Kamis, 19 Februari 2015



 

Di pulau Bali,  Lontar adalah sebagai salah satu Sastra dari daun-daun pohon siwalan yang sudah tua. Lontar dengan segala isinya merupakan salah satu warisan kekayaan rohani orang Bali yang memiliki arti yang sangat penting dan strategis. Sastra / Lontar-lontar di Bali, secara kualitatif maupun kuantitatif memiliki nilai yang sangat berharga.
Pembagian kepustakaan lontar Bali lebih disistematiskan menjadi :
1.        Weda (weda, mantra, kalpasastra);
2.        Agama (palakerta, sasana, niti);
3.        Wariga (wariga, tutur, kanda, usada);
4.        Itihasa (parwa, kakawin, kidung, geguritan);
5.        Babad (Pamancangah, usana, uwug), dan
6.        Tantri (tantri, satua).
Pada artikel ini  akan sedikit mengungkapkan dari salah satu Lontar yang dalam kategori Trantra dan saya spesifikan isinya khusus pada bagian Pangleakan. Sebagai  refrensi tentang lontar pengleakan diantaranya; “Lontar Tantra Bhairawa, Kanda Pat dan Siwa Tantra”.
Istilah Tantrayana berasal dari akar kata Tan = yang artinya memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada Dewa itu. Di India penganut Tantrisme lebih banyak terdapat di India Selatan dibandingkan dengan India Utara.
Kitab kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali kurang lebih ada 64 macam antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara, dsb.
Dari
 Tantrisme munculah suatu faham “BHIRAWA” yang artinya hebat.
Paham Bhirawa secara khusus memuja kehebatan daripada sakti, dengan cara cara yang spesifik.  Bhairawa inipun sampai berkembang ke Cina Tibet, dan Indonesia.
Di Indonesia masuknya
 saktiisme, Tantrisma dan Bhairawa, dimulai sejak abad ke VII melalui kerajan Sriwijaya di Sumatra, sebagaimana diberikan pesaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India selatan dan tibet.
Perkembangan Saktiisme di Bali juga menjurus dua aliran mistik yaitu “PENGIWE & PENENGEN”
Dari Pengiwa munculah pengetahuan tentang “LEYAK”.
DESTI = Serana, TELUH = cetik TARANJANA = yang bisa terbang dan WEGIG = bebeki.
Dari Penengen muncullah pengetahuan tentang “KEWISESAN” dan “PRAGOLAN” = mantra.
Pengiwa berasal dari sistem “Niwerti” dalam doktrin Bhairawa, sedangkan penengen berasal dari sistem “Prawerti” dalam doktrin Bhairawa.
Selain itu beberapa formula dalam Atharwa Weda mengilhami mistik ini. Adapun kitab kitab Tantrayana di Indonesia antara lain: TANTRA WAJRA DHASUBUTHI CANDARA BHAIRAWA dan SEMARA TANTRA
Pada Jaman Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada abab ke 16, saat I Gede Basur masih hidup yaitu pernah menulis buku lontar Pengeleakan dua buah yaitu “Lontar Durga Bhairawi” dan “Lontar Ratuning Kawisesan”. Lontar ini memuat tentang tehnik-tehnik Ngereh Leak Desti.
Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut leak, yang ada adalah “liya, ak” yang artinya lima aksara(memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu.
Lima aksara tersebut adalah Si, Wa, Ya, Na, Ma.
·         Si adalah mencerminkan Tuhan. 
·         Wa adalah anugerah, 
·         Ya adalah jiwa. 
·         Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan. 
·         Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa.
Kekuatan aksara ini disebut panca gni(lima api). Manusia mempelajari kerohanian apapun, ketika mencapai puncaknya pasti akan mengeluarkan cahaya(aura), cahaya ini keluar melalui lima pintu(indria)tubuh yaitu: telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan namun pada umumnya cahaya itu keluar melalui mata dan mulut.
Tempat bermain-main leak adalah Kuburan. Apabila ada orang yang baru meninggal, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar roh orang yang meninggal mendapatkan tempat sesuai dengan karmanya.
Doa leak tersebut berbunyi: Ong gni brahma anglebur panca maha bhuta, anglukat sarining merta. mulihakene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahotama. ong rang sah, wrete namah.
Di Bali kuburan sering identik dengan keramat, seram karena seling muncul hal-hal aneh.  kenapa ? karena disinilah tempatnya roh berkumpul dalam pergolakan spirit. Sensasi yang  datang  dari orang yang melakukan Pangleakan tersebut adalah bisa keluar dari tubuhnya melalui
 ngelekas atau ngerogo sukmo.
Kata ngelekas artinya kontraksi batin agar badan astral kita bisa keluar. Inilah alasanya orang ngeleak. Roh bisa berjalan keluar dalam bentuk cahaya melesat dengan cepat, inilah yang disebut
 endih. Bagi yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan.
Endih ini adalah bagian dari badan astral manusia (badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu). Di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain. Dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya.
Leak mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak :
1.        Leak barak (brahma). Leak ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api.
2.        Leak bulan,
3.        leak pemamoran,
4.        Leak bunga,
5.        leak sari,
6.        leak cemeng rangdu,
7.        leak siwa klakah. Leak siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.
Tingkatan leak paling tinggi menjadi bade (menara pengusung jenasah), di bawahnya menjadi garuda, dan lebih bawah lagi binatang-binatang lain, seperti monyet, anjing ayam putih, kambing, babi betina dan lain-lain. selain itu juga dikenal nama I Pudak Setegal (yang terkenal cantik dan bau harumnya), I Garuda Bulu Emas, I Jaka Punggul dan I Pitik Bengil (anak ayam yang dalam keadaan basah kuyup).
Dari sekian macam ilmu Pengleakan, ada beberapa yang sering disebut seperti
·         Bajra Kalika yang mempunyai sisya sebanyak seratus orang,
·         Aras Ijomaya yang mempunyai prasanak atau anak buah sebanyak seribu enam ratus orang. Di antaranya adalah I Geruda Putih, I Geringsing, I Bintang Sumambang, I Suda Mala, Pudak Setegal, Belegod Dawa, Jaka Tua, I Pering, Ratna Pajajaran, Sampaian Emas, Kebo Komala, I Misawedana, Weksirsa, I Capur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul, dan I Cambra Berag. Disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya empat ilmu bebai yakni I Jayasatru, I Ingo, Nyoman Numit, dan Ketut Belog. Masing-masing bebai mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara keseluruhan apabila dihitung maka akan ada sebanyak 108 macam bebai.
Macam-macam ilmu pengLeakan lainnya :
Aji Calon Arang, Ageni Worocana, Brahma Maya Murti, Cambra Berag, Desti Angker, Kereb Akasa, Geni Sabuana, Gringsing Wayang, I Tumpang Wredha, Maduri Geges, Pudak Setegal, Pengiwa Swanda, Pangenduh, Pasinglar, Pengembak Jalan, Pemungkah Pertiwi, Penyusup Bayu, Pasupati Rencanam, Rambut Sepetik, Rudra Murti , Ratna Geni Sudamala, Ratu Sumedang, Siwa Wijaya, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang, Weda Sulambang Geni, keputusan Rejuna, Keputusan Ibangkung buang, Keputusan tungtung tangis, keputusan Kreta Kunda wijaya, Keputusan Sanghyang Dharma, Sang Hyang Sumedang, Sang Hyang Surya Siwa, Sang Hyang Geni Sara, Sang Hyang Aji Kretket, Sang Hyang Siwer Mas, Sang Hyang Sara Sija Maya Hireng, dan lain-lain yang tidak diketahui tingkatannya yang mana lebih tinggi dan yang mana lebih rendah.
Hanya mereka yang mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.
Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di sinilah penganut leak sering kecewa, ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.
Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut penestian. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam. Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi.
Pengwia banyak menggunakan rajah-rajah ( tulisan mistik) dan dia juga pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan “dijamin tidak bisa dirontgen dan di lab”. Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan, apabila perang beginilah bunyi mantranya, “ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan ………..”
Sumber : dari berbagai article, maaf numpang copas
jar meMantra atau meWeda
OM Swastiastu,


Belajar meMantra atau meWeda


Dilarang belajar mantra, banyak orang takut belajar mantrà,
karena belum mengerti apa itu sesungguhnya mantrà disamping itu, sering mendengar sebuah kalimat; “Aywà Wérà tan sidhi phalanià”, jangan disembarangkan, perilaku yang sembarangan itu sangat tidak baik manfaatnya. Kemudian lebih lanjut tutur-dituturkan oleh tetua kita di Bali; Dà melajahin aksarà modré/aksarà suci nyanan buduh nasé. Jangan mempelajari aksarà Modré/aksarà suci, nanti bisa gila. Dua pernyataan seperti ini sudah cukup menakutkan bagi orang Bali yang lugu dan hormat kepada tutur, orang tua dan orang yang disucikan.


Maka kita tidak cukup menerima begitu saja, tutur tetua kita dan kalimat “Aywà Wérà tan sidhi phalanià”, dan Dà melajahin aksarà modré/aksarà suci nyanan buduh nasé, kalimat ini harus ditelusuri lebih mendalam. Dari mana sesungguhnya kalimat tersebut muncul, dan dari buku mana dan apa tujuannya.


Kalimat tersebut muncul dari Purwa Adhi Gama Sesana, (Ringga Natha, 2003:3) yang menyatakan: 

Yan han wwang kengin weruhing Sang Hyang Aji Aksara,
mewastu mijil saking aksara,
tan pangupadyaya/maupacara mwah tan ketapak, tanpa guru,
papa ikang wwang yan mangkana.
Bibijat wwang ika ngaranya,

apan embas/lekad tanpa guru,
kweh prabedanya,
papinehnya bawak,
yan benjangan padem wwang mangkana,
atmanya menados entipning kawah Candra Ghomuka.
Apan lampahnya numpang laku,
kananda de para Kingkara Bala,
yan manresti malih matemahan triyak yoni,
amangguhaken kesengsaran.


Arti bebasnya, 
Jika ada orang yang ingin mempelajari Sang Hyang Aji Aksara Sastra Suci, hanya dengan mempelajari Sastra buku-buku tidak dilakukan upacara, tidak anugrahi ketapak melalui nyanjan, tidak memiliki guru, berdosalah orang yang seperti itu. Tidak memiliki Bapak dan Ibu orang yang seperti itu, karena kelahirannya tidak memiliki guru, roh-nya akan mengendap didasar neraka Candra Ghomuka. Karena perjalanannya tidak menentu, dihukumlah oleh pengikutnya Kingkara bala, kalau dia lahir kembali, dia akan menjadi kotoran air yang mendidih dan akan menemukan kesengsaraan. 


Dibenarkan belajar Mantra, kalimat yang menyatakan boleh belajar mantra menyatakan sebagai berikut: 

Kewala ikang amusti juga kawenangan wehania ri wwang durung Adiksa Dwijati, ring arep anembah Dewa, amreyogakena Sang Hyang ri daleming sarira.
Arti bebasnya, 
kalau orang berkeinginan dengan sungguh-sungguh, diperkenankan juga kepada orang yang belum Adiksa Dwijati (dinobatkan sebagai pemangku atau sulinggih), asalnya disampaikan atau di buatkan upacara kecil (Canang sari) dihadap para Dewa, sebagai bukti ketulusan hati yang paling dalam untuk memahami dan mendalami apa yang disebut dengan Mantra, bagaimana tulisan mantra yang benar, dan bagaimana reng-reng mantra harus disuarakan agar mampu menyentuh sapta petala, sapta cakra dan sapta Loka.

Widyas ca wa awidyas ca, yac ca-anyad upadesyam. Sariram brahma prawisad rcah sama-atho-yajuh.
Segala macam zat memasuki tubuh manusia seperti misalnya kebijaksanaan, pengetahuan praktis, dan setiap pengetahuan yang harus diajarkan, Tuhan yang Maha Esa Yang Maha Agung (Makhluk Teragung), Rgweda; Samaweda dan Yajurweda. (Athwaweda XI.8.23).


Kalau diperhatikan kalimat tersebut inti pokoknya terletak pada, jika mempelajari Aksara Suci atau Modre harus:  
  1. diupacarai, 
  2. memiliki guru, dan 
  3. jika melanggar akan memperoleh hukuman.
Konsep upacara ada tiga, diantara tiga masing-masing dapat dibagi menjadi tiga, sehingga menjadi sembilan konsep yang dapat dipakai sebagai pedoman Nistaning Nista, dan inti dari yadnya adalah ketulusan hati, jadi dengan upakara yang kecil (cukup) Canang Sari satu tanding disertai kesucian hati, maka konsep upakara dapat diatasi. Harus memiliki guru, yang disebut guru adalah: Guru Rupaka, Guru Pengajian, Guru Wisesa dan Guru Swadhiyaya. Dengan menghaturkan satu sesaji canang sari kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Swadhiyaya maka konsep guru telah kita lalui, maka dari itu seseorang belajar mantra akan terhindar dari segala kutuk dan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk belajar mantra cukup dengan matur piuning di Sanggah Kemulan, yang ditengah sebagai simbolis Tuhan dalam Rumah Tangga yang sering disebut dengan Siwa Pramesti Guru.


Belajar Mantra berarti sebuah yoga, dan yoga merupakan bagian dari enam aliran filsafat Hindu (niaya, waisasika, sangkia, yoga, mimansa, weddanta). Tantra sangat meyakinkan kita akan kekuatan yoga sebagai bentuk sadhana “kubci” pengendalian zaman ini. Yoga mempersatukan Jiwa (atma) dengan Tuhan (Paramatma), Astangga Yoga memberi perincian luas dan mendalam tentang delapan tingkatan yoga: 
  1. yama (pengendalian diri), 
  2. Nyama (penyucian lahir-bhatin), 
  3. Asana (sikap duduk/tubuh), 
  4. pranayama (pengaturan nafas), 
  5. Pratyahara (pengendalian pengindraan), 
  6. Dharana (perhatian memusat), 
  7. Dyana (pemusatan pikiran), 
  8. Samadhi (menyatunya subyek-subyek). 
Pada tingkatan nyama terdapat sepuluh mental yang harus dipenuhi, yaitu: 
  1. Dana (sedekah), 
  2. Ijya (sembahyang), 
  3. Tapa (semadi), 
  4. Dyana (pemusatan pikiran), 
  5. Swadyaya (mempelajari weda-weda/mantra), 
  6. Upastanigraha (mengendalikan sex), 
  7. Brata (mengendalikan panca indria), 
  8. Upanasa (berpuasa), 
  9. Mona (mengendalikan kata-kata), 
  10. Snana (membersihkan badan). 
Meskipun sejarah telah banyak memberi warnanya tetapi konsep astangga Yoga, tetap menjadi landasan pengertian tapa, brata sebagaimana disebutkan di atas.


Secara alamiah yoga dialami sewajarnya oleh semua mahluk, karena sebenarnya sekali hanya dengan persatuan itulah semua yang ada itu ada. Keadaan inilah yang dijadikan landasan bersama dan pertama, namun keadaan sedemikian ini dalam praktek kehidupan sehari-hari sering dilupakan. Secara khusus dan teknis yoga adalah pengaktualisasikan identitas, yang sebenarnya telah ada walaupun tidak disadari.
Tidak ada pengikat yang lebih kuat dari maya, dan tidak ada kekuatan yang lain yang mampu menghancurkan ikatan itu selain Yoga. Tattwajnana atau kesejatian adalah hadiah yang paling berharga dari semua bentuk laku shadnan yoga. 


Zaman kali telah menurunkan kitab suci tantra, yaitu pengetahuan praktis yang langsung harus dipelajari dalam praktek. Kitab tersebut menuntut pemahaman hakekat yoga shadhana ritual. Pemahaman intensif memerlukan tingkat evolusi berpikir melalui praktek-prakteknya. (Granoka, 2000:15).


Dari uraian di atas menunjukkan suatu larangan yang bersifat positif, agar didalam mempelajari Mantra mengikuti sistimatika dan etika bermantra. Bali sudah memahami mantra, agar dipergunakan sebagai jalan mensejahterakan kehidupan masyarakat untuk mencapai kedamaian bersama. Paling tidak mantram itu dipergunakan pertama untuk diri sendiri seperti mantram; Pembersihan Tangan, Pembersihan Dupa, Pembersihan Bunga dan Mantram Tri sandya. Kedua untuk keluarga, seperti: Otonan anak, otonan istri dan upacara odalan kecil di sanggah kemulan milik sendiri, artinya hanya sebatas dikalangan rumah sendiri dan dilakukan upakara secara kecil-kecilan.


Etika yang harus dipegang oleh orang yang mempelajari mendalami spiritual adalah: 

Kitrcah cisyo’dhyapya ityaha: Acarya putrah cusrusur njadado dharmikah cucuh, aptah caktorthadah sadhu swodhyapya daca dharmatah.
Menurut hukum suci, kesepuluh orang-orang berikutnya adalah putra guru (yaitu) ia yang berniat melakukan pengabdiannya, ia memberikan pengetahuan, yang sepenuh hatinya mentaati UU, orang yang suci, orang yang berhubungan karena perkawinan atau persaudaraan, orang memiliki kemampuan rohani, orang yang menghadiahkan uang, orang yang jujur dan keluarga (mereka) dapat dipejalari Weda atau mantra. 


Selanjutnya dinyatakan, seorang tidak boleh menceriterakan apapun kepada orang lain kecuali kalau ditanyai; demikian seseorang hendaknya tidak menjawab pertanyaan yang tidak wajar untuk dinyatakan, hendaknya orang-orang supaya bertingkah laku bijaksana diantara orang-orang yang memiliki pengetahuan yang sederhana. Diantara kedua jenis orang itu, yang menjelaskan sesuatu yang tidak wewenangnya dan yang menyatakan pertanyaan yang bukan wewenangnya salah satu dan keduanya, akan mengalami kekeliruan atau terkena bencana permusuhan oleh orang yang lain. Sebagai bibit yang baik tidak boleh ditaburkan pada tanah yang gersang, demikian juga pengetahuan yang suci tidak seharusnya disebarkan kepada keluarga-keluarga dimana kemasyurannya dan kekayaannya yang tidak didapat dengan kesucian atau tanpa penghormatan kepada yang suci. Pengetahuan suci mendekati seorang Sulinggih (su-berarti baik, linggih berarti tempat, maksudnya orang yang dipercaya dimasyarakat, telah memiliki sifat-sifat baik) dengan berkata: 

Aku adalah kekayaan anda, peliharalah aku, jangan aku diserahkan kepada mereka yang tak percaya, dengan demikian aku menjadi amat kuat. Tetapi serahkan saya kepada seorang Sulinggih yang anda ketahui pasti ia yang sudah suci, yang bisa mengendalikan panca indranya, berbudi baik dan tekun. (Weda Smerti, 1977/1978:109-115).
Silahkan, belajarlah Mantra dan Memantra berdasarkan kesucian hati, dan ketika telah memilikinya, manfaatkanlah sesuai dengan tata dan etika dimana harus diucapkan, dan dimana harus dipujakan. Kalau orang berkeinginan dengan sungguh-sungguh, diperkenankan juga memantra kepada orang yang belum Adiksa Dwijati.


Pengertian Mantram
Mantram atau “mantra” yang biasa juga disebut Pùjà, merupakan suatu doa, berupa kata atau rangkaian kata-kata yang bersifat magis religius yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Mantram juga biasanya juga berisi permohonan dan atau puji-pujian atas kebesaran, kemahakuasaan dan keagungan Tuhan yang Maha Esa.


Kata “mantra” berhubungan dengan kata Bahasa Inggris “man”, dan kata Bahasa Inggris “mind” dan “metal”, yang diambil dari kata latin “ments” (mind), yang berasal dari kata Yunani “menos” (mind). “Menos”, “mens”, “metal”, “mind”, dan kata mantra diambil dari akar kata kerja Sanskerta “man”, yang berarti “untuk bermeditasi”. Ia memiliki pikiran yang ia meditasikan. Ia berkonsentrasi pada kata sebuah “mantra” untuk “meditasi”.


Sumber mantra. Mantra adalah suara yang berisikan perpaduan suku kata dari sebuah kata. Jagat raya ini tersusun dari satu energi yang berasal dari dua hal, yaitu dua sinar yaitu suara dan cahaya. Dimana yang satu tidak akan bisa berfungsi tanpa yang lainnya, terutama dalam ruang spiritual. Uni suara yang disebut dengan mantra bukanlah mantra yang didengar dari telinga; semua itu hanyalah manifestasi fisikal. Dalam keberadaan meditasi yang tertinggi, dari seseorang telah menyatu dengan Tuhan, yang ada dimana-mana, yang merupakan sumber dari semua pengetahuan dan kata. Bahasa filsafat India, menyebutkan sabda Brahman, kata-kata Tuhan. Semua pengetahuan tersedia bagi orang yang spiritual untuk dipakai dan diketahui. Dari sini kesadaran muncul dan menyentuh permukaan interior pikiran yang berhadapan dengan sang diri bukan merupakan indra-indra dan bagian dari dunia. Permukaan interior ini disebut dengan antah karana, pemikiran yang intuitif. Disini sinar kesadaran mengalir dan dari spiritual menghasilkan getaran mental. Pikiran bercampur dengan kesadaran yang bagaikan cahaya kilat. Dan pada momen mikro, yang sangat halus seperti keseluruhan buku weda atau semua ke 330 juta mantra mungkin akan muncul. Saat pengetahuan muncul dari kedalaman buddhi kepermukaan luar, pikiran rasional menjadi pemikiran verbal. Kata-kata itu hanyalah proses manifestasi, getaran dari frekwensi yang lebih rendah dari pada yang terlebih dahulu ada. Pikiran verbal ini dalam pikiran, disebut sebagai vaikhari oleh ahli tata bahasa dan ahli filsafat, sebuah kata berbeda. Ini hanyalah tahap pertama dari vaikhari. Sehingga apa yang disebut dengan pemunculan kata sebenarnya adalah kata-kata terselubung pada frekwensi Kata yang paling rendah. Ini diselubungi oleh lapisan pikiran yang individual. Keterbukaan yang sebenarnya terdapat dalam meditasi yang paling tinggi yang merupakan dialog tanpa kata-kata atau pertukaran dengan Tuhan dan Jiwa. (Bharati, 2004: 3,29,30).


Para ahli agama bahkan menyatakan bahwa mantram dapat menghalau berbagai macam bencana, rintangan maupun penyakit dan merupakan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan. Mantram juga dikatakan sebagai ladang energi atau energi illahi (Tuhan) yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup umat manusia. Dengan mantram, maka akan dihasilkan getaran energi Tuhan sesuai dengan matram yang diucapkan. Oleh karena itu setiap bersembahyang umat Hindu sebaiknya mengucapkan matram yang disesuaikan dengan tempat dan waktunya. Namun jika tidak memahami mantram yang dimaksudkan, mereka dapat bersembahyang dengan bahasa yang paling dipahami.


Umat Hindu disarankan memahami dan mampu paling tidak mengucapkan Mantram atau Puja Trisandya dan Kramaning Sembah, dua jenis mantram yang amat diperlukan pada waktu bersembahyang (Suhardana, 2005:22-23)


Ada bermacam-macam jenis mantra, yang secara garis besarnya dapat dipisahkan menjadi Vedik Mantra, Tantrika Mantra dan Puranik Mantra. Lalu setiap bagian ini selanjutnya dibagi mejadi sattwika, rajasika dan tamasika mantra. Mantra yang diucapkan guna pencerahan, sinar, kebijaksanaan, kasih sayang Tuhan tertinggi, cinta kasih dan perwujudan Tuhan, adalah sattwika mantra, dan mantra yang diucapkan guna kemakmuran duniawi serta anak cucu, merupakan rajasika mantra, sedangkan mantra yang diucapkan guna mendamaikan roh-roh jahat atau menyerang orang lain ataupun perbuatan-perbuatan kejam lainnya adalah tamasika mantra, yang penuh dosa dan perbuatan demikian yang mendalam disebut warna-marga atau ilmu hitam. 
Selanjutnya mantra juga dapat dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu: 
  1. Mantra, yang berupa sebuah daya pemikiran yang diberikan dalam bentuk beberapa suku kata atau kata, guna keperluan meditasi, dari seorang guru; 
  2. Stotra, doa pada dewata, yang dapat dibagi lagi menjadi; (a). bersifat umum dan (b). bersifat khusus. Stotra umum guna kebaikan umum yang harus datang dari Tuhan sesuai dengan kehendakNya, sedangkan do’a khusus adalah do’a-do’a dari seorang pribadi kepada Tuhan untuk memenuhi beberapa keinginan khususnya; 
  3. Kawaca, atau mantra yang dipergunakan sebagai benteng perlindungan. (Maswinara, 2004:7-8).


Seperti halnya mengucapkan mantram dalam melaksanakan Tri Sandya, sembahyang atau berdoa, maka dalam pengucapan mantram japa dibedakan atas empat macam sikap atau cara yakni:
  1. Waikaram Japa, yaitu melaksanakan japa dengan mengucapkan mantram japa berulang-ulang, teratur dan ucapan mantram itu terdengar oleh orang lain. 
  2. Upamasu Japa, yaitu melaksanakan japa dalam hati secara teratur, berulang-ulang, mulut bergerak, namun tidak terdengar oleh orang lain.
  3. Manasika Japa, yaitu melaksanakan japa dalam hati, mulut tertutup rapat, teratur, berulang-ulang, konsentrasi penuh, tidak mengeluarkan suara sama sekali. 
  4. Likhita Japa, yaitu melaksanakan japa dengan menulis berulang-ulang mantra japa di atas kertas atau kitab tulis, secara teratur, berulang-ulang dan khusuk (Titib, 1997:92)
Jadi dari uraian di atas menunjukkan bahwa Mantram, juga disebut Puja, dan juga disebut Japa, merupakan suatu kata-kata yang diucapkan bersifat magis religius yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya. Yang berisi puji-pujian dan permohonan sesuatu, sesuai dengan keinginan. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan tempat dimana, bagaimana dan mantram apa yang harus diucapkan. 


Kemudian dalam pengucapan mantram tersebut dijelaskan, semakin keras kita mengucapkan mantram maka nilainya semakin kecil dan sebaliknya semakin kecil kita mengucapkan mantram maka nilainya semakin besar. Dan para penulispun juga dikatakan melaksanakan japa, maka dari itu karya tulis buku “Mantra dan Belajar Memantra” ini adalah sebagai Lakhita Japa, yang akan dibahas melalui tahap-demi tahap.


Belajar Mantram
Secara umum mantram dari jaman dahulu sangat dilarang oleh tetua kita di Bali, dengan istilah Aywa Wérà, tan sidha phalanià, jangan disembarangkan/dibicarakan, nanti kemujizatannya akan hilang, hal seperti itu tidak baik. Tetapi jaman semakin berkembang, maka pernyataan tersebut perlahan-lahan berubah menjadi Ayu Wérà, sidhi phalanià, sangat baik untuk dibicarakan, dan utama manfaatnya. Dari kedua pernyataan tersebut menunjukkan, apabila suatu hal dilaksanakan dengan tujuan baik, maka segala sesuatunya dapat dibicarakan atau di analisa, untuk mencapai kesempurnaan. Tetapi kalau pembicaraan untuk ke hal-hal yang negative, sebaiknya jangan dibicarakan karena akan mendatangkan malapetaka.


Kemudian secara teori, memang ada unsur larangan untuk mengucapkan Mantram, tetapi ada juga unsur yang memberikan kesempatan untuk belajar mengucapkan mantram kalau hal itu dilakukan dengan tujuan baik. Larangan yang dimaksud untuk mengucapkan Mantram adalah: 

Yan hana wwang kengin weruhing Sang Hyang Aji Aksara, mewastu mijil saking aksara, tan pangupadyaya/maupacara muang tan ketapak, tanpa guru, papa ikang wwang yang mangkana. 
Apabila ada orang yang ingin belajar Sastra, dengan tidak memiliki guru, tidak dianugrahi (ketapak) berdosalah orang seperti itu. Tetapi kalau dilakukan dengan cara yang baik (sesuai situasi dan hati nurani yang belajar Mantra), hal tersebut diperbolehkan, walaupun belum memenuhi persyaratan tersebut di atas, yang bertujuan untuk memuja manifestasi Tuhan, dengan hati yang tulus ihklas untuk mengabdi tanpa pamrih. Kewala ikang amusti juga kawenangan, amreyogakena Sang Hyang ri daleming sarira. Maka dari itu marilah kita memantra dan Belajar memantra dengan, sredaning manah.


beberapa jenis mantra
Mantram Umum
  1. Mantram Tri Sandya 
  2. Panca Sembah 
Mantram dalam Yadnya
  1. Mantram Widhi Yadnya
  2. Mantram Dewa Yadnya
  3. Mantram Pitra Yadnya
  4. Mantram Rsi Yadnya
  5. Mantram Manusa Yadnya
  6. Mantram Bhuta Yadnya
Ngayab Banten
Penghormatan, Dewa yang Berstana di Gunung- Gunung
Upakara Ngawit Mekarya Wewangunan 
Nganteb Piodalan Alit
Muput Piodalan Alit di Merajan/Sanggah
  1. Byakaonan
  2. Durmanggala (Pangastawa) 
  3. Pengulapan (Pangastawa)
  4. Prayascita (Pangastawa) 
  5. Lis (Pangastawa) 
  6. Ngosokan Lis (Pengastawa)
  7. Ngastawa linggihang dewa di Palinggih/Sanggah 
  8. Mendak Kepanggung di jaba (Baruna Astra) 
  9. Ngayat segehan ring Natah Umah
  10. Medatengan ring Sanggah 
  11. Mapiuning Indik Piodalan. 
  12. Nganteb banten di pelinggih sami
  13. Ngayab Banten Piodalan.
  14. Ngayab Banten Pangemped lan Soda aturan 
  15. Ngayab Penagi/Sesangi 
  16. Ngayab banten Sambutan durung ketus Gigi 
  17. Tri Sandya 
  18. Muspa (Ngaggem Panca Sembah).
  19. Margiang Benang Tebus
  20. Pengaksama ring Dewa Betara
  21. Nyimpen Bajra.
Dewata Pawamana Soma
  1. Resi Kasyapa, asita Atau Dewala: Canda Gayatri (Sukta 13), Canda Gayatri (Sukta 14), Canda Gayatri (Sukta 15), Canda Gayatri (Sukta 16)
  2. Upacara Bajang Colong: Banten Pasuwungan, Banten Pengelukatan di Dapur, Banten Ring Sumur, Banten Ring Sanggah Kemulan, Banten Bajang Colong, Upacara Natab Sambutan, Panglukatan Mala, Lindu Gemana, Penglukatan Panca Geni (Orang Tilas), Pecaru Gering Tempur, Penglukatan Siwa Geni, Caru Manca Rupa (dagingnya bisa diganti), Salwiring Pemanes Karang, Pengasih Buta Muang Dewa, Dwijendra Astawa, Surya Sewana (Bila sakit tidak ada obatnya), Mantram Sebelum belajar Memantra, Pawisik Dewi Maya Asih, Melapas Wewangunan Utama, Madya dan Nista 113 7.2.20. Pesimpenan 115 7.2.21. Mantram Arca Muang Mapendem Pedagingan Meru 115 7.2.22. Katiban Durmanggala 116 7.2.23. Puja Mawinten 116 7.2.24. Ananggap Dana 117 7.2.25. Penenang Jiwa yang Menderita 117 7.2.26. Ilmuwan Mengerjan Ilmu Untuk Kebaikan Manusia 118 7.2.27. Persembahan Weda Mantra 118 7.2.28. Arti Penting Penguncaran Mantra 119 7.2.29. Makanan disucikandengan Yadnya 120 7.2.30. Yadnya Menseimbangkan Dunia 120 7.2.31. Keturunan yang Melakukan Yadnya (bertambah) Baik 121 7.2.32. Tuhan Pencipta Tata Surya 121 7.2.33. Menyebarkan Sistem Pendidikan dalam Weda 121 7.2.34. Yadnya dengan Mantra Weda dalam Gayatri 123 7.2.35. Yang Jahat Harus Disingkirkan 123 7.2.36. Mengenal Tuhan Melalui Penglihtan Spiritual 124 7.2.37. Mensucikan Hati dan Jiwa 124 7.2.38. Membersihkan Air Sumur dalam Weda 125 7.2.39. Yadnya Sejak Jaman Dulu Menurut Weda 125 7.2.40. Semoga saya tida pernah melanggar-Nya 125 7.2.41. Jagalah Kami dengan Sinar Pengetahuan Spiritual 126 7.2.42. Negara yang Sejahtera 127 7.2.43. Susunan Pencernaan (Analisa) Ilmu 127 7.2.44. Sebelum Beryadnya Manusia Lebih Dulu dilindungi Tuhan 128 7.2.45. Aktif dalam Ilmu Pengetahuan adalah Yadnya 128 7.2.46. Semoga Kami melenyapkan dosa-dosa Musuh 128 7.2.47. Mengucapkan Mantra Gayatri tiap Hari, menurut Weda 129 7.2.48. Mencapai kebesaran melalui Tulisan 130 7.2.49. Berilah kami tinggal dirumah yang menyenangkan 130 7.2.50. Engkau Ajarkan (Weda) kepada Rakyat 130 7.2.51. Yang meninggalkan Yadnya ditinggalkan oleh Tuhan 131 7.2.52. Karmaphala dalam Weda 131 7.2.53. Persembahan dalam Pitara dalam Weda 132 7.2.54. Dengan pengetahuan untuk mencapai Kedewasan 132 7.2.55. Korban Api sebagai Yadnya 133 7.2.56. Api pemusnah segala macam Penyakit 133 7.2.57. Sinarnya api Naik Turun 134 7.2.58. Weda diucapkan untuk memperoleh Pengetahuan Spiritual 134 7.2.59. Pengetahuan Petir melalui Weda 134 7.2.60. Brahmacari selama 48 Tahun 135 7.2.61. Suami yang bercahaya 135 7.2.62. Engkau Bercahaya laksana Matahari 136 7.2.63. Memberi Kesengan kepada Pengantin 136 7.2.64. Perkawinan Muda berpegangganglah kepada Kebenaran 137 7.2.65. kebahagiaan hari nin, esok dan setiap hari 137 7.2.66. Lindungilah Perkawinanmu 137 7.2.67. Suami tersayang dan Pemberani 138 7.2.68. Dosa yang sadar dan Dosa yang Tidak Sadar 138 7.2.69. Guru Pemberi Rakhmat 139 7.2.70. Ajarkan dengan kata-kata yang manis 139 7.2.71. Memberi Pengetahuan Siang dan Malam 140 7.2.72. Siapa Yajamana itu? 140 7.2.73. Orang terpelajar yang berpikiran Mulia 141 7.2.74. Selenggrakan Yadnya dengan Benar 141 7.2.75. Kerjakan Yadnya Rumah Tangga dengan Weda Mantra 142 7.2.76. Mempelajari Weda dengan setulus hatimu 142 7.2.77. Weda Berkai satu, Dua, Tiga, Empat dan Delapan. 142 7.2.78. Yadnya Mantra harus di laksnakan oleh Rumah Tangga 143 7.2.79. Jinakan Pikiranmu dengan ucapan Weda Mantra 143 7.2.80. Enam belas sifat dalam Berumah Tangga 144 7.2.81. Enam Belas Kala 145 7.2.82. Ceritera Ketuhanan dari Weda 145 7.2.83. Untuk memperoleh sifat Mulia 145 7.2.84. Weda mengajarkan Azas Demokrasi 146 7.2.85. Makna dan Fungsi Gayatri dalam Weda 146 7.2.86. Suami yang tidak Beragama 147 7.2.87. Dhananjaya; memberi makan dan memelihara Tubuh 148 7.2.88. Tiga puluh empat penyangga Yadnya 148 7.2.89. Prasana Upanisad 148 7.2.90. Penciptaan dan Penguasa 149 7.2.91. Resi wasistha, Dewata: Saraswan, Sayair: Gayatri 154 7.2.92. Pemujaan Sawitri 163 7.2.93. Atharwa Weda 181 7.2.94. Sama Weda 191 7.2.95. Samkya Darsana 206 8 Weda dan Mantra 216
Weda
Mantra
  1. Mantra Upasana dan Mantra Upadesa: Pungsi Mantram, Nilai Magis Mantram
  2. Pemujaan setiap hari: Puja, Kidung, Putru, Majijiwan
Pembelajaran Orang Dewasa
  1. Orang dewasa dihargai kemandiriannya 
  2. Orang dewasa memiliki banyak pengalaman
  3. Orang dewasa mempunyai kesediaan belajar hal-hal relewan 
  4. Sastra sebagai alat komunikasi
Proses Belajar
Dari uraian di atas, secara teori ilmu apapun bisa dipelajari asal dimanfaatkan secara dewasa, artinya anak kecil atau anak muda bisa membahas Mantra apabila penerapakan dilakukan secara dewasa. Suatu “Moto” di Bali, Aywa Were tan siddhi phalanya”, kalau ilmu itu disembarangkan jelas dia tidak bermanfaat, tetapi kalau dipelajari dengan suatu sistem dengan tujuan baik “Ayu Were Siddhi phalanya” boleh dibicarakan akan sangat baik manfaatnya. Baik bagi diri sendiri keluarga maupun masyarakat dan negara. Sekaranglah saatnya kita tahu Mantra dan Belajar Memantra. Seperti bunyi bait Yayur Veda.Bagian I.19

Sarmasyawadhutaduam rakso,wadhuta aratayo’ditwastwagasi twa’ditirwettu; Dhisana ’si parwati prati twa,ditastwag wettu diwaskambhanirasi dhisana,si parwateyi prati twa parwati wettu.
Yadnya adalah pemberi kebahagiaan, menjauhkan yang egois dan sifat-sifat kikir dan melindungi daerah tempat seperti kulit melindungi tubuh. Semoga yang melakukan yadnya menyadari arti pentingnya. Penguncaran Weda Mantra yang benar-benar merupakan yandnya sendiri. Yadnya yang dilakukan pada hari tertentu juga memberi perlindungan seperti kulit melindungi tubuh. Yadnya adalah penyangga matahari yang cemerlang, perwujudan dari ceritera Weda. Semoga kami menyadari yadnya sebagai pembawa hujan dan pemberi pengetahuan spiritual.


DAFTAR BACAAN
Anom, Utara 1994. Kesumadewa. Denpasar: Percetakan Offset & Toko Buku Ria.
Anda Kusuma Sri Rshi, 1986 “Kamus Bahasa Bali Indonesia-Indonesia Bali” Penerbit. CV. Kayumas Agung.
Atmanadhi, Satrya I Nyoman. 1972. Dasar Kepemangkuan (Ke Sulinggihan). Denpasar.
Bangli, IB. 2005. Puja Walaka-Pinandita. Surabaya: Penerbit. Cetakan Pertama: Paramita
Bharati, Swami Veda, 2002. Mantra Inisiasi Meditasi & Yoga. Surabaya: Penerbit. Paramita.
Gambar, I Made. 1986. Sodasiwikerama. Denpasar: Stensilan. (Buku Yang banyak Mengandung Inti-Inti Falsafah Hindu.)
.............., 1987. Sang Kulputih Kusuma Dewa. Denpasar: Terjemahan.
Kaler, I Gusti Ketut. 1983. Tuntunan Muspa Bagi Umat Hindu. Denpasar: Penerbit Guna Agung.
Kanca, Jero. I Nyoman Tt. Persembahyangan Bagi Warga Hindu. Buleleng: Toko Buku Indra Jaya.
Maswinara, I Wayan 2004. Gayatri Sadhana Maha Mantra Menurut Weda. Surabaya: Penerbit Paramita.
Ringga Natha, Jero gede Pasek 2003. Agem-Ageman Kepemangkuan. Surabaya: Cetakan Pertama. Penerbit. Paramita
Paulina Panennen dan Purwanto, 2001. Aplied Approach, Mengajar di Perguruan Tinggi.
Penulisan Bahan Ajar. Jakarta: Buku 2.08. Pusat antar Universitas Untuk peningkatan dan Pengembanngan Aktivitas Intruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Parisada Hindu Dharma Pusat, 1982-1983. Himpunan Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-IX. Denpasar: Parisada Hindu Dharma.
Pramadaksa, Sri Empu Nabe, 1984. Upacara Panca Yadnya. Badung: Gria Agung Bungkasa Abiansemal.
Prasetya, Irawan T.t. Pekerti. Jakarta: Sampai saat ini ybs. Sebagai Staff Antar Universitas Terbuka.
Pusat Propinsi Bali, 2000. Pedoman Sembahyang. Denpasar: Milik Pemerintah Propinsi Bali.
Pudja, G. 1976. Weda Parikrama, Satu Himpunan Naskah Mantra dan Stotra teks asli bahasa Sanskerta dan Penjelasannya. Jakarta: Penerbit. Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Weda.
..........,1979. Sama Weda “Sama Weda Samhita”. Jakarta: Pesanan Proyek Pengadaan Kitab suci Hindu. Milik Departemen agama Republik Indonesia.
..........., 1985. Weda (Pengantar Agama Hindu). Jakarta: Cetakan ke 3
............,1985. Yajur Weda (Weda Sruti). Bagian I. Jakarta: Terjemahan. Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha.
Putra, Tt. Cudami III, Kumpulan Kuliah Agama Hindu Bhatkti Marga, Cinta Kasih dan Penyerahan Diri kepada Tuhan. Dosen Institut Hindu Dharma.
Sugiarto, R dan Gede Pudja. 1982. Sweta Swatara Upanisad. Jakarta: cetakan Pertama. Proyek Pengadan Kitab suci Hindu. Milik Depatemen agama Republik Indonesia.
............, 1985 Atharwa Wedha (Weda Sruti) Terjemahan. Jakarta: Copyright. Maya Sari.
Suhardana, KM 2005. Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu. Surabaya: Penerbit. Paramita
Sutjipta, Nyoman dan A.A. Sagung Kendran, 2006. Pembelajaran Orang Dewasa. Denpasar: Penerbit. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mutu Pendidikan Universitas Udayana.
Tim Penyusun, 1993. Buku Pelajaran Agama Hindu di Perguruan Tinggi. Jakarta: penerbit Hanuman sakti.
Titib I Made,1986 Weda Walaka. Jakarta: penerbit. PT. Dharma Nusantara Bahagia.
……….,1997. Tri Sandya Sembahyang dan Berdoa. Surabaya: Penerbit. Paramita
Wisesa, Ida Pandita Umpu Nabe Daksa Kertha, 2001. Nganteb Piodalan Alit. Denpasar: Gria Agung Giri Manik. Penerbit. Kios Muria.

Watra, 2006. Majalah Kebudayaan Bali Taksu. Denpasar: Edisi 159 Mei-Juni/VII. Penerbit. Mitra Printing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar