Sabtu, 21 Februari 2015

sejarah PURA PUra ring bali

sejarah pura lempuyang



Pura Lempuyang Luhur terletak di Bukit Gamongan, pada puncak puncak bukit Bisbis atau Gunung Kembar di desa Purahayu, kecamatan Abang, kabupaten Karangasem. Jaraknya dari kota AmlaPura lebih kurang 22 km, arah keutara melalui Tirtagangga menuju desa Ngis di kecamatan Abang kemudian membelok ketimur langsung ke desa Purahayu. Kendaraan bermotor maupun dengan sepeda hanya bisa sampai di desa Ngis, kemudian berjalan kaki menuju desa Purahayu dan selanjutnya berjalan diatas bukit menuju Pura yang berada di puncak bukit Bisbis. 

Perjalanan yang memakan waktu lebih kurang 3 jam itu cukup berat dan memayahkan, karena kadang-kadang menemui jalan yang sempit dan berjurang terjal, serta meanjak terus. Namun kepayahan itu dapat diimbali dengan indahnya panorama yang dapat dinikmati dari atas bukit selama pendakian itu. Lebih-lebih dari puncak Lempuyang pemandangan ke arah utara sangat indah, kelihatan pantai Amed dan desa Culik, ke Timur Gunung Seraya, ke Selatan kota AmlaPura, Candi Dasa, Padangbai dengan lautnya yang membiru dan ke Barat kelihatan desa-desa yang berada di bawah seperti Desa Ngis, Basang alas, Megatiga serta Gunung Agung yang nampak indah. Pura Lempuyang Luhur termasuk Pura Sad Kahyangan di Bali (Menurut Lontar Widisastra) yang juga merupakan kahyangan jagat yang termasuk salah satu dari "Pura-Pura" delapan penjuru angin di Pulau Bali. 

Sejarah 

Sangat Sulit untuk mengungkapkan sejarah Pura Lempuyang Luhur yang terletak di Bukit Gamongan Karangasem itu secara jelas, oleh karena data-data yang kuat sukar di dapatkan. Kesulitan lain lagi ialah sampai kini belum dijumpai "Purana" tentang Pura itu yang diharapkan dapat memberikan keterangan secara jelas. 

Sementara itu baru diperoleh data-data mengenai Pura Lempuyang Luhur yang sifatnya tidak langsung, ialah keterangan dalam prasasti Sading C type :Tinulad" dan keterangan yang terdapat dalam lontar Kutarakandha Dewa Purana Bangsul. 

1. Prasasti Sading C 

Naskah turunan prasasti Sading C yang disimpan di Geria Mandhara Munggu, yang isinya menyebutkan sebagai berikut " Pada tahun 1072 Caka (1150) bulan ke-9 hari tanggal 12 bulan paroh terang, wuku julungpujut, ketika hari itu beliau Paduka Çri Maharaja Jayaçakti, merapatkan seluruh pemimpin perang. Karena beliau akan pergi ke bali karena disuruh oleh ayahnya yaitu Sang Hyang Guru yang bertujuan untuk membuat Pura (dharma) disana di Gunung Lempuyang, terutama sebagai penyelamat bumi bali, diikuti oleh pendeta Çiwa dan Budha serta mentri besar. Beliau juga disebut Maharaja Bima, yaitu Çri Bayu atau Çri Jaya atau Çri Gnijayaçakti." 

2. Prasasti Kutarakanda DewaPurana Bangsul 

Didalam Lontar Kutarakanda DewaPurana Bangsul lembar ke 3-5 koleksi Ida Pedande Gde Pemaron di Gria Mandhara Munggu Badung ada di singgung mengenai Lempuyang yang kutipannya kira-kira sebagai berikut " Demikianlah perkataan Sang Hyang Parameçwara kepada putra beliau para dewa sekalian, terutama sekali Sang Hyang Gnijayaçakti wahai anaknda, anda-anda para dewa sekalian, dengarkanlah perkataanku kepdada anda sekalian, hendaknya anda turun (datang) ke Pulau Bali menjaga pulau Bali, seraya anda menjadi dewa disana" 
Dari kedua sumber tersebut diatas ada dua hal yang penting dapat diambil yaitu : Gunung Lempuyang dan Sang Hyang Gnijaya. Di dalam bahsa Jawa kata Lempuyang berarti "Gamongan" gunung Lempuyang berarti gunung gamongan atau bukit gamongan sebagaimana disebutkan dalam lontar Kusuma Dewa dan sampai sekarang masyarakat sekitar tempat itu menyebutkan bahwa Pura Lempuyang terletak di Bukit Gamongan disebelah timur kota Amlapura. 

Fungsinya 

Menurut Upadeca, bila dihubungkan dengan "Pura-Pura" Sad Kahyangan di Bali, maka Pura Lempuyang Luhur adalah termasuk salah satu diantaranya disamping lima Pura lainnya. Pura Lempuyang Luhur adalah kedudukan Dewa Içwara dan terletak di ufuk Timur penjuru mata angin di Bali. Hal ini dapat dihubungkan dengan Dewa Nawa Sanga beserta tempatnya dan senjatanya masing-masing. Jadi jelaslah bahwa Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai penjaga/pemelihara arah sebelah timur dengan dewa Içwara sebagai manefestasi Sang Hyang Widhi Wasa. 

Adapun dewa yang dipuja adalah Bethara Agnijaya (Hyang Gnijaya) sebagai manefestasinya Hyang Widhi, oleh karena Bhtara Agnijaya disejajarkan fungsi serta peranannya dengan Brahma, Wisnu, Indara dan Shambu maka dapatlah dimengerti bahwa Bhatara Agnijaya adalah identik dengan Içwara yaitu Dewa Asthadhipalaka yang berada di penjuru Timur. Nama Sang Hyang Agnijaya yaitu putra dari Sang Hyang Parameçwara (maksudnya sebagai manefestasi dari Hyang Widhi) juga ada disebutkan di dalam Lontar DewaPurana Bangsul. Pura-Pura yang berada di Bukit Gamongan yang ada hubungannya dengan Pura Lempuyang Luhur adalah Pura Desa Purahayu, Pura Telaga Mas dan Pura Pasar Agung. 

Pengemong 

Pengemong Pura Lempuyang Luhur adalah seluruh anggota"krama Desa" dari desa Purahayu, sedangkan penyungsungnya adalah segenap masyarakat Bali yang beragama Hindu dan Masyarakat Hindu di pulau Lombok termasuk umat hindu di seluruh Indonesia serta masyarakat Tionghoa di Bali. 

Piodalan 

Upacara Piodalan Pura Lempuyang Luhur jatuh pada hari kemis Umanis wuku dungulan yakni setiap enam bulan bali sekali (210 hari). Adapun urutan upacara piodalan pada Pura Lempuyang Luhur adalah sama dengan upacara pada Pura Sad Khayangan lainnya. 

Pemangku 

Pura Lempuyang luhur mempunyai pemangku tersendiri dan bersifat turun temurun dari keluarga pemangku menurut garis keturunan patrilinial dannyatanya. 

Suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan adalah didalam Pura Lempuyang luhur terdapat serumpun bambu jenis kecil. Setelah selesai menghaturkan bhakti batang pohon bambu itu dipotong oleh pemangku untuk mendapatkan tirta (disebut tirtha pingit) bagi setiap orang yang pedek tangkil ngaturang bhakti kesana. Tirta tersebut juga berfungsi sebagai Tritha Pengenteg-enteg yakni tirtha yang diapaki untuk Ngenteg Linggih baik di Pura-Pura, mrajan ataupun sanggah. Tetapi anehnya tidak selalu didalam batang bambu tersebut diketemukan air

sejarah pura watu klotok

============

Pura Watu Klotok letaknya tidak jauh dari pura terkenal lainnya yang ada di bumi serombotan. Salah satunya Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Sehingga keberadaannya sangat mudah dijangkau bagi umat yang gemar bertirtayatra. Apalagi saat ini, jalur By-pass Tohpati-Kusamba (By-pass IB Mantra) sudah hampir tuntas dikerjakan. Tentu akses bagi umat menuju pura yang berada di Banjar Celepik, Tojan, Klungkung itu semakin mudah.

Pura Watu Klotok memiliki panorama pantai selatan Klungkung yang mempesona. Dari pura itu, sembari bersembahyang umat pun dapat menyaksikan keindahan kawasan Kepulauan Nusa Penida dan 
HOTEL BALIhttp://cdncache1-a.akamaihd.net/items/it/img/arrow-10x10.png Beach di pantai Sanur. Hampir setiap bulan, persisnya ketika bulan purnama, Pura Watu Klotok benar-benar menjadi tempat yang paling dicari oleh umat yang haus akan pendalaman spiritual. Karena Pura Watu Klotok dipercaya sangat baik dijadikan objek matirtayatra yang belakangan ini makin diminati umat Hindu.

”Bisa dikatakan Pura Watu Klotok merupakan tempat yang mampu menghilangkan dahaga bagi umat yang kehausan pendalaman spiritual,” ungkap Bendesa Adat Satra Dewa Ketut Soma yang kerap ditunjuk sebagai panitia karya. Tak jarang, umat bahkan sampai makemit (begadang) sembari bersemedi di Pura Watu Klotok guna menemui kedamaian batin.

Selain itu, umat Hindu yang berprofesi sebagai petani, juga mempercayakan keberhasilannya di bidang pertanian di pura ini. Umat selalu memohon petunjuk dan perlindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar senantiasa memberi kesuburan atas tanah pertanian mereka serta mencegah datangnya serangan hama tanaman. Atas hal itu, krama subak secara rutin, turun-temurun melaksanakan upacara mohon pekuluh jika sawah mereka terserang wabah tanaman sekaligus memohon keselamatan dan kesuburan tanam-tanaman yang dikenal dengan upacara neduh lan pangusaban. Umat yakin, dengan permohonan yang tulus, kesuburan tanah akan terwujud. ”Memang, para petani tidak cukup hanya berharap berkah dari doa semata, akan tetapi mesti dilengkapi dengan berusaha dan bekerja keras,” tambahnya.

Penekun spiritual yang juga pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung ini pun pernah menyusun buku tentang ”Selayang Pandang Pura Watu Klotok”. Dalam buku itu, Dewa Soma menceritakan permohonan keselamatan dan penyucian serta anugerah kesuburan, itu berlangsung ketika piodalan yang jatuh setiap enam bulan sekali. Persisnya pada Anggara Kasih Julungwangi. Ada juga yang diselenggarakan setiap tahun sekali, yakni upacara Ngusaba. Piodalan itu diselenggarakan oleh pengempon dari warga Banjar Celepik, Gelgel dengan pendanaan bersumber dari hasil pelaba pura seluas 125 are.

Upacara lain yang kerap digelar di pantai Watu Klotok seperti upacara mulang pakelem dalam rangkaian upacara-upacara besar yang digelar di Pura Besakih seperti Eka Dasa Rudra, Tri Bhuana, Eka Bhuana, Candi Narmada, Panca Bali Krama dan lainnya. Bahkan, di pantai Watu Klotok juga sering dilakukan upacara nangkid, malukat, neduh dan lainnya. Terlepas dari itu semua, pantai Klotok memendam misteri yang sulit dianalisis akal sehat. Bentangan pantai dari Ketapang Kembar sampai pantai Sidayu merupakan kawasan misteri pasukan ”Kopassus” Ratu Gde Nusa. Siapa pun yang berani berbuat onar dan kurang ajar di pantai itu, jangan harap untuk pulang kembali dengan selamat.

Salah satu peninggalan yang dikeramatkan di Pura Watu Klotok adalah sebuah batu mekocok (makocel). Batu mekocok itu merupakan cikal bakal pendirian pura dengan kekeramatannya yang kini malinggih di utama mandala Pura Watu Klotok. Bukan hanya itu, ada juga unen-unen (rencang) Ida Batara berupa bikul (tikus) putih, lelipi poleng (ular belang) dan penyu macolek pamor. Penyu macolek pamor itu diyakini muncul seratus tahun sekali. Itu dibuktikan dengan terdamparnya seekor penyu raksasa beberapa tahun silam.

Arca Penjaga Kesucian

Sebagaimana Pura-pura lain di Bali, struktur Pura Watu Klotok juga terdiri atas tiga bagian. Utama mandala, madya mandala dan nista mandala. Bagian nista mandala (paling luar) Pura Watu Klotok berupa Candi Bentar dan Arca Dwapara Pala lengkap dengan senjata gada. Dwapara berarti pintu, sedangkan pala berarti penjaga. Jadi, begitu memasuki wilayah Pura Watu Klotok diyakini sudah ada suatu kekuatan yang menjaga kesucian pura. ”Sehingga ketika pemedek baru menginjakkan kaki di gerbang pura, sudah diarahkan untuk mengarahkan pikiran dan perilaku ke arah kesucian,” kata Dewa soma.

Setelah memasuki candi bentar menuju madya mandala, di sebelah selatan terdapat Pelinggih Sang Kala Sunya. Pelinggih itu merupakan aspek sakti dari Batara Baruna yang menguasai daerah kutub. Di sebelah timur Pelinggih Sang Kala Sunya, juga dibangun pelingih penghayatan Ratu Gde Penataran Ped yang tak lain berupa pohon ketapang berukuran besar serta sebuah tugu seperti pelingih taksu atau ngerurah.

Di utama mandala terdapat Pelinggih Ida Batara Watu Makocok (Makocel). Sesuai namanya, pelinggih ini disebut batu makocel yang berarti batu berbunyi yang diyakini memiliki sinar vibrasi spiritual tinggi. Juga diyakini sebagai tempat memohon kekuatan alam agar dianugerahi keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan karena batu ini adalah cikal-bakal lahirnya Pura Watu Klotok. Karena pertama kali ada, makanya umat menyebut Pelinggih Batu Makocel itu dengan sebutan Pelinggih Ida Batara Lingsir.

Di samping Pelinggih Batara Lingsir, ada Meru Tumpang Lima, Gedong Alit Pule, Padmasana, Pengaruman, Linggih Sri Sedana dan beberapa pelinggih lainnya. Singkatnya, di utama mandala terdapat 16 bangunan/pelingih termasuk Candi Bale dan sumur, di madya mandala lima bangunan/pelinggih yaitu bale pemedek, bale gong, bale kulkul, candi bentar dan apit lawang kiwa tengen.

Sementara pada nista mandala terdapat 6 bangunan/pelingih yaitu Pelinggih Sanghyang Kala Sunia, Pelinggih Ida Batara Dalem Ped, Bale Pawedaan, Panggungan, candi bentar dan patung Dwarapala. Di samping terdapat piranti pelengkap lainnya seperti lumbung, bale petandingan, perantenan, Bale sekepat, Pelinggih Sri Sedana dan bale paebatan yang terletak disekitar areal pura.

sejarah pura pulaki

Pura Pulaki, Tempat Suci Peninggalan Prasejarah 

Sulit ditampik, lingkungan Pura Pulaki adalah sebuah kawasan suci yang bisa disebut sangat sempurna. Selain memiliki pemandangan alam menakjubkan, aura religius dan kesucian yang berpendar di kawasan pura dan sekitarnya akan terasa jelas, seakan masuk di sela pori-pori kulit. Sebagian umat yang sempat sembahyang ke pura itu bahkan kerap mengaku bulu tipis di lehernya sesekali akan tegak. Mungkin karena takjub yang berlebihan pada keindahan alamnya atau amat terkesan pada aura religius yang dirasakannya.

PURA Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yang hanya sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat sulit. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya tarik tersendiri.

Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah. 

Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.

Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.

Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.

Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.

Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya'' susunan Ketut Ginarsa. Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."

Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.



Dipugar

Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.

Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. "Karena tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalaman," katanya.

Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.

Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.

sejarah pura puncak mangu

PURA Pucak Mangu mungkin sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding.

I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang.

Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.

Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran.

Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.

Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.

Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.

Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.

Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Ulun Danu Beratan didirikan oleh I Gusti Agung Putu yang berada di sebelah barat Gunung Mangu dan Pura Penataran Agung Tinggan di sebelah timur Gunung Mangu didirikan oleh keturunannya yaitu Cokorda Nyoman Mayun.

Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).

Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X - XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya.

Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.

Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.

Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran.

Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 - 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.

sejarah pura besakih


PURA BESAKIH (THE MOTHER TEMPLE) , TERBESAR DI BALI...

Pura Besakih terletak di Barat Daya Gunung Agung, desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Kira-kira 90 km arah Timur Laut kota Denpasar. Di ketinggian 1000 m dari permukaan air laut, dengan 298 buah bangunan dalam 18 buah komplek pura, merupakan pura terbesar di Bali, bahkan di Indonesia. Terhampar di kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali yang tingginya mencapai 3142 m.

Kata "Besakih" berasal dari kata "Basuki" yang berarti 'selamat' berkembang menjadi Basukir dan Basukih, trus menjadi Besakih. Nama tersebut terdapat dalam 2 prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan sebuah lagi di Pura Gaduh Sakti di desa Selat. Sejarah Pura Besakih berhubungan dengan perjalanan Sri Markandeya (seorang Brahmana Siwa) dari Gunung Raung, daerah Basuki, Jawa Timur. Rombongan beliau terpaksa kembali ke Jawa karena banyak yang meninggal terserang penyakit. Setelah mendapat petunjuk di Gunung Raung, beliau kembali ke Bali dan mengadakan penanaman Panca Datu (5 jenis logam yaitu emas, perak, besi, tembaga dan permata) di lereng Gunung Agung yang kemudian dikenal dengan Pura Basukian.

Pada zaman dahulu, Pura Besakih langsung ditangani oleh penguasa daerah Bali. Disebutkan Sri Wira Dalem Kesari yang membuat Merajan Selonding (sekitar tahun 250 M), kemungkinan beliau adalah Raja Kesari Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917. Prasastinya terdapat di Malet Gede, di Pura Puseh Panempahan dan di Belanjong. Pada zaman pemerintahan Sri Udayana Warmadewa, pura ini mendapat perhatian besar, seperti terdapat dalam prasasti Bradah, dan prasasti Gaduh Sakti. Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar raja Purana Besakih tentang upacara, nama pelinggih, tanah wakaf (pelaba), susunan pengurus, tingkatan upacara diatur dengan baik. 

Fungsi umum pura ini adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan (sesuai dengan nama pura). Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap Bulan Purnama sasih kedasa (bulan Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali, dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan tahun 1973, sayangnya saya belum lahir dan mungkin seumur hidup saya tak akan bisa menyaksikan upacara ini secara langsung. Terdapat 18 komplek pura yaitu :

Pura Pesimpangan 
Pura Dalem Puri 
Pura Manik Mas 
Pura Bangun Sakti 
Pura Ulun Kulkul 
Pura Merajan Selonding 
Pura Gua 
Pura Banua 
Pura Merajan Kanginan 
Pura Hyang Haluh 
Pura Basukian 
Pura Kiduling Kreteg 
Pura Batu Madeg 
Pura Gelap 
Pura Penataran Agung 
Pura Pengubengan 
Pura Tirtha 
Pura Peninjoan 

Selain ke-18 komplek pura tersebut, juga ada komplek Pura Padharman untuk pemujaan kelompok keturunan tertentu di Besakih. Komplek Pura Besakih sangat luas, dengan pemandangan Gunung Agung yang hijau, sangat indah. Kita benar-benar kagum dengan warisan leluhur kita serta semua anugerah Tuhan. Tempat ini benar-benar bagus untuk mencari ketenangan serta mendekatkan diri dengan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar