, Pasek Wanagiri, Pasek Medaan, Pasek Bantiran, Pasek Pupuan
dan Pasek Sanda. Sedangkan Pasek Subrata menurunkan Pasek Subrata Bale Agung,
De Pasek Sadra, De Pasek Tawing dan De Pasek Mubutin. Dukuh Suladri di pesraman
Tamanbali menurunkan I Gde Pasek Sadri, Pasek Sadra yang menjadi Pandhita
bergelar Dukuh Sakti Pahang, Ni Luh Sadri diperistri oleh Sri Angga Tirtha
Ksatrya Tirtha Arum. Luh Sadra diambil oleh Dalem De Madya.
Sedangkan Pasek Kuru Badra menurunkan Pasek Padangrata di Padang. Pasek Subadra Bale Agung menurunkan De Pasek Subrata menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Sidawa menurunkan Gde Pasek Tulamben di Tulamben. Selanjutnya Dukuh Sidawa menurunkan Wayan Sibetan, Made Desa, Wayan Tubuh, De Pasek Subrata, Ia ikut pembrontakan I Gusti Agung Maruthi. Dukuh Sakti Pahang menurunkan Ni Luh Pasek Sadri dikawini oleh Kyayi Agung Anglurah Pinatih, yang kedua De Pasek Pahang, ia menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Titi Gantung, ia yang memperlihatkan kesaktiannya kepada Anglurah Pinatih Kasiman, sehingga akhirnya Anglurah Pinatih Kesiman mengungsi ke Desa Minggir daerahKarangasem, putra Dukuh Sakti Pahang yang ketiga adalah Pasek Sadri. Dukuh Titi Gantung menurunkan 3 anak yaitu Gurun De Pasek Sadra menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sampaga, putra yang kedua Gurun Made Sadri, sedangkan yang ketiga Gurun Nyoman Sadriya dan yang paling kecil bernama Dukuh Bukit Salulung. Dukuh Sampaga menurunkan dua putra yaitu Made Pacung Mengwi, dan yang kedua Pasek Munggu yang bergelar Dukuh Sampagi.
Sekian banyaknya keturunan Mpu Ketek, mereka masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Tohjiwa, Pasek Tangguntiti, Pasek Padang Subadra, Pasek Wanagiri, Dukuh Sakti Pahang, Dukuh Sampaga, Dukuh Sampagi, Dukuh Bukit Salulung sebagai jati dirinya, sebagai pertanda keturunan Mpu Ketek.
MPU KANANDA
Sedangkan Pasek Kuru Badra menurunkan Pasek Padangrata di Padang. Pasek Subadra Bale Agung menurunkan De Pasek Subrata menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Sidawa menurunkan Gde Pasek Tulamben di Tulamben. Selanjutnya Dukuh Sidawa menurunkan Wayan Sibetan, Made Desa, Wayan Tubuh, De Pasek Subrata, Ia ikut pembrontakan I Gusti Agung Maruthi. Dukuh Sakti Pahang menurunkan Ni Luh Pasek Sadri dikawini oleh Kyayi Agung Anglurah Pinatih, yang kedua De Pasek Pahang, ia menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Titi Gantung, ia yang memperlihatkan kesaktiannya kepada Anglurah Pinatih Kasiman, sehingga akhirnya Anglurah Pinatih Kesiman mengungsi ke Desa Minggir daerahKarangasem, putra Dukuh Sakti Pahang yang ketiga adalah Pasek Sadri. Dukuh Titi Gantung menurunkan 3 anak yaitu Gurun De Pasek Sadra menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sampaga, putra yang kedua Gurun Made Sadri, sedangkan yang ketiga Gurun Nyoman Sadriya dan yang paling kecil bernama Dukuh Bukit Salulung. Dukuh Sampaga menurunkan dua putra yaitu Made Pacung Mengwi, dan yang kedua Pasek Munggu yang bergelar Dukuh Sampagi.
Sekian banyaknya keturunan Mpu Ketek, mereka masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Tohjiwa, Pasek Tangguntiti, Pasek Padang Subadra, Pasek Wanagiri, Dukuh Sakti Pahang, Dukuh Sampaga, Dukuh Sampagi, Dukuh Bukit Salulung sebagai jati dirinya, sebagai pertanda keturunan Mpu Ketek.
MPU KANANDA
Mpu
Kananda hanya berputra seorang yaitu Sang Kula Dewa, menjadi Pandhita dengan
gelar Mpu Sweta Wijaya. Mpu Sweta Wijaya berputra 3 orang yaitu : Sang Kulputih
yang tertua bergelar Mpu Dwijaksara. Beliaulah yang menyusun pegangan “Seha”
atau “Anteban” buat para pemangku di Bali.
Pustaka suci ini bernama “Sang Kulputih”, putra yang kedua bernama Mpu Wira
Sang Kulputih pergi ke Pasuruhan. Putranya yang ketiga bernama Ni Arya Swani.
Mpu Wira Sang Kulputih berputra Ni Luh Sorga dan Ki Dukuh Sorga, ia pergi ke Bali. Inilah yang menurunkan para
Pemangku Kulputih di Besakih. Demikianlah keturunan Mpu Kananda yang
mempergunakan pungkusan Pasek Sorga.
MPU WIRADNYANA
Mpu
Wiradnyanapun berputra hanya seorang saja, yang bernama Mpu Wiranatha yang juga
bergelar Mpu Purwanatha. Beliau berasrama di hutan Tumapel, beliau berputra Mpu
Purwa dan Ken Dedes. Ken Dedes dipersunting oleh Tunggul Ametung sebelum
akhirnya dikawini oleh Ken Arok setelah dapat mengalahkan Tunggul Ametung,
inilah yang menurunkan Raja-raja Jawa selama 4 Abad. Mpu Purwa berputra Arya
Tatar dan Ni Swaranika. Arya Tatar pindah ke Bali dan mempunyai putra yang diberi nama
Ki Gusti Pasek Lurah Tatar dan Ni Rudani. Ki Gusti Pasek Lurah Tatar menurunkan
De Pasek Tatar yang kemudian menurunkan Pasek Tatar di Bali. Pungkusan Pasek Tatar diBali dengan keturunannya yaitu Pasek
Penataran, Pasek Tenganan, De Pasek Mangku Bale Agung, Pasek Bale Agung
Buleleng dan Pasek Pidpid. Sekian banyak keturunan Mpu Wiradnyana masing-masing
mempergunakan pungkusan Pasek Penataran, Pasek Tatar, Pasek Telengan dan Pasek
Pidpid.
MPU WITHADHARMA
MPU WITHADHARMA
Mpu
Withadharma mempunyai putra seorang bernama Mpu Wiradharma. Mpu Wiradharma
pergi ke Pasuruhan. Disana beliau berputra 3 orang yaitu: Mpu Lampita, Mpu
Pastika dan Mpu Pananda. Mpu Pastika dan Mpu Pananda nyukla Brahmacari (tidak
menikah seumur hidupnya) lalu pergi ke Bali.
Mpu Lampita berputra Mpu Dwijaksara. Beliau yang diminta oleh Patih Gajah Mada
ke Bali untuk meperbaiki Parhyangan-Parhyangan
di Bali agar orang-orang Bali Aga
menjadi senang dan tunduk kepada Kerajaan Majapahit. Beliau keBali diiringi oleh putra dan cucu-cucunya.
Putra satu-satunya beliau yang sudah tua yaitu Ki Patih Ulung. Ki Patih Ulung
beputra 2 orang yaitu Ki Bendesa Manik Mas dan Kyayi Gusti Smaranatha. Ki
Bendesa Manik Mas menurunkan Kyayi Bendesa Mas sedangkan Kyayi Gusti Smaranatha
berputra Ki Gusti Rare Angon yang selanjutnya beliau berputra Kyayi Agung Pasek
Gelgel. Beliau menjabat sebagai Raja diBali antara
tahun 1343-1350 Masehi sebelum Adipati Kresna Kepakisan datang ke Bali, didampingi oleh patihnya yaitu
Kyayi Padang Subadra.
Kyayi Bendesa Mas hanya mempunyai putri-putri saja, oleh karena itubeliau tidak mempunyai keturunan. Sedangkan yang banyak menurunkan adalah Kyayi Agung Pasek Gelgel dan Bendesa. Sekarang keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel yang berleluhur Mpu Withadharma tersebar di seluruh Bali, termasuk “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapratisentannya merupakan keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Demikianlah banyaknya keturunan Mpu Withadharma, masing-masing memakai nama Pasek Gelgel, Pasek Bandesa, Pasek Tangkas, Pasek Dukuh Bungaya dan Pasek Dukuh Subandi.
MPU RAGARUNTING
Kyayi Bendesa Mas hanya mempunyai putri-putri saja, oleh karena itubeliau tidak mempunyai keturunan. Sedangkan yang banyak menurunkan adalah Kyayi Agung Pasek Gelgel dan Bendesa. Sekarang keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel yang berleluhur Mpu Withadharma tersebar di seluruh Bali, termasuk “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapratisentannya merupakan keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Demikianlah banyaknya keturunan Mpu Withadharma, masing-masing memakai nama Pasek Gelgel, Pasek Bandesa, Pasek Tangkas, Pasek Dukuh Bungaya dan Pasek Dukuh Subandi.
MPU RAGARUNTING
Mpu
Ragarunting adalah Mpu yang kelima dari Sanak Sapta Rsi. Beliau berputra satu
orang bergelar Mpu Wira Runting atau nama lainnya Mpu Paramadaksa. Mpu
Paramadaksa pergi ke Pasuruhan, lalu kemudian ke Majapahit. Di sana beliau
berputra Mpu Wira Ragarunting dan Ni Ayu Wira Ragarunting, Ni Ayu Wira Runting.
Mpu Wira Ragarunting menurunkan De Pasek Lurah Kabayan, De Pasek Lurah Tutuwan, De Pasek Lurah Salahin. Ketiga putra-putri ini pergi ke Bali. De Pasek Lurah Kabayan menurunkan De Pasek Lurah Kabayan Wangaya dan De Pasek Kabayan Penebel. De Pasek Lurah Tutuwan kawin dengan Gunaraksa, putri Arya Timbul. Ia diputusi keluarga oleh saudara-saudaranya karena menyembah Arya Timbul alias Arya Buru, putra Prabhu Airlangga dengan seorang gadis gunung. Pasek Lurah Tutuwan ini berputra I Made Bendesa Banjar Crutcut. De Pasek Lurah Salahin menurunkan De Pasek Salahin Tojan. De Pasek Salahin Tojan menurunkan Bandesa Simpar, selanjutnya De Bandesa Simpar menurunkan I Wayan Kabayan Tulamben.
Demikianlah keturunan Mpu Ragarunting tersebar di Bali dengan pungkusan masing-masing diantaranya Pasek Salahin, Pasek Kubayan dan Pasek Tutuwan.
MPU PRATEKA
Mpu Wira Ragarunting menurunkan De Pasek Lurah Kabayan, De Pasek Lurah Tutuwan, De Pasek Lurah Salahin. Ketiga putra-putri ini pergi ke Bali. De Pasek Lurah Kabayan menurunkan De Pasek Lurah Kabayan Wangaya dan De Pasek Kabayan Penebel. De Pasek Lurah Tutuwan kawin dengan Gunaraksa, putri Arya Timbul. Ia diputusi keluarga oleh saudara-saudaranya karena menyembah Arya Timbul alias Arya Buru, putra Prabhu Airlangga dengan seorang gadis gunung. Pasek Lurah Tutuwan ini berputra I Made Bendesa Banjar Crutcut. De Pasek Lurah Salahin menurunkan De Pasek Salahin Tojan. De Pasek Salahin Tojan menurunkan Bandesa Simpar, selanjutnya De Bandesa Simpar menurunkan I Wayan Kabayan Tulamben.
Demikianlah keturunan Mpu Ragarunting tersebar di Bali dengan pungkusan masing-masing diantaranya Pasek Salahin, Pasek Kubayan dan Pasek Tutuwan.
MPU PRATEKA
Mpu
Prateka berputra seorang yaitu Mpu Pratekajnana atau disebut pula Mpu
Pratekayadnya, beliau juga pergi ke Pasuruhan. Disini Beliau berputra Sang
Prateka, Ni Ayu Swaranika dan Ni Ayu Kamareka. Sang Prateka berputra De Pasek
Kubakal, ia kembali keBalidan menurunkan De Pasek Pasaban, De Pasek Rendang, De
Pasek Nongan, De Pasek Prateka Akah, Ki Dukuh Gamongan dan Ki Dukuh Blatungan.
Ki Dukuh Gamongan menurunkan Ki Dukuh Gamongan Sakti dan Ki Dukuh Prateka
Batusesa. Sekianlah keturunan Mpu Preteka masing-masing dengan pungkusan Pasek
Prateka,Pasek Kubakal dengan pusat di Kubakal – Rendang, Pasek Dukuh Gamongan,
Pasek Dukuh Belatung dan Pasek Nongan.
MPU DANGKA
MPU DANGKA
Sama
halnya dengan Mpu Prateka, Mpu Dangka juga sedikit pratisentananya, beliau
berputra seorang yaitu Mpu Wira Dangkya, beliaupun pergi ke Pasuruhan kawin
dengan Dewi Sukerthi menurunkan tiga orang putra-putri yaitu : Sang Wira
Dangka, Ni Ayu Dangki dan Ni Ayu Dangka. Sang Wira Dangka juga kembali ke Bali, lalu menurunkan Ni Rudani, De
Pasek Lurah Kadangkan, De Pasek Lurah Ngukuhin dan De Pasek Lurah Gaduh. De
Pasek Lurah Kadangkan berputra I Pasek Taro, I Pasek Penida, I Pasek Bangbang
dan I Pasek Banjarangkan. Demikian juga De Pasek Lurah Ngukuhin berputra I
Pasek Nyalian, I Pasek Ngukuhin, I Pasek Pucangan, I Pasek Gaduh Blahbatuh dan
I Pasek Gaduh di Banjar Watugiling.
Demikianlah keturunan Mpu Dangka masing-masing membawa pungkusan Pasek Kedonganan, Pasek Kadangkan, Pasek Ngukuhin, Pasek Gaduh, Pasek Dangka, Pasek Penida dan Pasek Taro.
Demikianlah keturunan Mpu Dangka masing-masing membawa pungkusan Pasek Kedonganan, Pasek Kadangkan, Pasek Ngukuhin, Pasek Gaduh, Pasek Dangka, Pasek Penida dan Pasek Taro.
Babad Kebayan utawi Pasek Batukaru, Teges Prasasti Pasek Batukaru, Besakih Karangasem
Babad
Kebayan utawi Pasek Batukaru, Teges Prasasti Pasek Batukaru, Besakih
Karangasem.
ONG
Awighnam astu nama siddham. ONG suddha-suddha ya nama, pukulun pratisuddha ya
nama swäha.
Puniki
prasasti gagamelan I Gusti Prabali desa, sane mula wenang nincapang miwah
nguasayang tur nitah I Pasek Batukaru, rawuhing saupacaraning aci, tur dados
pangenter jagat, miwah pakandel ida Sang Naga Basukih, sane kabawosang dados
panembahan wong Bali maka sami. Sapunika bawos ida Bhatära Sang Näga Basukih,
sane malinggih ring jagat Bali.
Mangkin
kabawosang wenten sang nätha ratu Bali, sane ngamel jagat pinaka tedung jagat
Bali. Ida rawuh ka Bali duk rahina Budha Wage Kulawu, tanggal ping 11 sasih Kadasa.
Ida mawit saking tos Brähmana Wangbang, putran Bhatära Hyang Brahma sadaweg
wenten ring Sewambara. Sapunika indik pamijilan ida, sampunang kirang pangugu.
Caritayang mangkin ida sang nätha ratu Bali sane mawit saking tos Brähmana
Wangbang punika, ida nangun tapa ring gunung Andakasa, nemonin purnamaning
sasih Kapat, magenah ring alas Kasa. Irika ida prasiddha nangun tapa salami
pitung rahina.
Wus
panika, kasuwen-suwen wenten putran ida lanang adiri, mapaesengan sira Arya
Wangbang, sane dados nätha ratu ring Bali, mabhiseka : Ratu Pandita.
Kasuwen¬suwen Ida Sang Brahmana Wangbang nurunang putra lanang adiri,
mapesengan Sang Mpu Wiranätha. Ida sang Mpu Wiranätha nurunang putra lanang
adiri, mapesengan sang Mpu Wijäksara, sane dados suryan jagat baline.
Ida
sang Mpu Wijaksara nurunang putra lanang adiri mapesengan sang Mpu Jayasemadhi.
Sang Mpu Jayasemadhi turunang putra lanang adiri mapesengan Mpu Pastika. Ida
wikan pisan ring untenging samadhi, ida taler maparab sang Mpu Siddhyajnyana.
Ida nangun yoga ring guwa riksa, nemonin purnamaning sasih Kapat. Kasuwen¬suwen
ida nurunang putra lanang adiri, mapesengan Mpu Jayasemara. Mpu Jayasemara
nurunang putra lanang adiri mapesengan Mpu Jayawiratha. Ida nurunang putra
lanang adiri mapesengan Mpu Jayatatha. Ida sang Mpu Jayakatha prajnyan pisan
ring saanggah¬ungguhing upakara sane mamargi ring Jagat Bali, riantukan ida
mula pageh ngamong tatakramaning jagat. Kasuwen-suwen ida nurunang putra lanang
adiri mapesengan Mpu Nawäsika. Ida sang Mpu Nawasika nurunang putra lanang
adiri mapesengan Mpu Wirajaya. Ida sang Mpu Wirajaya ngambil rabi anak liyan,
raris nurunang putra mapesengan arya Banculuk. Sirärya Banculuk nurunang putra
lanang adiri, mapesengan sira Árya Pamacekan. Ida sane macekin jagate ring
Bali, raris kädegang Patih olih Ida Dalem, miwah ngamargiang upacaran Jagat
Baline. Kasuwen-suwen ida nurunang putra lanang kälih diri
Sane
duhuran mapesengan I Gusti Ngurah Padhamaran, sane alitan mapesengan I Ngusti
Ngurah Toya, malinggih ring Gianyar. I Gusti Ngurah Padhamaran nurunang putra
lanang adiri, mapesengan I Gusti Delod Yeh, amacekin ring Delod Yeh. I Gusti
Delod Yeh, nurunang putra lanang adiri mapesengan I Gusti Kajiwa. I Gusti
Kajiwa ngambil rabi kälih diri, saking Gelgel miwah saking Basukih.
Saking
rabine duhuran nurunang putra lanang adiri mapesengan I Gusti Gede Basukir,
amacekin ring Basukih. Saking rabine alitan sane mawit saking Gelgel, nurunang
putra lanang adiri mapesengan I Gusti Gelgel, amacekin ring Gelgel.
Dane I
Gusti Gede Basukir nurunang putra lanang adiri, mapesengan I Gusti Kabayan
Desa. Dane kuwasa munggah tedun ring pura riantukan dane mula pragusti tosning
brahmana, tereh surya Wangbang, pakandel Ida Sang Näga Basukih, rawuhing
sapratisantänan ida. I Gusti Kabayan Desa nepetin pisan pamargin upakarane,
minakädi acine ring Pura Desa, ring gunung Andakäsa, ring Gelgel miwah ring
Basukih, pamargin acine sami manggeh. Yan ring pura-pura panyungsungan
panembahan, ngeninin indik pamargin aci, sami kamargiang antuk dane I Gusti
Kabayan mawastu jagate prasida degdeg landuh.
Kasuwen-suwen
I Gusti Kabayan Desa nurunang putra lanang mawasta I Pasek Batukaru, sane
ngamel indik anggah-ungguh upacaraning wali ring Batukaru. Kasuwen-suwen I
Pasek Batukaru nurunang santana lanang tigang diri, mawasta I Pasek Batukahu, I
Pasek Gadingwani, miwah I Pasek Brejo, maka sami pada ngamong kawibhawan sareng
petang diri punika. Dane I Pasek Batukahu nurunang santäna lanang adiri mawasta
I Bandhesa Panuhunan. Kadi punika sane ring munggah prasästi miwah gagaduhan
druwene.
Salanturnya
I Pasek Batukaru mamanah nedunang Ida Dalem Batukaru ring Majapahit, riantukan
Jagat Baline sane taler mawasta Jagat Bangsul miwah ring Basukih tan wenten
sane ngamel. Punika ngawinang I Pasek Batukaru kasarengin antuk I Pasek Batukahu
raris pedek tangkil ka Majapahit. Tan kacarita ring margi, sampun reko napak
ring Majapahit. Munggwing daging atur Bane I Pasek Batukaru : “Inggih Ida
Dalem, titiang matur sisip ring palungguh Dalem, ledang ugi palungguh Dalem
ngampurayang atur titiange. Titiang ngaturin palungguh Dalem mangda ledang
tedun ka Bali, mangraris ngamel jagate ring Nusa Bangsul, miwah ring Basukih,
mangda wenten kasungsung antuk kramane ring Bali, mangda wenten pinaka
cundämani, mangda palungguh Dalem ngrahayuang jagate ring Bali, riantukan
putung nenten maderbe pamucuk. Sara ledang kayun palungguh Dalem manjakang
kramane ring Bali, titiang wantah nawegang matur sisip ring palungguh Dalem,
riantukan wantah palungguh Dalem sane patut nruwenang jagate ring Bali, ledang
ugi palungguh Dalem nglinggihin pinunas titiange, titiang misadia ngiringang
palungguh Dalem kasarengin antuk kula warga sami”.
Ngandika
Ida Dalem : “Nah yan keto, I Pasek Batukaru bareng I Pasek Batukahu, apanga
ngiringang manira lakar tedun ka Bali”. “Inggih, titiang misadia ngiringang
pakarsan palungguh Dalem, titiang pacang ngiringang pamargin Palungguh Dalem,
sareng itiang maderbe pianak ipun I Pasek Batukahu “.
Tan
dumade, Ida Dalem raris mamargi, kairing antuk bhagawanta, watek panditane sami
ngiring, para Arya, tan keni winilang akehnya sang ngiringang, Prabekel, maka
miwah kawula, minakädi mundut keris kawitan, sabusananing tedun mayudha, maka
miwah geringsing wayang, rawuhing räjabrana, samian ka pundut ka Bali.
Gelising
carita, sampun reko rawuh ring Bali, ring Linggärsapura, raris makarya puri,
rawuhing parhyangan, sane kawastanin Parhyangan Pangulun Jagat Bali. Maka
samine punika kakaryanin olih I Pasek Batukaru. Sang kalih nampanin palungguh
Dalem. Dane I Pasek Batukaru mawosin jagate sami ring Bali sareng dane I Pasek
Batukahu, mangda jagate sami rahayu. Yukti rahyu jagate ring Bali sapanyeneng
Ida Dalem. Pantun tahune nados, salwiring tinandur pada mentik tur nados,
salwiring sane patut tumbas mudah, antuk kawisesan palungguh Dalem, sampun prasida
njaya Satru, kabhaktinin miwah ikasayangang olih panjake, tan pendah Sang Hyang
Indra tedun ka jagate, anut ring sadaginging aji, miwah sästra saroddhrti,
nenten wênten bhaya pakewuh, sapanyeneng Ida Dalem. Samaliha sarwa kewehe
kalintang ajrih ring kaaktian Ida Dalem, miwah padanda Siwa Buddhanê tan mari
tampek ring Ida Dalem, sane maka sami sampun prasida ngasorang indriya, pituwi
sampun maraga tatwa miwah weda paraga, mawastu landuh jagate sapanyeneng Ida
Dalem ring Linggarsapura, katampanin antuk I Pasek Batukaru miwah I Pasek
Batukahu, makäwinan rahayu jagate ring Bali rawuh ring Basukih.
Sapunika
indiknyane, mawinan tan ambat-ambat sayang danene sareng kälih, I Pasek
Batukaru miwah I Pasek Batukahu, rehning mula dane ngaturang jagate ring Bali,
riantukan dane mula prajnyan ring daging sastra, duweg ngrawos, awinan sang
kälih kasayangang rawuhing para Aryane sami.
I
Pasek Bandhea Pamuhunan, ngedumang linggih para Aryane, Arya Kenceng
kalinggihang ring Tabanan, Arya Batan Jeruk kalinggihang ring Mangwi, Arya
Notor Wandira kalinggihang ring Tambangan, Arya Patandakan kalinggihang ring
Karangasem, Arya Kutawaringin kalinggihang ring Den Bukit utawi Buleleng. Sira
Arya Belog kalinggihang ring Kaba-kaba. Sami pada ngamong kaprabhon, makädinnya
Karangasem sane pinih ajeng. Yadyan Tabanan taler kaarepang antuk Ida Dalem,
sakewanten I Pasek Batukaru nampanin pangrawose sami ring Jagat Bali rawuh ring
Basukih. Yadiastun ring jerowan wantah dane sane ngisiang sarajabranane sami,
okan danene mandhesain ring Bali.
Sapunika
sane munggah sajeroning prasasti, mdasar pangonek sastra, sane patut
kasungsung, olih santänan ingsun sami, sane mawarga Pasek mwang Bandhesa, da
rered teken kawangsan, da marasa andapan teken sasamen manusa, rehning
sapratisantänan ingsun mula katurunan Brahmana Wangbang, elingang pisan piteket
ingsune, sampunang pisan lali ring kawitan miwah masameton. Wantah ingsun mula
kawitanta, sane ngawanang kita dumadi dados manusa, ingsun Brahmawangsa,
pandita jäti, sane nurunang I Pasek Batukaru muwah I Pasek Batukahu. Yan kita
tusing rungu teken piteket ingsune, kita tidong I Pasek Bandhesa Pamuhunan,
tidong santanan ingsun, tidong terehan Majapahit, keto piteket ingsun teken
cening ajak makejang. Yan cening pageh ngamong kapasekan, salampah laku muwah ring
dija ugi magenah, cening lakar manggih bagia rahayu, keto panadosannya, tan
kirang bhoga babuktian, panjang yusa, tan pakirang arthabrana, sugih tur Seger
oger. Yan cening tan sutindih ring kawitan, mogawastu cening mapiyak-piyakan
sajeroning tunggalan ceninge makejang. Anak kakaden nyama, nyama kakaden anak,
rehning tusing tindih teken kawitan, keto piteket ingsune teken cening ajak
makejang.
I
Pasek Gadingwani nurunang santana lanang mawasta I Pasek Pajengan, sane patut
ngamong gagaduhannya sami. I Pasek Gadingwani sareng okane, kalugra antuk
Dalem, ngamongin purane ring Basukih, sareng kalih ngamongin kärya
pangekadasarudran, pamargin käryane 100 warsa pangrawuh käryane punika, kärya
panca bali krama, 10 warsa pangrawuhnyane, pangodalane ngawarsa. Punika sane
kamongin antuk I Pasek Gadingwani mwang I Pasek Pajengan, rawuhing nguduhang
juru tabuh ngelingang Bhatära Sang Hyang Siyem.
Yan
munggwing daging upakära kärya, Ida Dalem sane ngwentenang, sakewanten I Pasek
Gadingwani mwang I Pasek Pajengan sane nguduh sang ngaturang ayah. Sang kälih
kaicen pangayah pada mitungatus, rawuhing juru sapuh ngsasih, sane mararesik
ring sapura-pura ring Basukih, tur kalugra mambil-ambilan miwah malap¬alapan
ring Basukih, rehning mula kawulan Dalem, jumenek ring Basukih, ngemit Ida
Bhatara ring Panataran Agung. Gebogan pakemite 80 diri, sara ledang kayune
malinggih irika, polih bhukti carik uritan atenah, magenah ring Kalianget. I
Pasek Pajengan polih bhukti carik uritan atenah, magenah ring Padengdengan. I
Pasek Batukahu kalugra ngelingang upakara piodalane ring Pura Batukaru miwah
ring Ida Bhatära Ratu Ayu ring Pamuhunan. Pujäwalin Ida Bhatära ring Pura
Batukaru, ring rahina Anggara Kliwon, Medangsia, kasuwen-suwen kakisidang ka
rahina Budha Umanis Dungulan. Pujäwalin Ratu Ayu ring Pamuhunan, ring rahina
Purnamaning sasih Kadasa. I Pasek Batukahu kaicen pangayah pitungatus diri
miwah bhukti carik uritan atenah magenah ring Auman. I Pasek Bandhesa
Pamuhunan, kalugra ngamangkwin ring Puseh, piodalan Idane ring rahina Budha
Wage Kulawu. Punika amongan I Pasek BandheSa Pamuhunan, kaicen pangayah satak
diri, miwah bhukti carik uritan atenah magenah ring Kuwum. I Pasek Batukaru
kaicen pangayah siyu diri, bhukti carik uritan asibak, magenah ring Piyak
Bhukti. Sametonê sami kaicen linggih antuk Ida Dalem, sane ngawinang jagat
baline rahayu, sapanyeneng Ida Dalem ring Basukih, tan wenten janma purun
malaksana corah, antuk kasiddhyan Ida Dalem, katampanin antuk I Pasek Batukahu,
kalaksanayang antuk I Bandhésa, riantukan saking dane ngaturang jagat Baline
ring Dalem, maka panghuluning Jagat Bali, mangda Jagat Baline rahayu,
kawiaktiannya sira I Pasek Batukaru nruwenang Jagat bali, awinan rep sirep
Jagat baline. Sapunika parindikannyane sand munggah ring Piagem puniki, yukti
sapunika, sampunang tuna pangugu, puniki prasätin I Pasek Gadingwani, sane
sandang katohin antuk Ida Bhatara Kawitan, sapratisantanan I Bandhesa muwah I
Pasek, eda meweh ngarepin wong katah, ingsun ngembanang cening. resepang tur
rasayang jeroning kayun ceninge, boya sangkaning ngadu ada, pituwi mula
agem-ageman ceninge. Sapunika panyeken Ida Bhatara Laluhur, sampun sami munggah
jeroning Prasasti miwah Piagem puniki, sane patut tohin saking mangkin rawuh
ring pungkur wekas. Yukti sapunika piteket Ida Bhatara Kawitan sane malinggih
ring jagat Sunya, micayang pawarah-warah ring pratisantänan Ida sami.
Mangkin
ngiring lanturang malih caritane, sampun suwe panyenengan Ida Dalem Bangsul,
ngaran : Bali. Ida madruwe putra kakalih, sane duhuran istri, sane alitan
lanang. Sane istri nyeneng agung ring Jagat Lombok. Munggwing êtangan jagate
sane kagamel antuk Ida Dalem wenten pitung pulo, inggih punika : Selaparang,
Sambhawa, Bugis, Makassar, Singapura, Brangbangan miwah Bali. Kadi punika akeh
pulo-pulone sane kagamel antuk Ida Dalem, sakewanten sami masewosan agama,
taler dane I BandheSa sand mawosin jagate sami, sane wenten ring Bali rawuh ka
Jawi. Munggwing gebogan panjake maka sami wenten pitung keti. Sapunika sane
munggah ring Aji Pamancangah, awinan I Pasek mwang I Bandhesa dados mandhesain,
rehning sang kälih mula wenang, apan mula tunggal maraga asiki. Yan pangangken
pasametonane tan dados ngangken maseton ming pat, ming telu. Pangangken
pasametonane wantah mamisan, pinih doh mamindon. I Pasek mwang I Bandhesa mula
wenang mujanggain. Sapratisantanan ingsun, yadiastun sabeloga, mangda eling
ring raga, sampunang lali mujanggain, sampunang lali ring sastra, rehning
punika mula patut karyanin, Sang Hyang Aji kabawosang päwakan bapa.
Yan
sang mujanggain seda, wenang nganggen panganggen ingsun, mawasta wadah
padmäsana, patulangane lembu, tatakan apine mabahan siya tebih, undag 5,
panganggène mangda sarwa putih, rikála nyiramang layone patut matatakan daun
pisang kaikik, makala, makajang, sästraning kajang : ANG UNG MANG, SA BA TA A
I, NANG MANG SING WANG YANG, RANG TRI, SAH AKRESYANG, nandhe rèsya, ONG
HRASANG, TRIYA bhujangga ya namah, sah klasa, SANG BANG TANG ANG ING ONG, ONG
MANG ANG, UNG YANG.
Toya
pangentase mangda nyucuk nunas ka Tunggang, tan dados kelidin, saratang pisan
makta suci asoroh, maguling bebek 1, daksina 1, sasantun sageneping sasantun,
inah 700, ring ida sang pandita sand ngrayonin yajnyane, taler nunas tirtha
pangentas, kanista, madhyama, uttama, kanista jinah 1700, madhyama jinah 4000,
uttama jinah 8000. Nunas tirtha ka Pura Dalem, masuci asoroh, sasantun
sageneping sasantun, jinah 500.
Yan ya
nu mawak walaka, mabeya, yogia mabade tumpang 7, magaruda mungkur, patulangane
sarupaning buron, Sara ledang kayune, makapas turut pitu, mahuncal kapas turut
pitu, maselag palendo magantih, matatakan api undag lima, nunas toya sampunang
ngelenin, sakadi inucap ring ajeng, ka Tunggang, ka Pura Dalem, sapunika
panyekene, sane munggah ring Prasati miwah Piagem puniki, rehning mula paican
Dalem, sapanganggen Dalem mantuk kalugra kanggen, rikálaning mabeya pati,
kanggen antuk I Pasek mwang I Bandhesa, relining mula mawit saking
Brahmanawangsa, tur dane sane ngênterang jagat Baline, Ida Dalem wantah nyeneng
kewanten, maka cundamani panyungsungan Jagat Bali. Pamekasnya I Pasek mwang I
Bandhesa sane mula waged mababwos, sakita arepe midabdabin jagate, tan wenten
sane purun piwal ring dane sang kälih, samaliha däna ring anak lacur, yadiastun
majeng ring ida sang pandita tan tuna ngaturang punia, rawuhing ring para
punggawa tan tuna maturan, awinannya sami nyayangang. Indike punika sane katama
antuk pratisantänane sami, mawastu manggih rahayu, luput tan keni papanjingan,
tan keni tategenan, tan keni ayahan, yan polih ngebug kori agung apisan ping
kälih ping tiga, katundung ka desane sane doh, yan apisan ping kälih,
kaampurayang ugi tan wenten iwang. Malih yan wenten para wesya, ngambil
santanane luh, yan rahayu pangambile sakadi ngambil papadan danene, masangkepan
bareng, yadiastun mabuncing mangda sareng kalih, yan tan sapunika yan wenten
ngalegayang, math alih, ajak nyamane makejang, di tongosne alih, yogia matiang,
takenang dumun lalintih kawitane apang tawang, yan I Bandhesa, pituwi I Pasek,
serepang lalintih kawitane. Yan ya ngaku nyama, yan tusing tawang kawitane,
alih serepang, da sayang tekên jiwa, sawireh yan ada anak tan pakawitan, tan
patereh, tidong mänusa, ngaku-aku terehing Pasek, yan tusing ngisi piagem, tan
pendah wawalungan, ngaku-aku tan pabhukti, kadi punika sane munggah ring Aji
Pamaricangah.
Yan
bwat kacuntakan, yening rare durung kepus punsed lampus, cuntakannya abulan
pitung rahina. Yening sampun kepus pungsed lampus, cuntakannya 21 rahina.
Yening tuha bajang lampus, cuntakannya 21 rahina. Sapunika tatinasan piteket
ingsune ring kita, ane ngranayang kita manggih bagia ring dija ugi magenah,
salampah laku pada sadia, prasida ngisi gumi, byuhing wadwa, siddhi ngucap, wak
bajra, ONG ANG UNG, UNG AH, nama. siddhi, rehning kita mula santänan ingsun, I
Pasek Bandhesa, ane ngenterang gumi Baline rawuh ka Basukih. Samaliha mula
saking kuna, nibakang tatepasan iwang patut. Kadi punika sane munggah ring
Prasasti Piagem puniki. Mangkin wenten warah-warah ingsun, yan kita ngwangun
kahyangan marupa Paibon, napike marupa Babaturan, palinggih rong tiga,
palinggan Ida Mpu Tri Bhuwana. Wenten gedong manjangan saluwang, palinggan Ida
Mpu Kuturan, wenten gedong rong tiga, palinggan Ida Sang Hyang Tiga, Brahmä,
Wisnu, iswara, wenten bale tegeh saka pat, palinggan Ida Mpu Pangrurah, wenten
gedong jampel, palinggan Ida Mpu Magata Magati, wenten sanggar agung, palinggan
Ida Bhatara Sinuhun ring Gunung Agung, wenten gedong pasimpenan, aturane ring
kahyangan, wenten gedong singhasari, genah sarwa lewih minakadi manik-manik,
sane kakasubang olih ida panembahan.
Puniki
Surat kajang panguripan ring kahyangan, hala lawan hayu, hayu lawan hala :
MRONG ONG MANG NANG ONG ANG MANG, ANG MANG ANG.
Kadi
punika sane munggah ring pratiti likita Pamaricangah, I Pasek wenang nyembah
Kawitan, ring Ida Mpu Kuturan, Mpu Ragarunting, Mpu Ajnyana, Mpu Hawan, Mpu
Wuluwatu, Mpu Pradah, Mpu Kawitan, Mpu Siwagandu, Mpu Pamanisan, Mpu Dalem
Blangbangan, Mpu Sakti, Mpu Tirthägama, Mpu Wisesa, Mpu Aji Guru Tunggal, Mpu
Padungya, Mpu Mahismara, Mpu Brahmä, Mpu Wisnu, Mpu Brahmä Singhawatu, kadi
punika katatwan panembahan, ägama-ägama, kahyangan ring Bali, wenten kahyangan
ring Paibon, asing-asing nyembah patut mapapegat, nangken purnama tilem, sang
jati tindih ring Kawitan, wenten pralingga ring kahyangan. Pamargin agamane
ring Bali, kapatindihin ring tunggaalannya sowang-sowang. Sajeroning
ngamargiang Agama Tirtha, wenten nunas tirtha ring ida padanda brähmana. Yan I
Pasek mrabekelin, anyaksain, ngelihan Desa, patut nunas titha ring ida padanda
Buddha. Yan ngubayanin, angrurahin, nyedahan desa, majengin, patut nunas tirtha
ring ida padanda Mäs. Yan dados pamangku, panyarikan patut nunas tirtha ring
ida Bhujangga Sakti. Yan magama nukuhin, amacekin, patut nunas tirtha ring ida
Padanda Kamenuh. Kadi punika warah¬-warah I Pasek rikala nunas tirtha ring sang
brähmana sane mungguh ring likita pamaricangah puniki. Kabawos uttama, rehning
ida sang brahmana sane patut kaharepang pisan olih I Pasek, sajeroning
pamargine nangun karya hayu lawan hala, ida sang brahmana sane patut
mrayaScittain I Pasek sajeroning hala hayu, tindihin ugi pamargin
ägama
Tirthane, minakädi nunas tirtha ring ida padanda sane sampun putusing yan ring
sang maraga resi, taler patut aturin sajangkepa, manut tatakramane ring Bali,
asing¬asing patut tanggungang antuk mräyascitta hala hayu, salwir sane wenten
ring Bali, ring luhur ring sor, saking pikamkam Ida Mpu Kuturan, nulad
pidabdabê ring Majapahit, tri näma jätining brähmana, saking titah Ida Bhatära
Brahmä, karagayang olih Ida Mpu Tribhuwana, kapisekenang malih olih Sang Hyang
Tiga, rawuh kabenjang pungkur, rawuhing pratisantänane, mangda sampunang ngawag
makaukan. Patut tur wenang ngangge asing sungkemin, sane paling kelih yogia
anggen pamucuk, marep ring I Pasek. Indike ngawe kapetengan boya tunggal, wasta
pada wasta, santäna pada kasantana, kalugra pada kalugra, ägama pada agama,
mukti pada mukti, panjak pada panjak, malantaran polih paswecan Dalem, miwah
brähmana, para ärya, satriya, para ratu, sane nyeneng ring Bali, mangda sampun
jeg ngaku patut tur wenang, sane sudi wantah sang ngamong gagaduhan panugrahan
Ida Dalem, punika maka bhukti pinih kelih, patut piturut sareng sami, sane
nénten ngamel gagaduhan, tan patut sareng-sareng, ngaku-aku tan pabhukti, tur
wenten pamikukuh marupa likita, gagaduhan paican Dalem, ring I Pasek Bandhesa.
Asapunika sane munggah sajeroning parasasti saha cap Dalem Batukaru, jatining
panugrahan ida sang mahämuni, sampunang tuna pangugu, sampunang tan pärcaya,
sampun tan kémad ring kawitanta, ida puniki sane mapesengan Bhatära Katon, sane
ngwentenang cening.
Yan
cening tuna pangugu, cawuh, tan sutindih ring piagem puniki, janten kapastu
olih Bhatära Kawitan, ANG UNG MANG, wastu wastu pari wastu, mentik punggel,
macarang empak, tan hana amanggih rahayu, tunggalanya, katonya anak, kapastu de
Bhatära Kawitan, ONG hisep, ANG hisep, MANG hisep, sapunika pamastun Ida
Bhatara Kawitan.
Cening
patut eling nyembah ingsun ring Pura Batukaru, apan pamuspan ingsun ring
luhuring Watukaru, saha bhukti tanah ring Belong, apan ingsun polih paica
saking Dalem. Ingsun jatining I Pasek Batukaru, mapangarah ring pratisantänane
sami, ONG suka wreddhi prajnyan santäna wahu awêt ehet, ANG UNG MANG, suka
sriya dirghayusa, ingsun jäti mapangarah ring santänan ingsun sami, sampunang
obah ring tereh kawangsan dane I Pasek Batukaru.
Munggwing
Ida Dalem Tarukan, sane mapuri ring Bungha, katurin rabi antuk dane I Dukuh
Bungha, okan dane I Dukuh Bungha, mapesengan jero Sekar, nurunang putra lanang
adiri, mapesêng I Gusti Gede Bandhem. Ida Dalem Tarukan ngamel rencange ring
Tiyanyar, Belong, Presandaya, Lebah, rawuh ring Kubu Poh Tebel.
Sasampunnya
suwé malinggih ring Bungha, wênten pakarsan Ida Dalem Tarukan pacang kesah ka Taruk,
raris ngandika ring putrane I Gusti Gede Bandhem, mangda ngaturin santanan dane
Arya Pamacekan, sane mawasta I Pasek Batukaru, riantukan jagate ring Belong
suwung.
Irika
raris I Gusti Gede Bandhem digelis lunga ka Basukih. Tan kacarita ring margi,
sasampunnya napak ring Basukih, raris ngandika ring I Pasek Batukaru : “Uduh
Paman Pasek, titiang nyuwun wacanan Ida Dalem, mangda Paman tangkil ka puri
Bungha, rêhning jagate ring Belong suwung”. I Pasek Batukaru nyawais : “Inggih
yan asapunika, titiang ngiring pangandikan I Gusti”. Wus punika raris mamargi
ka Bungha. Tan kacarita ring margi, digelis reko napak ring Bungha, raris pedek
tangkil ring Ida Dalem : ” Pukuhin palunggih Dalem, titiang pedek tangkil ring
buk padan cokor i dewa”. Ida Dalem raris ngandika : “Uduh Paman Pasek, wireh
gumine di Belong suwung, jani ace mapangidihan teken Paman, nguduh Paman
macekin mwah ngisiang guminê ditu teked ka Pura Batukaru”. Riantukan
pangandikan Ida Dalem sampun katampa antuk I Pasek Batukaru, irika raris I Pasek
Batukaru ngamel jagate ring belong rawuh ring Pura Batukaru, ngamargiang
piodalan ring Pura Batukaru rawuh ring piodalan Ida Bhatara Ratu Ayu ring
Pamuhunan. Degdeg reko jagate ring Belong réhning sampun kapacekin antuk I
Pasek Batukaru.
Keto
piseken ingsun teken santanan ingsun makejang, teked ka pungkur maka
kayang-kayang, apan mula panugrahan Dalem Tarukan mwah panugrahan Ida Dalem
Baturénggong. Kéto wibhawané I Pasek Batukaru, da obah, da ima, teken kawitan,
kéto piseken ingsun. ONG SA BA TA A I NA MA SI WA YA, ONG ya nama swraha.
Caritayang
mangkin Ida Dalem Tarukan malih katuran rabi olih I Dukuh Dharmaji, mapesengan
Jero Dangin, madruwe putra lanang adiri mapesengan I Gusti Gede Dangin. Ida
Dalem Tarukan raris késah ka Tarukan tumuli jenek linggih irika tur sampun reko
lami nyeneng ring Panarukan.
Sapunika
piseken Dalem, sampunang tuna pangugu ring katatwan gagaduhan puniki sane
munggah sajeroning surat. Sapunika tatinasannyané, réhning puniki mula
gagaduhan muwah pamaricangah druwéné. ONG ya nama siddham. Iki gagaduhan I
Pasek Batukaru.
OM
Shanti, Shanti, Shanti Om
Isi
Singkat Prasasti Pasek Batukaru
|
||||||||||||||
|
Keturunan De Pasek Lurah Kubayan
Adapun De
Pasek Lurah Kubayan di Banjar
Kubayan, Desa Nyambu, Tabanan, pada hari Senin Umanis, Wara
Sungsang, Sasih Karo, tahun Caka 1257 oleh Raja Bali Sri Gajah Waktra
(Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten) diangkat Amancabhumi (setingkat Gubernur) menguasai wilayah Bayad sampai dengan Wangaya, dan menduduki
jabatan Kubayan di Batukaru
dan Penulisan Selisihan Taro. (terungkap dari sejarah yang tercantum antara
lain pada ‘Purana Pura Besakih’ di
mana pada bulan Juli tahun 1335 Masehi Raja Sri Aji Gajah Waktra melantik di
Pura Besakih para pembantu Raja yang disebut ‘Manca’ (setingkat Gubernur
sekarang) beragama Siwa-Bodha, dengan gelar Kiyai. Beliau para Manca itu, antara lain:
Kiyai Agung Pangeran Tohjiwa, Kiyai Agung Smaranatha, Kiyai Pangeran Bendesa
Mas, danKiyai Agung Kubayan) dengan tugas selaku pengempon Pura Batukaru berkedudukan di Banjar Bendul, Desa
Wangayagde, Tabanan.
De Pasek Lurah Kubayan setelah berada di Banjar
Bendul, Desa Wangaya gde menurunkan seorang anak laki-laki bernama Pasek Kubayandan tetap tinggal
di Banjar Bendul, Desa Wangayadge
angkit
Bersatu Pasek Batukatu
Setiap
tahun umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi.
Tapi sudahkan semeton mengetahui sejarah lahirnya Hari Raya Nyepi itu sendiri?
Ijinkan kali ini moderator berbagi cerita tentang sejarah Hari Raya Nyepi yang moderator
kutip dari beberapa sumber, berikut uraiannya.
Di
awal abad masehi bahkan sebelumnya, Negeri India dan wilayah sekitarnya digambarkan selalu
mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan.
Pertikaian
antar suku-suku bangsa, al. (Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan
Malaya) menang dan kalah silih berganti. Gelombang perebutan kekuasaan antar
suku menyebabkan terombang-ambingnya kehidupan beragama itu. Pola pembinaan
kehidupan beragama menjadi beragam, baik karena kepengikutan umat terhadap
kelompok-kelompok suku bangsa, maupun karena adanya penafsiran yang saling
berbeda terhadap ajaran yang diyakini.
Dan
pertikaian yang panjang pada akhirnya suku Saka menjadi pemenang dibawah
pimpinan Raja Kaniskha I yang dinobatkan menjadi Raja dan turunan Saka
tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi.
tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi.
Dari sini dapat diketahui bahwa
peringatan pergantian tarikh saka adalah hari keberhasilan kepemimpinan Raja
Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang
saling berbeda.
Sejak
tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun Saka,
yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya
disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tarikh Masehi dan Sasih
Kesanga dalam tarikh Jawa dan Bali diIndonesia. Sejak itu pula kehidupan bernegara,
bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang.
Oleh
karena itu peringatan Tahun Baru Saka
bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan
(persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari
kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan keseluruh daratan India
dan Asia lainnya bahkan sampai ke Indonesia.
Kehadiran Sang Pendeta Saka bergelar
Aji Saka tiba di Jawa di Desa Waru Rembang Jawa Tengah tahun 456 Masehi, dimana
pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah berumur 4,5 abad.
Dinyatakan Sang Aji Saka disamping
telah berhasil mensosialisasikan peringatan pergantian tahun saka ini, jüga dan
peristiwa yang dialami dua orang punakawan! pengiring atau caraka beliau
diriwayatkan lahirnya aksara Jawa onocoroko doto sowolo mogobongo padojoyonyo.
Karena Aji Saka diiringi dua orang punakawan yang sama-sama setia, samasama
sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam mempertahankan kebenaran demi
pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.
Rangkaian
peringatan Pergantian Tahun Saka
Peringatan tahun Saka di Indonesia dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :
Peringatan tahun Saka di Indonesia dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :
1.
Upacara melasti, mekiyis dan melis
Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena.sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan).
Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena.sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan).
2.
Menghaturkan bhakti/pemujaan
Di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.
Di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.
3.
Tawur Agung/mecaru
Di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit).
Di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit).
Dilanjutkan pula dengan acara
ngerupuk/mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan lingkungan dari
pengaruh bhutakala. Belakangan acara ngerupuk disertai juga dengan ogoh-ogoh
(symbol bhutakala) sebagai kreativitas seni dan gelar budaya serta simbolisasi
bhutakala yang akan disomyakan. (Namun terkadang sifat bhutanya masih tersisa
pada orangnya).
4.
Nyepi (Sipeng)
Dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan).
Dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan).
5.
Ngembak Geni. Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di
lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas
diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini.
Yadnya dilaksanakan karena kita ingin
mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan : Pratena diksam
apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam
apyate.
Artinya : Melalui pengabdian/yadnya
kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat kemuliaan. Dengan
kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita memperoleh
kebenaran.
Sesungguhnya seluruh rangkaian Nyepi
dalam rangka memperingati pergantian tahun baru saka itu adalah sebuah dialog
spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan
harmonis serta sejahtera dan damai. Mekiyis dan nyejer/ngaturang bakti di Balai
Agung adalah dialog spiritual manusia dengan alam dan Tuhan Yang Maha Esa,
dengan segala manifetasi-Nya serta para leluhur yang telah disucikan. Tawur
Agung dengan segala rangkaiannya adalah dialog spiritual manusia dengan alam
sekitar para bhuta demi keseimbangan bhuana agung bhuana alit.
Pelaksanaan catur brata penyepian
merupakan dialog spiritual antara diru sejati (Sang Atma) seseorang umat dengan
sang pendipta (Paramatma) Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam diri manusia ada
sang diri /atrnan (si Dia) yang bersumber dan sang Pencipta Paramatma (Beliau
Tuhan Yang Maha Esa).
Sima krama atau dharma Santi adalah
dialog antar sesama tentang apa dan bagaimana yang sudah, dan yang sekarang
serta yang akan datang. Bagaimana kita dapat meningkatkan kehidupan lahir batin
kita ke depan dengan berpijak pada pengalaman selama ini. Maka dengan
peringatan pergantian tahun baru saka (Nyepi) umat telah melakukan dialog
spiritual kepada semua pihak dengan Tuhan yang dipuja, para leluhur, dengan
para bhuta, dengan diri sendiri dan sesama manusia demi keseimbangan,
keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian bersama. Namun patut juga diakui
bahwa setiap hari suci keagamaan seperti Nyepi tahun 2009 ini, ada saja
godaannya. Baik karena sisa-sisa bhutakalanya, sisa mabuknya, dijadikan
kesempatan memunculkan dendam lama atau tindakan yang lain. Dunia nyata ini
memang dikuasai oleh hukum Rwa Bhineda. Baik-buruk, menang-kalah, kaya-miskin,
sengsara-bahagia dst. Manusia berada di antara itu dan manusia diuji untuk mengendalikan
diri di antara dua hal yang saling berbeda bahkan saling berlawanan.
Dharma
Santi
Adapun Dharma Santi sebagai rangkaian akhir Nyepi merupakan hal yang wajib dilaksanakan, baik di lingkungan keluarga, warga dekat maupun warga bangsa.
Adapun Dharma Santi sebagai rangkaian akhir Nyepi merupakan hal yang wajib dilaksanakan, baik di lingkungan keluarga, warga dekat maupun warga bangsa.
Dengan Dharma Santi kita dapat saling
memaafkan jika ada kesalahan atau kekeliruan yang pernah terjadi
setidak-tidaknya dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Di samping itu juga
untuk berbincang-bincang perihal kehidupan bersama kita ke depan karena kondisi
yang dihadapi akan semakin sulit dan semakin komplek, serba multi; multi etnis,
multi dimensi, multi kepentingan, multi karakter dan multi kultural.
Oleh karena itu dharma Santi dapat
dilaksanakan dimana saja dan kapan saja setelah Nyepi asal tidak lewat dari waktu
kurang lebih sebulan sesudah Nyepi. Sangat baik kalau setiap habis hari raya
keagamaan (bukan hanya pada Nyepi saja) diikuti dengan dharma Santi atau sima
krama, atau secara spiritual sering juga dilakukan jika ada upacara piodalan di
Pura dengan “meprani”. Mesima krama, meprani atau dharma Santi merupakan ajang
berdialog antar sesama tentang berbagai aspek kehidupan.
Karena Weda menyatakan “Wasudewa
kutumbakan” (seluruh dunia adalah bersaudana). Atau sarwa asa mama mitram
bhawantu (Jadikanlah seluruh penjuru dunia sebagai sahabat kami).
Untuk skup Bali, hal ini analog
dengan konsep menyama braya yang perlu dimantapkan melalui dharma Santi. Jadi
pergantian Tahun Saka adalah peringatan dari kebangkitan dan pembaharuan. Nyepi
adalah renungan kesadaran untuk pengendalian diri. Dharma santi adalah dialog
sesama demi keseimbangan hidup lahir bathin.
Demikian yang dapat disampaikan,
semoga ada manfaatnya. Mohon maaf atas kekuragannya. “Selamat Hari Raya Nyepi
tahun Baru saka 1931, “Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa Asung kerta Wara
nugraha kepada kita sekalian agar kita Santi, dapat meningkatkan bhakti sadana
menuju Jagadhita yaitu dunia sejahtera. Om Ano bhadrah kratawo yantu wiswatah
sejarah
pura batukaru
Pura
Luhur Batukaru--
Tempat Stana Dewa Mahadewa atau Hyang Tumuwuh
Predikat yang disandang Bali sebagai pulau seribu pura memang tidak terbantahkan lagi. Sepertinya di setiap jengkal tanah di Bali dapat ditemukan sebuah pura yang hanya dibedakan oleh status dan fungsinya. Salah satu pura dari ribuan pura di Bali yakni Pura Luhur Batukaru. Pura ini terletak di kaki Gunung Batukaru, Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan. Bagaimana sejarah pura yang berhawa sejuk itu? Berikut laporan wartawan Bali Post Asmara Putra yang dirangkum dari berbagai sumber.
----------------------------
Letak pura yang berjarak 3 kilometer dari Desa Wongaya Gede dan sekitar 22 kilometer dari Kota Tabanan atau 42 kilometer di sebelah barat laut Kota Denpasar, dapat dijangkau dengan mudah oleh seluruh umat Hindu. Apalagi, sarana transportasi berupa jalan yang menuju pura dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini cukup baik. Pura dengan lingkungan hutan yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 24-32 derajat Celcius (siang hari) dan 18-22 derajat Celsius (malam hari) memiliki curah hujan yang cukup tinggi yakni rata-rata 1.899 mm per tahun.
Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu pura dengan status sebagai tempat pemujaan seluruh umat Hindu atau yang lebih dikenal dengan Kahyangan Jagat. Pura ini juga menjadi bagian dari Pura Sad Kahyangan di Bali dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Selain sebagai tempat pemujaan Hyang Mahadewa, dalam beberapa lontar disebutkan pula Pura Luhur Batukaru sebagai stana Hyang Tumuwuh.
Pada saat upacara piodalan/pujawali yang berlangsung setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari, tepatnya hari Kamis (Whraspati), Umanis, Dungulan -- sehari setelah hari raya Galungan -- selalu dipadati umat Hindu dari berbagai pelosok Bali. Belakangan ini, sejak Galungan, umat sudah banyak yang pedek tangkil ke pura ini. Selama piodalan Ida Bhatara nyejer hingga tiga hari. Pengempon pura ini terdiri atas desa-desa pakraman yang berada di sekitarnya yakni Desa Pakraman Wongaya Gede (empat banjar pakraman -- Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya Kelod, dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Penganggahan dan Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma). Sedangkan pangemong/penanggung jawab pelaksanaan upacara adalah Jro Kebayan.
Sejarah
Kapan berdiri dan siapa yang membangun Pura Luhur Batukaru hingga kini belum diperoleh data secara pasti. Pasalnya, sampai saat ini sumber-sumber tertulis yang mengungkap keberadaan pura yang terletak di kaki Gunung Batukaru ini sangat minim. Akibatnya, untuk memperkirakan kapan didirikannya pura ini harus juga berdasarkan sumber-sumber atau bukti tak tertulis. Beberapa sumber tak tertulis seperti peninggalan purbakala yang diperkirakan berasal dari masa tradisi megalitik terdapat di dalam pura, dijadikan acuan untuk memperkirakan waktu pendirian pura ini.
Dalam buku ''Pura Luhur Batukaru'' terbitan Dinas Kebudayaan Bali, Oktober 1994, disebutkan A.J. Bernet Kempres pernah melaporkan adanya temuan berupa menhir di lereng Gunung Batukaru pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Setelah dilakukan penelitian beberapa waktu lalu, laporan Bernet Kempres tersebut terbukti kebenarannya.
Buktinya? Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan batu. Onggokan batu yang dimaksudkan tersebut, oleh krama pangempon Pura Luhur Batukaru disebut Palinggih Kampuh. Dalam buku setebal 92 halaman tersebut juga ditulis bahwa Palinggih Kampuh itu merupakan medium pemujaan roh suci golongan Kebayan/Kubayan yang telah berjasa bagi masyarakat setempat.
Pada zaman megalitik, segala bidang kehidupan masyarakat berpusat pada penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang atau arwah pemimpin yang disegani. Kepercayaan kepada roh leluhur umum pada saat itu. Masyarakat percaya bahwa arwah roh leluhur itu berdiam di puncak gunung dan bukit yang memiliki kekuatan gaib yang diyakini dapat menolak bahaya dan memberikan kesejahteraan. Agar kesejahteraan tersebut bisa terpelihara dengan baik maka hubungan dengan dunia arwah dijaga dengan baik, salah satunya dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir sebagaimana yang dijumpai di Pura Luhur Batukaru.
Minim
Sementara untuk bukti tertulis -- prasasti dan purana -- mengenai keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat minim. Bahkan, purana yang secara khusus mengupas keberadaan pura yang memiliki hawa sejuk ini sama sekali tidak ditemukan. Namun, ada beberapa sumber tertulis yang memuat secara selintas keberadaan Pura Luhur Batukaru ini, baik berupa lontar maupun sumber kepurbakalaan lainnya.
Ketut Soebandi dalam bukunya "Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali" menyebutkan, lontar-lontar yang memuat secara selintas keberadaan pura ini antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad Pasek Toh Jiwa, serta Babad Buleleng. Sedangkan dalam buku "Pura Luhur Batukaru" menyebutkan beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah Mada, Padma Bhuwana, Kusuma Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem, Widisastra, Empu Kuturan, Dewa Purana Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan pura ini. Dalam hubungannya dengan sejarah pendirian pura ini, pada lontar-lontar disebutkan Pura Luhur Batukaru didirikan oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Bali.
Sementara mengenai data kepurbakalaan, di Pura Luhur Batukaru terdapat peninggalan berupa arca, candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak. Sebuah arca kuno juga ditemukan di pura ini, yakni di Beji. Arca seperti ini juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan, Kintamani.
Melihat coraknya, arca semacam itu diperkirakan merupakan peninggalan periode Bali Kuno sekitar abad X-XII. Melihat hasil-hasil temuan itu, dan dipadu dengan sumber-sumber tertulis lainnya, Pura Luhur Batukaru ini dapat diduga berdiri pada abad XI. ''Jadi berdasarkan data epigrafis tersebut, dapat memberikan petunjuk bahwa Pura Luhur Batukaru dibangun pada zaman pemerintahan Raja Cri Masula-Masuli berkuasa di Bali
Tempat Stana Dewa Mahadewa atau Hyang Tumuwuh
Predikat yang disandang Bali sebagai pulau seribu pura memang tidak terbantahkan lagi. Sepertinya di setiap jengkal tanah di Bali dapat ditemukan sebuah pura yang hanya dibedakan oleh status dan fungsinya. Salah satu pura dari ribuan pura di Bali yakni Pura Luhur Batukaru. Pura ini terletak di kaki Gunung Batukaru, Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan. Bagaimana sejarah pura yang berhawa sejuk itu? Berikut laporan wartawan Bali Post Asmara Putra yang dirangkum dari berbagai sumber.
----------------------------
Letak pura yang berjarak 3 kilometer dari Desa Wongaya Gede dan sekitar 22 kilometer dari Kota Tabanan atau 42 kilometer di sebelah barat laut Kota Denpasar, dapat dijangkau dengan mudah oleh seluruh umat Hindu. Apalagi, sarana transportasi berupa jalan yang menuju pura dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini cukup baik. Pura dengan lingkungan hutan yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 24-32 derajat Celcius (siang hari) dan 18-22 derajat Celsius (malam hari) memiliki curah hujan yang cukup tinggi yakni rata-rata 1.899 mm per tahun.
Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu pura dengan status sebagai tempat pemujaan seluruh umat Hindu atau yang lebih dikenal dengan Kahyangan Jagat. Pura ini juga menjadi bagian dari Pura Sad Kahyangan di Bali dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Selain sebagai tempat pemujaan Hyang Mahadewa, dalam beberapa lontar disebutkan pula Pura Luhur Batukaru sebagai stana Hyang Tumuwuh.
Pada saat upacara piodalan/pujawali yang berlangsung setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari, tepatnya hari Kamis (Whraspati), Umanis, Dungulan -- sehari setelah hari raya Galungan -- selalu dipadati umat Hindu dari berbagai pelosok Bali. Belakangan ini, sejak Galungan, umat sudah banyak yang pedek tangkil ke pura ini. Selama piodalan Ida Bhatara nyejer hingga tiga hari. Pengempon pura ini terdiri atas desa-desa pakraman yang berada di sekitarnya yakni Desa Pakraman Wongaya Gede (empat banjar pakraman -- Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya Kelod, dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Penganggahan dan Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma). Sedangkan pangemong/penanggung jawab pelaksanaan upacara adalah Jro Kebayan.
Sejarah
Kapan berdiri dan siapa yang membangun Pura Luhur Batukaru hingga kini belum diperoleh data secara pasti. Pasalnya, sampai saat ini sumber-sumber tertulis yang mengungkap keberadaan pura yang terletak di kaki Gunung Batukaru ini sangat minim. Akibatnya, untuk memperkirakan kapan didirikannya pura ini harus juga berdasarkan sumber-sumber atau bukti tak tertulis. Beberapa sumber tak tertulis seperti peninggalan purbakala yang diperkirakan berasal dari masa tradisi megalitik terdapat di dalam pura, dijadikan acuan untuk memperkirakan waktu pendirian pura ini.
Dalam buku ''Pura Luhur Batukaru'' terbitan Dinas Kebudayaan Bali, Oktober 1994, disebutkan A.J. Bernet Kempres pernah melaporkan adanya temuan berupa menhir di lereng Gunung Batukaru pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Setelah dilakukan penelitian beberapa waktu lalu, laporan Bernet Kempres tersebut terbukti kebenarannya.
Buktinya? Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan batu. Onggokan batu yang dimaksudkan tersebut, oleh krama pangempon Pura Luhur Batukaru disebut Palinggih Kampuh. Dalam buku setebal 92 halaman tersebut juga ditulis bahwa Palinggih Kampuh itu merupakan medium pemujaan roh suci golongan Kebayan/Kubayan yang telah berjasa bagi masyarakat setempat.
Pada zaman megalitik, segala bidang kehidupan masyarakat berpusat pada penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang atau arwah pemimpin yang disegani. Kepercayaan kepada roh leluhur umum pada saat itu. Masyarakat percaya bahwa arwah roh leluhur itu berdiam di puncak gunung dan bukit yang memiliki kekuatan gaib yang diyakini dapat menolak bahaya dan memberikan kesejahteraan. Agar kesejahteraan tersebut bisa terpelihara dengan baik maka hubungan dengan dunia arwah dijaga dengan baik, salah satunya dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir sebagaimana yang dijumpai di Pura Luhur Batukaru.
Minim
Sementara untuk bukti tertulis -- prasasti dan purana -- mengenai keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat minim. Bahkan, purana yang secara khusus mengupas keberadaan pura yang memiliki hawa sejuk ini sama sekali tidak ditemukan. Namun, ada beberapa sumber tertulis yang memuat secara selintas keberadaan Pura Luhur Batukaru ini, baik berupa lontar maupun sumber kepurbakalaan lainnya.
Ketut Soebandi dalam bukunya "Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali" menyebutkan, lontar-lontar yang memuat secara selintas keberadaan pura ini antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad Pasek Toh Jiwa, serta Babad Buleleng. Sedangkan dalam buku "Pura Luhur Batukaru" menyebutkan beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah Mada, Padma Bhuwana, Kusuma Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem, Widisastra, Empu Kuturan, Dewa Purana Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan pura ini. Dalam hubungannya dengan sejarah pendirian pura ini, pada lontar-lontar disebutkan Pura Luhur Batukaru didirikan oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Bali.
Sementara mengenai data kepurbakalaan, di Pura Luhur Batukaru terdapat peninggalan berupa arca, candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak. Sebuah arca kuno juga ditemukan di pura ini, yakni di Beji. Arca seperti ini juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan, Kintamani.
Melihat coraknya, arca semacam itu diperkirakan merupakan peninggalan periode Bali Kuno sekitar abad X-XII. Melihat hasil-hasil temuan itu, dan dipadu dengan sumber-sumber tertulis lainnya, Pura Luhur Batukaru ini dapat diduga berdiri pada abad XI. ''Jadi berdasarkan data epigrafis tersebut, dapat memberikan petunjuk bahwa Pura Luhur Batukaru dibangun pada zaman pemerintahan Raja Cri Masula-Masuli berkuasa di Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar